Kisah dalam Al-Qur’an

B. Kisah dalam Al-Qur’an

Berbeda dengan konsep nasakh yang berdampak pada pemaknaan teks, konsep kisah dalam ilmu Al-Qur’an lebih sebagai ‘strategi dan mekanisme’ teks (aliyya> t al-nas}s}). Artinya, ia tidak berdampak langsung pada pemaknaan teks, melainkan pada pola dan model Al-Qur’an dalam menuturkan firman-Nya. Meskipun tidak sepenting nasakh, persoalan kisah dalam Al-Qur’an juga menjadi pembahasan tersendiri dalam buku-buku ilmu

134 Ulama membedakan tiga ragam nasakh. 1) ayat yang teksnya dinasakh, namun efek hukumnya berlaku, 2) ayat yang efek hukumnya berlaku, namun teksnya dinasakh, dan

3) ayat yang baik teks maunpun hukumnya dinasakh.

Al-Qur’an dan menyita perhatian para ulama yang menekuni ilmu Al- Qur’an. Ini tampak dari tidak sedikitnya karya yang ditulis berkaitan dengan isu ini.

Dari sejumlah karya yang ada, wilayah polemik yang paling menonjol dalam persoalan kisah dalam Al-Qur’an adalah terkait apakah kisah dalam Al-Qur’an faktual atau hanya kisah fiktif belaka? Ini berdampak pada persoalan lanjutan, apakah penggambaran kisah dalam Al-Qur’an semata- mata aktifitas seni (‘amal fanni> ) atau juga punya dimensi religius (maqa> s}id di> niyyah)? Poin ini yang menimbulkan pro-kontra di kalangan para pengkaji ilmu Al-Qur’an.

Perlu ditegaskan bahwa polemik seputar kisah dalam Al-Qur’an pada mulanya dipicu oleh disertasi doktor Muh}ammad Ah}mad Khalafulla> 135 h,

A l- Fann al-Qas}as}i> fi> al-Qur’a> n al-Kari> m. Karya inilah yang melahirkan karya- karya bantahan dan sambutan 136 di kemudian hari. Sebelum karya ini, debat

seputar kisah Al-Qur’an sebagaimana dimaksud di atas tidak terlalu

Sebenarnya sebelum Khalafullah, T{a> ha> Husain juga menyinggung gagasan serupa, bahwa kisah dalam Al-Qur’an tidak meniscayakan adanya fakta historis. Ini

didasarkan pada kisah Ibrahim dan Ismail yang sama-sama dikutip, baik dalam Taurat maupun dalam Al-Qur’an. Penjelasan lebih lanjut, lihat catatan kaki no. 10 BAB I.

Karya bantahan lebih dominan dari pada karya sambutan. Satu dari karya sambutan itu adalah apa yang ditulis oleh Khali> l ‘Abd al-Kari> m dalam epilog buku Khalafulla< h, al-Fann al-Qas}as}i fi> al-Qur’a> n, cetakan baru yang dicetak oleh Si> na> ’ li al- Nasyr. Sementara karya bantahan lebih mendominasi karya yang membahas kisah dalam Al-Qur’an generasi dan pasca Khalafulla> h.

dalam Al-Qur’an. Sebelum membincang polemik ini, penting disebutkan sejumlah karya

terkait dengan persoalan ini, baik mereka yang bersikap bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu faktual maupun fiksi: A l-Qis}s}ah fi> al-Qur’a> n al-Kari> m (1995) karya Muh}ammad Sayyid al-T{ant}a> wi> ; A l-Qis}s}ah fi> al-Qur’a> n (1996) karya Muh}ammad Qut}b ‘Abd al-‘A< l; “H{aul al-Qas}as} al-Qur’a> ni> ” dalam Maqa> lata> n fi> al-Ta’wi> l: Ma‘a> lim fi> al-Manhaj...wa Ras}d li al-Inh}ira> f karya Muh}ammad

Sa> lim Abu> ‘A< s}i> ; A ba> t}i> l al-Khus}u> m hawl Qas}as} al-Qur’a> n: ‘A rd} wa Muna> fasyah karya ‘Abd al-Jawa> d Muh}ammad al-Muh}s}i> ; A l-Qas}as} al-Di> ni> bain al-Tura> s\ wa al-Ta> ri> kh (2000) karya Sayyid Khumais; “Al-Qas}as} al- Qur’a> ni> ” dalam A l-La’a> li’ al-H{isa> n fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n karya Mu> sa> Sya> hi> n La> syi> n; “Qas}as} al-Qur’a> n min al-Na> h}iyah al-Baya> niyyah” dalam A l- Mu‘jizah al-Kubra> (1998) karya Abu> Zahrah; “Al-Ghard} al-Qas}asi> fi> al- Uslu> b al-Qur’a> ni> ” dalam A l-Naqd al-A dabi> : Dira> sa> t Naqdiyyah wa A dabiyah Hawl I‘ja> z al-Qur’a> n (2003) karya S{ala> h} al-Di> n Muh}ammad ‘Abd al- Tawwa> b; “Al-Qis}s}ah fi> al-Qur’a> n” dalam al-W ah}dah al-Maud}u> ‘iyyah fi> al-

Qur’a> 138 n (1970) karya Muh}ammad Mah}mu> d H{ija> zi> ; > “Al-Qas}as} fi> al-Qur’a> n”

Poin kontroversial terkait dengan pandangan T{a> ha> Husain tentang ketidakhistorisan kisah Ibrahim dan Ismail ini tidak lagi ditemukan dalam buku edisi revisinya yang berjudul Fi al-A dab al-Ja> hiliy, (Kairo: Da> r al-Ma‘a> rif, t.t), cet. Ke-17

138 Diterbitkan Da> r al-Kutub al-H{adi> s\ah, Kairo, 1970.

dalam Mausu> ‘ah al-Qur’a> n al-A z}i> m (2004) karya ‘Abd al-Mun‘im al-H{ifni> ; “Qas}as} al-Qur’a> n” yang ditulis oleh Ibra> hi> m Khali> fah dalam al-Mausu> ‘ah al-

Qur’a> 139 niyyah; “Qas}as} al-Qur’an” dalam Naz}ara> t al-Qur’a> n karya Muhammad al-Ghazali, 140 “Qas}as} al-Qur’a> n al-Kari> m” yang ditulis

Muh}ammad Mutawalli> Idri> s dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Us}u> l al-Di> n wa al- Da‘wah; 141 “Al-Qis}s}ah al-Qur’a> niyyah: Aghra> d}uha> wa Sima> tuha> ” dalam

Jurnal Ilmiah Fakultas Us}u> 142 l al-Di> n wa al-Da’wah; dan tulisan H{ibr ‘Izz al-

Rija> l al-Sayyid Abu> Zayd yang berjudul Qis}s}ah S{a> h{ib al-Jannatain fi> D{au’ Su> 143 rah al-Kahf Dira> sai Tah}li> liyyah Dala> liyyah.

Dari peta buku yang ada, mayoritas ulama ‘kontemporer’ cenderung pada posisi penegasan bahwa kisah dalam Al-Qur’an adalah faktual-historis dan bukan semata-mata aktifitas seni, melainkan juga berdimensi religius. Sebelum terlalu jauh membincang polemik intelektual ini, ada baiknya jika tulisan ini menjelaskan seputar kisah dalam Al-Qur’an, pola-pola dan tujuannya. Baru kemudian penulis beralih pada kisah ‘pertarungan’ gagasan seputar persoalan ini.

Ensiklopedi ini bisa diakses secara online di http://www. islamic-

council.com/qencycux/maosoaa.pdf . Diakses terakhir pada 10 Desember 2007.

140 al-Ghazali, Naz}ara> t, h. 95-102 141 No. 5 Jumad al-U< la> 1413 H/ November 1992, diterbitkan oleh Fakultas Us}ul al-

Di> n wa al-Da‘wah Universitas Al-Azhar cabang Zaqa> ziq, h. 263-316 142 Ibid. H. 427-460

Jurnal Fakultas Us}u> l al-Di> n wa al-Da‘wah di al-Mans}u> rah, Juz I, No. 8 2002

M/1423 H.

Secara etimologis, qis}s}ah berasal dari kata kerja qas}sa-yaqus}s}u-qis}s}ah yang artinya kisah, berita (khabar), atau kumpulan perkataan (jumlah min al-

kala> 144 m) atau penjelasan (baya> n). Dengan demikian kisah Al-Qur’an adalah sejumlah berita atau kisah seputar keadaan umat terdahulu, para Nabi, dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi (              

   ) . Memang Al-Qur’an bukan kitab kumpulan kisah-kisah,

namun kisah menemukan tempatnya dalam Al-Qur’an. Tidak lebih dari

seperempat bagian Al-Qur’an, kisah-kisah dalam Al-Qur’an menempati posisi yang signifikan. 146

Setidaknya ada empat macam kisah dalam Al-Qur’an. 147 Pertama, kisah para Nabi. Ini meliputi kisah A< dam dan H{awa serta kisah tergusurnya

mereka dari istana surga; kisah Nu> h} dengan banjir yang maha hebat; kisah H{u> d dan S{a> lih} bersama komunitasnya masing-masing; kisah Ibra> him dan Namrud; kisah Isma> ’il serta kisah yang terkait dengannya semisal air zamzam dan pembangunan Ka’bah; kisah Lut} dan kaumnya serta kisah Ya’qu> b dengan anak-anaknya; kisah Yu> suf dan saudaranya serta

144 Ibn Manz}ur, Lisa> n al-‘Arab, jilid 12, h. 120 145 Mu> sa> Sya> hi> n La> syi> n, A l-La’a> li’ al-H{isa> n, h. 219 146 Sayyid Khumais, A l-Qas}as} al-Di> ni> : Bain al-Tura> s\ wa al-Ta> ri> kh, (Kairo: Merit,

2000), h. 14

Sayyid Khumais, A l-Qas}as} al-Di> ni> , h. 15-17; Mu> sa> Sya> hi> n La> syi> n memilah macam kisah dalam Al-Qur’an hanya pada dua model: kisah yang terkait dengan para nabi dan kisah yang tidak terkait dengan nabi. Mu> sa> Sya> hi> n La> syi> n, A l-La’a> li al-H{isa> n, h. 255- 256

Kedua, kisah masyarakat terdahulu kaitannya dengan Islam, seperti kisah penghuni gua (as}ha> b al-kahf); kisah Z|u> al-Qarnain, kisah Ya’ju> j dan

Ma’ju> j; kisah ‘Uzair dan penghuni kebun, kisah Qa> ru> n dan lumbung hartanya; kisah Qa> bil dan Ha> bil, dll.

Ketiga, kisah terkait dengan alam gaib semisal kisah yang terkait dengan dunia jin, malaikan, setan, dll. Dan keempat, kisah-kisah simbolik dan perumpamaan (al-qas}as} al-ramzi> wa al-tams\i> li> ) semisal kisah yang terkait dengan dunia hewan (seperti kisah burung gagak yang mengajarkan tata cara penguburan kepada Qa> bil; kisah burung yang disembelih Ibrahim, kisah sapi betina kaum Israel, kisah srigala yang diceritakan memangsa Yu> suf; kisah burung Hud-hudnya Sulaima> n, dll).

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an tersebut digambarkan dalam bentuk keindahan seni yang memukau. Kisah-kisah itu pada dasarnya tunduk pada tujuan agama. Sebagaimana dalam karya seni pada umumnya, kisah-kisah dalam Al-Qur’an memiliki keunikan setidaknya pada empat fenomena Kisah-kisah dalam Al-Qur’an tersebut digambarkan dalam bentuk keindahan seni yang memukau. Kisah-kisah itu pada dasarnya tunduk pada tujuan agama. Sebagaimana dalam karya seni pada umumnya, kisah-kisah dalam Al-Qur’an memiliki keunikan setidaknya pada empat fenomena

mengawali paparan kisahnya. a) Berawal dari ringkasan kisah, lalu diikuti dengan rinciannya dari awal hingga akhir. Ini antara lain terlihat dalam penggambaran kisah as}h}a> b al-kahf dalam surah al-Kahfi yang diawali dengan ringkasan kisah.

(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "W ahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). (al-Kahfi [18]: 10-12)

Dari ringkasan kisah ini, kemudian dilanjutkan dengan perincian mengenai perbincangan mereka sebelum memasuki gua, keberadaan mereka setalah memasuki gua, ketika mereka bangun dan tidur, diutusnya salah satu mereka ke kota untuk membeli makanan, terungkapnya identitas mereka di kota, kembalinya mereka ke gua, kematian mereka, dan perselisihan penduduk tentang mereka, dan seterusnya.

b) Berawal dari kesimpulan kisah dan tujuannya. Lalu kemudian kisah itu dijelaskan dari awal secara detail semua fragmennya. Ini antara lain terlihat dalam pemaparan kisah Nabi Mu> sa> dalam surah al-Qas}as}.

148 Sayyid Qut}b, A l-Tas}wi> r al-Fanni> fi al-Qur’a> n, (Kairo: Da> r al-Syuru> q, 2004), h. 180.

Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al-Qur’an) yang nyata (dari A llah). Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Mu> sa> dan Firaun

dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan kami perlihatkan kepada Firaun dan Hama> n beserta tentaranya apa yang

selalu mereka khawatirkan dari mereka itu. (QS. Al-Qas}as} [28]: 2- 6)

Begitulah kesimpulan kisahnya, lalu dilanjutkan dengan rincian mengenai kisah Mu> sa> , dari lahirnya, pertumbuhanya, ketika dewasa, dan ketika keluar dari Mesir, dan seterusnya.

c) Langsung pada poin cerita, tanpa pendahuluan dan kesimpulan. Ini terlihat dalam pemaparan kisah Sulaima> n bersama semut, hud-hud, dan Bilqis.

d) Menggunakan kisah imajinatif. 149 Pola ini hanya menyebutkan pengantar singkat dan membiarkan kisah itu berbicara sendiri melalui para

Penggunaan pola romantik dalam kisah Al-Qur’an tidak berarti bahwa kisah- kisah dalam Al-Qur’an itu imajinatif yang tidak bersandar pada fakta sejarah. Akan tetapi, meskipun kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah faktual, tetapi polanya yang mengandung mukjizat diberikan sentuhan metaforis, sehingga menjadikannya lebih unggul dibandingkan kisah-kisah lain, karena menggabungkan antara imajinasi dan fakta. Lihat Muh}ammad Ka> mil H{asan al-Muh}a> mi, A l-Qur’a> n wa al-Qis}s}ah al-H{adi> s|ah, (Beirut: Da> r al-Buh}us| al- ‘Ilmiyyah, 1970), h. 18

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar- dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "W ahai Tuhan kami terimalah dari pada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 127).

Dari kisah ini, pembaca dibiarkan merekonstruksi kisah itu dengan menggunakan imajinasi berdasarkan tokoh-tokoh (Ibra> hi> m dan Isma> ‘i> l) yang

berperan dalam kisah itu. Imajinasi kita terbayang bahwa Ibra> hi> m dan Isma> ‘i> l sedang sibuk membangun Ka’bah.

Kedua, keunikan seni yang terkait dengan keragaman cara memberikan kejutan (al-mufa> ja’ah). Dalam konteks ini, ada beberapa model cara memberikan kejutan dalam kisah Al-Qur’an. 1) Kejutan itu disembunyikan dari tokoh dan pembaca sekaligus, dan baru diketahui pada ending kisah. Ini terlihat, misalnya, dalam kisah Mu> sa> dan seorang hamba shaleh. 2) memberitahukan kepada pembaca rahasia tersebut tapi tetap membiarkan sang tokoh tidak mengetahui alur kisah yang dituturkan. Kebanyakan alur kisah jenis ini dipakai untuk memaparkan celaan dan hinaan. Ini terlihat dalam kisah penghuni surga. 3) memberitahukan sebagian rahasia kisahnya pada pembaca dan menutupinya dari tokoh kisah. Tapi pada segmen lain (dalam satu kisah) ada rahasia-rahasia yang dijaga dari pembaca maupun dari tokoh kisah itu secara bersamaan. Ini misalnya tampak dari kisah singgasana Ratu Bilqis. 4) Terkadang tidak ada rahasia dalam kisah Kedua, keunikan seni yang terkait dengan keragaman cara memberikan kejutan (al-mufa> ja’ah). Dalam konteks ini, ada beberapa model cara memberikan kejutan dalam kisah Al-Qur’an. 1) Kejutan itu disembunyikan dari tokoh dan pembaca sekaligus, dan baru diketahui pada ending kisah. Ini terlihat, misalnya, dalam kisah Mu> sa> dan seorang hamba shaleh. 2) memberitahukan kepada pembaca rahasia tersebut tapi tetap membiarkan sang tokoh tidak mengetahui alur kisah yang dituturkan. Kebanyakan alur kisah jenis ini dipakai untuk memaparkan celaan dan hinaan. Ini terlihat dalam kisah penghuni surga. 3) memberitahukan sebagian rahasia kisahnya pada pembaca dan menutupinya dari tokoh kisah. Tapi pada segmen lain (dalam satu kisah) ada rahasia-rahasia yang dijaga dari pembaca maupun dari tokoh kisah itu secara bersamaan. Ini misalnya tampak dari kisah singgasana Ratu Bilqis. 4) Terkadang tidak ada rahasia dalam kisah

Ketiga, keunikan seni yang terkait dengan adanya jarak dan pemisah antara satu segmen ke segmen yang lain. Dalam seni teater modern, pola ini dipadankan dengan ditutupnya layar atau sama dengan pergantian segmen dalam cinema. Tenggang waktu ini akan menjadi jembatan imajinatif bagi pembaca sehingga ia bisa memahami alur kisah dengan sempurna. Ini tergambar dalam penggambaran kisah Yu> su> f yang menurut Sayyid Qut}b terbagi pada 28 segmen.

Keempat, keunikan seni yang terkait dengan adanya ragam corak yang dipakai Al-Qur’an ketika mengisahkan setiap adegan kisahnya. Di antara corak-corak itu adalah corak pemaparan yang kuat sehingga semuanya terlihat hidup di mata pemirsa; warna pertualangan imajinasi sesuai perasaan dan kesan pembaca; dan corak penggambaran setiap tokoh dalam kisah. Namun demikian, corak-corak itu tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, hanya saja tetap ada satu corak yang lebih ditonjolkan dalam setiap segmen adegan.

Keberadaan kisah dalam Al-Qur’an dengan beragam keunikan seninya, semuanya tunduk pada tujuan relijius. Di samping itu, kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut, di antaranya: pertama, meringankan beban emotif (takhfi> f al-d}aght al-‘a> t}ifi> ) nabi dan Keberadaan kisah dalam Al-Qur’an dengan beragam keunikan seninya, semuanya tunduk pada tujuan relijius. Di samping itu, kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut, di antaranya: pertama, meringankan beban emotif (takhfi> f al-d}aght al-‘a> t}ifi> ) nabi dan

sengitnya, sehingga Allah merasa perlu menghibur Nabi dengan kisah-kisah umat terdahulu dan beragam kisah lainnya. Ini menjadi tujuan terpenting keberadaan kisah-kisah dalam Al-Qur’an.

Kedua, mengarahkan pada emosi yang kuat dan benar terhadap keyakinan dan prinsip-prinsip agama Islam serta mengobarkan semangat

berkorban baik jiwa maupun raga. Ini terlihat dengan kisah yang menggambarkan bahwa pada akhirnya Allah menolong para Nabi-Nya dan

membinasakan penantangnya. 151 Ketiga, menumbuhkan kepercayaan dan ketenteraman atau

menghilangkan ketakutan dan kegelisahan. Keempat, untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad Saw dan kebenaran wahyu yang diturunkan kepadanya. Kelima, menjelaskan ‘pangkal perjumpaan’ (al-as}l al-musytarak) tradisi agama Nabi Muhammad Saw dan agama Nabi Ibra> hi> m As khususnya dan agama-agama Bani Israel secara umum. 152 Ini terlihat dengan berulang-

ulangnya kisah Nabi Ibra> hi> m, Mu> sa> , dan ‘I< sa> dalam Al-Qur’an.

150 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 207.

‘Adna> n Muh}ammad Zarzu> r, Fus}u> l fi> ‘Ulu> m al-Qur’a> n, (Beirut: al-Maktab al- Isla> mi> , 1998), h. 206; Bali> gh Fath}i> Mah}mu> d Muh}ammad ‘Abd al-Khabi> r, “Al-Qis}s}ah al-

Qur’a> niyyah Aghra> d}uha> wa Sima> tuha> ” dalam Jurnal Ilmiyah Fakultas Us}u> l al-Di> n wa al- Da‘wah Universitas Al-Azhar Cabang Zaqa> ziq, No. 5/Jumad al-U< la> 1413 H/November 1992, h. 448

152 Abd al-Khabi> r, “Al-Qis}s}ah al-Qur’a> niyyah, h. 447

Gambaran di atas menunjukkan bahwa ragam seni penggambaran dalam kisah-kisah Al-Qur’an memiliki kepentingan religius sebagaimana disebutkan juga dalam tujuan-tujuan kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Dalam konteks ini, tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan ulama terkait dengan gambaran ini.

Persoalannya menjadi lain ketika pertanyaan dilanjutkan pada apakah kisah dalam Al-Qur’an adalah kisah yang diciptakan atau tidak? Semakin

krusial lagi adalah, apakah kisah dalam Al-Qur’an seni imajinatif atau kebenaran historis? Persoalan inilah yang melahirkan debat menyangkut isu ini.

Adalah Ah}mad Muh}ammad Khalafulla> h yang mengajukan disertasi doktornya dengan judul Al-Fann al-Qas{as}i fi> al-Qur’an. Karya yang muncul di ‘era transisi’ ini menyulut polemik berkepanjangan terkait dengan isu kisah dalam Al-Qur’an, bahkan hingga era kontemporer ini. 153 Dapat

dikatakan bahwa karya-karya terkait dengan kisah dalam Al-Qur’an yang muncul paska A l-Fann al-Qas}as}i> lebih tampak sebagai reaksi terhadap karya itu.

Berbeda dengan karya T}a> ha> Husain yang polemik mengenai pandangannya terkait dengan ketidakhistorisan kisah Ibrahim dan Isma’il tidak lagi diperdebatkan, pandangan Khalafullah hingga kini masih menjadi fokus kritik para penulis ilmu Al-Qur’an yang membahas kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Ini karena sampai saat ini belum ada ‘edisi revisi’ atas karya kontroversialnya, A l-Fann al-Qas}as}i fi al-Qur’a> n dan Khalafullah masih gigih mempertahankannya. Sementara pandangan T}a> ha> Husain telah direvisi bahkan tidak dimasukkan kembali dalam versi revisi bukunya, Fi al-A dab al-Ja> hili> .

Poin krusial yang menyulut polemik adalah: apakah kisah dalam Al- Qur’an itu faktual atau fiktif semata? Semua ulama tidak menampik bahwa kisah dalam Al-Qur’an memiliki tendensi relijius, tidak terkecuali Ah}mad Khalafulla> h. Namun, terkait apakah kisah Al-Qur’an itu faktual atau fiktif, Khalafulla> h mulai menyangsikannya. Kesangsian itu terlihat di awal ulasan bukunya yang mempertanyakan: “Apakah peristiwa yang dikisahkan dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari peristiwa sejarah (waqa> ’i‘ al-ta> ri> khiyyah)

atau ‘peristiwa fiktif’ (waqa> ’i‘ al-qas}as}iyyah) yang tidak ada relevansinya dengan sejarah?” 154 Dari kajian itu, Khalafulla> h sampai pada kesimpulan

bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukanlah fakta sejarah, melainkan bagian dari seni yang oleh Al-Qur’an difungsikan sebagai medium menyampaikan pesan.

...Bahwa dalam kisah-kisah Al-Qur’an ada sejumlah peristiwa dan cerita yang tidak patut disebut sebagai sejarah...Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi orang untuk membantah bahwa dalam kisah-kisah Al-Qur’an banyak hal yang berbeda dengan kebenaran dan kenyataan, atau tidak sesuai dengan fakta sejarah. 155

Lebih lanjut, Khalafulla> h menegaskan bahwa upaya memaksakan bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu fakta sejarah membuka ruang bagi orang

154 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 20 155 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 254. Dalam konteks ini, Khalafulla> h

membentangkan sejumlah contoh terkait persoalan ini.

yang tidak suka dengan Islam, seperti orientalis, untuk mencari celah akurasi sejarah kisah-kisah Al-Qur’an. Ini karena para penafsir terjebak pada kesalahan metodologi, dengan mendekati kisah-kisah Al-Qur’an sebagaimana mereka membaca dokumen-dokumen sejarah, tidak

sebagaimana mengkaji teks-teks agama atau sastra. 156 Selain itu, untuk mengukuhkan temuannya, Khalafulla> h juga

menyebutkan bahwa Al-Qur’an jarang sekali menampilkan kisah-kisah yang berhubungan dengan sejarah. Bahkan Al-Qur’an dengan sengaja

menyembunyikan uncur-unsur sejarah dari kisah, baik waktu, tempat, dan pelakunya. 157 Belum lagi seringnya kisah-kisah itu diulang dalam Al-Qur’an

menunjukkan bahwa yang terpenting adalah tujuan agamanya, bukan faktualitas kisahnya. Kalau faktualitas yang dituju, tentu Al-Qur’an tidak perlu mengulang-ulang kisah itu dan cukup disebutkan sekali secara

mendetail. 158 Hal lain yang dapat menguatkan bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukan fakta sejarah adalah materi kisah dan akurasinya. Menurut

Khalafulla> h, kebanyakan materi kisah yang diceritakan tidak sesuai dengan

156 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 7 157 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as> }i> , h. 7. Dalam penjelasannya, Khalafulla> h

mengatakan bahwa maksud penyembunyian unsur-unsur sejarah karena, 1) orang-orang yang hidup pada masa Nabi Muhammad dan saat diturunkannya Al-Qur’an mengetahui unsur-unsur sejarah yang disamarkan itu, 2) nalar manusia sejak awal sadar bahwa tujuan kisah-kisah Al-Qur’an adalah petunjuk, kabar gembira, peringatan, dll., Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 29

158 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> }, h. 32 158 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> }, h. 32

Pada ujungnya, kata Khalafulla> h, begitu tidak kuasa memberikan argumentasi yang akurat mengenai perlakuannya terhadap kisah sebagai fakta sejarah, mereka akhirnya mengembangkan argumentasi kemu’jizatan Al-Qur’an. Artinya, dengan strategi Al-Qur’an menggunakan kisah yang bermuatan sejarah itu, orang musyrik Mekah tidak punya kekuatan untuk

menolak kebenaran Al-Qur’an. 160 Argumentasi bahwa kisah Al-Qur’an ‘bukan kitab sejarah’ dan oleh

karena itu kisah-kisah itu tidak harus relevan dengan fakta sejarah, maka Khalafulla> h juga sampai pada kesimpulan bahwa di antara elemen kisah- kisah dalam Al-Qur’an adalah kisah-kisah yang diadapdatasi dari mitos- mitos orang terdahulu (asa> t}i> r al-awwali> n). Ini secara tegas diucapkan oleh Khalafulla> h bahwa:

….Setiap apa yang diungkap Al-Qur’an menyangkut mitos, bahwa Al-Qur’an sendiri tidak menegaskan penolakan diri keberadaan mitos-mitos dalam Al-Qur’an. Yang ditolak oleh Al-

159 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 34 160 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 38-39

Qur’an adalah jika mitos-mitos ini dijadikan argumentasi bahwa Al-Qur’an karya Nabi Muhammad Saw bukan dari Allah. 161

Penggunaan elemen mitos dalam kisah Al-Qur’an, kata Khalafulla> h, juga diakui—walupun tidak tegas—oleh mufasir terkemuka, al-Ra> zi> . Ini misalnya terlihat ketika al-Ra> zi> menafsirkan surah Yu> nus ayat 39:

Ketahuilah bahwa firman ini mengandung beberapa kemungkinan..... Ketika mereka mendengar sesuatu dari kisah Al- Qur’an, mereka berkata, ‘Kitab ini hanyalah mitos-mitos umat terdahulu.’ Mereka tidak tahu bahwa yang dimaksud bukanlah

cerita itu sendiri melainkan maksud dibalik cerita tersebut 162 .’ Pernyataan ini, kata Khalafulla> h, menunjukkan bahwa al-Ra> zi>

mencoba memilah antara dua hal: body text kisah (haikal al-qis}s}ah) dan tujuan agama dari kisah tersebut. 163 Al-Ra> zi> juga tidak membantah elemen

mitos, melainkan menegaskan ketidakmampuan orang musyrik menangkap ‘aspek luar’ yang menjadi pesan kisah itu.

Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 177-178. Dalam konteks ini, Khalafulla> h tidak membantah bahwa ada elemen kisah yang diformat dengan pemaparan sejarah (al-qis}s}ah al-ta> ri> khiyyah) dan perumpamaan-perumpamaan (al-qis}s}ah al- tams|i> liyyah), di samping juga kisah-kisah mitis (al-qis}s{ah al-ust}u> ri> ). Ketiga elemen ini mewarnai corak kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an. Persoalan ini dijabarkan secara mendalam dalam bab ke-2 bukunya dalam bab yang berjudul “al-Fann fi al-Qis}s}ah al- Qur’a> niyyah”, lihat khususnya h. 116 dan seterusnya.

Fakhr al-Di> n al-Ra< zi> , Mafa> tih} al-Ghayb, jilid 8, h. 284-285. (tanda tebal dan italic dari penulis). 163 Ah}mad Khalafulla> h, A l-Fann al-Qas}as}i> , h. 172

Beberapa poin krusial yang dipicu oleh karya Khalafulla> h inilah yang membangkitkan semangat polemik bagi generasi pada masanya dan setelahnya. Ini terlihat dari sejumlah karya yang membincang tentang kisah pasca kehadiran karya Khalafulla> h tidak luput untuk ambil bagian dalam menguji kesahihan gagasannya.

Adalah Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘A< s}i> dalam tulisan pendeknya menggugat kesimpulan Khalafulla> h. Menurutnya, kisah-kisah dalam Al-

Qur’an adalah faktual, tidak seperti yang dituduhkan Khalafulla> h. Ini terlihat dari penggunaan terma Al-Qur’an yang tidak menggunakan istilah qis}s}ah melainkan qas}as}. Qas}as} merupakan bentuk ism al-mas}dar yang bermakna ism al-masf‘u> l, yang berarti berita yang dikisahkan dan disampaikan dengan benar. Dalam konteks ini, menurut Abu> ‘A< s}i> , ada perbedaan yang tegas

antara kisah dalam Al-Qur’an dan kisah-kisah selain Al-Qur’an. 164 Kisah- kisah Al-Qur’an tidak selalu dilengkapi dengan kelengkapan unsur-unsur

kisah sebagaimana dalam kisah-kisah modern yang mencakup tokoh, ruang, waktu, dan peristiwa. 165 Bisa jadi, dalam kisah Al-Qur’an, salah satu unsur

164 Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘A< s}i, Maqa> lata> ni fi al-Ta’wi> l, h. 111 165 Sebagian para peneliti telah salah ketika mereka menuntut adanya semua unsur

kisah dalam kisah-kisah Al-Qur’an. Ini terjadi karena mereka tidak membedakan antara kisah dalam arti hikayah dan kisah sebagaimana yang terjadi dalam Al-Qur’an. Unsur kisah seperti tokoh, tempat, dan waktu tidak harus lengkap dalam konteks kisah Al-Qur’an. Ibra> hi> m Khali> fah, “Qas}as} al-Qur’a> n” dalam Tim Penulis, al-Mausu> ’ah al-Qur’a> niyyah, (Kairo: al-Majlis al-A ’la> Li al-Syu’u> n al-Isla> miyah, 2002), h. 184. Lihat juga http://www. islamic-council.com/qencycux/maosoaa.pdf, Diakses terakhir pada tanggal 10 Desember 2007.

tersebut tidak terungkap. Karena yang terpenting dari kisah dalam Al-Qur’an adalah adanya peristiwa nyata dan pesan yang hendak disampaikan (al-h}adas\

wa al-‘ibrah). 166 Dengan demikian, mustahil Allah yang menurunkan Al- Qur’an ‘memanipulasi fakta dengan membuat kisah’ hanya sekadar untuk

menyampaikan peringatan pada umat manusia. 167 Nada yang sama juga ditegaskan oleh S{alah} al-Di> n Muh}ammad Abd

al-Tawwa> b dan Abd al-Mun‘im H{ifni> . Bahkan Tawwa> b menuding bahwa gagasan yang disampaikan Khalafulla> h adalah taklid yang tidak disertai

kesadaran akan keburukan gagasan tersebut. Karena, kata Tawwa> b, seandainya Khalafulla> h sadar niscaya dia tidak akan mengatakan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak sesuai dengan fakta sejarah. Alih-alih dia akan menguatkan apa yang telah ditegaskan Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an menguatkan apa yang telah diturunkan dalam kitab-kitab terdahulu, namun kemudian Al-Qur’an menggunakan pola dan caranya sendiri dalam mengemasnya. Cara baru dalam mengemas inilah yang merupakan bukti

kemukjizatan Al-Qur’an. 168 Pandangan ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Muh}ammad

Al-Ghazali> . Menurutnya, tidak ada yang menyangsikan bahwa apa yang

166 Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘A< s}i, Maqa> lata> ni fi al-Ta’wi> l, h. 111 167 Muh}ammad Sa> lim Abu> ‘A< s}i> , Maqa> lata> ni fi al-Ta’wi> l, h. 112

S{alah} al-Di> n Muh}ammad Abd al-Tawwa> b, A l-Naqd al-A dabi> : Dira> sah Naqdiyyah wa A dabiyyah H{aul I’ja> z al-Qur’a> n, jilid 3, (Kairo: Da> r al-Kita> b al-H}adi> s\, 2003), h. 132

al-yaum wa akhi> 169 lah al-yaum haqa> ’iq al-ghaz\). Demikian seterusnya. Sementara H{ifni> membantah anggapan bahwa kisah dalam Al-Qur’an

bukan fakta sejarah. Bahkan menurutnya, kisah dalam Al-Qur’an bukan riwayat apalagi hikayat. 170 Memang Al-Qur’an tidak berpretensi untuk

menjadi kitab sejarah, tidak pula hendak menuturkan peristiwa sejarah, tapi itu tidak berarti bahwa apa yang dikisahkan Al-Qur’an tidak bersandar pada

169 Bahkan al-Ghazali> memilah ada dua perspektif sejarahwan terkait dengan kisah dalam Al-Qur’an. Pertama, mereka yang tidak meyakini Al-Qur’an dan tidak

menganggapnya sebagai wahyu. Mereka ini sudah pasti berpandangan bahwa Al-Qur’an bukan kitab sejarah yang mengunggkap fakta sejarah di masa lampau. Kedua, mereka yang meyakini Al-Qur’an sebagai wahyu dan kitab suci dan selalu membenarkannya. Terkait dengan kelompok kedua ini, ada ada dua konsekuensi sikap, 1) Mereka akan membenarkan argumen-argumen historis yang ada dalam Al-Qur’an, atau 2) Menolak sikap mereka yang membenarkan argumen historis dalam Al-Qur’an dengan dalih metode historis dan seni yang digunakannya. Kelompok inilah yang sebenarnya terjadi pada baik T}a> ha> H{usain maupun Khalafullah. Lihat, al-Ghazali> , Naz}ara> t, h. 101-102

Abd al-Mun‘im H{ifni> , Mausu> ’ah al-Qur’an al-A z}i> m, (Kairo: Madbu> li> , 2004), jilid I, h. 831

kisah-kisah itu adalah fakta sejarah di masa lampau. Dapat dikatakan bahwa seluruh kisah dalam Al-Qur’an disandarkan pada kebenaran dan faktualitas, bukan imajinasi. 172

Selain itu, sebagian menyayangkan bahwa seharusnya A l-Fann al- Qas}as}i> tidak dikaji dalam aspek sastra karena yang dibahas terkait dengan

kitab suci, melainkan dikaji dari aspek relijiusnya. 173 Hasilnya dapat ditebak, bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah bagian dari kemukjizatan Al-

Qur’an. Ini juga ditegaskan oleh Abd al-Gawa> d. Dalam bukunya, Gawa> d membantah bahwa kisah dalam Al-Qur’an mengandung kekeliruan historis dan diadaptasi dari mitos umat terdahulu. 174 Ini juga yang ditegaskan H{ija> 175 zi> bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan dokumen sejarah

171 Mutawalli> Idri> s, Qas}as} al-Qur’a> n, h. 294

Bali> gh Fath}i> Mah}mu> d Muh}ammad Abd al-Khabi> r, “Al-Qis}s}ah al-Qur’a> niyyah Aghra> d}uha> wa Sima> tuha> ” dalam Jurnal Ilmiyah Fakultas Us}u> l al-Di> n wa al-Da‘wah Universitas A l-A zhar cabang Zaqa> ziq, No. 5 Jumad al-U< la> 1413 H/ November 1992, h. 439

Komentar ini disampaikan oleh tim yang menguji disertasi doktornya, di antaranya al-Syaib. Lihat Ka> mil Syaf’a> n, Hajmah ‘Ilma> niyyah Jadi> dah wa Muh}a> kamah al- Nas}s} al-Qur’a> ni> , (Kairo: Da> r al-Fad}i> lah, 1994), h.15; Bandingkan juga dengan al-Ghazali> , Naz}ara> t, h. 103

Lebih lanjut baca Abd al-Gawwa> d Muh}ammad Al-Muh}s}i> , A ba> t}i> l al-Khus}u> m Haul al-Qas}as} al-Qur’ani: ‘A rd} wa Muna> fasyah, (Iskandariyah: al-Da> r al-Mis}riyyah, 2000) 175 H{ija> zi> , al-W ah}dah al-Maud}u> ’iyyah > , h. 290

Ami> n al-Khu> li> pun patut angkat bicara lantaran dia adalah pembimbing disertasinya. Menurut al-Khu> li, apa yang dilakukan Khalafulla> h adalah menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar yang mengandung kemukjizatan dalam penuturannya, dan kisah dalam Al-Qur’an adalah bagian dari corak yang pilih Al-Qur’an untuk menyampaikan

pesannya. 176 Muh}ammad Al-Ghazali pun tidak menolak asumsi dasar Khalafullah bahwa kisah dalam seni murni tidak menuntut kesesuaian

dengan fakta. Namun, sayangnya Khalafullah lupa bahwa Al-Qur’an bukan semata-mata kitab susastra, melainkan juga adalah wahyu yang melampaui logika seni sastra murni. Muh}ammad Al-Ghazali mengatakan:

“Andai saja Khalafullah menjadikan kajiannya sebagai media untuk meneguhkan ketinggian dan kedalaman aspek seni dalam Al- Qur’an, dan sebagai orang yang meyakini Al-Qur’an ia juga sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa-peristiwa yang diungkap Al-Qur’an itu

176 Lihat rekam polemik yang dibukukan oleh Ka> mil Syaf’a> n, Hajmah ‘A lma> niyah, h. 33-34 176 Lihat rekam polemik yang dibukukan oleh Ka> mil Syaf’a> n, Hajmah ‘A lma> niyah, h. 33-34

Demikianlah, polemik itu terus terjadi. Masing-masing memiliki argumen yang menguatkan sekaligus meruntuhkan argumen lainnya. Sayangnya, polemik ini berujung pada pemurtadan. Tapi pemikiran tetaplah pemikiran yang memiliki kekuataannya sendiri. Memang, terkadang pemikiran dianggap sebagai kekafiran, diharamkan dan diperangi. Namun seiring waktu, pemikiran itu menjadi madzhab, bahkan ideologi dan

pembaruan, yang mengantarkan hidup selangkah lebih maju. 178 []

Al-Ghazali> , Naz}ara> t, h. 103

Perkataan Amin al-Khu> li dikutip dari Nas}r H{a> mid Abu> Zayd, A l-Tafki> r fi Zaman al-Takfi> r, (Kairo: Maktabah Madbu> li> , 2003).