Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar

Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di dunia. Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah diperhitungkan untuk dipakai. 44 Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka.

2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar

Penulis tidak menemukan baik di dalam Al-Quran atau As-Sunnah sebutan atau spesifikasi apa yang dimaksudkan dengan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi 44 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, penerjemah Rofi’ Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 2005, cet. 3, h. 223. dan Ahlu al-Ikhtiyar ini. Tujuan Islam tidak membuat satu sistem khusus dan tidak merinci-rincikannya agar rakyat ikut adil dalam perkara Musyawarah, dan rincian partisipasi atau adilnya itu diserahkan kepada mereka. Perkara perincian itu juga berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sosial kemasyarakatan di satu masa dan satu tempat. Istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berbeda pendapat seputar definisisi Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan juga Ahlu al-Ikhtiyar. Imam Al- Mawardi dan beberapa ulama lainnya menyebutnya dengan Ahlu al-Ikhtiyar, yaitu “orang-orang yang mempunyai kualifikasi untuk memilih”. 45 Dalam hubungan ini, Dr. Abdul Karim Zaidan menyebut “Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Para rakyat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka dalam memeperjuangkan kepentingan rakyatnya ”. Paradigma pemikiran ulama fikih merumuskan istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan; Anshar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi yang bertindak sebagai wakil umat. Walaupun sesungguhnya pemilihan itu, 45 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, cet. 1, h. 176. khususnya pemilihan Abu Bakar dan Ali lebih bersifat spontan atas dasar tanggungjawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun keduanya mendapat pengakuan dari umat. Hanya Umar yang membentuk satu kumpulan sahabat yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah sesudah ia wafat. 46 Adapun secara bahasa, istilah Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi terdiri dari tiga kalimat: 1- Ahlu, yang berarti orang yang berhak atau memiliki, 2- Halli, yang berarti melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, 3- Aqdi, yang berarti mengikat, mengadakan, membentuk. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan pengertian Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengikut bahasa adalah Orang-orang yang memiliki pengetahuan ahlinya, yang mampu melepaskan, menyesuaikan, memecahkan permasalahan umat, menetapkan urusan-urusan umat dan mengadakan serta membentuk sistemperaturan ”. 47 Tentang bilangan keanggotaan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sehingga pengangkatan imam khalifah atau pembuatan ssesuatu keputusan oleh mereka dianggap sah, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sekelompok ulama berpendapat, bahwa pemilihan imam khalifah tidak sah kecuali dengan dihadiri seluruh anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi bagi setiap daerah, agar imam yang mereka angkat diterima seluruh lapisan masyarakat dan 46 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, Dan Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. 5, h. 67. 47 http:mediafathulkhoir.blogspot.com200812ahlul-halli-wal-aqdi.html diakses tanggal 2332010 jam 13:30 WIB. mereka semua tunduk pada kepemimpinannya. Pendapat ini berhujah dengan peristiwa pembaiatan pengangkatan Abu Bakar RA. Kelompok ulama yang lain berpendapat bahwa minimal lembaga yang memilih imam yaitu Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi itu beranggotakan lima orang, kemudian mereka sepakat mengangkat khalifah, atau salah seorang dari mereka sendiri diangkat menjadi khalifah dengan mendapat restu dari empat anggota yang lain. Para ulama di Kufah berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dianggap sah dengan tiga orang. Salah seorang dari mereka bertiga ditunjuk sebagai imam khalifah dengan persetujuan dua anggota yang lain. Jadi salah seorang dari mereka diangkat menjadi imam dengan dan dua yang lainnya menjadi saksi sebagaimana akad pernikahan dianggap sah dengan dihadiri satu orang wali dan dua orang saksi. Kelompok lain berpendapat bahwa Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi sah dengan hanya satu orang, karena Abbas Bin Abdul Muthalib RA berkata kepada Ali Bin Abi Thalib RA, ”Bentangkan tanganmu, aku membaitmu, agar orang-orang berkata bahwa paman Rasulullah SAW telah membait keponakannya kemudian tidak ada dua orang yang berbeda pendapat tentang dirimu”. Selain itu lagi, sesungguhnya menurut mereka permasalahan ini adalah permasalahan hukum dan hukum itu sah dengan hanya satu orang. 48 48 Imam Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Dalam Syariat Islam, penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: PT Darul Falah, 2007, cet. 3, h. 5. Mengenai syarat-syarat para anggota Ahlu al-Iktiyar, Imam Al-Mawardi memberi gambaran bahwa mereka harus memiliki tiga kriteria, yaitu: 1. Adil dengan cukup segala syarat-syarat untuk dikatakan sebagai adil. 2. Mempunyai ilmu yang membuatnya mampu memilih siapa yang difikirkan layak untuk menjadi imam sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. 3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam yang paling efektif dan paling ahli dalam mengelola segala kepentingan. 49 Jika anggota Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi mengadakan sidang untuk memilih pemimpin, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang mempunyai kriteria kepemimpinan kemudian mereka memilih siapa di antara orang-orang tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, paling segera ditaati rakyat dan mereka tidak menolak membaiatnya. 50 Tentang hubungan antara Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi dan rakyat, mereka mewakili rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara. Mereka adalah wakil-wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilih, yang secara tidak langsung pula berarti pilihan mereka adalah pilihan rakyat. Menurut Rasyid Ridha, tugas Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi selain dari hak pilih, adalah menjatuhkan 49 Ibid, h. 3. 50 Ibid, h. 6. khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya. Al-Mawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi berhak untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepadanya. 51

3. Demokrasi Dalam Islam