3 KETERPILIHAN KURSI DPR RI PEMILU 2014 BERDASARKAN JENIS KELAMIN

TABEL 1.3 KETERPILIHAN KURSI DPR RI PEMILU 2014 BERDASARKAN JENIS KELAMIN

PARTAI

PEROLEHAN KURSI LAKI-LAKI

PEROLEHAN KURSI PEREMPUAN TOTAL

35 syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun PKB 37 (78.7%) 10 (21.2%)

Partai Nasdem

109 Partai Golkar

91 Partai Gerindra

39 Partai Hanura

SUMBER: KOMISI PEMILIHAN UMUM

Dari data diatas terlihat bahwa keterpilihan perempuan di parlemen belum memenuhi angka kritis, yaitu sebesat 30%. Keterpilihan perempuan tertinggi terdapat pada PPP, yaitu sebanyak 10 anggota legislatif perempuan atau sebesar 25.6% dari total 30 kursi yang diraih PPP. Sementara keterpilihan perempuan terendah terdapat pada PKS, yaitu hanya 1 anggota legislatif perempuan terpilih atau hanya 2.5% dari total 40 kursi yang diraih. Dalam sistem proporsional terbuka dimana pemilih dapat memberikan suaranya langsung kepada

9 Nur Iman Subono, Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral, dan Kuota: Kuantitas, Kualitas, atau Kesetaraan, Jurnal: Perempuan untuk Pecerahan dan Kesetaraan, Vol. 18 No.4, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 6 November 2013, hal 45­46.

STRATEGI PARTAI POLITIK DALAM MEMENUHI KEBIJAKAN AFIRMASI PADA PEMILU 2014 (STUDI KASUS: PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN)

kandidat, namun keberadaan nomor urut masih signifikan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kooalisi Perempuan Indonesia (KPI) untuk demokrasi dan keadilan, mayoritas anggota legislatif yang terpilih adalah mereka yang ditempatkan pada nomor kecil (no 1, 2, dan 3).

Jika dilihat dari jumlah perempuan caleg yang dinominoasikan oleh PKS dan PPP sebenernya kedua partai tersebut termasuk partai politik yang banyak mencalonkan perempuan. Pencalonan perempuan di PKS adalah 41.43% atau 191 dari 461 total calon, sementara PPP mencalonkan 41.29% perempuan atau 211 dari 511 total calon anggota legislatif. Namun PKS hanya menempatkan 1 perempuan caleg di nomor urut 1, sementara PPP menenpatkan 21 perempuan caleg di nomor urut 1. Jika pemilih diasumsikan memilih caleg di nomor urut kecil maka angka yang diperoleh kedua partai tersebut memang wajar.

Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menilai mengapa tingkat keterpilihan perempuan dalam pemilu rendah. Pertama, terkait dengan kerja pemenangan politik, secara teoritis tingka popularitas calon anggota legislatif sangat menentukan keterpilihan. Popularitas memberikan peluang yang lebih besar pada keterpilihan. Kedua, adalah tingkat kedisukaan dari masyarakat. Secara umum calon perempuan kurang disukai karena dianggap tidak mampu menjadi pemimpin, tidak memiliki pengalaman, dan adanya persepsi (stereotype) di masyarakat yang masih belum mampu menerima perempuan sebagai pemimpin. Ketiga, adalah faktor keterpilihan. Bagi calon perempuan biasanya juga memiliki faktor keterpilihan yang rendah karena tidak memiliki modal yang besar untuk menang seperti uang dan kedekatan dengan elit partai untuk menang. Modal seperti ini biasanya dimiliki oleh caleg laki­laki. 10

Latar belakang menurunya drajat keterwakilan perempuan paling tidak disebabkan oleh dua faktor yakni elektoral dan non elektoral. Dari faktor elektoral, mulai dari tahapan pencalonan, sistem pemilu proposional terbuka berikut variabel teknis didalamnya menjadi salah satu penyabab menurunya keterwakilan perempuan di parlemen akibat semakin terbuka dan tingginya persaingan. Sedangkan dari faktor non elektoral tingkat partisipasi perempuan berikut keterikatan antara gerakan perempuan menjadi salah satu penyebab mengapa sedikit perempuan yang terlibat dalam bursa pemilihan anggota legislatif.

Walaupun UU No 8/2012 dan PKPU No 7/2013 sudah mengikat partai politik

10 Eko Bambang Subiantoro, op, cit, hal 93­97.

Pemilu Jurnal & Demokrasi

untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pencalonan namun belum berhasil meningkatkan perempuan yang terpilih di DPR. Berdasarkan tabel di bawah ini, kita bisa menyimpulkan, pemilu yang ditempatkan sebagai proses dan hasil, keterwakilan perempuan di pemilu terpenuhi di tataran proses pencalonan. Lebih dari 30 persen calon perempuan berpartisipasi di pemilu legislatif. Sedangkan untuk hasil, keterwakilan perempuan masih di bawah

20 persen. Padahal affirmation action dalam regulasi yang ada menuliskan

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

“sekurang­kurangnya keterpilihan perempuan.”

Kemunduran kuantitas hasil Pileg 2014 berupa berkurangnya perolehan kursi oleh caleg perempuan. Meskipun Undang­Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pileg 2014 dan sejumlah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) lebih membuka pencalonan perempuan sehingga meningkat, perempuan hanya memperoleh 96 kursi dari 560 kursi di DPR RI. Berkurang 1 persen dari hasil Pileg 2009, 102 kursi.

Dalam kualitas pun hasil Pileg 2014 caleg perempuan terpilih merupakan perempuan yang menjadi perpanjangan kuasa patriarki. Lebih banyak dari syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun mereka merupakan istri dari petahana eksekutif di daerah, istri petahana legislator, atau istri dari elite partai. Jika bukan dari kalangan itu, yang terpilih lebih karena tingkat popularitasnya sebagai pesohor (artis misalnya). Puskapol UI melalui pencermatan hasil Pileg 2014 menyimpulkan, berdasarkan profil dan basis keterpilihan anggota legislatif DPR RI 2014­2019, sangat berpeluang kuatnya dominasi fraksi terhadap otonomi anggota, tak terkecuali perempuan. Penyebab utamanya, pola basis rekrutmen yang mengandalkan kekuatan finansial dan kekerabatan untuk mendukung elektabilitas. Hal ini tergambar, 7 dari 77 anggota terpilih memiliki jaringan kekerabatan termasuk dalam 10 besar peraih suara tertinggi.

Selain itu, kecenderungan semakin kuatnya dominasi fraksi atas anggota legislatif ditunjukkan pula oleh berimbangnya jumlah inkumben terpilih dan anggota baru terpilih. Sebagian inkumben yang tidak terpilih dapat diidentifikasi sebagai anggota yang kritis terhadap posisi dan kebijakan partai/fraksi. Dengan kondisi ini, harapan agenda reformasi parlemen dan lahirnya kebijakan yang prokepentingan publik akan berhadapan dengan kepentingan oligarki. Untuk itu perlu dicermati bagaimana strategi partai politk melakukan upaya dalam memenuhi ketentuan yang terdapat dalam UU No 8/2012 dan juga PKPU no 7/2013 yang mengharuskan partai memenuhi kuota 30% perempuan dalam pencalonan. Dalam penelitian ini akan dilihat upaya dari dua partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

STRATEGI PARTAI POLITIK DALAM MEMENUHI KEBIJAKAN AFIRMASI PADA PEMILU 2014 (STUDI KASUS: PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DAN PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN)