Nasakh dalam Al-Qur’an

A. Nasakh dalam Al-Qur’an

Persoalan nasakh dalam Al-Qur’an menjadi penjelasan tersendiri di kalangan penulis disiplin ilmu Al-Qur’an, bahkan dianggap sebagai bagian terpenting dalam ilmu Al-Qur’an. Ini misalnya tampak dari pernyataan ulama, “Hanya orang yang mengetahui seluk-beluk na> sikh-mansu> kh yang

boleh menafsirkan Al-Qur’an,” 103 atau perkataan Sayyidina> ‘Ali> pada

Tidak ada penjelasan siapa ulama yang dimaksud dalam kutipan ini, karena (hampir) semua karya yang mengulas pembahasan yang sama tidak menjelaskan ulama yang mengungkapkan pernyataan ini. Penulis sendiri hanya mengacu pada kutipan al- Suyu> ti> , A l-Itqa> n, h. 53, juz III. Teks asli pernyataan itu adalah:

“Celaka kamu dan kamu bisa mencelakakan.” 104 Meskipun ulama menganggap disiplin ini begitu penting dalam ilmu

Al-Qur’an, namun tidak semua ulama dan pemerhati ilmu Al-Qur’an menyepakati. Bahkan tidak sedikit ulama yang membantah keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Perdebatan yang sebenarnya telah lama terjadi, setidaknya bisa ditarik pada era Abu> Muslim al-Isfaha> ni> , dan hingga kini perdebatan itu tidak kunjung berhenti. Bahkan perdebatan itu kian santer dengan munculnya sejumlah buku yang yang saling berdebat, saling menyerang, dan bahkan saling menjatuhkan.

Sebelum menjelaskan konteks perdebatan konsep nasakh ini, penulis hendak mengidentifikasi beberapa karya, baik yang menolak nasakh maupun menerima. Di antara buku yang menegaskan keberadaan nasakh yang berkembang di Mesir kontemporer adalah:Naz}ariyyah al-Naskh fi> al-Syara> ’i‘ al-Sama> 105 wiyyah (1988) karya Sya‘ba> n Muh}ammad Isma> ‘i> l; A l-Naskh fi> al-

104 Begitu juga pada kasus anekdot yang disandarkan pada Sayyidina> ‘ Ali> . Hampir

semua penulis ilmu Al-Qur’an tentang nasakh tidak menjelaskan status pernyataan yang disandarkan pada ‘Ali> ini. Ibid.

105 Sya‘ba> n Muh}ammad Isma> ‘i> l, Naz}ariyyah al-Naskh fi> al-Syara> ’i‘ al- Sama> wiyyah, (Kairo: Da> r al-Sala> m, 1988)

Qur’a> 106 n al-Kari> m wa al-Radd ‘A la> Munkiri> h (1991) karya Mus}t}afa> Muh}ammad Sulaima> n; “Al-Naskh fi> al-Qur’a> n” dalam Dira> sa> t fi> ‘Ulu> m al-

Qur’a> 107 n (1991) karya Muh}ammad Bakr Isma> ‘i> l; “Al-Na> sikh wa al- Mansu> 108 kh” dalam Mafhu> m al-Nas}s}: Dira> sah fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n (1993)

karya Nas}r H{a> mid Abu> -Zayd; “Fi al-Naskh Bain Mus\bitih wa Munkiri> h” dalam Dira> sa> t Us}u> liyyah fi al-Qur’a> n al-Kari> m karya Muh}ammad Ibra> hi> m Al-H{afnawi> ; A l-Naskh fi al-Qur’a> n al-Kari> m: Dira> sah Tasyri‘iyyah

Ta> 109 ri> khiyyah Naqdiyyah (2007, terbit pertama 1971) karya Mus}t}afa> Zayd (2 jilid); A l-Naskh ‘ind al-Us}u> 110 liyyi> n (2005) karya ‘Ali> Jum‘ah; ‘Al-Naskh fi> 111 al-Qur’a> n’ dalam Mausu> ‘ah al-Qur’a> n al-A z}im (2004) karya Abd al-

Mun’im H{ifni> . Sedangkan di antara buku-buku yang menolak keberadaan nasakh

yang berkembang di Mesir kontemporer adalah: La> Naskh fi> al-Qur’a> n,

Mus}t}afa> Muh}ammad Sulaima> n, A l-Naskh fi> al-Qur’a> n al-Kari> m wa al-Radd

‘A la> Munkiri> h Dira> sa> t fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, (Kairo: Mat}ba‘ah al-Amanah, 1991)

107 Muh}ammad Bakr Isma> ‘i> l, Dira> sa> t fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, (Kairo: t.p, 1991)

Nas}r H{a> mid Abu> -Zayd, Mafhu> m al-Nas}s}: Dira> sah fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, (Kairo:

al-Hai’ah al-Mis}riyyah al-‘A< mmah li al-Kitab, 1993)

Ini didasarkan pada tahun yang termaktub dalam pengantar buku ini yang tertulis Beirut pada 7 Ramad}a> n 1391 H/26 Oktober 1971 M 110 ‘Ali Gum‘ah, A l-Naskh ‘ind al-Us}u> liyyi> n, (Kairo: Nahd}ah Mis}r, 2005)

111 Abd al-Mun’im H{ifni> , Mausu> ‘ah al-Qur’a> n al-A z}im, (Kairo: Maktabah Madbu> li,

Lima> 112 z\a> ? (1980) dan A l-Na> sikh wa al-Mansu> kh Bayn al-Is\ba> t wa al-Nafy (1987) 113 karya Abd al-Muta‘a> l Muh}ammad Al-Gabri> ; Tafni> d Da’wa> al- Naskh fi> 114 al-Qur’a> n (2004) karya Gama> l Al-Banna> ; Bi al-H{ujjah wa al- Burha> 115 n: La> Naskh fi al-Qur’a> n karya H{isa> m Rusydi> Gha> li> (2005) ; dan Kaif

Nata‘a> 117 mal Ma‘a al-Qur’a> n atau Naz}ara> t al-Qur’a> n karya Muh}ammad al- Ghaza> 118 li> .

112 ‘Abd al-Muta‘a> l Muh}ammad Al-Gabri> , La> Naskh fi> al-Qur’a> n, Lima> z\a? (Kairo: Maktabah Wahbah, 1980)

113 ‘Abd al-Muta‘a> l Muh}ammad Al-Gabri> , A l-Na> sikh wa al-Mansu> kh Bayn al-Is\ba> t wa al-Nafy, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1987)

Gama> l Al-Banna> , Tafni> d Da’wa> al-Naskh fi> al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al-Fikr al- Isla> mi> , 2004)

H{isa> m Rusydi> Gha> li> , Bi al-H{ujjah wa al-Burha> n: La> Naskh fi al-Qur’a> n, (Helliopolis: al-Maktabah al-‘Arabi> li al-Ma‘a> rif, 2005)

Muhammad al-Ghazali> , Kaifa Nata’a> mal Ma’a al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al- Syuru> q, 2005), Cet. ke-7 117 Muhammad al-Ghazali> , Naz}ara> t al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 2005), Cet. ke-6 118 Dilahirkan pada 22 September 1917 di sebuah desa kecil yang dikenal dengan

nakl al-’inab di Mesir. Pada tahun 1937, ia mendaftarkan diri di Universitas Al-Azhar Fakultas Kajian Islam. Begitu lulus dari fakultas, ia aktif di berbagai aktivitas reformis, meskipun ia sendiri menghindar untuk berafiliasi dengan organisasi tertentu. Dalam karirnya, ia menduduki pos strategis di Mesir. Misalnya pada tahun 1971, ia diangkat sebagai Mentri Urusan Wakaf, sementara ia juga mengajar di Al-Azhar. Pada tahun 1977, ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Umm al-Qura> Mekkah. Sejak tahu 1989 hingga wafatnya pada 16 Maret 1996, ia menjabat sebagai Presiden International Institute for Islamic Thought (IIIT) cabang Mesir. Kaifa Nata’a> mal Ma’a al-Qur’a> n adalah salah satu karya dalam bidang Al-Qur’an di samping karya-karyanya dalam disiplin lain. Sebagaimana judulnya, buku tersebut menjelaskan bagaimana kita berinteraksi dengan Al-Qur’an, prasyarat-prasyarat apa, hingga beberapa penjelasan yang membantu dalam memahami Al-

Dari peta buku yang ada, tampak jelas bahwa mayoritas ulama ‘kontemporer’, begitu juga ulama masa lalu, cenderung pada posisi penegasan akan keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an dengan argumentasi yang tidak tunggal pula. Oleh karena itu, dalam konteks tulisan ini, penting untuk menjelaskan poin-poin krusial apa saja yang menjadi ‘wilayah polemik’ (mana> t} al-ikhtila> f) antara dua kubu yang berseteru.

Dari pembacaan penulis terhadap sejumlah karya yang berkembang di Mesir saat ini, wilayah polemik berada tidak saja pada pengertian dan

argumentasi konseptual nasakh, tetapi juga pada keberadaan dan posisi teks Al-Qur’an yang dianggap azali dan kekal. Wilayah krusial inilah yang menjadi ranah debat terbuka dengan melahirkan buku-buku yang mengukuhkan di satu pihak dan meruntuhkan di pihak yang lain.

Bagi kelompok yang membenarkan keberadaan nasakh dalam Al- Qur’an beranggapan bahwa keberadaan nasakh bisa diterima secara akal (jawa> z al-naskh ‘aqlan), dan setiap yang bisa diterima akal pasti boleh secara akal. Argementasi nalar ini juga dikukuhkan dengan argumentasi tekstual yang mengacu pada dua ayat di dua surah Al-Qur’an:

Qur’an. Lihat, Salman ibn Fahd al-'Awdah, Fi> H{iwa> r al Ha> di ma' Muh}ammad al-Ghaza> li> , (Riyadh: General Administration for Scientific Research, Ifta', Propagation and Guidance,1989), h. 5-8; Lihat juga ‘Abd al-H{ali> m ‘Uwais, “Al-Syaikh Muh}ammad al- Ghazali> : Mara> h}il ‘Az}i> mah fi> H{aya> ti Muja> hid ‘Az}i> m” dalam ‘Abd al-H{ali> m ‘Uwais et.all,

A l-Syaikh Muh}ammad al-Ghazali> : S}uwar min H{aya> ti Muja> hid ‘A z}i> m Dira> sah lijawa> nib

min Fikrih, (Kairo: Da> r al-S}ah}wah, 1993).

A yat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik

dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya A llah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. al-Baqarah [2]: 106)

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal A llah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (QS. al-Nah}l [16]: 101)

Dua argumentasi ini juga dilengkapi dengan argumentasi ketiga, yaitu argumentasi afirmatif. Artinya, ulama terdahulu menegaskan keberadaannya

secara faktual dengan menyusun karya khusus menyangkut na> sikh- mansu> 119 kh. Ketiga alasan inilah yang dijadikan sandaran argumetasinya

dalam menegaskan keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Dari penjelasan mengenai argumentasi konseptual keberadaan nasakh

dalam Al-Qur’an, kelompok ini beralih pada perdebatan mengenai pengertian konsep nasakh itu sendiri. Memang, ulama dari dulu hingga kini berselisih menyangkut konsekwensi dari makna nasakh.

Secara etimologis, naskh berarti membatalkan sesuatu dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain ( ibt}a> l al-syai’ wa iqa> mah a> khar maqa> mah); mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain ( tabdi> l al-syai’ min

Lihat Mus}t}afa> Muh}ammad Sulaima> n, A l-Naskh fi> al-Qur’a> n al-Kari> m wa al- Radd ‘A la> Munkiri> h,(Kairo: Mat}ba‘ah al-Ama> nah, 1991), h. 156 dan seterusnya. Bandingkan juga dengan Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘A< s}i> , Dira> sah fi> al-Naskh, (Kairo: Maktabah Rasywan, 2000), h. 5 dan seterusnya. Argumentasi ini juga disimpulkan oleh Abd al-Muta‘a> l al-Gabri> , La> Naskha fi al-Qur’a> n, Lima> z\a> ? (Kairo: Maktabah Wahbah, 1980), h. 14-15

pengertian etimologi inilah, ulama menyimpulkan pengertian konseptual nasakh yang beragam. Yaitu: mencabut hukum syar‘i dengan hukum syar‘i yang datang kemudian (raf‘ al-h}ukm al-syar‘i bidali> 121 l syar‘i> muta’akhkhir).

Definisi lainnya adalah menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang datang sesudahnya (iza> lah syai’ bi syai’ yata‘aqqabah). Definisi ini

dirumuskan oleh Ra> ghib al-Isfaha> ni> sebagaimana dikutip Mus}t}afa> Muh}ammad Sulaiman. 122 Tentu saja kesimpulan ini dirumuskan oleh ulama

dan intelektual yang mengakui keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an.

Selain itu, di internal kelompok pro-nasakh pun tidak semuanya bersepakat mengenai jumlah ayat yang menasakh dan dinasakh. Meskipun mengakui keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an, mereka berusaha mempersempit ruang dan memperkecil jumlah ayat yang dinasakh. Ini terlihat dari sejak al-Suyu> t}i> yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang

dinasakh berjumlah 20 ayat 123 (lihat tabel 1), al-Zarqa> ni> menyebutkan hanya

120 Ibn Manz}u> r, Lisa> n al-‘A rab, jilid 14, h. 243

Definisi ini dibuat oleh al-Ba> qilla> ni> dan diikuti Ibn H{a> jib, al-Subki> , dan al- Futu> h}i> . ‘Ali> Jum‘ah, A l-Naskh ‘inda al-Us}u> liyyin, (Kairo: Nahd}ah Mis}r, 2005), h.12

Mus}t}afa> Muh}ammad Sulaima> n, A l-Naskh fi al-Qur’a> n wa al-Radd ‘ala> Munkiri> h, h. 15 123 Al-Suyu> t}i> , A l-Itqa> n, juz III, h. 60. Pada awalnya, ayat yang di-nasakh berjumlah

21ayat. Tapi menurut al-Suyu> t}i> , ayat qismah (No. 10 dalam tabel 1) dan ayat isti’z\a> n (No.18 dalam tabel 1) lebih tepat disebut ayat muh{kam yang tidak boleh dinasakh. Namun al-Suyu> t}i> mengikuti pendapat Ibn ‘Abba> s menambahkan 1 ayat yang dinasakh, yaitu surah

7 ayat yang dinasakh 124 (lihat tabel 2), dan Mus}t}afa> Zayd menyebutkan hanya 5 ayat saja yang dinasakh (lihat tabel 3). 125 Dari sejumlah perbedaan itu, hanya dua ayat saja yang disepakati oleh para eksponen pro-nasakh, yaitu ayat shalat malam di surah al-Muzzammil, dan ayat munajat di surah al-Muja> dilah.

Perbedaan jumlah ayat yang dinasakh ini didasarkan pada perbedaan ulama untuk menentukan apakah ayat yang dimaksud adalah muh}kam dan

mutasya> bih. Sementara ayat yang dinasakh harus bukan ayat muh}kam. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua hal mengapa perbedaan penghitungan para ulama pada jumlah ayat yang na> sikh dan mansu> kh. Pertama, doktrin

al-Baqarah ayat 115 tentang bolehnya menghadap ke semua arah dalam shalat. Ayat ini di- nasakh dengan surah al-Baqarah ayat 145 yang mengharuskan menghadap Baitullah sebagai arah kiblat. Dengan demikian, total ayat yang di-naskh ada 20 ayat sebagaimana tertera dalam tabel di lampiran.

Al-Zarqa> ni> menulis ulang daftar ayat yang di-nasakh sebagaimana disebutkan dalam Al-Itqa> n, namun ia mengomentari beberapa dan menyimpulkan bahwa ayat yang di- nasakh sebenarnya berjumlah tujuh saja (lihat tabel 2 dalam lampiran). Perhatikan komentar dia dalam al-Zarqa> ni> , Mana> hil al-‘Irfa> n, h. 415-422

125 Mus}t}afa> Zayd membedakan dua model nasakh dalam Al-Qur’an. Pertama, yang dinasakh adalah hukum yang ditetapkan oleh hadis, sedangkan yang menasakh adalah ayat

Al-Qur’an. Model ini disyaratkan bahwa ada hadis yang menjelaskan tentang kasus nasakh tersebut. Singkatnya, model ini adalah model Al-Qur’an menasakh hadis. Kedua, yang dinasakh adalah hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an. Singkatnya, model ini adalah ayat Al-Qur’an yang satu menasakh ayat yang lain. Model inilah yang menjadi perhatian pembahasan ini. Dalam konteks ini pula, Mus}t}afa> Zayd menolak keberadaan hadis yang menasakh Al-Qur’an. Lihat, Mus}t}afa> Zayd, A l-Naskh fi al-Qur’an al-Karim: Dira> sah Tasyri> ‘iyyah Ta> rikhiyyah Naqdiyyah, jilid II, (Kairo: Da> r al-Yusr, 2007), h. 337 dan seterusnya.

nasakh baru muncul setelah wafatnya Rasulullah Saw. Dalam perkembangannya, ulama tafsir dan ulama fiqh tidak mampu mendamaikan ayat-ayat yang tampak bertentangan sehingga merasa perlu untuk merumuskan teori nasakh ini, Kedua, perluasan cakupan makna semantik

nasakh dari cakupan makna yang sebelumnya tidak dikandungnya. 126 Di ujung yang lain, kubu yang menolak keberadaan nasakh pun

memerinci satu per satu penolakannya. Terhadap argumentasi nalar bahwa nasakh dibenarkan secara nalar, kubu yang menolak beranggapan bahwa

setiap yang bisa diterima nalar tidak selalu termanifestasi secara faktual. 127 Begitu juga terhadap argumen afirmatif, kubu ini menganggap bahwa dengan

runtuhnya argumen nalar dan tekstual, maka apa yang dilakukan ulama terdahulu juga runtuh dan tidak ada artinya. 128 Sedangkan terhadap

argumentasi tekstual, kubu ini menjelaskan bahwa makna a> yah dalam surah

Davis S. Powers, “The Exegetical Genre na> sikh al-Qur’a> n wa mansu> khuhu” dalam Andrew Rippin (ed.), A pproaches to the History of the Interpretation of the Qur’a> n, (Oxford, Clarendon Press: Oxford University, 1981), h. 122. Sebagian sahabat dan ulama otoritatif awal dikabarkan telah menggunakan kata naskh dalam pengertian perkecualian, pengkhususan (takhs}i> s}), dan penjelasan (baya> n) atas ayat sebelumnya. Dalam pengertian yang beragam inilah, sudah pasti ulama berselisih mengenai jumlah ayat nasakh (dalam mskna menghapus) dengan ayat nasakh yang bermakna takhs}i> s}. Naskh, takhs}i> s}, dan baya> n digunakan secara bergantian tanpa ada pemilahan yang tegas sehingga kabur dalam penggunaannya. Lihat, Ah}mad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, diterjemahkan oleh Agah Garnadi dari buku yang berjudul The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Bandung: Pustaka, 2001), h.58 dan 60

127 Al-Gabri, La> Naskh fi> al-Qur’a> n, h. 15 128 Al-Gabri, La> Naskh fi> al-Qur’a> n, h. 18

Al-Baqarah ayat 106 bukan ayat Al-Qur’an, melainkan –sebagaimana disebutkan Muh}ammad ‘Abduh 129 —mukjizat. Ayat tersebut merupakan

penolakan terhadap kafir Quraisy yang mendesak adanya mukjizat material sebagaimana mukjizat yang dianugerahkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. 130 Sungguhpun demikian, kelompok pro-nasakh menampik

argumentasi ini lantaran konteks yang melatari turunnya ayat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang Quraisy. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-

Suyut}i> , ayat itu turun dalam konteks membantah kekhawatiran orang bahwa mungkin saja wahyu itu turun pada Nabi Muhammad Saw pada malam hari,

dan begitu siang tiba, yang turun turun sebelumnya telah dilupakan. 131 Berbeda dengan kelompok pro nasakh, kelompok yang menampik

keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an tidak berkepentingan untuk merumuskan definisi tentang nasakh. Alih-alih mendefinisikan, kelompok ini lebih bersibuk dalam memberikan penjelasan kepada kelompok pro-nasakh bahwa apa yang diduga nasakh sebenarnya bukan nasakh, melainkan‘a> m- khas, mut}laq-muqayyad, dan baya> n-mujmal. Kalaupun dianggap sebagai

129 Rasyi> d Rid}a> , Tafsi> r al-Qur’a> n al-Kari> m [al-Mana> r], juz I, (Kairo: al-Hay’ah al- Mis}riyyah al-‘A< mmah li al-Kita> b, 1990), h. 343-344 130 Menurut al-Gabri, konteks ayat tersebut menunjukkan bahwa yang dimansukh adalah syaria’t terdahulu. al-Gabri, La> Naskha fi al-Qur’a> n, h. 15-16

Jala> l al-Di> n al-Suyu> t}i> , “Asba> b al-Nuzu> l” dalam Khalid ‘Abd al-Rah}ma> n al-‘Ak,

S{afwah al-Baya> n li Ma‘a> ni al-Qur’an al-Kari> m, (Kairo: Da> r al-Sala> m, 1994), h. 17

syariat yang datang kemudian (syariat Nabi Muhammad). 132 Adalah mustahil mengganti ayat yang satu dengan ayat yang lain, sebagaimana juga mustahil

mencabut fungsi satu ayat dan digantikan dengan ayat yang lain. Eksponen kontra-nasakh pun menggugat kalangan pro-nasakh bahwa

konsekuensi dari keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an ini akan berdampak pada gugatan akan kekekalan Al-Qur’an. Mengingat, jika nasakh berarti

mencabut, mengubah, dan mengganti teks dengan teks lain yang datang kemudian, berarti Al-Qur’an tidak kekal. Argumentasi ini diajukan oleh Muh}ammad al-Ghaza> li> . Menurutnya, tidak mungkin dalam Al-Qur’an ada ayat yang tidak fungsional karena hukum ayat itu dicabut. 133

Dalam konteks perseteruan inilah, sebagian pengkaji ilmu Al-Qur’an mencoba menarik benang merah perbedaan pandangan tersebut. Tanpa bermaksud menampik keberadaan nasakh di satu sisi, tapi juga tidak terlalu setuju untuk mengatakan bahwa nasakh itu bermakna mencabut dengan mendisfungsionalisasi teks karena hukumnya dicabut, Abu> -Zayd berpendapat lain bahwa kenyataan ini terjadi karena ulama di masa lampau terlalu bersemangat mengatakan bahwa nasakh berarti mencabut atau

132 Al-Gabri, La> Naskh fi al-Qur’a> n, h. 16 133 al-Ghaza> li> , Kaif Nata‘a> mal, h. 195, lihat juga al-Ghaza> li, Naz}ara> t, 83 132 Al-Gabri, La> Naskh fi al-Qur’a> n, h. 16 133 al-Ghaza> li> , Kaif Nata‘a> mal, h. 195, lihat juga al-Ghaza> li, Naz}ara> t, 83

Dalam konteks makna semacam ini pula, perdebatan seputar ragam nasakh 134 ibarat lingkaran setan, tak berawal dan tak berujung. Ini juga dampak dari

penyelesaian ulama, bahwa nasakh hanya bermakna pencabutan dan

pembatalan. Di sini sebenarnya Abu Zayd sepakat dengan kalangan pro nasakh. Namun nasakh yang dimaksud tidak dipahami dalam makna pencabutan dan pembatalan nash Al-Qur’an, melainkan penundaan penerapan makna nash itu pada momen yang lebih sesuai dengan nalar zamannya.