LARANGAN SARA DI PILKADA

C. LARANGAN SARA DI PILKADA

Tapi pemilu Indonesia belum utuh menerapkan nilai­nilai kesetaraan SARA demokrasi. Di sejumlah daerah, atas nama otonomi, suatu identitas SARA dilegalkan sedangkan identitas SARA lainnya dilarang. Keadaan ini biasa disebut sebagai diskriminasi SARA melalui demokrasi prosedural.

Di Aceh, misalnya. Pencalonan kepala daerah dalam prakteknya mengharuskan syarat “orang Aceh” dan “bisa membaca Al­Quran”. Dua syarat ini menjadikan identitas Aceh dan Islam/muslim ditempatkan sebagai identitas legal dalam pencalonan sedangkan identitas lainnya ilegal. Orang bersuku Jawa, Sunda, Minang, atau lainnya meski sudah ber­KTP warga provinsi Aceh, sangat mungkin menerima penolakan jika mencalonkan. Orang Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu, atau agama lainnya pun tak bisa mencalonkan.

Padahal UU No.10/2016, sebagai undang­undang nasional penyelenggaraan pilkada, tak menyertakan identitas SARA tertentu sebagai syarat pencalonan. Pilkada merupakan pemilihan pemimpin daerah yang sejatinya menjadi demokratis jika tak menyertakan syarat suku atau agama tertentu kendati

5 Norris, Pippa (2008: xi), Driving Democracy: Do Power-Sharing Institutions Work? Cambridge: University of Cambridge.

MENGELOLA SARA DALAM PILKADA: DEMOKRATISASI REGULASI RAGAM IDENTITAS DI PEMILU SERENTAK

sebagai mayoritas. Bisa juga dimaknai sebagai diskriminasi SARA dalam syarat pencalonan adalah soal usia minimal yang tak memungkinkan golongan pemuda (warga usia 16 sampai 30 tahun) mencalonkan, apalagi terpilih jadi kepala daerah.

Tapi kemudian, UU No.11/2006 menyertakan identitas SARA sebagai persyaratan calon. Dalam Pasal 67 Ayat (3) bertuliskan, calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan b. menjalankan syari’at agamanya, dan j. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.

Tak ada istilah “orang Islam” dan “orang Aceh” dalam persyaratan itu. Tapi syarat b dan j merupakan syarat kekhususan yang pemaknaannya adalah pencalonan pilkada di Aceh hanya diperuntukan warga ber­KTP Aceh, beragama Islam, dan “asli” Aceh. Pasal 66 Ayat (6) UU No.11/2006 bertuliskan, tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan diatur oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan berpedoman pada Qanun. 6 Sehingga, posisi Qanun dalam prakteknya lebih tinggi dari pada umumnya undang­undang.

Pun begitu dengan regulasi di Pilkada Papua. UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua hanya menuliskan “orang asli Papua” hanya untuk Pilkada provinsi, tidak untuk Pilkada kabupaten/kota. Oleh pihak yang mengatasnamakan kepentingan rakyat Papua, KPU diminta mencantumkan “orang asli Papua” sebagai syarat calon kepala daerah dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). 7

Untuk aspirasi ini, KPU relatif tak lebih terbebani dibanding “orang Aceh” di Pilkada Aceh. Permintaan “orang asli Papua” dituliskan sebagai syarat pencalonan Pilkada kabupaten/kota di PKPU sudah ditentang Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga KPU merujuk pada sifat Putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Apa yang terjadi di Aceh dan Papua merupakan bagian dari proses demokrasi yang mencari bentuk menuju nilai (value) keidealannya. Di awal penerapan demokrasi Amerika Serikat pun, hak politik hanya untuk lelaki, kulit putih, dan pemilik tanah. Tapi nilai kebebasan demokrasi menyertakan koreksi keadilan. 8 Harus orang Aceh atau orang Papua dalam perwujudan hak politik lokal

6 Hafidz Masykuruddin, Maharddhika, Sadikin Usep Hasan (2017: 140), Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan 2017, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.

7 Ibid (141)

8 Holden, Matthew JR (2006: 179), Exclusion, Inclusion, and Political Institutions, New York: Oxford University Press.

Pemilu Jurnal & Demokrasi

merupakan proses kesetimbangan bersifat sementara. Tujuan mengurangi konflik fisik dalam mencapai kekuasaan di Aceh dan Papua pun merupakan bagian dari tujuan demokrasi.

Selain pelarangan identitas luar Aceh dan Papua di dua provinsi khusus itu, ragam identitas SARA dibolehkan dalam pilkada. Istilah SARA sendiri ada dalam UU No.8/2015 Pasal 69 huruf b. Di sini dituliskan dalam kampanye dilarang: menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur,

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.

Berdasar UU No.8/2015 Pasal 69 huruf b, hal terkait SARA dalam kampanye menjadi terlarang jika, mengandung unsur penghinaan. Selebihnya, SARA diperbolehkan dalam pemilu. Peserta pemilu dan tim pemenangan bisa menggunakan dasar SARA dalam berkampanye. Pemilih pun berhak menjadikan SARA sebagai dasar menentukan pilihan.

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun