Pasal 20 : Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi. Permohonan Pasal 34 : Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak

dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 dan Pemberian restitusi diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 33.

a. Pasal 20 : Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi. Permohonan

dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus dan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. b. Pasal 21: Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c. Pasal 33 : Dalam hal pemberian Restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan Restitusi.

d. Pasal 34 : Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak

memperoleh bantuan, berupa: a. bantuan medis; b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Dan Permohonan Bantuan dapat diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus yang dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Protokol Palermo adalah suatu perjanjian yang berisi sebuah perangkat hukum yang mengikat kewajiban bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya untuk mencegah, menekan, dan menghukum trafficking pada manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Penandatanganan protokol ini untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak oleh pemerintah Republik Indonesia dalam pemberatasan perdagangan orang. Universitas Sumatera Utara Konvensi Palermo memuat tiga protokol, yaitu anti perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak, anti penyeludupan imigran, serta antiproduksi dan penyeludupan senjata api gelap. Sedangkan dalam perdagangan orang, tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhkan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan orang dan untuk melindungi korban-korban perdagangan orang termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional. 5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disebut SPM adalah tolak ukur kinerja pelayanan unit pelayanan terpadu dalam memberikan pelayanan penanganan laporanpengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. Kekerasan yang dimaksud terhadap perempuan dan anak. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 1 angka 3 kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah publik atau dalam kehidupan pribadi. Sedangkan kekerasan terhadap anak menurut Pasal 1 angka 4 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis, termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan merendahkan martabat anak. Unit pelayanan terpadu atau disingkat UPT adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan fungsi pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. UPT tersebut dapat berada di Pusat Pelayanan Terpadu PPT dan Pusat Krisis Terpadu PKT yang berbasis Rumah Sakit, Puskesmas, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak UPPA, Rumah Perlindungan Trauma Center RPTC, Rumah Perlindungan Sosial Anak RPSA, BP4 dan lembaga-lembaga keumatan lainnya, Kejaksaan, Pengadilan, Satuan Tugas Pelayanan Warga pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Women Crisis Center WCC, lembaga bantuan hukum LBH, dan lembaga sejenis lainnya. Layanan ini dapat berbentuk satu atap one stop crisis center atau berbentuk jejaring, tergantung kebutuhan di masing-masing daerah. Universitas Sumatera Utara SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, meliputi layanan : a. penanganan pengaduanlaporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak; b. pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan; c. rehabilitasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan; d. penegakan dan bantuan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan; dan e. pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 memiliki indikator kinerja dan target batas waktu pencapaian pada tahun 2014, meliputi : a. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan penanganan pengaduan oleh petugas terlatih di dalam unit pelayanan terpadu: 100; b. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Puskesmas mampu tatalaksana KtPA dan PPTPKT di Rumah Sakit: 100 dari sasaran program; c. cakupan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh petugas rehabilitasi sosial terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit pelayanan terpadu: 75; d. cakupan layanan bimbingan rohani yang diberikan oleh petugas bimbingan rohani terlatih bagi perempuan dan anak korban kekerasan di dalam unit pelayanan terpadu: 75; e. cakupan penegakan hukum dari tingkat penyidikan sampai dengan putusan pengadilan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak: 80; f. cakupan perempuan dan anak korban kekerasan yang mendapatkan layanan bantuan hukum: 50; g. cakupan layanan pemulangan bagi perempuan dan anak korban kekerasan: 50; dan h. cakupan layanan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan: 100. 6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelayanan Terpadu Bagi Saksi danatau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan bukti empiris terungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang banyak menjadi korban kekerasan, berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan lainnya. Faktor yang penyebabnya adalah faktor budaya patriarki yang masih banyak terjadi di Universitas Sumatera Utara masyarakat yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan adanya persepsi yang salah yakni menganggap kekerasan sebagai hal yang biasa dan merupakan hak dari pelaku. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilihat dari jenis, pelaku, tempat kejadian, waktu, usia dan akibat dari tindak kekerasan yang berlaku umum dan tidak memiliki relevansi dengan jenis pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, kedudukan sosial, agama dan keyakinan, suku bangsa, etnis dan ras yang melekat pada laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat terjadi pada semua jenis strata sosial, kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan upaya pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang dapat dijadikan panduan bagi penyelenggara layanan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan di daerah, dan sekaligus menjadi landasan kebijakan setiap layanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang bermutu dan profesional dengan berfokus pada kepentingan korban. Untuk itu, disusunlah Standar Pelayanan Minimal SPM Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Universitas Sumatera Utara 56 BAB III PERAN KEJAKSAAN DALAM PENENTUAN HAK RESTITUSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, yang memiliki kewenangan untuk menyidik dan menuntut setiap kasus pidana termasuk kejahatan perdagangan orang. Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana executive ambtenaar. Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. 35 Segala kegiatan penuntutan oleh Kejaksaan di pengadilan tidak akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam 35 http:kejaksaan.go.idtentang_kejaksaan.php?id=1, diakses pada tanggal 18 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara Pasal 41 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain yang diatur dengan undang-undang. Dalam melaksanakan kekuasaan negara sebagaimana tersebut di atas diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri secara merdeka atau tidak ada intervensi dan pengaruh dari pihak manapun. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan. Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Selanjutnya, Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota kabupatenkota yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupatenkota. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 pernah berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 2 menegaskan bahwa : 1. Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. 2. Kejaksaan adalah salah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Universitas Sumatera Utara Pernah juga berlaku Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Dalam ayat 2 menegaskan bahwa Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara. Pasal 3 menetapkan bahwa bahwa Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah- pisahkan. Berdasarkan pasal tersebut dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu: 1. Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum; 2. Tugas utama Kejaksaan adalah sebagai penuntut umum; 3. Kejaksaan harus menjujung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara; 4. Kejaksaan adalah satu dan tak dapat dipisah-pisahkan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa: 1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. 3. Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan. Universitas Sumatera Utara Dari ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia di atas tampak ada beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu : 1. Kesamaan ketiga Undang-Undang Kejaksaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 berkaitan dengan kedudukan Kejaksaan adalah pertama, Kejaksaan melakukan kekuasaan kewenangan utama di bidang penuntutan. 2. Kesamaaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 yakni Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berbeda dari pengaturan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 yang menegaskan bahwa Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Adapun perbedaan ketiga undang-undang mengenai kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia tersebut, yaitu : 1. Perbedaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 terletak pada unsur bahwa “kekuasaan kewenangan itu dilakukan secara merdeka”. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur dengan tegas bahwa kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak mengatur hal ini. Universitas Sumatera Utara 2. Perbedaan lainnya adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 menegaskan secara eksplisit bahwa Kejaksaan harus menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, sementara Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tidak menegaskan hal tersebut. Dalam konteks Ilmu Manajemen Pemerintahan Jaksa Agung, sebagai bawahan Presiden, harus mampu melakukan tiga hal, yaitu : 1. Menjabarkan instruksi, petunjuk, dan berbagai bentuk kebijakan lainnya dari Presiden dalam tugas dan wewenangnya dalam bidang penegakan hukum; 2. Melaksanakan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang telah dijabarkan tersebut; dan 3. Mengamankan instruksi, petunjuk, dan berbagai kebijakan Presiden yang sementara dan telah dilaksanakan. Dedikasi, loyalitas, dan kredibilitas Jaksa Agung di hadapan Presiden diukur dari sejauh mana Jaksa Agung mampu melakukan ketiga hal tersebut, yang pasti adalah Jaksa Agung harus berusaha melakukan ketiga itu untuk menunjukkan dedikasi, loyalitas, dan kredibilitasnya sebagai pengemban kekuasaan negara di bidang penegakan hukum. 36 Di sinilah letak kecenderungan ketidakmerdekaan Kejaksaan melakukan tugas, wewenang dan fungsinya. Implikasinya adalah keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan kemanfaatan hukum yang menjadi cita hukum bangsa Indonesia, sekaligus yang menjadi tujuan hukum yang mestinya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya menjadi cita-cita dan jauh dari kenyataan. 36 http:raypratama.blogspot.com201202kedudukan-kejaksaan-dalam sistem.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara Maka berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, di sisi lain Kejaksaan dipasung karena kedudukan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Di sinilah antara lain letak kelemahan pengaturan undang-undang ini. Apabila pemerintah Presiden benar-benar memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia, tidak menjadi masalah bila Kejaksaan tetap berada dalam lingkungan eksekutif, asalkan Kejaksaan diberdayakan dengan diberi kewenangan dan tanggung jawab luas dan besar namun profesional. Apabila Pemerintah tidak memiliki komitmen seperti itu, alangkah lebih baik bila Kejaksaan, sebagai salah satu instistusi penegak hukum, didudukkan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen bukan menjadi lembaga pemerintahan yang tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya, sehingga Kejaksaan bersifat independen dan merdeka, dalam arti tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Republik Indonesia