SOLUSI UNTUK DKI JAKARTA

I. SOLUSI UNTUK DKI JAKARTA

Tapi sayangnya, jika pun pilkada berhasil masuk rezim pemilu dan pilkada provinsi dan kabupaten/kota menjadi bagian dari desain pemilu serentak nasional dan lokal, polarisasi massa berdasar SARA beserta konfliknya masih terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Pasalnya, Pilkada DKI berkemungkinan diselenggarakan dua putaran sehingga Pemilihan Gubernur dan Wakil

23 Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu (2016: 73), Naksah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum, Jakarta: Yayasan Perludem.

24 Ibid (95)

Pemilu Jurnal & Demokrasi

Gubernur DKI tak serentak dengan pemilu DPRD provinsi. UU No.29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Pasal

11 Ayat (1) bertuliskan: Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Ayat (2) bertuliskan: dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Dari regulasi itu, Pemilihan Pemimpin DKI mendorong kontestasi saling berhadapan. Jika regulasi ini tak diubah, selamanya pemilihan gubernur dan pemilihan presiden akan membelah massa berdasar SARA.

Sistem pemilu Pilkada DKI tak sesuai desain pemilu serentak lokal. Pemilu Gubernur­Wakil Gubernur DKI adalah pilkada satu­satunya yang menggunakan syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

sistem pemilu mayoritas. Seluruh daerah (provinsi dan kabupaten/kota) kecuali DKI menggunakan sistem pemilu pluralitas ( first past the post/FPTP) dalam pemilihan kepala daerah. Berapapun jumlah pasangan calon yang menjadi peserta pilkada, berapa pun suara yang diperoleh dan selisih yang terjadi dari pemungutan suara, yang mendapatkan suara terbanyak menjadi pasangan calon terpilih.

Penting untuk melakukan judicial review Pasal 11 UU No. 29/2007. MK lebih baik menghapus ketentuan pemilihan kepala daerah dalam UU No.29/2007. Biar ketentuan Pilkada DKI masuk menjadi satu kesatuan UU Pilkada yang diharapkan telah dikodifikasi dalam UU Pemilu.

Putusan MK pada 2012 menolak diubahnya syarat keterpilihan Pilkada DKI. MK berpendapat, permohonan uji materi mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 11 ayat (2) UU 29/2007 tak beralasan menurut hukum karena tak ada permasalahan dalam syarat keterpilihan lebih dari 50%.

Konteks permohonan dan putusan syarat keterpilihan Pilkada DKI saat itu adalah Pilkada DKI 2012. Pemohon merupakan bagian dari pasangan calon gubernur­wakil gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Dasar permohonan adalah Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU 29/2007 bertentangan dengan UU No.12/2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Permohonan uji materi Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU No.29/2007 bisa

MENGELOLA SARA DALAM PILKADA: DEMOKRATISASI REGULASI RAGAM IDENTITAS DI PEMILU SERENTAK

dilakukan kembali. Dengan legal standing dan alasan permohonan yang berbeda serta perkembangan politik, hukum, dan ketatanegaraan yang terjadi, memungkinkan diubahnya sistem pemilu Pilkada DKI dari mayoritas (50%+1) menjadi pluralitas (sekali putaran).

Unsur masyarakat sipil atau akademisi penting untuk membedakan posisi pemohon di gugatan sebelumnya. Ketaksesuaian sistem pemilu mayoritas Pilkada DKI dengan desain pemilu serentak serta tinggi potensi membelah massa berdasar SARA bisa menjadi alasan permohonan yang berbeda serta perkembangan politik, hukum, dan ketatanegaraan yang terjadi.

Jika tak ingin politik dan massa terbelah lagi, kita harus merevisi UU Kekhususan DKI. Dengan merevisi syarat keterpilihan dalam Pilkada DKI kita tak perlu mengorbankan kebebasan demokrasi dengan melarang identitas dan ekspresi SARA dalam pesta demokrasi. Jika kita tak merevisi sistem pemilu mayoritas Pilkada DKI, jangan­jangan kita menikmati politik belah massa dalam pemilu negara yang katanya berbhinneka ini.