Sekilas tentang Mesir Kontemporer

1. Sekilas tentang Mesir Kontemporer

Sebagaimana diurai di atas bahwa meluasnya pemikiran keislaman seiring dengan proses pembebasan Mesir pada tahun 20 H/641 M. Sejak saat itu, proses arabisasi yang disertai Islamisasi berlangsung mulus tanpa hambatan berarti. Keterbukaan orang-orang Mesir dengan orang Arab-Islam di samping karena rapuhnya ikatan politik dengan Bizantium, juga karena faktor moderatisme Islam yang masuk ke Mesir saat itu. 53 Hubungan

simbiosis-mutualistis itulah yang menjadikan Arab-Islam menemukan persemaiannya di Mesir berdampingan dengan masyarakat Mesir-Koptik saat itu.

53 Ini misalnya ditegaskan oleh Gustave Lebon dalam bukunya bahwa karakter moderat yang dibawa ‘Amr ibn ‘A< s} inilah yang menjadikan masyarakat terpikat dengan

Islam yang hadir ke sana. Apalagi, kehadiran ‘Amr ibn ‘A< s} di Mesir dalam poses pembebasan kota Mesir itu tidak merusak struktur sosial dan keyakinan masyarakatnya, kecuali pembayaran pajak tahunan yang dibebankan kepada penduduk. Lihat Gustave Lebon, H{ad}a> rah al-‘A rab, diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh ‘A< dil Zu’aitir, (Kairo: Mat}ba’ah al-Ba> by al-H{alabi, t.t), h. 212-213

Memang benar bahwa arus pemikiran yang berkembang di Mesir banyak ‘diimpor’ dari luar. Namun tanpa ditopang dengan situasi Mesir yang terbuka dengan luar, maka mustahil pemikiran itu tumbuh subur di sana. Ibarat benih, maka lahan subur menjadi faktor utama tumbuh-kembangnya benih tersebut. Begitu juga benih yang diimpor dari luar itu juga tidak akan tumbuh subur, tanpa ditopang oleh lahan subur Mesir yang sangat menghargai peradaban.

Ah}mad Muh}ammad Ja> 54 d Abd al-Ra> ziq menegaskan bahwa gerakan ilmiah di Mesir berpusat di masjid-masjid, semisal Masjid ‘Amr ibn ‘A< s},

Masjid Ah}mad ibn T{a> lu> n, dan juga Masjid Al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah. Selain itu, keragaman pemikiran yang berkembang di Mesir juga turut membentuk corak pemikiran yang relatif terbuka, bahkan kenyataan ini masih dapat dirasakan hingga kini.

Dalam perkembangannya, seiring era kolonialisasi, Arab-Mesir bersentuhan dengan Eropa-Prancis melalui penjajahan Napoleon. Kolonialisasi ini menyadarkan Arab-Mesir akan identitasnya sekaligus pada saat yang sama mengadaptasi identitas lain untuk menyempurnakan kekurangannya. Berdirinya negara Israel di Palestina pada tahun 1948 M kian menyadarkan keterpurukannya, ditambah dengan kekalahan Arab-Mesir terhadap Israel dalam perang enam hari pada tahun 1967 M melengkapi

54 Ah}mad Muh}ammad Ja> d ‘Abd al-Ra> ziq, Falsafah al-Masyru> ’ al-H{ad}a> ri> : Bayn al- Ih}ya’ al-Isla> mi> wa al-Tah}di> s\ al-Gharbi> , (Virginia: IIIT, 1995), h. 40 54 Ah}mad Muh}ammad Ja> d ‘Abd al-Ra> ziq, Falsafah al-Masyru> ’ al-H{ad}a> ri> : Bayn al- Ih}ya’ al-Isla> mi> wa al-Tah}di> s\ al-Gharbi> , (Virginia: IIIT, 1995), h. 40

Krisis yang demikian kompleks yang terjadi saat itu, mendesakkan dunia Arab menyadari kelemahan dirinya dengan melakukan kritik diri atas kekurangannya. Keterpurukan baik akibat faktor internal dengan raibnya gagasan kemajuan di satu sisi, dan tantangan eksternal dari Barat-Eropa di sisi yang lain, melahirkan arus dan respon yang tidak tunggal di kalangan masyarakat dan intelektual Mesir. Setidaknya ada beberapa upaya dilakukan sebagai reaksi aktif terhadap keterpurukan, yaitu: 55 pengajaran (al-ta’li> m),

pengiriman dan pertukaran pelajar ke Eropa (bi’s\a> t), arabisasi ilmu pengetahuan melalui upaya penerjemahan karya-karya asing, dan peran media dan penerbitan buku-buku.

Dari keempat faktor itu, massifikasi media, penerjemahan, dan penerbitan buku perlu ditekankan karena hal ini yang sangat berpengaruh dalam perebutan ruang publik. Media massa sangat penting dalam membentuk individu dan masyarakat, baik secara politik, sosial, maupun pemikiran. Karena media sangat efektif tidak saja dalam mempengaruhi opini publik, tetapi juga menguasainya. Begitu juga dengan buku-buku cetakan, baik terjemahan maupun karya lokal. Masing-masing memiliki kekuatan dalam mempengaruhi dan menguasai cara pandang masyarakat.

55 Lebih jelas dan detailnya, lihat Muh}ammad Ja> d Abd al-Ra> ziq, Falsafah al- Masyru> ’, h. 71

Produktifitas penerbitan buku di Mesir tidak saja karena besarnya minat baca warga, tetapi juga dukungan negara terhadap pentingnya membaca bagi warga. Apa yang dikenal dengan program ‘festival membaca untuk semua’ (mahraja> n al-qira> ’ah li al-jami> ’) yang dilangsungkan setiap tahun pada musim panas dengan program kongkret penerbitan buku murah oleh Maktabah Usrah, sebuah lembaga penerbitan yang dipimpin langsung oleh Suzan Mubarak, ibu negara saat ini, menjadi contoh perhatian negara

Arab-Mesir akan pentingnya membaca. 56 Penerbitan ini berada di bawah lembaga yang bernama Hay’ah al-Mis}riyyah al’Ammah li al-Kita> b yang

berpusat di Da> r al-Kutub al-Mis}riyyah, perpustakan nasional Mesir dan pusat manuskrip. 57

56 Proyek ini menerbitkan ribuan buku setiap tahunnya, meliputi karya-karya orang Mesir maupun karya terjemah tokoh-tokoh besar dunia. Lihat catatan pembukan redaksi

Al-Ahram Sore versi online, edisi 20 Agustus 2007 di www.massai.ahram.org.eg/ , diakses tanggal 21 Agustus 2007

57 Terlepas dari sistem pemerintahan yang otoriter, namun perhatian pemerintah Mesir terhadap budaya baca dan penerbitan buku murah merupakan wujud dari kesadaran

bahwa printed world merupakan satu hal yang sangat penting dalam merawat dan memajukan peradaban, Kenyaatan ini secara eksplisit ditegaskan oleh Suzan Mubarak yang dikutip dalam hampir setiap buku yang diterbitkan oleh maktabah usrah ini, bahwa: “Dari dulu, sekarang, hingga masa mendatang, membaca adalah sebuah kebutuhan, sumber pengetahuan........saya

kunci perkembangan manusia.......buku merupakan wadah nilai-nilai dan penjaga tradisi, dan pembawa prinsip- prinsip agung dalam sejarah manusia (inna al-qira> ’ah ka> nat wa la> taza> lu wa saufa tabqa> ,sayyidah mas}a> dir al-ma’rifah...fa innani> mu‘minah bi anna al-kalimah al-maktu> bah taz}illu hiya mifta> h} al-tanmiyah al-basyariyyah... fahiya wi‘a> ’ al-qiyam wa h}a> fiz}ah al-turas\, wa h}a> milah al-maba> di’ al-kubra> fi> ta> ri> kh al-jins al-basyari> kullih)”

yakin

bahwa

‘buku’

merupakan

Kenyataan ini menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran dengan beragam arusnya bersemai di Mesir, dan buku-buku—di samping medium yang lain—menjadi bagian penting dari kampanye pemikiran dan alat untuk menguasai ideologi komunitasnya.

Begitu pentingnya Mesir dibandingkan belahan Arab lainnya dalam lanskap pemikiran Islam, Albert Hourani menandaskan bahwa era liberal di dunia Arab-Islam justru berlangsung di Mesir pada tahun 1789 M, seiring

dengan invasi Perancis di bawah komando Napoleon Bonaparte ke Mesir. 58 Kehadiran Bonaparte ini menandai sebuah era yang disebut dengan era

nahd}ah dalam langgam pemikiran di Mesir khususnya dan Arab secara umum dengan bangkitnya kesadaran nasionalisme (qaumiyyah) akibat invasi itu. 59

Sebagian yang lain menilai bahwa era kebangkitan bermula dengan

58 Albert Hourani, A rabic Thought in the Liberal A ge 1789-1939, (Cambridge: The Press Syndicate of The University of Cambridge, 1962). Edisi Indonesia diterbitkan oleh

penerbit Mizan, Bandung bekerja sama dengan Freedom Institue dan Royal Danish Embassy dengan judul Pemikiran Liberal di Dunia A rab. Pernyataan Hourani ini seolah membantah anggapan sebagian kalangan yang mengaggap Muh}ammad ibn ‘Abd al-Wahhab (Saudi Arabia) sebagai pemula era liberal di dunia Arab-Islam. Pada saat yang sama, Hourani menjadikan tahun 1930-an sebagai penutup era liberal, karena pada tahun-tahun itu, aroma puritanisnik tampak mengemuka sebagaimana ditunjukkan dengan lahirnya organisasi-organisasi yang bernuansa fundamentalistik semisal al-Ikhwa> n al-Muslimu> n, H{izb al-Tah}ri> r, Jama> ah Takfr wa al-Hijrah, dan lain-lain.

59 Gha> li Syukri> , A l-Nahd}ah wa al-Suqu> t} fi> Fikri al-Mis}r al-H{adi> s\, (Kairo: Al- Hai’ah al-Mas}riyah al-‘A< mmah li al-Kita> b, 1992), h. 52; Mus}t}afa> al-Fa> qi> , Tajdi> d al-Fikr al-

Qaumi> ,, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyah al-‘A< mmah li al-Kita> b,1996), h. 44 Qaumi> ,, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyah al-‘A< mmah li al-Kita> b,1996), h. 44

Pada era Ali ini dengan Rifa> > ’ah al-Taht}a> wi> sebagai ikon intelektualnya mengawali era modern dalam pemikiran keislaman di Mesir. Namun demikian, massifikasi intelektual dan teknologi yang mulai

60 Lepas dari kesangsian ini, yang jelas invasi Eropa ke Mesir menjadi pemicu kesadaran nasionalis masyarakat Mesir untuk kemudian mengadaptasi aspek positif dari

budaya impor yang dibawa penjajah. Kesadaran ini dijelmakan oleh Muh}ammad ‘Ali> melalui slogan “Memesirkan Mesir” (tams}i> r mis}r) dengan melepaskan Mesir dari keterikatan pada Imperium Usmani di satu sisi dan memodernisasi Mesir dengan cara menghubungkan dengan Eropa.

Bagi ‘Ali> , upaya memesirkan Mesir hanya mungkin terjadi dengan membangun imperium Arab di satu sisi dan membangun kekuatan militer dengan sumberdaya manusia

Mesir di sisi yang lain. Oleh karena itu, proyek pertamanya adalah membangun institusi militer. Tidak cukup dengan memapankan aspek pertahanan dengan penguatan institusi militer, cita-cita Mesir yang modern sebagaimana dibayangkan ‘Ali> dilengkapi penguatan aspek ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, ‘Ali> melakukan proyek nasionalisasi tanah pertanian. Sementara dalam bidang budaya, ‘Ali> mengirim delegasi pelajar untuk mendalami pengetahuan di Eropa, khususnya Perancis, (1820 M) di samping mendirikan penerbit nasional (1821M) dengan menerbitkan surat kabar “waqa> ’i‘ al-mis}riyyah” (1828 M). Satu tokoh yang sangat menentukan dalam dalam konteks pemikiran Mesir modern ini adalah Rifa> ’ah al-Taht}a> wi> . Dia merupakan misi Al-Azhar yang diutus ke Perancis yang dikirim oleh Muh}ammad ‘Ali> . Melalui kitabnya yang dinilai sebagai manifesto borjuasi Mesir awal dan merupakan rekaman perjalanannya ke Paris, Talkhi> s} al-Ibri> z fi> Talkhi> s Ba> ri> z, (1834 M), al-Taht}a> wi> menampakkan kekagumannya pada tradisi dan kebiasan Perancis, terutama pada nilai-nilai kemanusiaan yang tampak pada slogan kebebasan (liberty/h}urriyyah), persaudaraan (fraternity/ikha> ’), dan persamaan (equality/musa> wah). Sedangkan tulisannya yang lain, Mana> hij al-A lba> b al-Mis}riyyah fi> Maba> hij al-‘A s}riyyah, (1869) merupakan panduan ‘program kerja’ ekonomi, sosial, dan politik yang sepenuhnya berpijak pada Voltaire, Jean Jacques Rousseau, dan Montesquieu, tetapi tidak menyimpang dari kesahihan pesan Islam. Syukri> , A l-Nahd}ah, h. 134-135.

menggeliat seiring dengan kolonialisme belum kuasa meruntuhkan mentalitas ‘kekalahan dan kepatuhan’ masyarakatnya akibat kolonialisme. Anwar Abd al-Ma> lik menilai bahwa kolonialisme yang bermula dari okupasi Turki dan penjajahan Perancis di penghujung abad ke- 18 M tidak lebih sebagai penjarahan terhadap Mesir, meluluh-lantakkah nasionalisme Mesir, dan pembasmian budaya, pemikiran, dan keilmuan. Bukannya meningkatkan jalinan identitas yang membentang sejak era Firaun, Yunani, dan Kristen,

malah memutusan jalinan sejarah antara masa lalu Mesir yang gemilang dengan masa kini Mesir yang redup. Kenyataan inilah yang mengawali krisis

pemikiran di Mesir. 61 Abd al-Ma> lik tidak menampik betapa peran ‘Ali> Pasha dalam

menggerakkan kebangkitan intelektual dan teknologi pada masanya. Namun, tidak lama berselang setalah wafatnya, kondisi sosial dan ekonomi Mesir kembali ambruk seiring dengan tekanan ‘rezim Turki’, kerabat penguasa Mesir, yang berkolaborasi dengan Barat, tepatnya Inggris. Kolonialisme Inggris ke Mesir menambah riwayat kelam nasionalisme di Mesir.

Kristalisasi gerakan dan pemikiran Islam—termasuk juga di Mesir— kian menemukan momentumnya setelah berdirinya negara Israel di Palestina

61 Dampak ikutannya adalah raibnya mentalitas tenang dalam berpikir dan bertindak, mengayomi kelompok, membela negeri, keceriaan, dan terbuka digantikan

dengan kesedihan, pasrah dengan takdir, meremehkan akal, dan raibnya kehendak. Lihat Anwar Abd al-Ma> lik, A l-S ya> ri’ al-Mis}r wa al-Fikr, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al- ‘A< mmah li al-Kita> b,1989), h. 38-39 dengan kesedihan, pasrah dengan takdir, meremehkan akal, dan raibnya kehendak. Lihat Anwar Abd al-Ma> lik, A l-S ya> ri’ al-Mis}r wa al-Fikr, (Kairo: Al-Hai’ah al-Mis}riyyah al- ‘A< mmah li al-Kita> b,1989), h. 38-39

Krisis yang demikian kompleks yang terjadi saat itu, mendesakkan dunia Arab menyadari kelemahan dirinya dengan melakukan evaluasi diri

atas kekurangannya. Evaluasi diri yang tanpa henti menyadarkan kaum ulama

dan cerdik cendikia untuk memainkan peran utama mengkoordinasikan perjuangan melawan kekuasaan kolonial, yang akhirnya melahirkan kemenangan negara terjajah (dunia Arab). 62 Baik faktor internal

maupun eksternal di atas dapat dikatakan telah memberikan inspirasi pada munculnya kebangkitan dunia Arab. Namun demikian, dunia Arab tidak menyikapi kenyataan tersebut secara tunggal, alih-alih meresponnya secara beragam: mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan

peniruan yang naif. 63

62 Abu Bakar A. Bagader, “Contemporary Islamic Movement in the Arab World” dalam Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan (Ed.), Islam, Globalization, and

Postmodernity, (New York: Routledge, 1994), h. 115 63 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality, (New York: Oxford

University Press). Lihat juga Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Qalam, 2003), h. 392

Beragamnya respon yang muncul setidaknya disebabkan oleh dua faktor yang mendasar. 64 Pertama, dinamisme pemikiran dunia Arab-Islam

modern. Kedua, beragamnya afiliasi sosio-politik, dan ideologi para pemimpinya. Karena alasan ini, teramat sulit memetakan tipologi pemikiran yang berkembang di dunia Arab baik dari awal hingga saat ini. Rumitnya tipologi ini di samping karena beragamnya gagasan yang dimiliki, intelektual Arab juga tidak terikat oleh style pemikiran yang linear dan

absolut melainkan senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan tuntutan realitas. Munculnya figur pemikiran dalam bursa pemikiran Arab di penghujung abad ke-20 M menandai tren baru pemikiran Arab saat ini. Sebuah tren yang kerap disebut sebagai pemikiran Arab kontemporer yang bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967 M. Kekalahan Arab terhadap Israel tersebut merupakan titik yang menentukan dalam sejarah politik dan pemikiran Arab modern. 65 Istilah kontemporer

dalam penelitian ini pun mengacu pada momen sejarah ini. Dalam konteks Mesir, kekalahan Arab terhadap Israel menyisakan

luka yang luar biasa. Apalagi pada tahun 1970 M yang menjadi tahun kematian Gamal Abd al-Na> s}ir, kian mengguncangkan dunia Arab, terutama

64 Ibrahim M. Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in The Modern A rab W orld, (Albany: State University of New York, 1996), h. 38 65 Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary A rab Thought, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 2-3.

Mesir. 66 Wafatnya tokoh kharismatik pengusung Sosialisme Arab menyisakan kekosongan figur di Mesir. Tampilnya Anwar Sa> dat pun tidak

mampu menghilangkan pengaruh dan bayang-bayang Gamal Abd al-Na> s}ir yang begitu menghunjam dalam sanubari masyarakat Mesir.

Realitas sosial, politik, ekonomi, dan intelektual yang melingkupi Mesir pasca kekalahan Arab pada Israel pada tahun 1967 M dan wafatnya Gamal Abd al-Na> s}ir pada tahun 1970 M inilah yang menjadikan titik pijak ulasan penelitian ini. Pada saat itu, geliat pemikiran, tidak terkecuali dalam

kajian Al-Qur’an, tumbuh dengan pesatnya dengan ragam nuansanya. 67 Tentu saja, keragaman corak dan kecenderungan itu terjadi akibat situasi

sosial dan politik Mesir yang senantiasa berubah. Secara sederhana, Muh}ammad Ja> d Abd al-Ra> ziq memetakan arus

pemikiran dan ideologi yang berkembang di Mesir kontemporer menjadi tiga

66 Esposito, The Islamic Threat, h. 106-107 67 Apa yang disebut al-h}ada> s|ah al-’arabiyyah (modernitas Arab) merupakan respon

masyarakat Arab terhadap situasi keterpurukan akibat kekalahannya terhadap Israel. Modernitas Arab ini ditandai dengan upaya menggabungkan proyek modernisasi nalar Arab paska kekalahan dengan modernitas. Fenomena ini merupakan wujud gerakan kritisisme Arab (al-h{arakah al-naqdiyyah al-’arabiyyah) yang lahir pada era awal 70-an. Lihat dalam trilogi karya Abdul Aziz Hamudah, A l-Mara> ya> al-Muhaddabah: Min al-Binyawiyyah ila al- Tafki> kiyyah, serial ’A lam al-Ma’rifah No. 232, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 1998), h. 26- 27; A l-Mara> ya> al-Muqa’arah: Nah}wa Naz}ariyah Naqdiyyah ’A rabiyyah, serial’A lam al- Ma’rifah No. 272, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 2001), h. 42-43; A l-Khuru> j Min al-Ti> h, Dira> sah fi> S ult}ah al-Nas}s}, serial ’A lam al-Ma’rifah No. 298, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 2003), h. 8 masyarakat Arab terhadap situasi keterpurukan akibat kekalahannya terhadap Israel. Modernitas Arab ini ditandai dengan upaya menggabungkan proyek modernisasi nalar Arab paska kekalahan dengan modernitas. Fenomena ini merupakan wujud gerakan kritisisme Arab (al-h{arakah al-naqdiyyah al-’arabiyyah) yang lahir pada era awal 70-an. Lihat dalam trilogi karya Abdul Aziz Hamudah, A l-Mara> ya> al-Muhaddabah: Min al-Binyawiyyah ila al- Tafki> kiyyah, serial ’A lam al-Ma’rifah No. 232, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 1998), h. 26- 27; A l-Mara> ya> al-Muqa’arah: Nah}wa Naz}ariyah Naqdiyyah ’A rabiyyah, serial’A lam al- Ma’rifah No. 272, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 2001), h. 42-43; A l-Khuru> j Min al-Ti> h, Dira> sah fi> S ult}ah al-Nas}s}, serial ’A lam al-Ma’rifah No. 298, (Kuwait: ’Alam al-Ma’rifah, 2003), h. 8

Ketiga arus ini merupakan garis besar dari beragam arus yang berkembang di Mesir. Masing-masing arus ini dapat dilacak dari beragam karya yang dimunculkan, baik oleh tokoh maupun penerbit yang berafiliasi dengan arus pemikiran itu.

Sebagaimana dalam pemikiran secara umum yang demikian beragam, pemikiran dalam kajian ilmu Al-Qur’an pun juga demikian. Sejumlah karya

mengenai Al-Qur’an dengan beragam varian, pola, dan kecenderungannya bermunculan. Tidak jarang polemik terjadi, baik di media massa, maupun dengan melahirkan karya tandingan untuk ‘meluruskan’ pandangan lawannya. Di satu pihak, polemik ini menunjukkan betapa terbukanya ruang berpikir, namun di pihak lain, polemik ini kerap melahirkan tuduhan, bahkan penghakiman dan pengkafiran.

Uraian berikut hendak menunjukkan tren dan kecenderungan karya dalam bidang ‘ulu> m al-Qur’a> n di Mesir kontemporer dengan mengacu pada beragamnya arus pemikiran yang berkembang di Mesir. Namun sebelumnya perlu dijelaskan potret umum ‘ulu> m al-Qur’a> n di Mesir Kontemporer.

68 Abd al-Ra> ziq, Falsafah al-Masyru> , h. 269. Peta ini hanya bentuk simplifikasi dari rumitnya memetakan secara tepat beragam arus pemikiran di Mesir. Masing-masing arus

memiliki keunikan, bahkan tidak jarang dalam masing-masing arus itu muncul arus tandingan yang tidak bisa dikategorikan dalam satu tempat dengan arus yang lain.