Per ilaku Hidup Ber sih dan Sehat

4. Per ilaku Hidup Ber sih dan Sehat

Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini ber kaitan dengan faktor sosial dan budaya, antara lain kesadar an individu dan keluarga untuk ber per ilaku hidup ber sih dan sehat, termasuk sadar gizi. Indikator PHBS adalah perilaku cuci tangan, pemberian

ASI eksklusif,

memanfaatkan posyandu, penggunaan alat kontr asepsi (Keluar ga Berencana), aktivitas fisik, penduduk usia di atas 10 tahun yang mer okok, penduduk di atas usia 10 tahun yang kur ang makan sayur dan buah, akses ter hadap sanitasi layak, dan per tolongan per salinan oleh tenaga kesehatan.

rumah

tangga

Masalah kekurangan gizi pada anak balita ini mer upakan dampak dari rendahnya pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak tepat, karena diberikan ter lalu dini atau ter lambat, jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan per tumbuhan dan perkembangan bayi pada setiap tahapan usia dan tidak ber gizi seimbang untuk memenuhi asupan kalor i, pr otein dan gizi mikr o (vitamin dan miner al). Hanya 41 per sen keluarga yang mempunyai per ilaku pemberian makanan bayi yang benar. Keter sediaan pangan lokal ber agam telah dapat diakses oleh sebagian keluarga karena dari

41 per sen keluar ga yang member ikan makanan pendamping ASI yang benar ter sebut ter nyata MP-ASI yang diber ikan ber asal dari sumber pangan lokal yang memenuhi 70 per sen kebutuhan besi dan 87 per sen kebutuhan vitamin A. Buruknya per ilaku keber sihan individu dan lingkungan mengakibatkan bayi dan anak ser ing mender ita diare dan penyakit infeksi lain sehingga memper bur uk status gizinya.

Asupan kalori ibu hamil tidak memenuhi kebutuhan, karena ditemukan 44.4 per sen ibu hamil mendapat asupan kalori di bawah kebutuhan minimum. Hal ini jelas mempengar uhi status gizi ibu dan ber dampak pada kesiapan ibu menyusui bayinya. Menur ut hasil Sur vei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan hanya ber kisar 28.6 per sen (2007), 24.3 per sen (2008) dan 34.3 per sen (2009).

menunjukkan fakta yang memprihatinkan karena inisiasi menyusu dini (<1 jam setelah bayi lahir) hanya dilakukan pada 29.3 per sen bayi dan hanya 74.7 per sen mendapat kolostr um. Per sentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah hanya 15.3 per sen. Walaupun 54.8 per sen ibu mengaku hanya memberikan ASI saja dalam 24 jam terakhir pada bayinya yang ber umur 0-5 bulan tetapi 32 per sen bayi 0-7 hari telah mendapat makanan pendamping ASI, diantaranya 85.8 per sen diberi susu for mula. Mer ujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Riskesdas

Kesehatan, ASI adalah hak asasi bayi dan per orangan atau institusi yang tidak mendukung pember ian ASI akan dikenakan sanksi hukuman dan denda. Cakupan pember ian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, ter utama masih sangat ter batasnya tenaga konselor laktasi untuk memberikan infor masi yang benar kepada keluar ga, ser ta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan pr omosi terkait pemberian ASI maupun MP-ASI. Rancangan Per atur an Pemer intah tentang Pemberian ASI Eksklusif ke depan dihar apkan menjadi pedoman penegakan hukum di daer ah untuk mengungkit kenaikan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi, minimal ter capai 80 per sen pada tahun 2015.

Walaupun posyandu masih mer upakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita (81 per sen), tetapi hanya 56 per sen anak balita yang melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 per sen) anak balita tidak per nah ditimbang dalam 6 bulan terakhir . Indikator D/ S (jumlah anak yang ditimbang ter hadap jumlah selur uh anak di wilayah penimbangan ter sebut) harus menjadi indikator kiner ja utama untuk memantau keber hasilan pember dayaan keluar ga dan masyarakat.

Per ilaku mer okok juga mempr ihatinkan dan semakin lama semakin meningkat pada usia sangat muda. Anak 5-9 tahun yang mer okok meningkat, dar i 1.2 per sen pada tahun 2007 menjadi 1,7 per sen pada tahun 2010. Ditemukan penduduk umur 15 tahun ke atas yang mer okok setiap hari mencapai 28,2 per sen dan sebagian besar (85,4 per sen) mer okok di dalam r umah. Tingkat pengeluaran r umah tangga dan perilaku mer okok anggota keluar ga ber korelasi dengan kejadian gizi kur ang dan pendek, dimana 16 per sen anak balita dengan gizi kurang dan 33 per sen anak balita pendek ter dapat pada keluarga per okok (Riskesdas 2010).

Disisi lain, konsumsi sayur dan buah masih rendah, yaitu sebesar

93 per sen. Kondisi ini diper parah dengan kenyataan hampir separ uh penduduk (48,2 per sen) kurang melakukan aktifitas fisik. Sedangkan kebiasaan mencuci tangan yang benar hanya dilakukan oleh 23 per sen keluar ga dan 71 per sen keluarga telah mempunyai jamban untuk mandi, cuci dan kakus. Secara umum hanya 1 diantara 3 (38,7 per sen) penduduk yang telah melakukan

10 indikator PHBS. Perilaku ter sebut di atas ter nyata memiliki 10 indikator PHBS. Perilaku ter sebut di atas ter nyata memiliki