TINGGI POTENSI MEMBELAH MASSA

G. TINGGI POTENSI MEMBELAH MASSA

Belum idealnya regulasi pemilu menampung SARA salah satunya berbentuk penyertaan sistem pemilu yang tak sesuai. Pada dasarnya, sistem pemilu mayoritas yang biasa diterapkan di pemilu eksekutif memang berpotensi

15 https://youtu.be/8hAZzCV7I3U 16 https://youtu.be/xmkqFTBn3S8

17 KUH Pidana Pasal 156, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 315 18 UU No.19/2016 Pasal Pasal 45 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (2)

MENGELOLA SARA DALAM PILKADA: DEMOKRATISASI REGULASI RAGAM IDENTITAS DI PEMILU SERENTAK

membelah massa. Sistem pemilu berkursi satu dalam satu daerah pemilihan mendorong pembentukan massa mayoritas. Sebab, kemenangan yang dibutuhkan adalah perolehan suara mayoritas (50%+1).

Kita refleksikan Pemilu Presiden Indonesia dengan Pemilu Presiden Amerika Serikat. Selalu, isu SARA berdasar kelompok mayoritas akan digunakan pemenangan raihan 50%+1 suara. Dari periode pemilu satu ke pemilu berikutnya, SARA tetap digunakan. Yang membedakan derajat sentimen dan polarisasi massanya. Di Indonesia paling tinggi saat Joko Widodo vs Prabowo Subianto. Di Amerika Serikat, tentu saja Donald Trump vs Hillary Clinton.

Ian Budge dalam “Direct Democray” mengingatkan kritik yang ditujukan dalam pemilu bersistem mayoritas (50%+1). Selain dilupakannya eksistensi kelembagaan utama demokrasi seperti partai politik dan parlemen oleh publik, pemilu bersistem mayoritas akan menghadirkan tirani mayoritas. Sehingga, demokrasi langsung cenderungan bersifat otoritarian terhadap minoritas. 19

Ini sebab sistemik mengapa Pilkada DKI selalu terjadi pembelahan massa berdasar SARA. Sistem pemilu mayoritas Pilkada DKI dengan syarat keterpilihan 50%+1 mendorong kontestasi yang saling berhadapan. Jika Pilkada DKI pesertanya lebih dari dua pasangan calon, kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran. Akhir kontestasi harus melalui pertarungan berhadapan langsung menyertakan massa kolosal di putaran kedua.

Hingga 2017, DKI Jakarta sudah menyelenggarakan pemilihan gubernur langsung sebanyak tiga periode transisi pemerintahan. Semua kontestasi DKI 1 ini kuat menyertakan isu SARA.

Di 2007, pilkada langsung pertama DKI, “Islam Vs Bhinneka” menjadi narasi kontestasi Ibu Kota antara Adang Daradjatun­Dani Anwar yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 29.3% kursi DPRD DKI melawan Fauzi Bowo­ Prijanto yang diusung 70.7% kursi DPRD DKI melalui Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bansa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), dll.

Di 2012, isu SARA digunakan lagi di Pilkada DKI. Dengan jumlah peserta enam pasangan calon, isu SARA belum muncul. Setelah hasil penghitungan suara putaran pertama tak ada peserta yang memperoleh suara 50%+1,

19 Budge, Ian (2006: 596), Direct Democracy, Oxford Handbooks of Political Science, New York: Oxford.

Pemilu Jurnal & Demokrasi

pilkada dilanjutkan ke putaran dua antara Fauzi Bowo­Nachrowi Ramli Vs Joko Widodo­Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Dalam penentuan berhadap­ hadapan ini isu SARA digunakan.

Di 2017, isu SARA menjadi meledak. Ahok sebagai petahana kepala daerah yang mencalonkan lagi sebagai calon gubernur mempunyai dua identitas minoritas, beragama Kristen dan beretnis Tionghoa. Dengan jumlah peserta tiga pasangan calon, Agus Harimurti Yudhoyono­Sylviana Murni dan Anies

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

Rasyid Baswedan­Sandiaga Salahuddin Uno sudah memunculkan isu SARA berebut simpatik umat Islam untuk melawan Ahok­Djarot Saiful Hidayat.

Identitas SARA selalu menjadi pertimbangan mengubah­ubah elektabilitas peringkat pertama dan kedua. Partai politik beserta para pakar di musim pemilu sudah menghitung, siapa calon yang mempunyai elektabilitas tertinggi pertama dan kedua. Keduanya lah yang didorong menjadi calon yang saling berhadapan, bukan berpasangan. Pemilik elektabilitas tertinggi pertama dan kedua masing­masing tak mau dijadikan calon wakil eksekutif. syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

Dan perlu diingat, pada aspek keluwesan menampung ragam identitas, kampanye dalam penyelenggaraan pilkada lebih bertantangan. Pasalnya, identitas dalam SARA relatif lebih kuat jadi tuntutan aspirasi warga. Logika suara mayoritas menjadi pemenang pemilu melahirkan kecenderungan suku, ras, agama, dan golongan mayoritas dijadikan identitas daerah dan pemimpinnya. Politik ketokohan, (dinasti) kekerabatan/keluarga, dan keaslian sering seiring dengan kebutuhan dan kepercayaan masyarakat lokal terhadap kepemimpinan.