Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

b. Pasal 4 yaitu : Perempuan yang akan bekerja diluar wilayah desakelurahan wajib memiliki Surat izin Bekerja Perempuan SIBP yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan diadministrasikan oleh camat setempat. c. Pasal 11 yaitu : Perlu mengefektifkan dan menjamin pelakasanaan pencegahan trafiking perlu dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Trafiking Perempuan dan Anak RAN-P3A. d. Pasal 17 yaitu : Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan trafiking perempuan dan anak. e. Pasal 28 yaitu : Sanksi pidana, setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung maupun tidak langsung terjadinya perdagangan trafiking perempuan dan anak dengan tujuan untuk melakukan eksploitasi baik dengan atau tanpa persetujuan untuk pelacuran, kerja atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa dengan perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan pemerasaan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan secara sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Suatu langkah maju dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, negara Indonesia telah melahirkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi danatau korban. Undang-Undang ini bertujuan memberikan perlindungan rasa aman pada saksi danatau korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu. Universitas Sumatera Utara Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Maka sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi: 1. Perlindungan dan hak Saksi dan Korban; 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan 4. Ketentuan pidana.

B. Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Salah satu dasar pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dikarenakan selama ini peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu dalam melakukan pemberantasan perdagangan orang. Dengan lahirnya Undang-Undang ini maka pemerintah berkeinginan untuk mencegah dan menanggulangi perdagangan orang yang didasarkan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, peningkatan kerjasama, Universitas Sumatera Utara