lxx
BAB IV PENGAJARAN DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN
UMAT BUDDHA LAHAT
A. Peran Pengajaran Dharma dalam Kehidupan Keberagamaan
Sang Buddha yang lahir pada abad ke-6 SM
, setelah mencapai Penerangan Sempurna sampai Mahaparinibbana, menghabiskan seumur
hidupnya untuk berkhotbah dan menyebarkan ajarannya Dharma. Dharma intinya adalah cinta kasih, kasih sayang dan toleransi. Jika dilaksanakan
dengan baik dan benar maka akan menimbulkan kebahagiaan. Didasarkan oleh intinya ini, Dharma akan senantiasa menyatu dengan
budaya dan adat istiadat setempat. Itulah salah satu keunikan dari agama Buddha, yang kehadirannya dimanapun juga, tidak akan mempengaruhi atau
merubah budaya atau adat istiadat setempat. Mencermati perkembangan pada skala lokal di Lahat, secara garis
besar dapat dilihat perkembangan moral spiritual keagamaan umat Buddha beserta manifestasinya dalam berbagai perkembangan sosio-kultural,
tampaknya cukup menggembirakan meski cenderung mencemaskan. Pola hidup individualistik, hedonistik, sekularistik dan materialistik memang
semakin menyebar. Juga kesenjangan dan ketidakpedulian sosial semakin menonjol, dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi. Kriminalitas secara
lxxi kuantitatif dan kualitatif semakin meningkat dan menyebar, termasuk
penyebaran berbagai penyakit sosial seperti judi, minuman keras, narkoba, prostitusi, pornografi, pergaulan bebas, dan sebagainya.
Singkatnya, bahwa hal ini dalam konteks Buddha di satu sisi mencerminkan nilai-nilai moral spiritual keagamaan umat berada dalam
kondisi yang lemah. Dan di sisi yang lain mencerminkan lemahnya pengajaran Dharma, sehingga umat kurang mampu mengaktualisasikan Dharma dalam
kehidupan. Mengingat kebutuhan yang mendesak, sebagaimana tercermin pada
paparan ringkas tentang kondisi umat, perlu dilakukan aktualisasi pengajaran Dharma seluas mungkin, seraya secara integral diupayakan penerapan-
penerapan. Atas dasar inilah pengajaran Dharma menjadi relevan. Tujuannya
adalah agar umat memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah tentang Dharma. Dengan pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah
tersebut, diharapkan akan tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan positif dalam sikap keberagamaan. Selanjutnya diharapkan
muncul dan berkembang pula kegiatan konkrit dalam kehidupan umat. Lingkup pengertian keberagamaan amat luas, mencakup hubungan
dengan Sang Adi Buddha, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam sosial
keagamaan, secara garis besar terdapat dua macam hubungan sosial keagamaan, yaitu hubungan intern umat beragama dan hubungan antar umat
lxxii beragama. Dalam konteks perihal dan perilaku menyangkut hubungan dengan
Sang Adi Buddha, hubungan dengan diri sendiri serta hubungan dengan alam sekitar dapat dinamakan sebagai “keberagamaan”. Namun secara umum dapat
dikemukakan bahwa bagi umat Buddha yang sungguh-sungguh dalam keberagamannya, seluruh hubungan dimaksud bersifat utuh terpadu
integrated, mengacu kepada ajaran Dharma. Umat Buddha Lahat laiknya Bangsa Indonesia telah memiliki landasan
untuk membina sikap keberagamaan umat berbagai agama, baik yang bersifat fisosofis maupun pragmatis. Pertama adalah falsafah Pancasila, dan kedua
adalah tugas nasional bersama dalam pembangunan bangsa yang sejahtera. Hendaklah dipahami bahwa, membina sikap keberagamaan tidaklah berarti
mempertahankan status quo dalam arti menghambat kemajuan. Juga tidak berarti sekedar menjaga dan memelihara situasi tidak adanya pertentangan dan
ketegangan. Situasi keberagamaan tersebut harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat yang sedang membangun, yang menghadapi aneka
tantangan dan persoalan. Hal mana berarti sikap keberagamaan yang ideal adalah suatu keadaan yang dinamis yang merupakan bagian dari pertumbuhan
masyarakat. Oleh karenanya, sikap keberagamaan harus diciptakan, dipelihara oleh semua pihak. Sikap keberagamaan adalah suatu kondisi di mana umat
mampu melaksanakan kewajiban agamanya dan hidup sebagai pemeluk agama yang baik.
Pada prakteknya, setiap individu maupun kelompok haruslah memiliki dua sikap seperti diungkapkan Buddhagosa dalam Visuddhi Magga, bilamana
lxxiii Hiri dan Otappa muncul, maka moralitas pun muncul dan bertahan. Bila
moralitas ada, maka akan menimbulkan perdamaian dan kesejahteraan batin. Dalam Dhammapada 261 dijelaskan:
“Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak kejam, terkendali, terlatih, pandai bermasyarakat dan bebas dari noda-noda,
sesungguhnya ia patut disebut tokoh Thera atau orang yang
dituakan” selanjutnya “Orang yang tidak membenci diantara mereka yang membenci, damai diantara mereka yang kejam; dan tidak melekat
di antara mereka yang melekat, maka ia kusebut seorang Suci “
Kehidupan yang selalu berubah serta penuh dengan perbedaan antara keadaan seseorang dengan orang yang lain, seringlah menimbulkan
permasalahan dalam menghadapi kehidupan. Dhamma telah sempurna dibabarkan. Dhamma memberikan jalan untuk memperoleh kebahagiaan.
Dhamma juga menguraikan cara untuk mempertahankan kebahagiaan. Hidup sesuai Dharma menjadi dambaan umat Buddha, sebab bila hal
tersebut terwujud, maka akan dapat merasakan satu kedamaian. Karenanya, pengajaran Dharma perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka
menumbuhkan rasa kesadaran umat. Secara teologis, meyakini kebenaran agama yang dianut adalah satu hal yang sangat prinsip, tetapi jika dilihat dari
perspektif sosial, keyakinan tersebut harus dibarengi dengan kesalingpahaman antara satu sama lain.
Sedikitnya terdapat dua sikap yang perlu dimiliki oleh setiap penganut agama;
1. Sikap terhadap kebenaran agama yang dianut harus disertai dengan
kesadaran bahwa itu hanya diakui oleh penganutnya saja, sementara
lxxiv penganut agama lain hanya meyakini kebenaran agama yang dianutnya
pula; 2.
Sikap terhadap penganut agama lain harus disertai dengan kesadaran bahwa keyakinan yang mereka miliki bersifat asasi, atas pilihan pribadi,
suatu kesadaran ketuhanan yang didasarkan pada pengalaman rohaniah masing-masing.
Inti pokok persoalan pembinaan pengajaran Dharma adalah pada paradigma dan metode pemahaman doktrin teologis. Memahami teologi
agama layak dikembangkan, karena hanya dengan paradigma inilah bangunan sikap keberagamaan dapat berdiri kokoh. Dharma tidak berusaha membela
dan merasionalisasikan konsep teologis untuk menjawab keraguan pengikut agama karena adanya kritik yang datang dari luar agama. Dharma sesuai
dengan kenyataan-kenyataan obyektif dan pemikiran rasional. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pengajaran Dharma teologi merupakan
fondasi untuk membangun sikap keberagamaan. Dengan demikian, kukuh atau rapuhnya bangunan sikap keberagamaan sangat tergantung pada tipe dan
corak pengajaran Dharma. Pengajaran Dharma mendasarkan pada keyakinan fundamental, di
mana tidak meyakini sentralitas institusi keagamaan; yaitu tidak mendasarkan pada institusi yang otoritatif, di mana orang yang berada di luar institusi tidak
berhak dalam pengajaran Dharma. Lebih dari itu, tidak ada kecenderungan signifikansi kelompok; yaitu yang muncul karena pengelompokan yang
diciptakan oleh agama.
lxxv Esensi Dharma adalah lebih pada penghayatan yang tenang untuk
mencapai sebuah kesadaran. Yang jelas hanya manakala keberagamaan secara serius diorientasikan pada upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik,
maka Dharma dapat memberi makna nyata. Dengan kata lain keberagamaan tidak boleh hanya melahirkan kesalehan ritual. Keberagamaan harus
melahirkan kesalehan aktual dalam bentuk perjuangan nyata untuk melenyapkan berbagai bentuk penderitaan seperti kemiskinan,
keterbelakangan, ketidakadilan sosial. Inilah kiranya analogi kontemporer dari Dharma, yang melahirkan
keberagamaan hingga tataran konsekuensi. Bahwa tidak adanya peranan transformatif agama dalam masyarakat bukan karena tidak berfungsinya
pengajaran Dharma, melainkan lebih pada cara bagaimana pengajaran Dharma itu berfungsi dalam masyarakat. Semuanya berhubungan dengan bagaimana
mengapresiasi pemahaman keagamaan. Pada masyarakat Buddha Lahat masa kini dan lebih-lebih pada masa
mendatang, keberagaman yang ditawarkan adalah bagaimana kehidupan keberagamaan dilihat mengalir dalam denyut nadi keseharian realitas umat.
Karena sesungguhnya, setiap umat baik agamawan maupun orang awam, mempunyai kebebasan yang penuh dan sama untuk memaknai dan mewarnai
agama dalam rangka melihat dan menghadapi kenyataan hidup mereka sendiri. Kalangan agamawan bikhu dan bikhuni tidak boleh
berkecenderungan menjadi arogan dikarenakan sebagai ‘umat yang terpilih’ dalam menyampaikan kebenaran agama berdasarkan tafsirnya. Pemaksaan
lxxvi tafsir agama seringkali kemudian menjadikan pemahaman umat yang
sebenarnya tidak pernah bersentuhan dengan realitas yang sesungguhnya.
B. Relevansi Ajaran Dharma di Lahat