xxix Buddha DharmaAgama Buddha menganjurkan kebaikan dan
kedamaian hidup manusia. Mengajarkan cinta-kasih, kebijaksanaan, kesederhanaan. Dengan kata lain agama Buddha memiliki fungsi-fungsi
profetik untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketakutan, kebiadaban, dan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri
maupun orang lain. Buddha Dharma memberikan kepada penganutnya suatu pandangan tentang hukum abadi, yaitu hukum-hukum alam semesta
sebagai kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Buddha Dharma adalah ajaran yang berlandaskan cinta kasih tanpa
mengenal dan menggunakan kekerasan. dengan mengikuti tuntunan bahwa Dharma diajarkan kepada manusia untuk mewujudkan manusia yang
mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif,
baik personal maupun sosial. Di samping itu, Dharma mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan, mendidik
emosi, etika dan intelektual.
3. Kontekstualisasi Pengajaran Dharma
Dharma memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat Buddha. Dharma menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu
kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Karenanya, internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi
sebuah keniscayaan.
xxx Sang Buddha menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan
manusia, dan telah mengajarkan pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat. Melalui ajarannya yang
realistik, rasional, pragmatis dan humanistik sang Buddha mencoba memberikan dasar-dasar etis yang diperlukan manusia dalam
kehidupannya. Sang Buddha bersabda: “Wahai para siswa, kami mengajarkan Dhamma untuk
dipergunakan sebagai rakit, untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantungi terus menerus”
. Sang Buddha merumuskan suatu cara hidup, yaitu kebudayaan
budhis, dan menekankan latihan praktek yang benar. Mendorong untuk tidak hanya membincangkan masalah-masalah metafisika, melainkan
mengutamakan usaha untuk meningkatkan etika masyarakat. Dalam kaitan ini, ketika ditanya oleh Brahmana Potthapada, mengapa beliau tak
mengemukakan pandangan beliau mengenai kesepuluh masalah metafisika antara lain: apakah alam ini kekal atau tidak; apakah jiwa itu dan
sebagainya, sang Buddha menjawab; “masalah-masalah seperti itu tidak bermanfaat, tidak bersangkutan dengan Dharma, tidak menghasilkan
kehidupan susila ataupun pelepasan.....atau pengetahuan sejati.....atau Nibbâna.”
22
Perspektif di atas memberikan pengertian bahwa hidup manusia ada dalam dan pada dunia. Karenanya, manusia tidak dapat melepaskan
kediriannya dari dialog dengan dunia sosial-kultural-nya. Rumusan ini
22
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagian dalam Dhamma, h. 286
xxxi merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan Sang Buddha
dalam seluruh refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia. Pandangan mendasar tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak
berlangsung dalam suasana batin tempat dan ruang yang tertutup, melainkan dalam dialog dengan lingkungan dunianya.
Sebagai sebuah ajaran universal, pengajaran Dharma hadir dan menguat, terutama sejak perubahan dan hasil konstruksi pemikiran dan
aktivitas Sang Buddha, melalui apa yang disebut Dhammacakkhapavatthana sutta sebagai proses gelombang merasakan
ajaran yang sangat agung yang berhembus dari Taman Rusa Isipatthana ke seantero dunia. Dharma dipandang sebagai satu komponen yang penting
untuk mencapai keadilan sosial. Resonansi transformasi sosial di tingkat global ini, pada fase selanjutnya turut berpengaruh terhadap kondisi sosial-
kultural Indonesia. Di masa kerajaan-kerajaan Nusantara kuno, optimisme terhadap Dharma, mulai menarik perhatian banyak kalangan dan
masyarakat. Pada masa inilah, pengajaran Dharma mulai diidentifikasi dan dikontektualisasikan di Nusantara.
Bukti perkembangan agama Buddha dan pengajaran Dharma di Indonesia ditandai kedatangan Ajisaka pada Abad I.
Menurut catatan Fa- Hien, pada abad II, III, IV di Jawa agama Buddha sudah ada dan
kedatangannya membawa rupang dan kitab agama Buddha. Pengajaran Dharma dalam perkembangan selanjutnya tumbuh pesat ditandai dengan
xxxii pendirian candi Borobudur Abad VIII, IX, Abad VII, VIII, dan berdiri
kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
23
Kedatangan Ajisaka pada Abad I di samping sebagai dharmaduta,
juga memperkenalkan aksara dan penanggalan tahun Saka Candrasengkala.
24
Dalam hal ini sangat jelas bahwa pengajaran Dharma tidak tertutup hanya memakai bahasa India kuno tetapi terbuka bagi
bahasa apapun. Pada suatu kesempatan sang Buddha ditanya oleh para muridnya
mengenai pemakaian bahasa dalam pengajaran Dharma. Apakah tetap menggunakan bahasa India sesuai bahasa yang ada di sana atau
disesuaikan dengan bahasa setempat. Menanggapi pertanyaan tersebut, Buddha bersabda :
“Para bhikkhu, aku ijinkan engkau sekalian mempelajari sabda-sabda bhagawa dalam bahasamu sendiri.”
Dalam pengertian ini, Dharma yang diajarkan adalah esensi
muatannya bukan kepada pemakaian bahasa. Bahasa hanya sebagai pengantar mempermudah orang untuk memahaminya.
Gagasan mengenai negara kesatuan, telah memberikan pijakan baru untuk pengajaran Dharma. Hegemoni Sangha dalam lingkungan
sosial-kultural, termasuk politik yang telah begitu menggurita pada masa kerajaan Nusantara kuno dan memiliki legitimasi historis dalam konteks
keindonesiaan ditinggalkan untuk kemudian muncul sebagai organisasi
23
J. L Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986, h. 45
24
J. L Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, h. 39
xxxiii yang hidup sukarela, self-generating, sebagian besar self-supporting,
otonomi dari negara, dan yang terikat oleh tata hukum atau norma-norma yang berlaku, yang berfungsi menjaga keseimbangan pada suatu kekuatan
antara negara dan individu atau masyarakat secara umum. Secara efektif, sangha kemudian melibatkan diri untuk
mengembangkan dan memajukan pengajaran Dharma, membantu untuk menciptakan internalisasi nilai-nilai Dharma dalam kehidupan. Penjelasan
ini berdasarkan rumusan trimurti suci keimanan Buddha, yaitu Buddha Gotama, Dharma, Sangha. Rumusan memberikan hak istimewa kepada
sangha sebagai pengemban amanat sang Buddha Gotama sebagai pelindung dan penyebar Dharma.
Dalam hal ini, ekspresi keagamaan memberikan corak baru, yang secara nyata makin memacu pihak sangha untuk melakukan upaya-upaya
strategis dan kreatif, terutama dalam rangka mensinergikan antara konteks historis dan realitas kekinian. Pada masa lalu ekspresi keagamaan sangat
ditentukan oleh latar historis dan latar kultural, yang menyebabkan keragaman selalu hadir dan direkonsiliasikan melalui semangat
kebangsaan. Meski negara mengakui bahwa Sangha dan pengajaran Dharma
memainkan peranan penting dalam menegakkan sebuah masyarakat yang ideal, bebas dari ketidakadilan sosial, namun Sangha didefinisikan sebagai
kekuatan keagamaan yang memiliki kemandirian dan kontrol terhadap
xxxiv negara serta adanya ruang publik yang bebas untuk memperjuangkan
kepentingan publik.
B. Sikap Keberagamaan