Memperebutkan Makna: Isu-Isu Polemis dan Keberpihakan Ideologis

B. Memperebutkan Makna: Isu-Isu Polemis dan Keberpihakan Ideologis

Begitu kuatnya jalinan antara gagasan dan kepentingan maka selalu saja teks menyimpan tendensi tertentu untuk mengukuhkan kepentingannya di satu sisi dan meruntuhkan kepentingan yang lain di sisi yang lain. Karena, sebagaimana ditegaskan John Fiske, makna tidak intrinsik ada dalam teks. Dalam teks, seorang pembaca teks tidak akan menemukan makna, karena yang ia temukan hanyalah pesan dalam teks. Makna itu diproduksi lewat proses yang aktif dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak

pembaca. 216 Pembuat teks (author) tidak menciptakan teks itu semata-mata berdasarkan gagasan murninya (original minds), tetapi dibentuk oleh

realitas disekitarnya (‘pre-existent text’). Singkatnya, teks tidak berdiri sendiri sebagai objek yang terisolasi, melainkan kompilasi dari tekstualitas

budaya (cultural textuality). 217 Meminjam kerangka analisis wacana, uraian berikut hendak

mengungkap bagaimana makna dicari dan bagaimana ia diperebutkan. Apa yang diperebutkan dalam polemik tersebut? Secara hipotetik, penulis berkeyakinan bahwa ada nilai-nilai yang diperjuangkan dalam pertarungan gagasan, yaitu apa yang penulis sebut sebagai “makna.” Makna yang dimaksud adalah ‘kebenaran subyektif’ yang diyakini benar oleh orang yang berpendapat. Keberadaan sejumlah karya itu tidak semata-mata

216 Dikutip dari Eriyanto, Analisis W acana: Pengantar A nalisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 87 217 Graham Allen, Intertextuality, (London-New York: Routledge, 2000), h. 35-35 216 Dikutip dari Eriyanto, Analisis W acana: Pengantar A nalisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 87 217 Graham Allen, Intertextuality, (London-New York: Routledge, 2000), h. 35-35

Dalam bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana polemik terjadi di kalangan pro-nasakh dan kontra-nasakh. Begitu juga polemik seputar apakah kisah dalam Al-Qur’an juga menunjukkan faktualitas sejarah, atau semata- mata seni penuturan yang tidak harus menunjukkan kebenaran sejarah. Uraian berikut ini hendak menjelaskan bagaimana makna itu diperjuangkan dan diperebutkan. Pada saat yang sama apakah ideologi menjadi bagian penting yang mengarahkan polemik sehingga harus terus dipertarungkan.

Sejauh pembacaan penulis pada sejumlah karya yang diurai di atas, baik memihak pandangan tertentu maupun yang meruntuhkan pandangan yang lain, terlihat bahwa tidak saja paradigma yang digunakannya, tetapi juga pada otoritas yang mem-back-up argumentasinya. Selain itu adalah pernyataan-pernyataan yang ditampilkan dalam ‘menyingkirkan’ kelompok lain atau ‘merangkul’ kelompoknya atau kerap disebut dengan representasi. Oleh karena itu, tiga hal yang hendak diurai dalam penjelasan berikut terkait dengan bagaimana makna diperjuangkan dan diperebutkan, yaitu paradigma, otoritas, dan representasi.

Paradigma atau cara pandang sangat menentukan dalam memproduksi makna. Melalui paradigma berpikir, seseorang bisa memproduksi makna sesuai dengan cara pandang yang digunakannya. Begitu Paradigma atau cara pandang sangat menentukan dalam memproduksi makna. Melalui paradigma berpikir, seseorang bisa memproduksi makna sesuai dengan cara pandang yang digunakannya. Begitu

dalam pemikiran Islam hampir sepenuhnya mengekor pada masa lalu. 218

Masa lalu menjadi monumen penting dalam pemikiran sehingga terus diabadikan hingga kini di tengah tantangan masa yang terus berubah.

Keterpikatan dengan paradigma yang diwarisi terus menerus di masa lampau untuk diujiterapkan dalam konteks kekinian menjadi salah satu faktor resistensi segala produk pemikiran baru yang berbeda dengan produk pemikiran yang diproduksinya. Apa yang dilakukan Khalafulla> h dan kelompoknya yang mencoba menggugat paradigma historis dalam membaca kisah dalam Al-Qur’an bisa dijadikan contoh. Dengan menawarkan alternatif pembacaan baru dengan paradigma susastra dalam membaca kisah dalam Al- Qur’an, kesimpulan Khalafulla> h menjadi fokus penolakan banyak kalangan. Itu karena ‘makna’ yang lahir dari paradigma yang digunakannya berlawanan dengan ‘makna’ yang diproduksi mainstream pemikiran yang ada. Ini artinya bahwa paradigma yang berbeda akan melahirkan produksi makna yang

218 Nas}r H{a> mid Abu> Zayd, A l-Khit}a> b wa al-Ta’wi> l, (Beirut: al-Markaz al-S|aqa> fi> al- ‘Arabi> , 2000), h.185 218 Nas}r H{a> mid Abu> Zayd, A l-Khit}a> b wa al-Ta’wi> l, (Beirut: al-Markaz al-S|aqa> fi> al- ‘Arabi> , 2000), h.185

Problem otoritas ini menjadi kata kunci dalam setiap perdebatan. Mengingat otoritas kerap dijadikan alasan keabsahan orang melakukan kajian akademik. Otoritas seseorang inilah yang memungkinkan ia bisa dan berhak mengungkap makna yang diinginkan sesuai dengan kualifikasi akademisnya. Atas dasar otoritas akademis semacam ini, otoritas Al-Azhar merasa perlu untuk melayangkan surat pelarangan terhadap al-Khu> li> untuk mengajar Al-Qur’an lantaran dia orang yang secara otoritatif lebih

berkompeten dalam bidang sastra. 219 Dalam konteks ini, otoritas teks yang semestinya memungkinkan lahirnya makna yang beragam dibatasi hanya

pada satu makna atas dasar otoritas akademis. Yang terjadi justru tercemarnya otoritas sebuah teks keagamaan karena otoritarianisme

Dikutip Ka> mil Syaf’a> n dalam Hajmah ‘Ilma> niyyah, h. 48. Kasus serupa juga menimpa Nas}r H{a> mid Abu> Zayd yang gelar guru besarnya dalam bidang sastra dicekal lantaran risalahnya mengkaji sosok al-Sya> fi‘i yang semestinya dikaji oleh orang yang berlatar belakang hukum Islam. Begitu juga kasus serupa menimpa Syah}ru> r yang menulis

A l-Kita> b wa al-Qur’a> n sementara secara akademis berlatar belakang teknik sipil.

manusia. Di sinilah manusia, kata Abou El Fadl telah mengalihkan otoritas teks ke dalam otoritarianisme manusia. 220

Otoritarianisme manusia dengan dalih otoritas akademis inilah yang kerap menjadi penghalang terbukanya medan makna yang demikian luas dan beragam. Otoritarianisme ini kian mengeras ketika apa yang disebut dengan otoritas agama berpadu dengan otoritas politik. Otoritas agama yang terlembagakan semisal Al-Azhar dalam konteks Mesir atau Majelis Ulama Indonesia dalam konteks Indonesia berkolaborasi dengan otoritas politik (negara) yang tidak jarang mengontrol dinamika pemikiran yang berkembang di luarnya. Atas nama stabilitas, biasanya otoritas agama ini menfatwakan agar negara menindak setiap pemikiran yang dinilai ‘liar’ dan melawan agama, terlepas apa ukuran yang ditetapkannya. Bagaimana blok ulama yang terorganisasi dalam institusi Al-Azhar menolak karya akademisnya tentang seni kisah dalam Al-Qur’an menjadi contoh betapa jumawanya otoritas politik berdalih agama ini. Bahkan sebagaimana terlihat dari surat yang ditandatangani Muh}ammad Syaltu> t—salah satu anggota ulama Al-Azhar— merespon kasus disertasi Khalafulla> h bahwa:

....Kami memohon kepada Allah agar melindungi kalian dari meninggalkan corak kajian Al-Qur’an yang telah mendarah daging di sebagian fakultas-fakultas di Universitas, dan telah menjadi nafas bagi berbagai kalangan anak cucu kita dan para alumni Universitas. Karena hal itu akan menyesatkan akal

Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women oleh R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), h. 123

tidur, dan menjadikan negara kita (Mesir, pen.) yang mulia dan tidak tertandingi sebagai pusat peradaban Islam menjadi

perusak dasar-dasar Islam... 221 Begitulah otoritas agama yang berbalut otoritas politik

membatasi produksi makna karena dinilai ‘menyesatkan akal’ dan ‘merusak citra negara’. 222 Bahkan ia menambahkan bahwa “memang pendapat

memiliki kebebasannya, tetapi kebebasan satu hal dan kekacauan adalah hal 223 yang lain.” Jelas sudah bahwa ‘suara dan makna lain’ harus diberangus

karena akan menimbulkan kekacauan: kekacauan dalam definisi negara yang mengendalikan otoritas agama. Seolah ia hendak mengatakan, apalah artinya kebebasan pendapat jika akhirnya berdampak pada kekacauan. Begitulah logika otoritas politik yang menyatu dengan otoritas agama menjadikan stabilitas sebagai

mengendalikan pemikiran. Pengendalian pemikiran itu kemudian ditampilkan sedemikian rupa sehingga orang benar-benar membenci pandangannya. Inilah yang penulis sebut dengan strategi representasi.

argumentasi untuk

Dikutip oleh Ka> mil Syaf’a> n, Hajmah ‘Ilma> niyyah, h. 47. Terjemah bebas dari penulis. Tanda bold dan italic dari penulis.

Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia dengan segala otoritasnya menjadi pengawal agama paling absah, bahkan untuk menilai orang dan kelompok lain sebagai sesat.

 , sebagaimana dikutip Ka> mil

Syaf’a> n, Hajmah ‘Ilma> niyyah, h. 47

Strategi representasi ini menjadi strategi penting tidak saja dalam rangka mengunggulkan makna, tetapi juga menundukkan makna. Representasi yang dimaksud di sini adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat, tertentu ditampilkan dalam pernyataan. Letak penting representasi ini ada pada dua hal: apakah seseorang, kelompok, atau gagasan itu ditampilkan sebagaimana mestinya, dan

bagaimana representasi itu ditampilkan. 224

Dalam representasi ini, biasanya setiap kelompok berusaha untuk menggambarkan kelompok lain dengan cara yang negatif. Pada saat yang sama, ia akan menggambarkan kelompoknya dengan cara yang negatif. Gambaran semacam ini terlihat jelas dalam polemik yang terjadi dalam isu yang dijabarkan di atas.

Sejumlah karya yang penulis kaji memperlihatkan bahwa ada upaya untuk meneguhkan argumen kelompoknya serta meruntuhkan argumen lawan. Ini terlihat dari ungkapan-ungkapan pembelaan atau ungkapan- ungkapan ‘perlawanan’ terhadap sejumlah argumentasi yang disampaikan lawan. Bagaimana pernyataan-pernyataan yang digunakan untuk meruntuhkan pendapat orang lain terlihat dalam kutipan berikut ini:

....Sebanarnya ayat tersebut tidak menunjukkan na> sikh- mansu> kh meski itulah yang dikenal luas oleh kalangan awam dan orang yang hanya mentaqlid , juga orang-orang berilmu yang

bertingkah seperti keduanya sekadar untuk memuaskan

224 Eriyanto, A nalisis Wacana, h. 113.

masyarakat umum dan bukan untuk mencari kebenaran serta

keridaan Allah 225 ... Pernyataan ini disampaikan oleh al-Gabri> untuk menolak pandangan

kelompok yang menerima nasakh dengan mengacu pada interpretasi ayat 105-106 surah al-Baqarah yang menjadi argumen kalangan yang mendukung nasakh. Ungkapan “kalangan awam dan orang yang hanya mentaklid” merupakan strategi reprensentasi bahwa orang yang mengakui adanya nasakh hanyalah orang “awam” dan “pentaklid”. Begitu juga ungkapan Mus}t}afa> Zayd yang menegaskan argumennya bahwa ayat 101 surah al-Nah}l dan ayat 106 surah al-Baqarah merupakan dalil keberadaan nasakh dalam Al- Qur’an.

....Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas atas adanya nasakh, sebuah dalil yang tidak akan diingkari atau diragukan kecuali orang- orang yang takabur dan keras hatinya... 226

Ungkapan ‘dalil yang sangat jelas” merupakan strategi untuk lebih meyakinkan pembaca bahwa argumennya benar. Pada saat yang sama, pernyataan di atas merupakan strategi untuk melemahkan argumen lawannya. Ungkapan “orang-orang yang takabur dan keras hatinya” menunjukkan bagaimana Mus}t}afa> Zayd melemahkan lawannya dengan ungkapan semacam itu.

225 ‘Abd al-Muta‘a> l al-Gabri> , A l-Na> sikh wa al-Mansu> kh Bain al-Is\ba> t wa al-Nafy (Kairo: Maktabah Wahbah, 1987), h. 145. Tanda bold dan italic dari penulis. 226 Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi> al-Qur’a> n, h. 248. Tanda tebal dan italic dari penulis.

Cara penggambaran semacam itu juga terjadi dalam polemik menyangkut kisah dalam Al-Qur’an. Bagaimana kelompok tertentu menggambarkan kelompok lain terlihat dalam kutipan berikut ini:

...Perkataan (Khalafulla> h) mengenai pembuatan kisah-kisah dalam Al-Qur’an dengan tanpa memperhatikan kebenaran dan kesesuaian dengan realitas faktual, melainkan hanyalah perumpamaan dan imajinasi merupakan bentuk interpretasi yang

keliru 227 (al-ta’wi> l al-fa> sid)... ..Dugaan bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu simbolik dan

imajinatif dalam arti kisah itu tidak benar, bahkan mitos, merupakan perkataan orang kafir yang menuduh Al-Qur’an sebagai

mitos umat terdahulu... 228 Penulis al-Fann al-Qas}as}i ...menguatkan pandangannya mengenai keberadaan kisah mitis dalam Al-

Qur’an.... Inilah bualan dusta (al-iftira> ’ al-a> s\im) yang tidak boleh

diungkapkan oleh manusia yang berakal dan beriman pada keberadaan Allah Yang Maha Benar.... 229

Identifikasi dan penggambaran sebagai ‘interpretasi keliru’, ‘bualan dusta’ dan ‘perkataan orang kafir’ terhadap upaya Khalafulla> h dalam menafsir kisah dalam Al-Qur’an merupakan salah satu bentuk pencitraan negatif terhadap upaya intelektual dalam menafsir konsep kisah dalam Al-Qur’an. Bahkan menganggap Khalafulla> h sebagai kafir lantaran perbedaan kesimpulan terhadap interpretasi Al-Qur’an. Pada saat yang sama, pencitraan ini membenarkan orang lain, bahkan otoritas agama, untuk ‘meluruskan’ kekeliruan ini.

227 Abu> ‘As}i> , Maqa> lata> n fi> al-Ta’wi> l, h. 114 228 Al-Sayyid Abu> Zayd, “Qis}s}ah Jannatain, h. 185 229 Ibid, h. 215-216

Tidak saja menganggap sebagai interpretasi keliru, apa yang dilakukan Khalafulla> h dianggap sebagai suguhan untuk memuaskan ‘orientalis dan antek-anteknya’ sebagaimana dalam pernyataan berikut:

....Ada sekelompok orang yang beriman kepada kitab Allah dan memberikan perhatian yang besar untuk mengkaji dan mempelajari kitab itu. Akan tetapi mereka telah mempersembahkan

akal mereka sebagai hidangan kurban untuk para moyang mereka,

yaitu para orientalis dan antek-anteknya. ..mereka menganggap pengetahuan mereka benar dan menduga pemahaman mereka lurus, hingga mereka menolak semua ilmu dan pemahaman selain mereka. Mereka memandang hal itu sebagai kebebasan bagi akal dari 230 kungkungan pemahaman Arab (klasik)..

Tudingan semacam ini begitu lumrah dalam polemik pemikiran dalam Islam, termasuk dalam polemik ilmu Al-Qur’an sebagaimana diulas dalam tesis ini. Segala upaya dan perspektif baru dalam mengulas isu-isu tertentu, termasuk dalam isu kisah dalam Al-Qur’an, kerap dikaitkan dengan upaya orientalis yang selalu saja dinilai ‘merusak’ agama. Apa yang dilakukan Khalafulla> h juga dinilai demikian, lantarannya pemaknaannya berbeda dengan produk makna yang dihasilkan ulama mainstream. Bahkan ini menjadi bagian dari ‘perang budaya’ yang dihembuskan kalangan non Islam untuk merusak Islam dari dalam. Ini misalnya tampak dari pernyataan Muh}ammad al-Ghazali> merespons disertasi doktor Khalafullah:

Jenis ‘kafir kecil’ ini terjadi kerena ketidaktahuannya terhadap Al-Qur’an, dan ini pasti merupakan bagian dari perang budaya yang

dihembuskan kelompok salib di negeri kita. 231

230 Abd al-Tawwa> b, A l-Naqd al-A dabi> , Vol. 3, h.130 231 Al-Ghazali> , Naz}ara> t, h. 101

Uraian di atas menunjukkan dengan jelas betapa makna diperebutkan sedemikian rupa dalam polemik seputar nasakh dan kisah dalam Al-Qur’an. Perbedaan paradigma yang kemudian ditopang oleh klaim otoritatif dalam disiplin tertentu, di samping intervensi otoritas agama dan politik dalam mengelola pemikiran, menjadikan perebutan makna tidak berlangsung produktif. Karena yang terjadi adalah penjinakan, bukan membiarkan dinamika terus berkembang. Ditambah lagi dengan penggambaran yang

‘melecehkan’ terhadap pandangan lain yang berbeda kian menjadikan dinamika pemikiran berlangsung stagnan.

Dua kasus ini hanya contoh kecil dari perdebatan lain dalam ilmu Al- Qur’an yang mungkin saja lebih sengit. Setidaknya, dua contoh kecil ini memberikan gambaran bahwa ulama di masa lampau telah mengerahkan upaya untuk mengkaji Al-Qur’an dengan merumuskan ilmu Al-Qur’an dengan beragam variasi pendapatnya. Walaupun tidak jarang keragaman pendapat itu di kemudian hari menjadi polemik yang tidak akademis, bahkan tidak jarang melibatkan otoritas agama dan politik untuk mengendalikannya. Akibatnya, kreativitas keilmuan berjalan di tempat karena ditumpulkan sendiri oleh agamawan yang semestinya memberikan ruang yang besar bagi pengembangan keilmuan, tidak terkecuali dalam kajian ilmu Al-Qur’an.[]

BAB V