Politik Interpretasi: Jalinan Gagasan dan Kepentingan

A. Politik Interpretasi: Jalinan Gagasan dan Kepentingan

Dalam bab sebelumnya telah dijabarkan corak dan kecenderungan ‘ulu> m al-Qur’a> n di Mesir kontemporer. Begitu juga, penulis telah menjelaskan polemik seputar dua isu dalam ilmu Al-Qur’an, nasakh dan

kisah dalam Al-Qur’an. Tetapi kenapa polemik itu terjadi, dan untuk apa gagasan yang dipolemikkan itu patut diperjuangkan oleh seseorang, sekaligus pada saat yang sama kenapa ia berupaya untuk meruntuhkan pandangan lain? Pertanyaan pertama menjadi fokus pembahasan sub bab ini, sedangkan pertanyaan kedua akan diulas secara panjang lebar dalam sub bab selanjutnya.

Bila dirunut dari perdebatan yang telah diurai di atas, tampak bahwa problem interpretasi menjadi akar masalahnya. Artinya bahwa persoalan yang muncul dalam polemik itu berakar dari aktifitas tafsir yang dilakukannya. Aktifitas penafsiran itulah yang melahirkan keragaman dalam membaca teks. Begitu pula polemik yang terjadi seputar apakah dalam Al- Qur’an ada yang disebut dengan ‘ayat yang dihapus’ (mansu> kh) dan ‘ayat yang menghapus’ (na> sikh). Atau polemik seputar apakah kisah dalam Al- Qur’an fakta sejarah atau hayalan fiktif. Semua itu ternyata hanyalah tafsir terhadap teks yang sama namun melahirkan kesimpulan yang berbeda. Kalau Bila dirunut dari perdebatan yang telah diurai di atas, tampak bahwa problem interpretasi menjadi akar masalahnya. Artinya bahwa persoalan yang muncul dalam polemik itu berakar dari aktifitas tafsir yang dilakukannya. Aktifitas penafsiran itulah yang melahirkan keragaman dalam membaca teks. Begitu pula polemik yang terjadi seputar apakah dalam Al- Qur’an ada yang disebut dengan ‘ayat yang dihapus’ (mansu> kh) dan ‘ayat yang menghapus’ (na> sikh). Atau polemik seputar apakah kisah dalam Al- Qur’an fakta sejarah atau hayalan fiktif. Semua itu ternyata hanyalah tafsir terhadap teks yang sama namun melahirkan kesimpulan yang berbeda. Kalau

Di sinilah apa yang disebut dengan politik interpretasi menemukan relevansinya. Artinya, dalam praktik interpretasi, selalu saja ada siasat-siasat untuk mengukuhkan pandangannya sekaligus meruntuhkan pandangan yang lain. Dalam konteks ini pula, interpretasi merupakan salah satu bentuk pemihakan pada pilihan kepentingan yang dianutnya. Penulis yakin bahwa tidak ada gagasan yang lahir dalam ruang hampa. Lebih dari itu, tidak ada

gagasan yang lepas dari eksistensi sang penggagas. 179 Gagasan selalu mencerminkan eksistensi sang penggagas. Keyakinan bahwa gagasan selalu

berjalin berkelindan dengan kepentingan sang penggagas, maka begitu pula dalam polemik ilmu Al-Qur’an sebagaimana dibahas di atas.

Secara retorik, H{assan H{anafi> dalam salah satu tulisannya menyoal, ikhtila> f fi al-tafsi> r am ikhtila> f fi al-mas}a> lih}? (perbedaan dalam tafsir atau perbedaan kepentingan?) Menurutnya, pembaca teks agama bukan semata-

Perbincangan mengenai keterkaitan gagasan dan tindakan atau kepentingan penggagas merupakan wilayah kajian Sosiologi Pengetahuan. Sebagaimana dkatakan Mannheim, tujuan sosiologi pengetahuan adalah untuk menemukan kriteria yang operasional untuk menentukan kesalingterkaitan antara pikiran dan tindakan. Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman dari judul aslinya Ideology and Utopia: A n Introduction to the Sociologi of Knowledge, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 287

dibacanya. 180 Disadari bahwa Al-Qur’an menjadi poros sentral beragam hal,

termasuk sumber utama ilmu-ilmu keislaman, maka begitu pula dengan keberadaan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Melalui proses interpretasi terhadap teks

Al-Qur’an dan penjelasan Nabi dalam hadisnya, para ulama merumuskan ilmu-ilmu bantu yang patut dimiliki ketika hendak mengkaji Al-Qur’an. Dalam konteks ini, ada hubungan sirkular antara Al-Qur’an di satu sisi dan ilmu Al-Qur’an di sisi yang lain. Artinya, di satu sisi Al-Qur’an memproduksi ilmu bantu dalam membaca Al-Qur’an, di sisi lain ilmu Al- Qur’an dijadikan perangkat untuk memahami Al-Qur’an.

Perdebatan seputar dua disiplin ilmu dalam Al-Qur’an sebagaimana dijabarkan dalam bab sebelumnya merupakan refleksi dari keragaman tafsir, sekaligus pada saat yang sama kepentingan sang penafsir. Ini terlihat misalnya, dari kelompok yang berseteru, Al-Qur’an menjadi argumentasi normatifnya dalam mengukuhkan pandangannya. Al-Qur’an ternyata memungkinkan ruang tafsir yang sangat terbuka, walaupun di tangan penafsirnya ia memiliki makna yang sangat tertutup.

H{assan H{anafi, “Ikhtila> f fi al-Tafsi> r am Ikhtila> f fi al-Mas}a> lih}?” dalam A l-Di> n

wa al-S|awrah fi> Mis}r 1952-1981, (Kairo: Maktabah Madbu> li> , t.t.), Vol. VII, h. 117

Perdebatan seputar keberadaan na> sikh-mansu> kh dalam Al-Qur’an dan penjelasan mengenai kisah dalam Al-Qur’an yang menjadi fokus kajian ini— misalnya—menjadi potret nyata bagaimana otoritas penafsir menutup ruang bagi yang lain dengan produk interpretasinya sekaligus meneguhkan argumen yang dianutnya. Para pengusung keberadaan nasakh dalam Al- Qur’an mendasarkan argumentasinya, di samping pada argumen nalar juga pada argumen normatif sebagai tertuang dalam Al-Qur’an. Bertolak pada

tafsir surah al-Nah}l ayat 101, surah al-Ra’d ayat 39, dan surah al-Baqarah ayat 106, ulama yang meyakini keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an menyimpulkan bahwa secara syar‘i, Al-Qur’an membenarkan keberadaan nasakh di dalamnya.

Menurut pendukung pro-nasakh, fakta ayat-ayat itu menunjukkan secara meyakinankan bahwa nasakh dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat mungkin terjadi. Nasakh yang dimaksud adalah penghapusan dan pembatalan ayat tertentu digantikan dengan ayat yang lain. Terhadap istilah aya> h sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Nah}l ayat 101 dan surat al- Baqarah ayat 106, kelompok ini memahaminya sebagai ayat-ayat Al-Qur’an atau a> yah al-tanzi> l, bukan ‘tanda-tanda alam’ (al-a> ya> h al-kauniyyah) atau

juga mukjizat. 181 Ini ditegaskan dengan mengutip komentar sebagian mufasir

181 Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi al-Qur’a> n al-Kari> m: Dira> sah Tasyri> ’iyyah Ta> ri> khiyyah Naqdiyyah, (Kairo: Da> r al-Yusr, 2007), Jilid I, h. 239. Lihat juga Muh}ammad

Sa> lim Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah fi> al-Naskh, (Kairo: Mat}ba’ah Rasywan, 2000), h. 40-41. Karena kalau kata ayah dipahami sebagai mukjizat, tentu saja tidak tepat. Mukjizat bila sudah terjadi tidak mungkin dicabut dan diganti. Karena keberadaan mukjizat yang lain tidak Sa> lim Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah fi> al-Naskh, (Kairo: Mat}ba’ah Rasywan, 2000), h. 40-41. Karena kalau kata ayah dipahami sebagai mukjizat, tentu saja tidak tepat. Mukjizat bila sudah terjadi tidak mungkin dicabut dan diganti. Karena keberadaan mukjizat yang lain tidak

Begitu juga terhadap istilah al-naskh sebagaimana dalam surah al- Baqarah, al-tabdi> l sebagaimana dalam surah al-Nah}l, atau juga al-mah}w wa al-is\ba> t sebagaimana dalam surah al-Ra‘d. Kelompok ini menyamakan bahwa baik al-naskh maupun al-tabdi> l sama-sama bermakna al-iza> lah (menghilangkan) atau al-raf‘ (mengangkat): menghilangkan atau mengangkat hukum syar‘i dengan dalil syar‘i yang datang berikutnya. Demikian juga al-mah}w wa al-is\ba> t yang berarti Allah menghapus suatu hukum dan menetapkan hukum lain di tempat hukum yang ada

sebelumnya. 183 Dengan penafsiran semacam ini berarti bahwa keberadaan ayat yang

dinasakh akan didatangkan gantinya dengan ayat yang setara kualitasnya atau bahkan yang lebih baik. Dalam konteks ini, kelompok pro nasakh lebih jauh mengaitkan penafsiran ayat ini dengan maksud dan tujuan nasakh yang

tidak lain adalah demi kemaslahatan umat. 184

dalam rangka menghapus mukjizat sebelumnya, melainkan menambahkan dan menguatkan. Berbeda dengan ayat Al-Qur’an. Lihat Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah, h. 42

Penegasan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan menujukkan bahwa semakin jelas bahwa kata ayah juga mengindikasikan makna ayat Al-Qur’an. Lihat, Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah, h. 41

183 Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi> al-Qur’a> n, jilid 1, h. 242 184 ‘Ali> Jum‘ah, A l-Naskh ‘ind al-Us}u> liyyi> n, (Kairo: Nahd}ah Mis}r, 2005), h. 41-42;

Lihat juga ‘Abd al-Mun‘im H{ifni> , “al-Naskh fi> al-Qur’an” dalam Mausu> ‘ah al-Qur’a> n al-

Meskipun kelompok ini mengakui 185 bahwa ayat 106 surah al- Baqarah tidak menunjukkan dalil keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an,

namun kelompok ini menguatkan bahwa ayat ini hanya mungkin dipahami dengan mempertimbangkan sebab yang melatari turunnya ayat tersebut. Dalam konteks ini, kalangan pro nasakh merasa perlu menjelaskan konteks yang melatari turunnya ayat-ayat (asba> b al-nuzu> l) yang dijadikan sandaran untuk mengukuhkan argumentasinya. Tanpa memperhatikan latar belakang

turunnya ayat yang dimaksud, kesimpulan yang diambil akan berbeda dengan makna tekstualnya.

Menjelaskan asba> 186 b al-nuzu> l ayat tersebut, Sya’ba> n Isma> ‘i> l mengutip al-Asna> wi> yang mengatakan bahwa ayat tersebut (QS. al-Baqarah

m, (Kairo: Madbu> A z}i> li, 2004), h. 1475; Bandingkan juga dengan Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi al-Qur’a> n, jilid 1, h. 243 185 Sebagian membantah bahwa ayat 106 surah al-Baqarah adalah dalil kebenaran

nasakh dalam Al-Qur’an. Menurutnya, ayat ini sama sekali tidak menunjukkan kebolehan adanya nasakh, melainkan hanya menjelaskan pola hubungan yang dihasilkan antara conditional clause (syart}) dan jawabannya. Kebenaran korelasi ini tidak tergantung pada adanya conditional clause tersebut ataupun pada kemungkinannya untuk terjadi. Bahkan korelasi itu bisa dianggap benar meski conditional clause tersebut tidak mungkin terjadi. Seperti dalam firman Allah dalam surah al-Zuhruf ayat 81 :                 walau conditional clause dalam ayat tersebut tidak mungkin terjadi, namun ia tetaplah benar sebagai firman Allah. Akan tetapi al-Asna> wi> sebagaimana dikutip Sya’ba> n Isma> ‘i> l membantah ini. Menurutnya, asumsi itu benar jika tidak melacak pada asba> b al-nuzu> l ayat itu. Oleh karena itu, menurutnya, perlu mencermati asba> b al-nuzu> l untuk mengetahui bahwa ayat itu merupakan dalil keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Lihat Sya’ba> n Muh}ammad Isma> ’i> l, Naz}ariyah al-Naskh fi> al-Sya> ra> ’i‘ al-Sama> wiyyah, (Kairo: Dar al- Sala> m, 1988), h. 25-26

186 Sya’ba> n Muh}ammad Isma> ’i> l, Naz}ariyyah al-Naskh, h. 25-26

[2]: 106) turun dalam konteks bahwa orang Yahudi mencela Rasulullah akibat perubahan kiblat dari Baitul Maqdis (Yerussalem) ke Baitul Haram (Mekah). Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad memerintah sesuatu dan kemudian melarang untuk melakukannya. Versi lain dengan semangat

yang sama dikutip oleh Mus}t}afa> 187 Zayd dari Al-Qurt}ubi> . Menurut Al- Qurt}ubi> , latar belakang ayat itu adalah bahwa orang Yahudi dengki terhadap

kaum Muslimin karena peralihan kiblat ke Mekah. Akibat itu, mereka

mencela Islam dan berkata bahwa Muhammad menyuruh sahabatnya dengan sesuatu lalu melarangnya. “Memang Al-Qur’an benar-benar dari Muhammad dan oleh karena itu isinya saling bertentangan,” kata mereka. Lalu turunlah ayat Ma> nansakh min a> yah... (QS. al-Baqarah [2]: 106) dan ayat W a iz\a> baddalna> a> yah maka> na a> yah... (QS. al-Nah}l [16]: 101).

Pada saat yang sama, kelompok yang menolak keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an menggunakan argumentasi normatif yang sama dengan mengacu pada ayat dan surah yang sama dalam Al-Qur’an. Uniknya, pandangan yang muncul berhadapan secara diametral. Gama> l al-Banna> misalnya membantah argumen pro nasakh dengan mengacu pada ayat yang dijadikan argumen kalangan pro nasakh. Menurutnya, terma a> yah yang digunakan Al-Qur’an tidak bermakna teks (nas}s}), melainkan mengacu pada makna argumen (h}ujjah), dalil (dala> lah), tanda (‘ala> mah), atau mukjizat yang

187 Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi al-Qur’a> n,jilid 1, h. 250-251 187 Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi al-Qur’a> n,jilid 1, h. 250-251

li alfa> z} al-Qur’a> n yang menyebutkan bahwa kata a> yah atau al-a> yah yang disebutkan kurang lebih 82 kali dalam Al-Qur’an, al-Banna> sampai pada kesimpulan bahwa istilah itu seluruhnya mengacu pada pengertian argumen,

mukjizat, dan tanda, bukan ayat Al-Qur’an. 189 190 Lebih jauh, ‘Abd al-Muta‘a> l Al-Gabri> membantah anggapan bahwa ayat 101 surah al-Nah}l merupakan salah satu dalil keberadaan dan kebolehan

adanya nasakh dalam Al-Qur’an. Malah menurutnya, ayat itu menunjukkan sebaliknya. Ayat itu bermakna bahwa Kami (Allah) tidak akan mengganti sesuatu dalam Al-Qur’an, karena seandainya Kami mengganti satu ayat dengan ayat yang lain, niscaya membuka ruang bagi orang kafir dan musuh- musuh Islam untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan berasal dari Allah. Bukankah “...kalau sekiranya A l-Qur’an itu bukan dari A llah, niscaya di dalamnya ada banyak pertentangan.” (QS. al-Nisa> ’ [4]: 82).

Menurut al-Banna> , biasanya Al-Qur’an menggunakan terma a> ya> t bila dimaksudkan untuk menyebutkan ayat-ayat dalam kitab suci. Gama> l al-Banna> , Tafni> d Da’wa> al-Naskh fi> al-Qur’a> n al-Kari> m,(Kairo: Da> r al-Fikr al-Isla> mi> , 2004), h. 49; Bandingkan juga Muh}ammad al-Ghazali> , Kaifa Nata’a> mal Ma‘a al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al- Syuru> q, 2005), h. 82

189 Al-Banna> , Tafni> d Da’wa> al-Naskh, h. 50-54 190 ‘Abd al-Muta‘a> l Muh}ammad Al-Gabri> , La> Naskh fi al-Qur’a> n, Lima> z\a> ?, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 1980), h. 25-26

Penolakan ini juga dikuatkan oleh H{isa> m Rusydi> al-Gha> li> , al-Banna> , dan al-Gabri> . Ia menyebutkan beberapa alasan mengapa nasakh dalam Al- Qur’an itu patut dipersoalkan. Pertama, sebagaimana al-Gabri, H{isa> m juga mengutip ayat 82 surah al-Nisa> ’ untuk membantah keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Dalam ayat tersebut, Allah menantang orang musyrik bahwa seandainya Al-Qur’an bukan dari Allah pasti ada banyak pertentangan di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak pantas dalam Al-Qur’an ada perbedaan dan

pertentangan. Sementara nasakh merupakan bagian dari pertentangan itu, sehingga ayat yang satu menafikan yang lain. 191

Kedua, di dalam Al-Qur’an tidak ada satu pun nash yang menjelaskan secara gamblang bahwa sebuah ayat menasakh atau dinasakh. Tidak juga bahwa hukum sebuah ayat menasakh hukum ayat lain yang dengannya kita meyakini keberadaan nasakh, seperti sabda Rasulullah Saw: “Dulu aku telah

melarang kalian untuk ziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah.” 192 Nash hadis ini secara jelas menunjukkan adanya penghapusan hukum yang

sebelumnya dengan menyebutkan hukum yang menghapusnya, yaitu izin

H{isa> m Rusydi> al-Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n La> Naskh fi> al-Qur’a> n, (Helliopolis: al-Maktab al-‘Arabi> li al-Ma‘a> rif, 2005), h. 44 192 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya (hadis nomor 1623), al- Tirmiz\i> dalam Sunan-nya (hadis nomor 974), al-Nasa> ’i dalam Sunan-nya (hadis nomor 2005, 4353, 5558, 5559), Abu> Daud dalam Sunan-nya (hadis nomor 2816 dan 3212), Ibn Ma> jah dalam S unan-nya (hadis nomor 1560), Ah}mad ibn Hanbal dalam Musnad-nya (hadis nomor 1173, 4092, 10901, 13000, 13124, 21880, 21927, 21937, 21938). Lihat CD Program Mausu> ‘ah al-Hadi> s\ al-S yari> f, Seri 2, Harf Information Technology Company.

Ketiga, tidak ada nash sahih dari Rasulullah yang menerangkan bahwa ayat “A” menasakh ayat “B”. Tidak juga ada hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa hukum sebuah ayat telah dihapuskan. Padahal dalam yang sepele sekalipun, Nabi Muhammad merasa perlu untuk menjelaskan

194 kepada para sahabatnya. Mengapa dalam hal yang sangat penting seperti kasus nasakh dalam Al-Qur’an Nabi tidak menjelaskannya. Tidak adanya

argumentasi yang valid mengenai persoalan nasakh dalam Al-Qur’an, menurut al-Gabri> , menunjukkan fakta paling aneh dalam sejarah ilmu Al-

Qur’an. 195 Keempat, mereka yang membincangkan nasakh berselisih pendapat

dalam menentukan sebagian besar ayat-ayat yang dinasakh. Sebuah ayat yang dianggap dinasakh oleh sebagian ulama, ternyata oleh ulama lain dianggap tidak dinasakh. Bahkan, hampir-hampir tidak ada kata sepakat tentang ayat apa saja yang dinasakh, kecuali hanya pada beberapa ayat saja dan jumlahnya tidak lebih dari dua atau tiga ayat saja. Jika demikian,

193 Al-Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n, h. 45 194 Misalnya bahwa Nabi mencium istrinya pada Bulan Ramadlan, bagaimana tata cara tidur Nabi, cara makan Nabi, semuanya dijelaskan dalam hadisnya.

Abd al-Muta’a> l al-Gabri> , al-Na> sikh wa al-Mansu> kh Bayn al-Is\ba> t wa al-Nafy, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1987), h. 200

mengatakan nasakh tentu lebih utama. 196 Kelima, mengatakan adanya nasakh berarti membuka ruang

perdebatan serta mendisfungsionalisasikan sejumlah ayat, seperti ayat yang menerangkan larangan berperang pada bulan-bulan suci dan berperang di masjidil haram. Anehnya, sebagian besar ayat-ayat yang disinyalir telah dinasakh merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran kasih sayang,

menjunjung toleransi, dan perdamaian. 197 Keenam, mereka yang mengakui adanya nasakh mengatakan bahwa

di antara hikmah nasakh adalah memberikan keringanan (takhfi> f). Pada saat yang sama, sejumlah ayat yang menasakh justru lebih berat hukumnya dari ayat yang dinasakh. Ini misalnya dalam sanksi berzina yang berubah dari pengasingan di dalam rumah, menjadi hukuman cambuk atau bahkan rajam. Padahal sebenarnya setiap hukum ini harus diterapkan sesuai dengan keadaan tertentu. 198

196 Al-Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n, h. 45. Ini misalnya terlihat dari perbedaan jumlah ayat yang dinasakh. Al-Suyu> t}i> menyebutkan ada 20 ayat yang dinasakh, al-Zarqa> ni>

menyebutkan ada 7 ayat, dan Mus}t}afa> Zayd menyebutkan hanya 5 ayat yang dinasakh. Hal ini telah diurai di Bab III.

197 Al-Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n, h. 46

Al-Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n, h. 46. Merespon bantahan ini, kalangan pro nasakh merumuskan aturan bahwa alternatif hukum dari hukum sebelumnya yang dihapus mengandung tiga kemungkinan: pertama, baik ayat yang menasakh maupun yang

Ketujuh, kalaupun kita mengandaikan bahwa maksud dari ayat ma> nansakh min a> yah... adalah ayat-ayat Al-Qur’an, maka ia tidak bisa dijadikan dalil atas pencabutan hukum dengan membiarkan teks tetap ada (naskhu al- h}ukm wa baqa> ’u al-tila> wah), atau pencabutan teks dengan tetap memberlakukan hukumnya (naskhu al-tila> wah wa baqa> ’u al-h}ukm). Ayat tersebut menyebutkan ma> nansakh min a> yah... (kami tidak menasakh ayat), bukan ma> nansakh min hukm al-a> yah... (kami tidak menasakh hukum dari

ayat) atau juga ma< nansakh min a> yah wa yabqa> hukmuha> ... (kami tidak menasakh ayat dan membiarkan hukumnya...). Padahal sebuah lafal tidak bisa dipisahkan dari makna yang dituju (madlu> l) dan kata tidak bisa dipisahkan dari makna yang dikandungnya (mad}mu> n). Sebuah ayat akan selalu menunjukkan sebuah hukum. Jika ayat itu dinasakh, maka secara otomatis hukumnya juga dinasakh, sebagaimana apabila ayat itu ada maka hukumnya juga tetap ada. Sedangkan penasakhan hukum dengan membiarkan ayat yang menunjukkannya tetap ada adalah sebuah kontradiksi

nyata dan terkesan dibuat-buat. 199

dinasakh setara (sama-sama ringan atau sama-sama berat). Menyangkut kemungkinan ini, ulama sepakat membolehkannya. Kedua, menghapus hukum dan menggantikannya dengan

hukum yang lebih ringan. Kemungkinan ini juga tidak diperdebatkan kebolehannya oleh ulama. Ketiga, menghapus hukum dan menggantikannya dengan hukum yang lebih berat. Kemungkinan ini diperdebatkan oleh ulama: ada yang membolehkan ada pula yang menolak. Keberatan kalangan kontra nasakh lebih diarahkan pada ulama yang membolehkan kemungkinan terakhir ini terjadi dalam praktik nasakh. Lihat ‘Ali> Jum‘ah,

A l-Naskh, h. 111 199 Jum‘ah, A l-Naskh, h. 46

Dalam konteks ini pula, kelompok yang menolak keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an tidak menerima pembagian nasakh dalam Al-Qur’an pada tiga macam, sebagaimana disimpulkan kalangan pro nasakh. Tiga hal itu adalah menasakh hukum dan teksnya (naskh al-h}ukm wa al-tila> wah ma’an), menasakh hukum, tidak teksnya (naskh al-h}ukm du> na al-tila> wah), dan

menasakh teks, tidak hukumnya (naskh al-tila> 200 wah du> na al-h}ukm). Penolakan ini tidak semata didasarkan pada keyakinan bahwa nasakh

tidak ada dalam Al-Qur’an, melainkan pada ‘tercemarnya’ kesucian teks dengan adanya anggapan bahwa ada ayat-ayat yang tidak fungsional, bahkan

‘diandaikan’ ada 201 dan kemudian dihapus. Di sinilah Nas}r H{a> mid Abu> Zayd

Pembagiannya ditemui di sejumlah buku yang membahas nasakh. Lihat misalnya, Muhammad Abd al-Az}i> m al-Zarqa> ni> , Mana> hil al-‘Irfa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, Beirut: Da> r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), juz 2, h. 391; Jum’ah, A l-Naskh, h. 55; Abu> ‘As}i> , Dira> sah,h. 90; Ada yang menyebutkan pembagian ini hanya pada 2 macam dengan tidak mengakui keberadaan naskh al-tila> wah du> na al-h}ukm (menasakh teks, tidak hukumnya). Lihat Abd al-Mun’im H{ifni> , Mausu> ’ah al-Qur’a> n, h. 1482.

201 “Teks yang diandaikan ada” atau dalam bahasa Abu> Zayd nas}s}un ghair s\a> bit al- tila> wah merupakan konsekuensi dari pembagian nasakh yang tiga, khususnya naskh al-

tilawah du> na al-h}ukm dan naskh al-tila> wah wa al-h}ukm ma’an. Yang pertama mengandaikan adanya teks yang kemudian dihapus namun konsekwensi hukumnya masih fungsional. Ulama menyontohkan kasus ayat rajam, yaitu “al-syaikh wa al-syaikhah iz\a zanaya> .... Dengan ayat yang diandaikan ada ini, rajam merupakan jenis sanksi yang ada meskipun landasan tekstualnya telah dihapus. Kedua, mengandaikan adanya teks yang kemudian dihapus, sekaligus juga konsekwensi hukumnya. Ulama menyontohkan dinasakhnya ayat ‘asyr rad}a‘a> t ma‘lu> ma> t yuh}arrimn dengan ‘khams rad}a’a> t ma’lu> ma> t. Contoh ini didasarkan pada hadis mauqu> f dari ‘Aisyah:

pengertian nasakh. 202 Perdebatan seputar penghapusan teks justru melahirkan perdebatan tanpa ujung, bahkan di kalangan yang menyetujui adanya nasakh.

Ini terlihat dalam contoh kasus ayat tentang sanksi cambuk bagi pelaku zina yang konon dihapus dengan ayat rajam. Pada saat yang sama, ayat rajam ini teksnya dihapus meskipun konsekwensi hukumnya masih berlaku.

Demikianlah perdebatan ini berputar-putar ibarat lingkaran setan: tidak jelas ujung pangkalnya. 203

Bahkan di kalangan pro nasakh sekalipun, upaya menyempitkan ruang nasakh dalam Al-Qur’an terjadi. Lantaran mereka tidak bersepakat mengenai jumlah ayat yang dinasakh, sebagaimana juga mereka tidak bersepakat mengenai cara penentuan nasakh. Akibatnya, apa yang dinilai sebagai nasakh oleh salah satu ulama, oleh ulama lain dinilai sebagai takhs}is} (pengkhususan). Demikian pula sebaliknya.

Di pihak yang lain, ada kelompok yang menolak doktrin nasakh dalam arti penghapusan atau pencabutan yang itu tidak mungkin terjadi dalam Al-Qur’an. Pengertian nasakh dalam arti ‘pencapaian ilmu baru’ (al-

Penjelasan ini bisa dilihat dalam Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah, h. 91-92; > Jum‘ah, A l-Naskh, h. 69-70.

Nas}r H{a> mid Abu> Zayd, Mafhu> m al-Nas}s}: Dira> sah fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, (Kairo: al-Hai’ah al-‘A< mmah li al-Kita> b, 1993), h.145 203 Ibid, h. 145

pernah terjadi. 204 Kelompok ini lebih memilih pengertian nasakh dengan pemberlakuan hukum agama secara gradual atau juga sebagai penundaan

pemberlakuan hukum (ta’li> 205 q al-h}ukm) hingga waktu yang sesuai. Perdebatan di atas menunjukkan bahwa, baik kelompok pro nasakh

maupun yang menolaknya, sama-sama mendakwa ‘menyucikan’ teks. Namun cara penyuciannya menggunakan kesimpulan yang berbeda meskipun

ditopang dengan landasan yang sama. Perdebatan serupa dengan argumen dan landasan yang sama juga terjadi antara kalangan yang menganggap bahwa kisah dalam Al-Qur’an merupakan fakta sejarah yang bisa diuji faktualitasnya dengan kelompok yang menganggap bahwa kisah Al-Qur’an hanyalah cara Allah untuk menyampaikan pesan, tanpa peduli apakah kisah itu didasarkan pada fakta sejarah atau hanya imajinasi semata.

Sebagaimana dalam kasus nasakh dalam Al-Qur’an, perdebatan seputar kisah dalam Al-Qur’an pun menjadikan tafsir ayat Al-Qur’an sebagai medan polemiknya. Perdebatan tafsir ini, di antaranya, bertumpu pada penafsiran kata al-h}aqq yang menjadi ajektif kata al-qas}as} sebagaimana dalam surah A< li ‘Imra> n ayat 62. Bagi kelompok yang menilai bahwa kisah

204 Muh}ammad ‘Abdulla> h Dara> z, Madkhal ila> al-Qur’a> n al-Kari> m; ‘A rd} Ta> ri> khi> wa Tah}li> l Muqa> ran, diterjemahkan dari Initiation A u Koran oleh Muh}ammad Abd al-‘Az}i> m

‘Ali> (Kairo-Beirut: Da> r al-Qalam,2003), h. 172 205 Abu> Zayd, Mafhu> m al-Nas}s}, h. 145 ‘Ali> (Kairo-Beirut: Da> r al-Qalam,2003), h. 172 205 Abu> Zayd, Mafhu> m al-Nas}s}, h. 145

kebatilan. 206 Ini artinya bahwa kisah dalam Al-Qur’an yang menjadi bagian dari cara Al-Qur’an menyampaikan pesannya juga merupakan kebenaran

dalam arti mengacu pada faktualitas historis. Dalam konteks inilah, maka kata qas}as} dalam konteks Al-Qur’an

dipahami sebagai ‘kabar yang dikisahkan secara benar’ (al-khabar al-maqs}u> s} al-muh}addas\ bih ‘ala> wajh al-h}aqq). Atas dasar ini pula, kelompok ini membedakan antara apa yang disebut kisah Al-Qur’an (al-qis}s}ah al-

qur’a> 207 niyyah) dan kisah seni modern (al-qis}s}ah al-fanniyyah al-muh}das\ah). Tidak seperti kisah seni modern yang meniscayakan adanya kelengkapan

empat unsur yang membentuk kisah (pelaku, ruang, waktu, dan peristiwa), kisah Al-Qur’an tidak harus begitu. Karena yang terpenting dalam kisah Al- Qur’an adalah adanya peristiwa dan pesan yang bisa diambil dari kisah itu (‘ibrah). Kalaupun ada beberapa kisah dalam Al-Qur’an yang memenuhi kelengkapan unsur kisah, itu dapat dipahami bahwa kisah itu memiliki kepentingan khusus sehingga Al-Qur’an perlu menjelaskan secara terperinci.

S{alah} al-Di> n Muh}ammad Abd al-Tawwa> b, A l-Naqd al-A dabi> : Dira> saht Naqdiyyah wa A dabiyyah hawla I’ja> z al-Qur’a> n, vol. 3 (Kairo: Da> r al-Kita> b al-Hadi> s\, 2003), h. 129

207 Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘As}i> , Maqa> lata> ni fi> al-Ta’wi> l: Ma’a> lim fi al-Manhaj wa Ras}dun li al-Inkhira> f, (Kairo: Da> r al-Bas}a> ’ir, 2003), h. 111

Pemilahan pada apa yang disebut dengan kisah Al-Qur’an dan kisah seni modern ini menggiring pada persoalan lain, apakah kisah dalam Al- Qur’an merupakan seni imajinatif (fann mutakhayyal) atau sejalan dengan fakta-fakta sejarah (h}aqa> ’iq ta> ri> khiyyah)? Sudah pasti, kelompok ini bersiteguh bahwa kisah dalam Al-Qur’an sesuai dengan fakta sejarah di masa lampau. Kisah Al-Qur’an, kata Abu> Zahrah, adalah kisah-kisah peristiwa

yang terjadi dalam sejarah (qas}as} li umu> 208 r wa> qi‘ah). Ia merupakan kisah

faktual dan nyata, bukan fiktif apalagi imajinatif, dalam arti bahwa kisah- kisah itu nyata dan ada di masa lampau. Tokoh-tokohnya pun benar-benar

ada, bukan diadakan. 209 Bahwa kisah dalam Al-Qur’an merupakan sejarah yang berfungsi medium dakwah dalam kehidupan. Mengingat Al-Qur’an

adalah kitab dakwah dan sejarah dakwah. 210 Tidak begitu halnya dengan kelompok yang menilai bahwa kisah

dalam Al-Qur’an tidak meniscayakan adanya acuan faktual dalam sejarah di masa lampau. Kelompok yang dipelopori oleh Khalafulla> h, dan sebelumnya juga digagas oleh T}a> ha> Husain, ini menilai bahwa kisah dalam Al-Qur’an tidak mesti memiliki acuan sejarah di masa lampau. Dengan mengacu pada

Abu> Zahrah, A l-Mu‘jizah al-Kubra> al-Qur’a> n (Kairo: Da> r al-Fikr al-‘Arabi> , 1998), h. 121 209 H{abr ‘Iz al-Rija> l al-Sayyid Abu> Zayd, ”Qis}s}ah S{a> h}ib al-Jannatain fi> D{au’ Su> rah

al-Kahf Dira> sai Tah}li> liyyah Dala> liyyah” dalam Jurnal Ilmiyah Fakultas Us}u> l al-Di> n wa al- Da‘wah di Mans}u> rah, No. 8 Tahun 2002, h. 185

210 Muh}ammad al-Ghazali> , Naz}ara> t al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 2005), h. 95 210 Muh}ammad al-Ghazali> , Naz}ara> t al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 2005), h. 95

dan pernah terjadi. 211 Argumen ini didasarkan pada interpretasi al-Ra> zi> terhadap istilah al-qas}as} al-h}aqq dalam surah A< li ‘Imra> n ayat 62 dan al-h}aqq

dalam surah Hu> d [11]: 120 berikut:

A l-Qas}as} adalah sekumpulan frase yang mencakup hal- hal yang menunjukkan pada ajaran agama, mengantarkan pada al-h}aqq,

tanda-tanda yang menunjukkan keesaan Allah, keadilan, dan kenabian Muhammad... 213

keselamatan... 212 A l-H{aqq

adalah

Ini artinya bahwa kisah dalam Al-Qur’an lebih mengedepankan aspek ajarannya ketimbang bersibuk mencari apakah kisah itu merupakan fakta sejarah atau imajinasi semata. Kesimpulan Khalafulla> h ini dikuatkan oleh Ami> n al-Khu> li> , pembimbing penulisan disertasi Khalafulla> h yang menuai banyak kritik dan ditolak oleh sidang pengujinya. Dalam sebuah surat yang

Lihat pengantar Khalafulla> h untuk edisi terbarunya. Muh}ammad A. Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> fi al-Qur’a> n al-Kari> m, (London-Beirut-Kairo: Si> na> ’ li al-

Nasyr wa al-Intisya> r al-‘Arabi, 1999), h.24

Fakhr al-Di> n al-Ra> zi> , Tafsi> r Mafa> ti> h} al-Ghayb, jilid 4/juz 8, (Beirut: Da> r al- Kutub al-Ilmiyyah, 1990), h. 74 213 Ibid, jilid 9/juz 18, h. 64

...Khalafulla> h mengajukan kajian tentang al-qas}as al- Qur’a> n dengan berpijak pada metode sastra.....Kisah dalam konteks metode sastra adalah salah satu dari corak retorika dan salah satu dari metode penyampaian.....Oleh karena itu, hal pertama yang patut dia jabarkan adalah menjelaskan hubungan sejarah (al-ta> ri> kh) dan kisah (al-qas}as}), serta bagaimana Al- Qur’an memperlakukan kisah... Bahkan Ustaz\ al-Ima> m (Muh}ammad ‘Abduh, pen.) sudah sejak lama—lebih dari 40 tahun—menyimpulkan bahwa kisah Al-Qur’an merupakan

perumpamaan

nyata (qis}s}ah wa> qi‘ah)....bahwa adanya sesuatu dalam kisah Al-Qur’an tidak menunjukkan kesahihannya karena ia mengisahkan keadaan yang terjadi di masa lampau, baik atau buruk, jujur atau

(mas\al)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak hanya Khalafulla> h yang mengatakan bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukanlah kisah nyata. Jauh sebelum itu, ‘Abduh mengajukan pernyataan bahwa kisah-kisah dalam Al- Qur’an adalah perumpamaan (mas\al).

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa argumentasi yang sama, sangat mungkin melahirkan kesimpulan yang berbeda. Di samping karena paradigma yang digunakan, juga kepentingan dan posisi seseorang juga sangat menentukan cara membaca dan menafsirkannya. Dalam kasus perdebatan seputar kisah Al-Qur’an, sangat jelas bahwa titik pijak Khalafulla> h dan kelompoknya adalah paradigma susastra dalam membaca

Potongan surat ini dipilih sesuai dengan kepentingan tulisan ini. Surat ini dikutip oleh Ka> mil Saf’a> n, Hajmah ‘Ilma> niyyah Jadi> dah wa Muh}a> kamah al-Nas}s} al- Qur’a> ni> , (Kairo: Da> r al-Fad}ilah, 1994), h. 33-34

salah satu cara dalam mengkomunikasikan pesannya. Oleh karena itu, bukanlah kesesuaian kisah Al-Qur’an dengan fakta sejarah yang menjadi titik penting keberadaan kisah dalam Al-Qur’an melainkan pesan yang hendak disampaikannya. Karena, kisah dalam Al-Qur’an hanyalah medium, bukan tujuan.

Berbeda halnya dengan kelompok mainstream yang menganggap kisah Al-Qur’an mengacu pada fakta sejarah di masa lampau. Tidak saja sebagai medium penyampaian pesan, kisah dalam Al-Qur’an menurut kelompok mainstream ini juga menjadi tujuan. Sebagai tujuan, di samping medium, kisah Al-Qur’an bukanlah fiksi layaknya kisah dalam seni. Melainkan fakta yang bisa dibuktikan validitas historisnya. Paradigma mainstream yang diwarisi dari masa lampau menjadi pijakan kelompok ini untuk melanggengkan kesimpulan yang diyakini hampir mayoritas pengkaji ilmu Al-Qur’an.

Begitu juga dalam kasus perdebatan tentang konsep nasakh. Asumsi yang sama untuk menyucikan Al-Qur’an ternyata tidak cukup untuk menyimpulkan pengertian yang sama menyangkut konsep nasakh dalam Al-

Ami> n al-Khu> li> , “Tafsi> r” dalam Ahmad Al-Santawa> ni> , et.al (ed.), Da> ’irah al- Ma‘a> rif al-Isla> miyyah, (Beirut: Da> r al-Fikr, t.t.), Vol. V, h. 365

Qur’an. Justru dengan prinsip yang sama ini, mereka berbeda pandangan menyangkut keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an.

Ketegasan Al-Qur’an dalam menyebutkan istilah nasakh sebagaimana dalam surah al-Baqarah/106 menunjukkan bahwa nasakh benar-benar ada, dan menolak keberadaan nasakh berarti menolak ketegasan pernyataan Al- Qur’an. Kelompok kontra nasakh berpandangan sebaliknya. Bagi kelompok ini, kalau saja Al-Qur’an mengakui konsep nasakh dalam arti penghapusan, baik teksnya maupun konsekwensi hukumnya, berarti Al-Qur’an saling menafikan dalam dirinya sendiri. Padahal, Al-Qur’an itu suci dari jenis pembatalan dan saling menafikan semacam itu. Oleh karena itu, nasakh tidak mungkin terjadi dalam Al-Qur’an. Kalaupun Al-Qur’an secara tegas menyebutkan terma nasakh, itu tidak berarti bahwa nasakh bermakna penghapusan, melainkan penangguhan penerapan konsekwensi hukum dari

teks yang dinasakh.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa politik interpretasi begitu nyata dalam polemik seputar disiplin ilmu Al-Qur’an. Sudah pasti bahwa interpretasi dan pemahaman yang dipilih mewakili pilihan kepentingan yang dianutnya. Bagaimana kepentingan itu dikukuhkan dan bagaimana kepentingan yang lain diruntuhkan dalam polemik ini, itulah yang menjadi fokus uraian berikutnya.