Konsep Musyawarah Dalam Islam

1. Konsep Musyawarah Dalam Islam

Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah perbuatan yang dilakukan timbal balik, maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan. 32 32 http:saoskerupuk.co.ccmusyawarah_dan_demokrasi_dalam_islam.html diakses tanggal 3032010 jam 13:40 WIB. Para ulama memberikan definisi kata musyawarah sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, antara lain: a. Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq mendefinisikan musyawarah sebagai “Eksplorasi pendapat orang-orang yang berpengalaman untuk mencapai sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran”. 33 b. Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari mengatakan musyawarah adalah “Ekplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka, tentang persoalan-persoalan yang umum yang berkaitan dengan kemaslahatan umum pula”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa umat mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih pemerintah yang diinginkan mereka, dan hak untuk diminta pendapat dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang penting. Dengan demikian, umat mempunyai hak untuk mengawasi, mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada pemerintah. 34 c. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa musyawarah adalah “Pertemuan guna membahas permasalahan; masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat yang dimiliki”. 35 33 Abd Al-Rahman Abd. Al-Khaliq, Al-Syuura Fi Zhilli Nidzham al-Hukm al-Islam, Kuwait: Al-Dar Al-Salafiyyah, 1975, h. 14. 34 Abd Al-Hamid Ismail Al-Anshari, Al-Syuura Wa Atsaruha Fi Al-Dimuqrathiyyah, Cairo: Al-Maktabah Al-Salafiyyah, 1981, h. 4. 35 Ibnu Al-Arabi, Al-Ahkam Al-Quran, Beirut:Dar Al-Fikr, 1988, jilid 1, h. 389. d. Mahmud Muhammad Babbali mengemukakan bahwa musyawarah merupakan “ Saling tukar menukar pendapat guna memperoleh yang mendekati kebenaran; maka karena itu, musyawarah sekaligus merupakan bentuk dari tolong menolong, saling menasihati, kemauan yang kuat untuk menegakkan kebenaran dan tawakkal kepada Allah SWT”. 36 e. Beliau juga mengatakan lagi, musyawarah adalah “Saling bertukar pandangan atau pendapat dengan orang lain dalam satu tema tertentu untuk sampai pada pendapat yang paling benar”. 37 f. Ismail Al-Badawy mengatakan bahwa musyawarah adalah “usaha menghasilkan kebenaran setelah eksplorasi terhadap pendapat-pendapat orang lain”. 38 Musyawarah termasuk perkara yang sistem dan batasannya tidak dibuat, sebagai rahmat untuk manusia dan bukan karena lupa. Memberikan keleluasan dan memberikan hak penuh kepada mereka untuk memilih apa yang bisa diterima oleh akal dan dipahami oleh manusia, dan selama tujuannya adalah dasar Musyawarah serta untuk menciptakan undang-undang yang adil yang menyatukan rakyat bukan menceraikan dan mengadakan perpecahan dikalangan mereka. 36 Mahmud Muhammad Babbali, Al-Syuura Suluk Wa Al-Iltizam, Makkah: Maktabah Al- Tsaqafah, 1986, h. 19. 37 Ibid, h. 5. 38 Ismail Al-Badawy, Mabda’ Al-Syuura Fi Al-Syariat Al-Islamiyyah, Cairo: Dar Al-Fikr Al- Arabi, 1981, h. 7. Alasan Islam untuk tidak membuat satu sistem bagi Musyawarah sama alasannya dengan alasan Islam tidak membuat satu sistem politik yang merincikan hukum khilafah, untuk memberi kebebasan kepada umat untuk membuat keputusan berdasarkan akal selagimana keputusan itu sesuai dengan ketentuan syariat. Abu Bakar RA selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah dengan para sahabat beliau. Apabila beliau dihadapkan dengan suatu permasalahan dan permasalahan tersebut tidak dapat beliau temukan di dalam Al- Quran dan As-Sunnah, maka beliau akan bermusyawarah dengan para sahabat. Jika semua mereka semuanya sepakat atas satu keputusan berdasarkan Musyawarah itu, beliau akan memutuskan permasalahan tersebut dengan keputusan itu. 39 Mayoritas ulama Islam dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan Musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash Al-Quran dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu, Musyawarah ini lazim dan tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya. 40 Firman Allah SWT Q.S Ali Imran 3: 159 39 Ridwan HR, Fikih Politik Gagasan, Harapan dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. I, h. 78. 40 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, Jakarta: AMZAH, 2005, cet. 1, h. 35. { َ ِلِكَوَ ُمْلا بُُِ َ َللا َ ِإ ِ َللا َلَع ْلَكَوَ َ ف َتْ َنَع اَذِ َف ِرْ َأا ِِ ْمُ ْرِواَشَو ْمََُ ْرِ ْغَ ْساَو ْمُهْ نَع ُ ْعاَف } ارمع لآ 159 . Artinya: “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada- Nya .” Q.S: Ali Imran 3:159 Dengan nash yang tegas ini, „dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ’, Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan hingga Rasulullah SAW sendiri melakukannya. Ini adalah ketetapan yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati umat Islam bahwa Musyawarah merupakan prinsip dasar dan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Islam ditegakkan atas prinsip ini. 41 Dapat dipastikan bahwa pandangan yang terkuat dikalangan ulama tentang hukum Musyawarah adalah wajib, diwajibkan atas para penguasa untuk meminta pendapat rakyat dalam segala perkara umum. Musyawarah adalah kewajiban yang diwajibkan atas para penguasa dan juga rakyat. Penguasa harus bermusyawarah dalam setiap perkara pemerintahan, administrasi, politik, dan pembuatan perundang-undangan. Juga dalam setiap hal yang menyangkut kemaslahatan individual dan kemaslahatan umum. Rakyat juga harus memberikan 41 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta: Gema Insani, 2006, jilid 3, cet. 2, h. 294. pendapatnya kepada penguasa dengan pendapat yang mereka anggap baik dalam perkara-perkara di atas, baik penguasa meminta pendapat mereka ataupun tidak. 42 Keengganan penguasa atau pemimpin untuk bermusyawarah dengan orang lain dari orang-orang yang pantas untuk diminta pendapatnya dan hanya berpegang dengan pendapatnya sendiri, dianggap suatu sikap diktator. Sikap diktator membawa kepada kezaliman dan kezaliman membawa kepada kebencian Allah SWT dan kegelapan pada hari kiamat. Allah SWT mengharamkan rahmat- Nya atas diri penguasa atau pemimpin tersebut dan menjadikannya tersingkirkan dikalangan rakyat. Sikap diktator ini sememangnya dilarang dalam Islam dan pada hakikatnya adalah suatu pemaksaan dan ketakburan. 43 Firman Allah SWT Q.S Al-Ghaasyiyah 88: 22 { ٍرِطْيَسُِِ ْمِهْيَلَع َتْسَل } يشاغلا 22 . Artinya: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” Q.S: Al- Ghaasyiyah 88:22 Maksudnya adalah para penguasa dan pemimpin tidak berkuasa total terhadap rakyatnya, jika mereka menyuruh kepada maksiat dan dosa maka rakyat diberi hak untuk mengingkari mereka dan merujuk kepada Al-Quran dan As- Sunnah. Ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran, surah An-Nisa ’ ayat 59 seperti yang telah disebut. 42 Farid Abdul Khalid, Fikih Politik Islam, Jakarta: AMZAH, 2005, cet. 1, h. 58. 43 Ibid, h. 61. Apabila seorang penguasa bermusyawarah dengan orang bawahannya atau rakyatnya, sementara sebagian mereka menegurnya bahwa apa yang harus diikuti adalah Al-Quran dan As-Sunnah maka ketika ini sang pemerintah harus tunduk pada keduanya. Di sini seseorang tidak boleh taat kepada siapa pun untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, meskipun dia berkedudukan tinggi dan mempunyai status sosial yang mapan di dunia. Apabila ada permasalahan yang diperselisihkan oleh umat, maka setiap orang dari mereka mengeluarkan pendapatnya yang terarah dan tepat, mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karenanya, setiap pendapat yang mempunyai kesamaan dengan apa yang tertera dalam keduanya maka haruslah diperhitungkan untuk dipakai. 44 Konsep Musyawarah ini dapat dilihat pelaksanaanya dalam Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi atau Ahlu al-Ikhtiyar, yang banyak disebut oleh ulama-ulama fikih dan tafsir di dalam kitab-kitab mereka.

2. Ahlu al-Halli Wa al-Aqdi Dan Ahlu al-Ikhtiyar