UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN 1.

32 4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN 4.5.1. Uji Thermal Stability Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan surfaktan yang akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak. Suhu pada reservoir lapangan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi thermal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap degradasi formula surfaktan. Menurut Sugihardjo 2001, salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi formula surfaktan. Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk melihat terjadinya degradasi formula surfaktan terhadap suhu antara lain; tegangan antarmuka IFT, densitas, nilai pH, dan viskositas. Pengujian dilakukan pada suhu 70 C selama minimal satu bulan. Nilai IFT, densitas, pH, serta viskositas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengujian Thermal Stability formula surfaktan pada suhu reservoir Waktu pengamatan Ts hari Nilai IFT dynecm Densitas gramcm 3 Nilai pH Viskositas cP 4,74x10 -03 0,990 8,50 0,70 7 5,43x10 -03 0,991 9,00 0,69 14 1,01x10 -03 0,991 9,00 0,69 21 1,87X10 -03 0,990 8,75 0,69 30 1,79x10 -03 0,991 8,75 0,69 Nilai IFT yang didapat dari pengujian Thermal selama 30 hari menunjukkan hasil yang berfluktuasi. Pada minggu pertama formula surfaktan berada pada nilai IFT tertinggi. Kemudian, pada minggu selanjutnya formula surfaktan berada pada nilai IFT terendah dari minggu sebelumnya. Lama pemanasan terhadap formula surfaktan seharusnya mendegradasi formula surfaktan tersebut sehingga nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan. Rosen 2004 menyatakan bahwa degradasi surfaktan menyebabkan surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Buckley 1996, jumlah bahan aktif permukaan tidak dapat diukur secara langsung. Tapi mereka dapat disimpulkan oleh perubahan sifat antarmuka termasuk mobilitas IFT dan elektroforesis dengan komposisi air garam. Hal ini membuat perubahan terhadap densitas pada larutan tidak bisa dikaitkan dengan jumlah bahan aktif pada larutan surfaktan tersebut. Perbedaan jumlah bahan aktif yang terdapat pada larutan surfaktan pada waktu pengamatan yang berbeda menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai IFT dari hari ke-0 hingga kari ke-30. Perbedaan nilai IFT ini selain dipengaruhi oleh lama pemanasan, juga disebabkan oleh berubahnya pH fase larutan. Perbedaan nilai IFT pada hari ke-0 sampai hari ke-30 tidak terlalu signifikan yaitu masih dalam kisaran 10 -3 dynecm, sehingga dapat dikatakan surfaktan APG SK-50 memiliki stabilitas yang cukup baik terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap nilai IFT yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 18. 33 Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT Nilai pH derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap tingkat keasaman larutan surfaktan. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7 sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0 –6 serta suatu bahan bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8 –14. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus. Nilai pH formula surfaktan SK-50 sebelum pemanasan bersifat basa dengan pH berkisar antara 8.5. Air formasi lapangan S bersifat basa dengan pH 7.65, surfaktan APG SK-50 bersifat basa dengan pH 11.5 – 12.5 pada 10 larutan. Selain itu, penambahan NaCl serta NaOH kemungkinan juga mempengaruhi nilai pH pada formula surfaktan ini. Hasil pengujian thermal selama 30 hari menunjukkan peningkatan nilai pH pada minggu pertama dan kedua, sedangkan pada minggu berikutnya mengalami penurunan hingga mencapai pH yang relative stabil dengan nilai 8.75. Surfaktan alkil poliglikosida APG merupakan jenis surfaktan nonionik. Pada surfaktan nonionik tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Matheson, 1996; Rosen, 2004. Sifat ini membuat surfaktan APG sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam operasi produksi sumur minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida APG. Proses pemanasan dapat mempercepat tumbukan molekul-molekul yang terdapat dalam formula surfaktan. Namun, pada surfaktan APG SK-50 lama pemanasan tidak mempengaruhi nilai pH secara nyata. Hal ini disebabkan karena surfaktan APG bersifat nonionik sehingga suhu tidak menyebabkan molekul surfaktan terionisasi yang dapat merubah nilai pH larutan. Perubahan pH yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh interaksi penyusun formula surfaktan yang lainnya. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH ditunjukkan pada Gambar 19. 4.89E-03 5.43E-03 1.01E-03 1.87E-03 1.79E-03 0.0E+00 5.0E-03 1.0E-02 1.5E-02 5 10 15 20 25 30 Ni lai IF T d y n e cm Hari ke- 34 Gambar 19. Grafik hubungan lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan Nilai tegangan antarmuka memiliki hubungan dengan nilai pH. Pada formula surfaktan APG SK-50 optimal, konsentrasi NaOH menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan. Reaksi ini membentuk surfaktan in-situ saat digunakan dengan minyak lapangan S yang bersifat asam. Surfaktan in-situ yang terbentuk pada reaksi ini dapat menurunkan tegangan antarmuka. Buckley dan Fan 2005 menyatakan bahwa ketika pH fase berair sangat tinggi atau sangat rendah, komposisi kelompok-kelompok fungsional asam dan basa pada minyak mentah dapat bereaksi membentuk surfaktan in-situ. Surfaktan ini lebih lanjut dapat mengubah IFT sebagai fungsi waktu. Degradasi pada formula surfaktan menyebabkan surfaktan tersebut terurai menjadi senyawa- senyawa yang memiliki berat molekul lebih kecil. Hal ini menyebabkan densitas yang dihasilkan dari formula surfaktan tersebut semakin kecil. Pada formula surfaktan APG SK-50, perbedaan densitas terhadap lama pemanasan tidak terlalu signifikan yaitu hanya sekitar 10 -4 gramcm 2 , sehingga dapat dikatakan bahwa lama pemanasan tidak begitu berpengaruh terhadap struktur molekul surfaktan APG SK-50. Hubungan antara lama pemanasan terhadap densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang menunjukkan cepat atau lambatnya fluida tersebut mengalir. Viskositas dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Satuan viskositas yaitu poise. Satu poise berarti viskositas larutan ketika 1 dyne gaya bekerja pada 1cm 2 penampang luas suatu plat dimana untuk jarak 1 cm menyebabkan laju aliran sebesar 1 cmdetik. 8.50 9.00 9.00 8.75 8.75 6 7 8 9 10 5 10 15 20 25 30 Ni lai pH Hari ke- 0.990 0.991 0.991 0.990 0.991 0.95 1.00 1.05 5 10 15 20 25 30 Ni lai D e ns it as g ram cm 3 Hari ke- 35 Berdasarkan definisi tersebut, semakin besar viskositas suatu fluida maka semakin kentalviskos fluida tersebut dan semakin lambat untuk mengalir. Hasil uji thermal formula surfaktan menunjukkan bahwa viskositas formula surfaktan berfluktuasi terhadap lama pemanasan. Pada minggu pertama nilai viskositas menurun. Kemudian pada minggu berikutnya viskositas kembali naik dan terus berfluktuasi pada minggu selanjutnya. Seharusnya lama pemanasan mempengaruhi viskositas suatu fluida. Menurut Holmberg 2003, suhu yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu fluida. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Selain itu, Purwantana 2005 menyatakan bahwa viskositas suatu bahan pada umumnya sangat tergantung pada suhu, viskositas turun dengan kenaikan suhu. Degradasi molekul suatu fluida menyebabkan konsentrasi partikel berkurang sehingga menyebabkan penurunan nilai densitas dan viskositas fluida tersebut. Adanya fluktuasi nilai viskositas ini antara lain disebabkan oleh kerusakan serta ketidak homogenan formula surfaktan sehingga hasil pengukuran berfluktuasi. Namun demikian, perbedaan nilai viskositas formula surfakatan APG SK-50 tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa formula surfaktan tersebut tidak mengalami degradasi yang terlalu besar sehingga dapat dikatakan bahwa viskositas formula surfakatan tersebut stabil terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan

4.5.2. Uji Phase Behavior

Uji phase behavior bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui compatibility atau kecocokan antara surfaktan dengan fluida minyak. Terdapat empat tipe kelakuan fasa yaitu emulsi fasa bawah dan terjadi kelebihan fasa minyak excess oil. Kedua adalah tipe fasa tengah mikroemulsi, terdiri dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Ketiga adalah tipe emulsi fasa atas minyak dengan kelebihan fasa air excess water, dan keempat adalah tipe makroemulsi. Menurut Levitt 2006, kelakuan fasa mikroemulsi dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur surfaktan atau equivalent alkane carbon number EACN pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak 0.70 0.69 0.70 0.69 0.70 0.60 0.65 0.70 0.75 0.80 5 10 15 20 25 30 Ni lai V is ko si tas cP Hari ke- 36 dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta terjadi keseimbangan antara kelebihan fasa air dengan kelebihan fasa minyak. Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EORinjeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah Fase Form III atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah Lemigas, 2002. Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Kondisi mikroemulsi dapat dicapai dengan beberapa faktor salah satunya yaitu konsentrasi surfaktan yang digunakan. Mikroemulsifasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan fasa bawah maupun fasa atas. Selain itu, kelakuan fasa tengahmikroemulsi dipengaruhi juga oleh salinitas air pelarut, suhu, jenis dan konsentrasi alkohol, serta jenis minyak yang digunakan. Lemigas,2001 Penentuan uji phase behavior dilakukan secara visual dengan membandingkan antara fasa larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan dilakukan selama minimal 1 bulan pada suhu reservoir 70 C. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fase yang terbentuk adalah fase bawah dimulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30. Pada hari ke-7 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05 ml. Pada hari ke-14 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.075 ml. Pada hari ke-21 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.075 ml. Sedangkan pada hari ke-30 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.1 ml. Terjadinya kelebihan air ini mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan baik hingga hari ke-30. Hasil pengamatan phase behavior dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 22. Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30. Terbentuk warna putih susu mulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30 diperkirakan karena terlarutnya molekul minyak kedalam formula surfaktan. Terlarutnya molekul minyak disebabkan oleh perbedaan densitas yang kecil antara minyak lapangan S dan formula surfaktan yaitu sebesar 0.916 untuk densitas minyak dan 0.991 untuk densitas formula surfaktan. Selain itu, adanya NaOH pada formula surfaktan dapat melarutkan minyak sehingga minyak terdispersi dalam formula surfaktan. Untuk mengamati terjadinya pelarutan minyak dalam surfaktan dilakukan uji mikroskop. Hasil pengamatan dengan mikroskop menunjukkan partikel yang mampu ditangkap oleh mikroskop berukuran 2.7 – 21.5 µm Gambar 23. Partikel tersebut merupakan partikel minyak yang terlarut dalam formula surfaktan. I II I II I II I II I II T T 7 T 14 T 21 T 30 37 Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Keterangan : Po = Kelarutan minyak Vo = Volume minyak awal Vo’ = Volume minyak selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut : Keterangan : Pw = Kelarutan air Vw = Volume air awal Vw’ = Volume air selama pengamatan Vs = Volume surfaktan Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan : Gambar 24. a Kelakuan fasa awal; b Terbentuk dua fasa; c Terbentuk tiga fasa Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa Vo Vo’ Vw’ Vw Vo’ Vw’ emulsi a b c 38 minyak. Oleh karena itu, dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini adalah grafik hubungan antara kelarutan minyak Po terhadap lama pemanasan : Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak Po meningkat seiring dengan lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk emulsi.

4.5.3. Uji Filtrasi

Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan butiran precipitant dalam larutan surfaktan. Uji filtrasi dilakukan dengan mengalirkan formula surfaktan yang akan digunakan dengan filtrasi secara bertahap mulai dari filtrasi 500 mesh, filtrasi 21 µm, sampai filtrasi 0.45 µm. Kemudian dibuat grafik hubungan antara volume dan waktu dari filtrasi tersebut. Setelah dilihat hubungan antara volume dan waktu, laju alir filtration rate Fr dari surfaktan juga dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini : Keterangan: t 100 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml t 200 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml t 400 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml t 500 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml Uji ini dilakukan terhadap dua jenis bahan yaitu air formasi dari Lapangan S dan formula larutan surfaktan yang bertujuan untuk membandingkan laju alir dari masing-masing bahan. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan kecepatan aliran fluida yang akan diinjeksikan ke dalam reservoir. 0.020 0.030 0.032 0.035 0.01 0.02 0.03 0.04 5 10 15 20 25 30 Po Hari ke- 39 Parameter lain yang diukur dari uji ini yaitu nilai IFT dari setiap tahap penyaringan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan. Hasil penyaringan formula surfaktan dan air formasi pada filtrasi 500 mesh menghasilkan Fr sebesar 1.39 dan 10.17. Hasil penyaringan dengan filtrasi 500 mesh dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini menunjukkan bahwa laju alir formula surfaktan yang digunakan lebih cepat dibandingkan dengan laju alir air formasi lapangan S. Namun, hasil ini masih lebih besar dari 1.2 , sehingga bisa dikatakan baik formula maupun air formasi belum memiliki kinerja laju alir yang baik. Grafik perbandingan penyaringan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtasi 500 mesh Selanjutnya setelah penyaringan 500 mesh, masing-masing bahan disaring dengan filtrasi 21 µm. Hasil penyaringan menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibanding dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 2.64 untuk air formasi dan 3.73 untuk larutan surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 21 µm dapat dilihat pada Lampiran 10. Grafik perbandingan antara air formasi lapangan S dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 21 µm Setelah melewati filtrasi 21 µm, masing-masing bahan kemudian disaring dengan menggunakan filtasi 0.21 µm. Proses penyaringan dilakukan dengan memberikan tekanan sebesar 1.5 bar. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Lemigas. Hasil penyaringan 100 200 300 400 500 50 100 150 200 250 V ol um e m l Waktu Alir detik AF Lapangan S Formula Surfaktan 100 200 300 400 500 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 V ol um e m l Waktu Alir detik AF Lapangan S Formula Surfaktan 40 menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibandingkan dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 9.67 untuk air formasi dan 12.02 untuk formula surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 0.21 µm dapat dilihat pada Lampiran 11. Grafik perbandingan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 0.45 µm Berdasarkan grafik perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa laju alir dari air formasi dan formula surfaktan masih diatas laju alir yang ditetapkan sebesar 1.2. Hal antara lain disebabkan oleh ukuran molekul yang terdapat dalam air formasi maupun formula surfaktan sehingga dapat menghambat laju alir dari surfaktan tersebut. Molekul yang terdapat pada formula surfaktan dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengamatan oleh mikroskop dapat dilihat pada Gambar 29. a b c d Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan. a Sebelum penyaringan 500 mesh 28 µm. b Sebelum penyaringan 21µm. c Sebelum penyaringan 0.45µm. d Setelah penyaringan 0.45µm 100 200 300 400 500 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 V ol um e m l Waktu Alir detik AF Lapangan S Formula Surfaktan 54.0µm 20.2µm 3.1µm 136.4µm 14.3µm 41.9µm 77.2µm 41 Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa molekul formula surfaktan sebelum disaring dengan menggunakan kain saring 500 mesh 28 µm yang terlihat sebesar 54.0 µm. Ukuran molekul tersebut lebih besar daripada ukuran pori-pori filtrasi. Molekul ini dapat menyumbat pori-pori filtrasi sehingga laju alir surfaktan menjadi terhambat. Setelah disaring dengan menggunakan filtrasi 500 mesh, formula tersebut kemudian disaring dengan menggunakan filtrasi 21 µm. Molekul formula surfaktan yang dapat teramati sebelum penyaringan sebesar 3.1 µm sampai 20.2 µm. Ukuran molekul tersebut dapat melewati filtrasi 500 mesh dengan mudah. Namun, terbentuknya busa pada saat penyaringan menyebabkan laju alir formula surfaktan tersebut terhambat. Terbentuknya busa ini kemungkinan disebabkan adanya udara diantara filtrasi dan permukaan corong. Pembentukan busa dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan Formula surfaktan hasil penyaringan filtrasi 21µm memiliki molekul yang dapat teramati sebesar 14.3 µm. Namun, molekul-molekul tersebut bersatu membentuk molekul gel dengan ukuran 136.4 µm. Formula surfaktan tersebut disaring dengan menggunakan filtrasi membran 0.45 µm dengan tekanan dari gas nitrogen sebesar 1.5 bar. Pemberian tekanan bertujuan untuk menghindari terbentuknya busa. Ukuran molekul yang lebih besar daripada pori-pori kertas membran menyebabkan pori-pori kertas membran tersumbat sehingga laju alir formula surfaktan menjadi sangat lambat. Proses penyatuan molekul kecil menjadi molekul yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh reaksi antara ion-ion pada surfaktan dengan garam sehingga molekul-molekul tersebut saling bergabung dan mengendap didasar formula. Untuk melihat hubungan antara filtrasi dengan nilai tegangan antar muka IFT dan nilai densitas formula surfaktan dilakukan uji IFT dan densitas pada setiap tahap penyaringan. Hasil uji IFT dan densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50 7.89E-04 1.26E-03 1.28E-03 1.06E-03 0.0E+00 5.0E-04 1.0E-03 1.5E-03 2.0E-03 tanpa saring 500 mesh 22 µm 0.45 µm Ni lai IF T dy ne cm 42 Selain itu, untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap molekul-molekul formula surfaktan dilakukan uji densitas. Hubungan antara filtrasi dengan nilai densitas formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 32. Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50 Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa proses filtrasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan nilai IFT. Hal ini dapat disebabkan oleh ikut tersaringnya bahan aktif yang terdapat pada surfaktan sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai IFT-nya berkurang. Namun, hal ini tidak terjadi pada penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm. Hal ini kemungkinan dikarenakan penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm merupakan penyaringan terakhir sehingga micelle yang terbentuk tidak tersaring lagi sehingga nilai IFT kembali turun. Sedangkan untuk nilai densitas, berbanding erbalik dengan nilai IFT dimana untuk nilai IFT yang menurun, nilai densitas mengalami peningkatan. Hal ini kemungkinan dikarenakan micelle yang terbentuk ikut tersaring sehingga bobot molekulnya berkurang, nilai densitas pun menurun yang menyebabkan naiknya nilai IFT karena kehilangan bahan aktifnya.

4.6. ENHANCED WATER FLOODING