Deskripsi Variabel Penelitian

B. Deskripsi Variabel Penelitian

1. Simpanan Masyarakat di Perbankan

Besarnya jumlah dan proporsi simpanan dari masing-masing Kabupaten/Kota di propinsi Jawa Tengah dapat menentukan perilaku simpanan masyarakat di perbankan. Hal ini disebabkan terdapat perbedaan struktur ekonomi dan kondisi sosial masyarakat di tiap-tiap kabupaten/kota tersebut. Oleh karena itu, perlu dianalisis perkembangan simpanan masyarakat yang terjadi.

Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah simpanan di propinsi Jawa Tengah. Peningkatan yang paling besar terjadi pada kabupaten Semarang pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp 2.482,9 triliun. Penurunan terendah yang terjadi adalah pada kabupaten Tegal yaitu sebesar Rp 174,2 miliar.

Kemudian pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa simpanan di kota Semarang merupakan proporsi yang terbesar dari keseluruhan simpanan masyarakat di perbankan wilayah propinsi Jawa Tengah sepanjang periode penelitian. Rata-rata proporsi simpanan di kota Semarang adalah sebesar 32,6 persen.

Kota Surakarta merupakan daerah dengan proporsi simpanan terbesar kedua setelah kota Semarang. Sedangkan proporsi simpanan terkecil terdapat pada kabupaten Batang yang tercermin dari proporsi simpanan tahun 2010, yakni sebesar 0,71 persen.

2. Pendapatan Per Kapita

Pendapatan per kapita merupakan determinan kunci berbagai penelitian mengenai simpanan. Berikut disajikan tabel proporsi perkembangan PDRB per kapita riil atau harga konstan tahun 2000 menurut kabupaten/kota di wilayah propinsi Jawa Tengah.

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa jumlah pendapatan per kapita cenderung semakin meningkat tiap tahunnya. Namun jika dilihat pertumbuhannya, hasilnya akan cenderung fluktuatif. Diketahui bahwa dalam dua tahun terakhir bahkan ada daerah dengan pertumbuhan pendaptan per kapita yang cenderung menurun dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendaptan per kapita Kabupaten Magelang tahun 2010 merupakan yang paling besar yaitu sebesar 23 %. Sedangkan pertumbuhan pendapatan per kapita kabupaten Batang adalah yang terkecil pada tahun tersebut, yaitu sebesar 1,9 %.

3. Tingkat Suku Bunga

Pada masa krisis moneter tahun 1998, tingkat suku bunga simpanan nominal cenderung sangat tinggi dan tidak stabil mengikuti kondisi perekonomian yang tidak menentu. Namun, tingkat suku bunga nominal tabungan mulai tahun 2002 cenderung terlihat stabil. Hal ini mungkin disebabkan mulai berakhirnya periode krisis moneter tahun 1998, dimana kondisi politik dan keamanan cenderung semakin stabil dan dapat dikendalikan. Suku bunga yang semakin menurun diharapkan dapat mendorong produktivitas sektor riil seiring dengan semakin rendah pula suku bunga pinjaman. Dalam penelitian ini menggunakan suku bunga nominal nasional sehingga untuk setiap kabupaten/kota besarnya suku bunga sama. Berikut akan disajikan Tabel mengenai perkembangan suku bunga pinjaman selama periode penelitian.

Tabel 4.7 Tingkat Suku Bunga Tabungan Bank Persero Tahun 2002- 2010 (dalam persen)

Sumber: SEKD Bank Indonesia Berbagai Edisi

Tahun

Suku Bunga

Dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa tingkat suku bunga cenderung masih tinggi pada tahun 2002 yakni sebesar 9,42 persen, yang merupakan tingkat suku bunga tertinggi selama periode penelitian. Sesudah tahun 2002, tingkat suku bunga cenderung mengalami penurunan hingga tahun terakhir periode penelitian. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat suku bunga nominal berada pada kisaran 2 persen. Suku bunga tahun 2010 merupakan tingkat suku bunga terendah, yaitu sebesar 2,65 persen.

4. Tingkat Inflasi

Tingkat inflasi merupakan faktor potensial lainnya yang dapat mempengaruhi simpanan masyarakat di perbankan propinsi Jawa Tengah. Tingkat inflasi dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan ketidakpastian kondisi perekonomian. Inflasi mempengaruhi simpanan melalui ketidakpastian dan tingkat suku bunga.

Dalam Tabel 4.8 dapat dilihat fluktuasi dari tingkat inflasi di wilayah propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap mengalami peningkatan inflasi yang cukup besar pada tahun 2005, yaitu sebesar 43,83 persen, dimana di tahun sebelumnya sempat mengalami deflasi sebesar 2,67 persen. Hal serupa dialami kabupaten Pemalang dan Kabupaten Brebes pada tahun 2005 dimana tingkat inflasi mencapai 23,65 persen dan 24,21 persen. Fenomena ini terjadi akibat dari kenaikan harga BBM pada tahun tersebut. Dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi baru dialami kabupaten Purbalingga dan Wonogiri pada tahun 2006. Tingkat inflasi kabupaten Purbalingga sebesar 17,26 persen, dan kabupaten Wonogiri sebesar 17,62 persen.