Latar belakang Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dewasa ini kasus tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak Trafficking in Persons Especially Women and Children merupakan salah satu issu serius yang harus dihadapi dunia termasuk Indonesia. 1 Masalah perdagangan orang sangat kompleks, dari waktu ke waktu semakin berkembang dan meningkat, sehingga sulit untuk menekan angka pertumbuhannya. Perdagangan orang merupakan perbuatan serupa dengan perbudakan modern yang melanggar harkat dan martabat manusia Hak Asasi Manusia, yang bertentangan dengan tata hukum, merugikan masyarakat dan anti sosial. Indonesia merupakan negara terbesar dan berada di urut ke 3 2 , yaitu negara yang diasumsikan tidak serius menangani masalah trafficking, tidak memiliki perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan menolong korban, serta tidak memliki peraturan perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang yang tinggi berkonsekuensi menimbulkan jumlah korban perdagangan orang yang banyak sehingga memerlukan penanganan kasus yang optimal. Tahun 2007 Indonesia berhasil membuat peraturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang yaitu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1 Sumijati Sahala, Masalah perdagangan anak dan wanita berdasarkan protokol konvensi TOC, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2006, Hal 1. 2 http:www.antara.co.idarc2007614as-akan-tetap-bantu-ri-perangi-human-trafficking, diakses pada tanggal 11 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang salah satu hak korban adalah untuk mendapatkan restitusi. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil danatau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Selanjutnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengatur tentang mekanisme pengajuan restitusi. Dapat dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam bentuk uang. Tujuan ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang. Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena undang-undang ini belum optimal dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka atau terdakwa sehingga kurangnya perhatian terhadap korban yang mengakibatkan haknya terabaikan. Banyaknya korban tidak di imbangi dengan perlindungan hak dan kewajibannya. Setiap korban perdagangan orang seharusnya berhak mendapat bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlunya perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perdagangan orang harus diperhatikan. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang adalah pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling, pelayanan medis atau pemulihan kesehatan fisik dan psikis rehabilitasi, upaya pemberian bantuan hukum dan pendampingan, Universitas Sumatera Utara pemberian informasi dan reintegrasi penyatuan kembali ke keluarganya atau ke lingkungan masyarakatnya. Menurut Gelaway yang merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu : 3 1. meringankan penderitaan korban; 2. sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; 3. sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana; 4. mempermudah proses pengadilan; 5. dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam. Restitusi lebih diarahkan kepada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan yang dilakukan si pelaku. Sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban, dimana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak menentukan secara tegas dan hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan. Perdagangan orang kini dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari berbagai data dalam angka-angka yang 3 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, Hal 121. Universitas Sumatera Utara bisa ditampilkan berkaitan dengan perdagangan orang dikeluarkan oleh International Labor Organization ILO, 2005, memperkirakan bahwa : 4 1. 12,3 juta manusia di seluruh dunia telah dipaksa menjadi buruh atau tenaga kerja paksa. ILO menganggap bahwa tenaga kerja paksa adalah masalah global yang sesungguhnya karena telah menimbulkan dampak yang serius pada sebagian besar umat manusia, baik di negara-negara berkembang maupun negara maju; 2. 40-50 korban dari tenaga kerja paksa ini adalah anak-anak; 3. Mayoritas korban 64 yang menjadi tenaga kerja paksa masuk dalam eksploitasi ekonomi seperti misalnya dalam pertanian, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya; 4. 11 korban adalah tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial; 5. Mayoritas 65 korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi ekonomi adalah perempuan dan anak-anak perempuan, dan 98 korban tenaga kerja paksa yang masuk dalam eksploitasi seksual komersial adalah perempuan dan anak-anak perempuan; 6. 20 2,45 juta orang tenaga kerja paksa tersebut adalah korban perdagangan orang dan 43 dari mereka masuk dalam eksploitasi seksual komersial. Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota–kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, 4 http:www.jurnalhet.comdokumenupaya-pemberantasan-perdagangan-orang-maslihati, diakses pada tanggal 15 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara Pontianak, Makasar, dan Manado. 5 Kaum perempuan yang terjebak bisnis narkotika sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai korban perdagangan perempuan yang dapat terjadi karena : diawali dengan rekrutmen perempuan mengggunakan penipuan dalam berbagai bentuk, terutama melalui hubungan personal seperti : pacaran, perkawinan, hidup bersama, dan hubungan personal lain antara perempuan dan pengedar atau pemilik narkotika yang sesungguhnya laki-laki asing; orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini; adanya unsur migrasi; dan adanya unsur kekerasan. 6 Berdasarkan data tersebut terdapat banyak kasus mengenai tindak pidana perdagangan orang dan faktanya tidak banyak vonis yang mencantumkan ganti rugi kepada korban disebabkan berbagai faktor penghambat seperti : kurangnya pemahaman penegak hukum terkait restitusi, kurangnya pemahaman masyarakat terkait kepentingan korban, kurangnya pemahaman korban tindak pidana perdagangan orang terkait dengan hak-haknya, kurangnya sarana dan prasarana, tidak adanya peraturan pelaksana dan terlalu ringannya kurungan pengganti. Untuk itu diperlukan adanya regulasi tehadap peraturan perdagangan orang, khususnya dalam tataran legislasi, yaitu dengan membuat peraturan-peraturan yang merupakan peraturan yang menunjang atau pelaksana dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur secara umum mengenai perdagangan orang adalah KUHP dan hanya memiliki satu pasal saja 5 Farhana.Op.Cit., Hal 6. 6 Sulistyowati Irianto, Lim Sing Meij, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006, Hal 33 -34. Universitas Sumatera Utara yaitu, Pasal 297 tetapi tidak jelas karena yang dijadikan korban perdagangan orang hanya perempuan dan anak laki-laki belum dewasa, padahal korban perdagangan orang tidak terbatas usia dan jenis kelamin. Sanksi hukum dalam Pasal 297 KUHP sangat ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita oleh korban. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak belum mampu untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam ketentuan lain sudah terdapat peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam penghapusan perdagangan orang, seperti : Peraturan Daerah khusus untuk Sumatera Utara, Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Trafficking Perempuan Dan Anak, Rencana Aksi Provinsi Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005. Konsekuensi dari upaya pencegahan tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan yang dimaksudkan untuk melindungi dan menghormati HAM, diantarnya adalah Keputusn Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Komersial Anak RAN RESKA, dan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak RAN P3A. Sejalan dengan semangat untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, maka sejak tahun 2002 telah banyak hasil yang dicapai dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang, antara lain ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Untuk mendukung pelaksanaan undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah Universitas Sumatera Utara kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 25KEPMENKOKESRAIX2009 tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang RAN TPPO dan Eksploitasi Seksual Anak ESA 2009-2014. 7 Faktor utama penyebab terjadinya perdagangan orang diantaranya yang dominan adalah persoalan ekonomi dan kemiskinan. Selain itu berdasarkan analisisnya juga terdapat beberapa faktor lain, seperti : 8 kurangnya pengetahuan akibat dari terjadinya trafficking, keinginan untuk secara cepat mendapatkan uang atau kerja yang mudah dan tidak terlalu berat, orang tua yang kurang kontrol dan adanya faktor izin dari orang tua, mudahnya memperoleh izin dari birokrat kelurahan, kecamatan dan lain-lain institusi, keinginan mengikuti perkembangan modern serta gaya hidup yang konsumtif, kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang merupakan salah satu tujuan dari kebijakan hukum pidana social defence, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat socialwelfare harus sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu bahwa negara dan pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan umum sesuai dengan yang tertuang dalam Undang- Undang Dasar 1945. Penting bagi negara untuk menghukum atas terjadinya pelanggaran HAM dalam tindak pidana perdagangan orang serta memberikan 7 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana Dan Pencegahannya, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Hal 162. 8 Moh. Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2012, Hal 63. Universitas Sumatera Utara perlindungan kepada korban atau orang-orang yang diperdagangkan. Sebab tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dalam penegakan hukum memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkordinasi dengan baik. Perlindungan terhadap perempuan dan anak telah menjadi tugas bersama segenap bangsa Indonesia untuk dapat menanggulangi kejahatan kemanusiaan. Diperlukan upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang dengan lebih meningkatkan peran serta fungsi sektor, baik di tingkat pusat sampai ke daerah maka perlu dibentuk gugus tugas sebagai institusi yang akan membantu pemerintah. Gugus tugas adalah lembaga koordinatif yang beranggotakan wakil- wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan penelitiakademisi. Pengaturan gugus tugas terdapat dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tujuan sistem peradilan dapat terwujud apabila penegakan hukum pidana bekerja dengan baik, selaras dan berwibawa, terutama apabila aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas, dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diamanatkan oleh undang-undang integrated criminal justice administration. Keempat badaninstitusi tersebut harus dapat bekerja sesuai dengan sistem yang berlaku dan mengacu pada managemen sistem peradilan pidana yang berlaku. 9 9 Henny Nuraeny, Op.Cit., Hal 85. Universitas Sumatera Utara Maka di sadari pentingnya peran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan. Perlunya Jaksa yang profesional dan harus mempunyai peran yang aktif dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang. Jaksa harus dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik, diharapkan agar tidak lalai untuk memberitahukan kepada korban tentang haknya mengajukan restitusi. Pengajuannya dapat dilaksanakan sejak korban melaporkan kasusnya ke Kepolisian Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan tindak pidana yang dilakukan. Jaksa menyampaikan jumlah kerugian yang di derita korban bersamaan dengan tuntutan yang tidak akan menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Berdasarkan uraian di atas, penting untuk dilakukan penelitian tentang Peran Kejaksaan Dalam Penentuan Hak Restitusi Tindak Pidana Perdagangan Orang.

B. Perumusan Masalah