xl agamanya, seberapa jauh aktivitasnya dalam menambah
pengetahuan agama mereka. d.
Keterlibatan pengalaman eksperiental involvement, yaitu yang menunjukkan apakah seseorang pernah mengalami pengalaman
yang spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan.
e. Keterlibatan secara konsekuen consequential involvement, yaitu
tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya.
42
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan
Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi sikap keberagamaan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern. Secara garis besar,
faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang adalah faktor herialitas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan
seseorang. Sedangkan faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana
seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: keluarga, institusi, masyarakat.
43
Sementara Robert H Thauless menyimpulkan beberapa faktor sikap keberagamaan, ia membaginya menjadi 4 faktor, yaitu:
a Faktor sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keberagamaan seperti pendidikan yang diterima sejak masa kanak-kanak.
b Faktor moral, pengalaman konflik antara religius dan prilaku
mengenai perpecahan, keselarasan dan kebaikan.
42
Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, h. 127
43
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. 8, h. 213
xli c
Faktor emosional tertentu seperti rasa keamanan, cinta kasih, harga diri dan perasaan kematian.
d Faktor intelektual, dari hasil pemikiran manusia ia akan
menentukan keyakinan yang harus diterimanya.
44
Sedangkan Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa
keberagamaan dibagi menjadi dua faktor, yaitu: a
Faktor Intern 1
Faktor hereditas sifat pembawaanketurunan 2
Tingkat usia 3
Kepribadian 4
Kondisi jiwa seseorang b
Faktor Ekstern 1
Keluarga 2
Institusi 3
Masyarakat
45
7. Keberagamaan dalam Perspektif Buddha
Ajaran Sang Buddha pada dasarnya menginginkan kehidupan yang dinamis dan ideal, sehingga pada prakteknya mengajarkan suatu disiplin
menuju tujuan akhir hidup manusia yaitu mencapai kebuddhaan anuttara samyak sambodhi atau pencerahan sejati
46
berikut melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk.
Keberagamaan dipahami sebagai kondisi keimanan atau keyakinan terdalam seseorang terhadap ajaran agamanya yang kemudian
44
Robert H. Thauless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Muchmun Husein, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 3, h. 34
45
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, h. 241
46
Terdapat tiga jenis Buddha, yaitu: Samma Sambuddha yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri, Pacceka Buddha pada tingkat lebih rendah daripada Samma
Sambuddha, dan Savaka Buddha yang adalah Arahat. Pencapaian Nibbana di antara ketiganya adalah sama. Hanya ada perbedaan untuk Samma Sambuddha yang mempunyai tingkatan dan
kemampuan lebih dibanding keduanya
xlii diaktualisasikan dalam sikap dan prilaku hidupnya sehari-hari. Dalam
bahasa yang lain, sikap keagamaan memiliki arti suatu perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan seseorang, mengenai
ajaran agamanya. Seorang yang menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan.
Sikap keberagamaan umat Buddha adalah Dharma, yang mengandung pengertian kesucian pikiran, kesucian ucapan dan kesucian
tindakan badan.
47
Walaupun Dharma memiliki manifestasi yang bermacam-macam, akan tetapi pada hakikatnya semua yang dikandung
oleh Dharma tersebut menunjukkan kepada yang umum, mendasar, lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu, yaitu penyampaian diri
kepada Pencerahan Sempurna, sebagaimana yang dijelaskan Sang Buddha dalam kitab suci TriPitaka bagian Dhammapada Vagga VI ayat 79 berikut:
Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidup sesuai dengan
Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia maupun di dunia selanjutnya.”
Dengan demikian, sikap keberagamaan umat Buddha adalah suatu perwujudan dan keseluruhan totalitas manusia, baik sikap dan karakternya,
tabiat, dan tindakannya sesuai dengan ajaran-ajaran Buddha. Oleh karena Buddha merupakan suatu sistem yang menyeluruh, maka keberagamaan
dalam Buddha bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja. tapi juga dalam bentuk aktivitas lainnya.
47
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagian dalam Dhamma, h. 71
xliii Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa Buddha
memandang hidup dalam Dharma Dhammacariyaca sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek rohani dan
berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu suatu kematangan yang bertitik akhir pada Nibbâna baru dapat dicapai melalui satu proses. Dan
proses yang diinginkan dalam usaha mencapai Nibbâna adalah proses yang mengarahkan seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Buddha. Proses keberagamaan dalam Buddha dibuktikan melalui 4 tahapan,
diperlukan tekad kuat adhitthãna untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh YMS Buddha Gotama yang meliputi; “sila, samadhi, dan
pana dengan tujuan akhir Nibbânanirvana”.
48
a. Sila
Kata sila berasal dari kata bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “norma kaidah, peraturan, perlaku, sopan santun, dan
sebagainya”.
49
Sila merupakan latihan hidup susila dan merupakan dasar penting di dalam agama Buddha. Pelaksanaan sila dalam Buddha
berupa kebijakan moral, etika dalam menjalani kehidupan sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang
lain, bahkan seluruh alam semesta. Sang Buddha bersabda sebagaimana yang dijelaskan dalam theragatha, 612 sebagai berikut:
48
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 35
49
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 99
xliv “Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan
pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebijakan moral sila.”
Dalam agama Buddha, dikenal banyak sila mulai sila bagi sangha dan di luar sangha. Buddhisme mahayana mengenal sad
paramita sila paramita sebagaimana yang dijelaskan dalam dasabhumika sutra, satasaharrika prajnaparamita, dan maha vyutpatti
sebagai berikut: 1
Pantangan membunuh 2
Pantangan mencuri 3
Pantangan melakukan perbuatan perjinahan 4
Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh ucapan 5
Pantang berdusta dan menyebarkan isyu yang tidak benar 6
Pantangan mengucapkan kata-kata kotor 7
Pantangan melakukan pembicaraan sia-sia 8
Pantangan memikirkan nafsu serakah 9
Pantangan berniat jahat dan; 10
Pantangan berpandangan sesat.
50
Berkaitan dengan pelaksanaan sila, siapa yang melaksanakan dengan sempurna akan melepaskan diri dari belenggu keduniawian,
mencapai Nibbâna. Sesuai dengan sabda Sang Buddha: Silena sugatim yanti, silena bhogasampada, silena nibutim
yanti, tasma silam visodaye. “Dengan melaksanakan sila berakibat terlahir di alam
bahagia, dengan melaksanakan sila berakibat memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma, dengan melaksanakan sila berakibat
tercapainya Nibbâna, sebab itu laksanakan sila dengan sempurna”.
b. Samadhi
50
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 94
xlv Samadhi latihan meditasi dapat ditempuh apabila seseorang
telah memiliki sila. Dalam pengertian luas, Samadhi dapat diartikan sebagai “bersama-sama mengumpulkan atau memusatkan pikiran pada
satu obyek tertentu mencakup kegiatan batin yang menimbulkan pikiran baik dan terarah”.
51
Satu segi yang penting dari Samadhi yaitu, sati pathana. Sati pathana merupakan ekayano magga salah satu jalan untuk
membersihkan batin, melenyapkan penderitaan. Terdapat empat pelaksanaan perhatian yang benar dalam mencapai hal tersebut, yaitu:
“a. Perenungan terhadap jasmani kayanupasana, b. Perenungan terhadap perasaan vedananupasana, c. Perenungan terhadap gerak
pikiran citranupasana, d. Perenungan terhadap bentuk-bentuk batin Dhammanupasana.”
52
Sang Buddha memberikan kerangka dan panduan bagi semua umat Buddha tentang pentingnya Samadhi sebagaimana dijelaskan
dalam kitab suci Dhammapada bab VIII ayat 110 berikut: Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi
memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki
sila dan tekun bersamadhi.”
c. Pañña
51
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 81
52
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 82
xlvi Pañña berarti pengembangan kebijakan atau kebijaksanaan
pañña, Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membedakan apa yang baik, apa yang tidak baik, apa yang terpuji, apa yang tercela dan
apa yang didukung oleh para bijaksana dan apa yang dihindari.
53
Pañña merupakan bagian dari Delapan Jalan Utama Jalan Utama Beruas Delapan yang akan membawa ke Jalan Menuju
Lenyapnya Dukkha, meliputi : 1
Pengertian Benar sammä-ditthi Pengertian Benar sammä-ditthi menembus arti dari 1.
Empat Kesunyataan Mulia, 2. Hukum Tilakkhana Tiga Corak Umum, 3. Hukum Paticca-Samuppäda, 4. Hukum Kamma.
2 Pikiran Benar sammä-sankappa
Meliputi 1. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian nekkhamma-sankappa. 2. Pikiran yang bebas dari
kebencian avyäpäda-sankappa, 3. Pikiran yang bebas dari kekejaman avihimsä-sankappa
d. NibbânaNirvana
Nibbâna adalah kebahagiaan tertinggi Nibbânam paramam sukkham. Nibbâna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau
dijelaskan, tetapi harus dialami. Nibbâna adalah suatu keadaan, seperti diajarkan Sang Buddha, Nibbâna adalah keadaan yang pasti
setelah keinginan lenyap, bebas dari segala bentuk ikatan indera dan
53
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h. 92
xlvii keinginan rendah tanhâ. Pengertian Nibbâna yang paling singkat dan
menyeluruh adalah berakhirnya proses menjadi dumadi
54
Dengan demikian, Nibbâna adalah Kesunyataan Abadi, tidak dilahirkan na uppado-pafinayati, tidak termusnah na vayopannayati,
ada dan tidak berubah nathitassaññahattan panñayati. Nibbâna disebut Asankhata-Dhamma keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi,
yaitu Nibbâna. Keadaan ini dapat dialami jika dukkha telah disadari. Dalam Abhidharnmatthasangaha, dijelaskan sebagai berikut:
Vana sankhataya tanhaya nikkhan tatta Nibbânam “Keadaan yang terbebas dan tanhâ keinginan rendah,
disebut Nibbãna”. Sementara itu, Nibbãna juga mengandung arti terbebas dan
kilesa sebagaimana disebutkan dalam Paramatthadipanitika sebagai berikut:
Tayidam santi lakkhanam “Nibbâna adalah kebahagiaan yang terbebas dan kilesa
kekotoran bathin”. Natthi vanam etthani Nibbânam
“Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbebasnya dan Tanhâ keinginan rendah, disebut Nibbâna”.
Apabila diperhatikan ketiga definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama sekalipun dalam masalah redaksi yang berbeda.
Sebab ketiganya menguraikan bahwa Nibbâna adalah merupakan cita-
54
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 145
xlviii cita yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang atau pun
yang akan datang yang dilaksanakan dalam membantu perkembangan rohaninya agar menjadi manusia yang utama dan sempurna.
Nibbâna memiliki dua tingkatan, Sa-upâdisesa-Nibbâna dan An-upâdisesa-Nibbâna:
1. Sa-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa kekotoran
bathin secara total, tetapi pancakkhandha lima kelompok kehidupan masih ada.
2. An-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa kekotoran
bathin secara total dan padamnya juga pañcakkhandha lima kelompok kehidupan.
55
Secara umum cerminan sikap keagamaan dalam Buddha dapat dinyatakan dalam tiga hal, yang meliputi “Pariyatti-Dhamma, Patipatti-
Dhamma, dan Pativedha-Dhamma”.
56
Tindakan penilaian tentang apakah seseorang mempunyai sikap keberagamaan atau tidak dapat dilihat dari
tiga dimensi tersebut. Apabila seseorang telah dinyatakan mempunyai keyakinan keagamaan, pengamalan ajaran-ajaran agama, pengalaman
keagamaan dan pengetahuan agama, berarti orang tersebut dapat disebut mempunyai sikap keagamaan. Uraian secara jelas dapat dirinci sebagai
berikut: a.
Pariyatti-Dhamma Belajar Dhamma-vinaya secara tekun. Artinya, belajar dengan
tekun teori Dhamma sesuai Kitab Suci Tipitaka. Belajar merupakan
55
Panjika, Rampaian Dhamma, Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia PERVITUBI, 2004, Cet. Ke.2, h. 72
56
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 23
xlix suatu terminologi yang menggambarkan suatu proses perubahan
melalui pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relatif permanen pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek
psikomotorik sehingga perubahan tersebut tidaklah hanya sementara tetapi berlangsung terus-menerus. Dalam pengertian ini, belajar
Dhamma dapat diartikan sebagai kegiatan menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya.
57
Bagi orang yang baru mengenal Dharma, hal ini akan menjadi sebuah tantangan yang sangat berat, mengingat belajar Dharma
memerlukan ketekunan dan keuletan. Secara garis besarnya, agar dapat memahami Dharma dengan baik tanpa adanya banyak kendala-kendala
diperlukan sesuatu yang menjadi pendorong timbulnya minat agar aktivitas dalam belajar memberikan kontribusi optimal di akhir
kegiatan belajarnya. Salah satu pendorong dimaksud adalah motivasi. Terdapat
beberapa motivasi yang dapat mendorong seseorang dalam mempelajari pengetahuan tentang Agama Buddha, yaitu
“alagaddupama pariyatti, Nittharana Pariyatti, dan Bhandagarika Partyarti”.
58
1 Alagaddupama pariyatti
57
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 28
58
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 58
l Yaitu belajar Dharma bukan untuk mencari kedudukan,
kehormatan, ketenaran, popularitas, dan lain sebagainya. Dalam arti dimaksudkan sebagai usaha memperoleh manfaat dan
kemajuan dalam Dharma, mampu memahami serta menembus makna sejati yang terkandung dalam ajaran yang dipelajarinya.
2 Nittharana Pariyatti
Belajar Dharma merupakan sebagai kegiatan menuju pembebasan dari roda samsara lingkaran kelahiran dan kematian
yang berulang-ulang. Dengan ini niscaya seseorang cepat atau lambat, akan meraih kebahagiaan sejati.
3 Bhandagarika Partyarti
Belajar Dharma semata-mata dimaksudkan sebagai usaha melestarikan ajaran-ajaran Sang Buddha Gotama untuk
mempertahankan eksistensi Agama Buddha demi memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan.
b. Patipatti-Dhamma
Yaitu melaksanakan Dhamma-vinaya dalam kehidupan sehari- hari secara baik dan benar. Artinya, melaksanakan praktek Dharma dan
Vinaya setelah mempelajari Dharma secara seksama. Dalam rangka mendukung terciptanya pelaksanaan Dharma yang murni, terdapat tiga
3 kelompok kriteria, yaitu: Pertama, Lokadipateya Partipari. Mempraktekkan Dhamma tetapi masih terpengaruh oleh hal-hal
duniawi pamrih tertentu, seperti materi, nama baik, kedudukan dan
li lain sebagainya. Kedua, Atradipateya Pattipati. Mempraktekkan
Dhamma tetapi sifat ke - Aku - annya masih sangat kuat, sering menganggap rendah orang lain. Dan ketiga, Dhammadipareya
Pattipati. Mempraktekkan Dhamma secara sungguh-sungguh, sehingga senantiasa diarahkan merealisasi “Delapan Jalan Utama” yang
selanjutnya akan mencapai Penembusan Penerangan sejati.
59
Sang Buddha dalam Kitab Suci Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 273 menjelaskan:
“Di antara semua jalan, maka jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, maka
Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik Kebebasan dan nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka
orang yang `melihat adalah yang terbaik.
c. Pativedha-Dhamma
Melaksanakan vipassana-bhavana sehinga mencapai Nibbâna. Artinya, hasil menganalisa kejadian-kejadian hidup melalui
pelaksanaan Delapan Jalan Utama dan Meditasi Vipassana Bhavana sehingga mencapai Kebebasan Mutlak Nibbâna.
Namun demikian, untuk menjadikan manusia yang memiliki sikap keberagamaan, diperlukan bimbingan dan pengembangan. Bentuk sikap
keberagamaan seseorang dapat dilihat dari seberapa jauh keterikatan komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah
yang menyangkut agama. Karena bagaimanapun hal tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan
59
Panjika, Rampaian Dhamma, h. 76
lii proses, sebab pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan
pengalaman. Berdasarkan penjelasan di atas, sang Buddha secara sistematis dan
pragmatis membimbing ajaran-ajaran Buddha dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga umat benar-benar dapat menjiwai, menjadi
bagian integral dalam pribadinya, di mana ajaran-ajaran Buddha benar- benar dipahami, diyakini kebenarannya, diamalkan menjadi pedoman
hidupnya, menjadi pengontrol terhadap perbuatan, pemikiran dan sikap mentalnya.
Namun demikian, perlu disadari bahwa Sang Buddha hanyalah sebagai petunjuk jalan yang mengarahkan umatnya menuju pada
Pembebasan Sempurna, terbebas dari penderitaan, baik jasmani maupun rohani. Sebagaimana disebutkan secara tegas dalam Kitab Suci
Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 276 berikut: Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Tathagata
hanyalah menunjukkan jalan. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki jalan ini, akan terbebas dan belenggu mara.
Berbagai ungkapan di atas menjelaskan satu hal, bahwa tujuan Buddha sama dan sejalan dengan tujuan hidup manusia. Buddha
mewajibkan manusia menuntut ilmu agar manusia mempelajarimenyelidiki gejala alam kehidupan ini, dengan melalui
potensi-potensi yang telah diberikan berupa jiwa, akal dan fisik sehingga ia dapat melaksanakan fungsinya di muka bumi. Sehingga diharapkan
terciptanya manusia yang terbebas dari derita dukkha.
liii Dalam melaksanakan Dharma sesuai dengan ajaran Buddha, agama
Buddha mengenal tiga kelompok utama, sangha, upasaka dan upasaki, serta umat Buddha awam.
60
Sangha merupakan tingkatan tertinggi sekaligus penjaga Dharma. Sangha dibagi menjadi 2 kelompok. Pertama, sammuti- sangha. Yaitu
persaudaraan bhikkhu biasa belum mencapai kesucian. Kedua, arya- sangha. Persaudaraan bhikkhu suci yang telah mencapai kesucian, yaitu
sotapanna, sakadagami, angani, dan arahat. Sementara upasaka dan upasaki adalah bhikkhu yang hidup di tengah-tengah umat. Sang Buddha
menjelaskan bahwa umat Buddha yang disebut upasaka dan upasika hendaknya memiliki lima macam Dharma yang disebut upasaka Dhamma
5, sebagaimana disebutkan dalam Anguttara Nikaya III : 206, berikut: Dhamma bagi Upasaka dan Upasika:
1. Mempunyai keyakinan saddha terhadap Sang TiratanaTri
Ratna. 2.
Mempunyai Kesucian Sila. 3.
Tidak percaya akan perbuatan takhayul dan kabar angin atau desas-desus yang belum diselidiki kebenarannya.
4. Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma.
5. Berbuat kebaikan sesuai Dhamma.
61
Sementara itu, kelompok ketiga merupakan umat Buddha awam. Umat dimaksud dapat menerapkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam segala corak kehidupan walaupun tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu mungkin sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan
kedudukan sosial mereka masing-masing. Pada akhirnya, pada tingkatan apapun, sebagai umat Buddha tentu
ingin hidup bahagia, damai dan sejahtera, baik dalam kehidupan sekarang
60
Panjika, Rampaian Dhamma, h. 124
61
Panjika, Rampaian Dhamma, h. 144
liv maupun di kehidupan yang akan datang. Berada dalam Dharma
melepaskan diri dari penderitaan dan mencapai Nibbâna yang merupakan cita-cita setiap umat Buddha.
lv
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH LAHAT
A. Latar Belakang Sejarah
Sejarah kehidupan ketatanegaraan pemerintah daerah Kabupaten Lahat sekarang telah mempunyai rentang perjalanan sejarah yang panjang. Cikal
bakal adanya Pemerintah dimulai sejak zaman kesultanan Palembang sekitar tahun 1830 yaitu dengan dibentuknya marga. Marga merupakan pemerintahan
bagi sumbai-sumbai dan suku-suku. marga-marga ini terbentuk dari sumbai- sumbai dan suku-suku yang ada pada waktu itu seperti : Lematang,
Pasemahan, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi dan Kikim. Pada masa bangsa Inggris berkuasa di Indonesia, Marga tetap ada.
Kemudian pada zaman pendudukan Belanda sesuai dengan kepentingan Belanda di Indonesia pada waktu itu, pemerintahan di Kabupaten Lahat dibagi
dalam afdelling Keresidenan dan onder afdelling kewedanan. Dari 7 afdelling yang terdapat di Sumatera Selatan, di Kabupaten Lahat terdapat 2
dua afdelling yaitu afdelling Tebing Tinggi dengan 5 lima daerah onder afdelling dan afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Kikim serta Pasemahan
dengan 4 onder afdelling. Dengan kata lain pada waktu itu di Kabupaten Lahat terdapat 2 keresidenan. Pada tanggal 20 Mei 1869 afdelling Lematang Ulu,