Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Daun Tumbuhan Sambiloto (Andrographis Paniculata (Burm.F.) Ness)
ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
SKRIPSI
SAULINA HARIANJA 060802027
DEPARTEMEN KIMIA
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(2)
ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
SAULINA HARIANJA 060802027
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(3)
PERSETUJUAN
Judul : ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN
TUMBUHAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
Kategori : SKRIPSI
Nama : SAULINA HARIANJA
Nomor Induk Mahasiswa : 060802027
Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA
Departemen : KIMIA
Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di Medan, Februari 2011
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Dra. Sudestry Manik, M.Si Drs. Albert Pasaribu, M.Sc
NIP: 1953 1203 1981 022001 NIP: 1964 0810 1991 031002
Diketahui oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
Dr. Rumondang Bulan Nst., MS NIP: 1954 0830 1985 032001
(4)
PERNYATAAN
ISOLASI SENYAWA ALKALOIDA DARI DAUN TUMBUHAN SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja Saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Februari 2011
SAULINA HARIANJA 060802027
(5)
PENGHARGAAN
Puji dan syukur Saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus Juruselamat manusia oleh karena kasih dan kemurahanNya lah Saya mampu menyelesaikan tugas akhir ini dalam waktu yang telah ditetapkan.
Ucapan terima kasih Saya sampaikan kepada Bapak Drs.Albert Pasaribu, M.Sc dan Ibu Dra.Sudestry Manik, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penyelesaian tugas akhir, yang telah memberikan arahan, bantuan, bimbingan dan kepercayaan kepada Saya. Arahan dan bimbingan yang baik serta profesional yang diberikan kepada Saya selama penelitian dan penyelesaian tugas akir ini. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta (Bapak: T.Harianja dan Ibu: R.Hutabarat) atas dukungan materil dan moril serta doa selama dalam perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga Saya sampaikan kepada Ibu Dr.Rumondang Bulan, MS selaku ketua Departemen Kimia dan Bapak Drs.Albert Pasaribu, M.Sc selaku sekretaris Departemen Kimia, Bapak Dekan dan Pembantu Dekan, seluruh Bapak/Ibu Staff Pengajar Kimia, FMIPA Universitas Sumatera Utara, pegawai di FMIPA USU, rekan-rekan kuliah stambuk 2006, teman-teman asisten di laboratorium KBA (Bang Albinur, Bang Jhon, Onik, Qiting, Nico, Lisbeth, Burton, Tria), adek-adek stambuk 2009, 2008, 2007. Terima kasih kepada kakak/abang (Kak Syifa, Bang Niel, Kak Exa, Kak As, Kak Ci) dan Unnet Pudan (adek). Terima kasih Saya ucapakan juga kepada teman-teman satu kos (Kak Tita, Bang Bat, Mulroni, Mario, Ondi, Heni). Tak lupa Saya berterima kasih kepada kelompok tumbuh bersama Netanya Salvation (Kak Nur, Ita, Elisa, Onik), kelompok kecil Yesyurun (Maya, Desky, Mono) dan teman-teman koordinasi UKM KMK USU UP FMIPA 2010 yang telah mendukung Saya baik dalam semangat maupun doa. Tuhan Yesus memberkati.
(6)
ABSTRAK
Isolasi senyawa alkaloida yang terdapat pada daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness.) dilakukan dengan maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak
pekat metanol yang diperoleh dipekatkan dengan alat rotarievaporator. Ekstrak pelarut metanol selanjutnya diasamkan dengan asam asetat 2% hingga pH=4, kemudian
dibasakan dengan NH4OH(p) hingga pH=10. Lalu diekstraksi partisi dengan kloroform
dan dipekatkan. Ekstrak pekat kloroform yang merupakan alkaloid total dianalisis KLT, kemudian dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen kloforom : metanol (90:10 v/v). Senyawa yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan metanol, menghasilkan kristal berwarna putih kekuningan berbentuk amorf sebanyak 37 mg,
Rf=0,325 dan TL=149 – 152oC. Selanjutnya kristal murni diidentifikasi dengan
Spektrofotometer Inframerah (FT-IR) dan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti
Proton (1H-NMR). Dari data analisis dan interpretasi spektroskopi, mengindikasikan
(7)
ISOLATION OF ALKALOID COMPOUNDS FROM LEAVES OF SAMBILOTO PLANTS (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
ABSTRACT
Isolation of alkaloid compounds from leaves of Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness) has been done with maceration by methanol solvent. Methanol extract
was concentrated by rotaryevaporator. The concentrated extract then acidified with
acetate acid 2% until pH=4, and then bacidified with NH4OH(p) until pH=10. And then
partition with chloroform, then it was concentrated. The concentrated chloroform extract (total alkaloid) was analysed with Thin Layer Chromatography, then separated with Column Chromatography with eluent chloroform : methanol (90:10 v/v). The compound was purified and crystallized with methanol, yielding white yellowish crystal, amorf with
weight 37 mg, Rf=0,325 and melting point 149 – 152oC. The pure crystals were further
identified by Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Proton Nuclear
Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on spectroscopy analysis, it was
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan ii
Pernyataan iii
Penghargaan iv
Abstrak v
Abstract vi
Daftar isi vii
Daftar Lampiran ix
Bab 1 Pendahuluan
1.1Latar Belakang 1
1.2Permasalahan 3
1.3Tujuan Penelitian 3
1.4Manfaat Penelitian 3
1.5Lokasi Penelitian 3
1.6Metodologi Penelitian 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Tumbuhan Sambiloto 5
2.1.1 Morfologi Tumbuhan Sambiloto
5
2.1.2 Sistematika Tumbuhan Sambiloto
5
2.1.3 Manfaat Tumbuhan Sambiloto 6
2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan Sambilto
7
2.2 Senyawa Organik Bahan Alam 8
2.2.1 Senyawa Alkaloida 11
2.2.2 Sifat-sifat Alkaloida 15
2.2.3 Deteksi Alkaloida 16
2.2.4 Isolasi Alkaloida 18
2.2.5 Klasifikasi Alkaloida 19
2.2.6. Biosintesis Alkaloida 20
2.3 Metode Pemisahan 22
2.3.1 Ekstraksi 22
2.3.2 Kromatografi 23
2.3.2.1 Kromatografi Lapisan Tipis 23
2.3.2.2 Kromatografi Kolom 24
2.3.2.3 Kromatografi Kertas 24
2.4 Teknik Spektroskopi 25
2.4.1 Spektrofotometri Inframerah (FT-IR) 25
(9)
Bab 3 Metodologi Penelitian
3.1 Alat-alat 28
3.2 Bahan 29
3.3 Prosedur Penelitian 30
3.3.1 Penyediaan Sampel 30
3.3.2 Uji Skrining Fitokimia 30
3.3.3 Pengadaan Ekstrak Kloroform Daun Tumbuhan Sambiloto 31
3.3.4 Analisis Kromatografi Lapis Tipis 31
3.3.5 Isolasi Senyawa Alkaloida dengan Kromatografi Kolom 32
3.3.6 Analisis Kristal Hasil Isolasi 33
3.3.6.1 Uji Kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi
Lapis Tipis 33
3.3.6.2 Uji Reaksi Warna terhadap Kristal Hasil Isolasi
dengan Perekasi Alkaloida 34
3.3.6.3 Penentuan Titik Lebur 34
3.3.7. Analisis Spektroskopi Kristal Hasil Isolasi 34
3.3.7.1 Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometri
Infra merah 34
3.3.7.2 Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometri
Resonansi Magnetik Inti (1H-NMR) 35
3.4 Bagan Tes Uji (Skrining Fitokimia) terhadap Daun Tumbuhan
Sambiloto 36
3.4.1. Bagan Penelitian 37
Bab 4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil Penelitian 38
4.2 Pembahasan 40
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 44
5.2 Saran 44
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Gambar Daun Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)
Ness.) 49
Lampiran B. Surat Determinasi Daun Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness.) 50
Lampiran C. Kromatografi Lapisan Tipis Ekstrak Kloroform Daun Tumbuhan
Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness.) 51
Lampiran D1. Kromatografi Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Penampakan
Noda dengan Pereaksi Bouchardat 53
Lampiran D2. Kromatografi Lapisan Tipis Senyawa Hasil Isolasi Melalui Metode 3
Dimensi 54
Lampiran E. Spektrum FT–IR Senyawa Hasil Isolasi Fraksi 8-11 55
Lampiran F. Spektrum 1H– NMR Senyawa Hasil Isolasi Fraksi 8-11 56
Lampiran G. Sepktrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi
Ekspansi Fraksi 8-11 57
Lampiran H. Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi
Ekspansi Fraksi 8-11 58
Lampiran I. Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi
Ekspansi Fraksi 8-11 59
(11)
ABSTRAK
Isolasi senyawa alkaloida yang terdapat pada daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness.) dilakukan dengan maserasi dengan pelarut metanol. Ekstrak
pekat metanol yang diperoleh dipekatkan dengan alat rotarievaporator. Ekstrak pelarut metanol selanjutnya diasamkan dengan asam asetat 2% hingga pH=4, kemudian
dibasakan dengan NH4OH(p) hingga pH=10. Lalu diekstraksi partisi dengan kloroform
dan dipekatkan. Ekstrak pekat kloroform yang merupakan alkaloid total dianalisis KLT, kemudian dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan eluen kloforom : metanol (90:10 v/v). Senyawa yang diperoleh kemudian dimurnikan dengan metanol, menghasilkan kristal berwarna putih kekuningan berbentuk amorf sebanyak 37 mg,
Rf=0,325 dan TL=149 – 152oC. Selanjutnya kristal murni diidentifikasi dengan
Spektrofotometer Inframerah (FT-IR) dan Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti
Proton (1H-NMR). Dari data analisis dan interpretasi spektroskopi, mengindikasikan
(12)
ISOLATION OF ALKALOID COMPOUNDS FROM LEAVES OF SAMBILOTO PLANTS (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
ABSTRACT
Isolation of alkaloid compounds from leaves of Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness) has been done with maceration by methanol solvent. Methanol extract
was concentrated by rotaryevaporator. The concentrated extract then acidified with
acetate acid 2% until pH=4, and then bacidified with NH4OH(p) until pH=10. And then
partition with chloroform, then it was concentrated. The concentrated chloroform extract (total alkaloid) was analysed with Thin Layer Chromatography, then separated with Column Chromatography with eluent chloroform : methanol (90:10 v/v). The compound was purified and crystallized with methanol, yielding white yellowish crystal, amorf with
weight 37 mg, Rf=0,325 and melting point 149 – 152oC. The pure crystals were further
identified by Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FT-IR) and Proton Nuclear
Magnetic Resonance Spectroscopy (1H-NMR). Based on spectroscopy analysis, it was
(13)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki beranekaragam tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai sumber obat-obatan secara tradisional, dan dapat dibudidayakan oleh masyarakat sebagai apotek hidup. Penggunaan obat-obatan secara tradisional ini merupakan warisan dari nenek moyang secara turun temurun yang digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai ramuan tradisional yang dapat mengobati beberapa penyakit tertentu.
Salah satu tumbuhan yang sering digunakan sebagai sumber obat adalah daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness). Sambiloto merupakan tumbuhan yang tumbuh liar di tempat terbuka, seperti kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Banyak masyarakat Indonesia yang telah mengembangbiakkan tumbuhan ini sebagai obat. Dari akar sampai daun, tumbuhan ini berasa pahit. Keseluruhan tanaman ini dapat digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan tradisional, misalnya untuk menurunkan demam tinggi (Yuniarti, 2008).
Tumbuhan sambiloto berkhasiat sebagai obat amandel, obat asam urat, obat batuk rejan, obat diabetes melitus, obat hipertensi, hepatitis, stroke, TBC, menguatkan daya tahan tubuh terhadap serangan flu babi dan flu burung (Nazaruddin, 2009).
Dari penelitian terdahulu diketahui bahwa daun tumbuhan sambiloto memiliki gugus aktif yang dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Selain itu, tumbuhan ini juga mempunyai efek inhibisi respirasi bila digunakan pada konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah dapat menstimulasi respirasi (Kurniasari, 1971).
(14)
Dari studi literatur, daun tumbuhan sambiloto memiliki gugus aktif dari hasil isolasi neoandrographolide yaitu senyawa baru diterpena glukosida dengan rumus
molekul C23H38O8. Dari sifat kelarutan dan hasil reaksi yang positif dengan pereaksi
tertentu, diketahui bahwa senyawa tersebut mempunyai gugus fungsi α,β lakton
(Klaipool, 1952).
Dalam penelitiannya, Nuratmi (1996) melaporkan bahwa tumbuhan sambiloto
dimanfaatkan sebagai antipiretika, antiinflamasi (anti peradangan), diuretika
(meningkatkan kerja ginjal untuk menghasilkan urin), analgetika (penghilang rasa sakit), rematik, menurunkan kontraksi usus, antidiabetes, untuk menambah nafsu makan dan memperbaiki alat pencernaan. Sejauh ini penelitian kandungan senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness) belum pernah dilaporkan dalam literatur.
Yusron dkk. (2005) melaporkan bahwa komponen utama sambiloto adalah andrographolide, jenis senyawa diterpenoida, yang berguna sebagai bahan obat. Disamping itu, daun tumbuhan sambiloto mengandung saponin, flavonoida, alkaloida dan tanin. Kandungan kimia lain yang terkandung dalam daun tumbuhan sambiloto adalah lakton, panikulin, kalmegin dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit. Dan dari uji pendahuluan fitokimia yang dilakukan terhadap daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness) dengan menggunakan pereaksi Wagner, Bouchardat, dan
Dragendorf menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tumbuhan sambiloto positif mengandung senyawa alkaloida.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kandungan senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sambiloto tersebut. Metode yang digunakan yaitu dengan mengekstraksi daun tumbuhan sambiloto dengan pelarut metanol, kemudian dilakukan analisa KLT dan kolom kromatografi. Selanjutnya komponen atau senyawa murni yang diperoleh diidentifikasi dengan menggunakan spektrofotometer Infra Merah (FT-IR), spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (H-NMR) dan penentuan titik lebur.
(15)
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah metode isolasi alkaloida yang telah dilakukan juga dapat untuk mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat di dalam daun tumbuhan sambiloto (Andrograpgis paniculata (Burm.f.) Ness).
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi senyawa alkaloida yang terdapat dalam daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness).
1.4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber informasi ilmiah pada bidang Kimia Bahan Alam dan bidang Farmasi golongan senyawa alkaloida yang terkandung dalam daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness).
1.5. Lokasi Penelitian
Daun tumbuhan sambiloto diperoleh dari areal pertanaman Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia Organik Bahan Alam FMIPA USU. Analisis Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR) dan Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (H-NMR) dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong – Tangerang. Analisis titik lebur senyawa murni yang diperoleh dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.
(16)
1.6. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah daun tumbuhan sambiloto, berupa serbuk halus kering sebanyak 1050 gram. Tahap awal dilakukan test uji pendahuluan, yaitu skrining fitokimia dengan menggunakan pereaksi-pereaksi untuk senyawa alkaloida: pereaksi Meyer, Wagner, Bouchardat, dan pereaksi Dragendorf. Kemudian dilakukan tahapan isolasi, yaitu:
1. Ekstraksi Maserasi
2. Ekstraksi Partisi
3. Analisis Kromatografi Lapis Tipis
4. Analisis Kromatografi Kolom
5. Analisis Spektroskopi Kristal Hasil Isolasi
Analisis kristal mencakup kromatografi lapis tipis, pengukuran titik lebur dan identifikasi dengan menggunakan Spektrofotometer Infra Merah (FT-IR) dan
(17)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumbuhan Sambiloto
2.1.1. Morfologi Tumbuhan Sambiloto
Tumbuhan sambiloto dapat tumbuh liar di tempat terbuka, seperti kebun kopi, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Merupakan daun yang berasa pahit dan dingin. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Tumbuhan sambiloto merupakan tumbuhan semusim, dengan tinggi 50-90 cm, batang yang disertai dengan banyak cabang berbentuk segi empat. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, bentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah daun berwarna hijau muda, panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga tumbuh dari ujung batang atau ketiak daun, berbentuk tabung, kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu. Memiliki buah kapsul berbentuk jorong, panjang sekitar 1,5 cm, lebar 0,5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping. Biji gepeng, kecil-kecil, warnanya cokelat muda. Tumbuhan ini dapat dikembangbiakkan dengan biji atau stek batang (Yuniarti, 2008).
2.1.2. Sistematika Tumbuhan Sambiloto
Dalam sistematika (taksonomi), tumbuhan sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(18)
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Solanales
Famili : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness
Nama umum tumbuhan adalah sambiloto. Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: ki oray, ki peura, takilo (Sunda), bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa), pepaian (Sumatera) (Yuniarti, 2008).
Untuk memperbanyak tumbuhan ini dilakukan dengan menyemai biji yang sudah tua. Daun sambiloto tumbuh tunggal dan memanjang, tersusun bersilang dan berhadapan di batang. Ujung daunnya runcing berwaran hijau agak mengkilap, tinggi tanaman 40-90 cm. Batang tumbuhan ini berbentuk persegi empat dan rasanya pahit. Bunga tumbuhan ini berukuran kecil berwarna putih keunguan. Buahnya memanjang dengan pangkal dan ujung buah yang tajam (Nazaruddin, 2009).
2.1.3. Manfaat Tumbuhan Sambiloto
Daun tumbuhan sambiloto bermanfaat untuk menurunkan demam tinggi dan malaria. Selain itu, daun tumbuhan sambiloto berkhasiat untuk mengatasi:
- Hepatitis, infeksi saluran empedu
- Disentri basiler, tifoid, diare, influenza, radang amandel (tonsilitis),
- Abses paru, radang paru (pneumonia), radang saluran napas
- (Bronkitis), radang ginjal akut (pielonefritis akut), radang telinga
- Kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus)
- Tumor trofoblas (trofoblas ganas), serta tumor paru
- Kanker: penyakit trofoblas seperti kehamilan anggur (mola hidatidosa)
- Batuk rejan (pertusis), sesak napas (asma)
(19)
Tumbuhan sambiloto berkhasiat sebagai obat amandel, obat asam urat, obat batuk rejan, obat diabetes melitus, obat hipertensi, hepatitis, stroke, TBC, menguatkan daya tahan tubuh terhadap serangan flu babi dan flu burung (Nazaruddin, 2009).
Selain itu, Wijayakusuma, et al. (1994) mengatakan bahwa daun tumbuhan sambiloto dapat merusak sel trophocyt dan trophoblast, berperan pada kondensasi sitoplasma dari sel tumor, pyknosis dan menghancurkan inti sel. Dalimartha (1996) mengatakan bahwa daun tumbuhan sambiloto juga berkhasiat sebagai obat luar untuk gatal-gatal dan untuk penawar bisa ular atau gigitan serangga lainnya. Dan menurut Sastrapradja et al. (1978) rebusan tanaman ini mempunyai sifat bakteriostatik dan meningkatkan daya phagositosis sel darah putih.
2.1.4. Kandungan Kimia Tumbuhan Sambiloto
Daun tumbuhan sambiloto yang memiliki sifat kimiawi berasa pahit, dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid,
14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid dan homoandrografolid. Terdapat juga
flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, akarnya mengandung flavotioid, dimana hasil isolasi terbanyaknya adalah polimetoksiflavon, andrografin, pan ikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4-dimetileter (Yuniarti, 2008).
Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena. Kadarnya dalam daun antara 2,5 – 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium dan asam kersik (Wijayakusuma, et al., 1994).
(20)
2.2. Senyawa Organik Bahan Alam
Kimia organik mengalami kemajuan yang sejajar dengan kemajuan cara pemisahan dan penelitian bahan alam. Karena sangat beranekaragam, molekul yang berasal dari makhluk hidup mempunyai arti yang sangat penting bagi para ahli kimia organik, yaitu untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang reaksi-reaksi organik, terutama dapat menguji hipotesis-hipotesis tertentu, misalnya hipertesis tentang mekanisme reaksi. Pada mulanya, biogenesis dari produk alami berkaitan dengan kimia organik dan biokimia, tetapi mempunyai tujuan yang berlainan (Manitto, 1992).
Senyawa organik bahan alam dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat-sifat kimia yang dimilikinya. Ada empat cara klasifikasi yang diusulkan, yaitu:
1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimiawi
Klasifikasi ini berdasarkan pada kerangka molekuler dari senyawa yang bersangkutan. Menurut system ini, ada 4 kelas yaitu:
a. Senyawa alifatik rantai terbuka atau lemak dan minyak.
Contohnya: asam-asam lemak, gula, dan asam-asam amino pada umumnya
b. Senyawa alisiklik atau sikloalifatik
Contonya: terpenoida, steroida, dan beberapa alkaloida
c. Senyawa aromatik atau benzenoid
Contohnya: golongan fenolat dan golongan kuinon
d. Senyawa heterosiklik
Contohnya: alkaloida, flavonoida, golongan basa asam inti
Karena klasifikasi ini hanyalah superfisial, maka tidak mengherankan jika suatu senyawa organik bahan alam tertentu dapat dimasukkan kedua kelas berlainan. Contohnya: geraniol (1), farnesol (2), termasuk kelas senyawa alifatik rantai terbuka dan senyawa aromatik. Namun, kedua senyawa tersebut merupakan anggota dari kelas terpenoida dan steroida.
(21)
Geraniol (1) Farnesol (2)
2. Klasifikasi Berdasarkan Sifat Fisiologik
Setelah penelitian yang lebih mendalam dilakukan terhadap morfin (5) (1806), penisilin (6) (1939), maka perhatian para ahli sering ditujukan kepada isolasi dan penentuan fungsi fisiologis dari senyawa organik bahan alam tertentu. Hampir separoh dari obat-obatan yang digunakan sehari-hari merupakan bahan alam, misalnya alkaloida dan antibiotik, atau golongan-golongan sintetik. Oleh karena itu, senyawa organik bahan alam dapat juga diklasifikasikan segi aktivitas fisiologik dari bahan yang bersangkutan. Misalnya kelas hormon, vitamin, antiniotik dan mikotoksin.
Morfin (5) Penisilin (6)
Meskipun asal usul biogenetik yang sangat bervariasi, namun ada kalanya terdapat korelasi yang dekat antara aspek tersebut dengan kegiatannya. Misalnya, meskipun struktur sangat bervariasi, namun senyawa-senyawa yang menunjukkan aktivitas kardiotik (kardenolid dan bufadienolid) hanyalah struktur yang memiliki komposisi sebagai berikut: (a) cincin A/B terpadu secara cis, (b) memiliki residu berupa gula pada
(22)
3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Pengklasifikasian ini didasarkan pada penyelidikan morfologi komparatif dari tumbuh-tumbuhan yaitu taksonomi tumbuhan. Pada hewan dan sebagian mikroorganisme, metabolit terakhir biasanya dibuang ke luar tubuh, sedangkan pada tumbuh-tumbuhan, metabolit tersimpan dalam tumbuhan itu sendiri. Pada mulanya, beberapa metabolit dianggap hanya berasal dari tumbuh-tumbuhan tertentu. Kemudian diketahui bahwa beberapa metabolit tersebar pada berbagai tumbuhan dan ternyata bahwa banyak konstituen tumbuhan (seperti alkaloida dan terpenoida) yang dapat diisolasi dari spesies, genera, suku atau famili tumbuhan tertentu. Dalam satu spesies tunggal, dapat ditemukan sejumlah konstituen yang strukturnya berhubungan erat satu sama lain. Misalnya, “opium” dari Papaver semniferum mengandung dua puluhan alkaloida, termasuk morfin, tebain, kodein dan narkotin, yang kesemuanya dibiosintesis dari prekursor 1-benzilisokuinolin melalui penggandengan (coupling) secara oksidasi. Oleh karena itu, alkaloida-alkaloida tersebut yang strukturnya mirip satu sama lain dan berasal dari genus tumbuhan tertentu, disebut alkaloida opium.
4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Semua konstituen tumbuhan dan binatang dibiosintesis dalam orgnisme melalui reaksi-reaksi yang dibantu oleh enzim tertentu. (istilah “biosintesis” dan “biogenesis” mempunyai arti yang sama: pembentukan bahan alam oleh organisme hidup. “Biosintesis” mengacu kepada perolehan data eksperimental dalam membuktikan jalur sintesis yang berlangsung, sedangkan “biogenesis” masih bersifat hipotetik dan lebih menekankan aspek spekulatif dari fakta).
Setelah pengetahuan tentang kimia organik bahan alam semakin berkembang sejak tahun 1930-an, beberapa ahli mulai menyusun teori langkah-langkah biogenetik dari senyawa organik bahan alam yang berlangsung dalam organisme hidup. “Aturan isopren” yang diusulkan oleh Ruzicka menyatakan bahwa semua senyawa terpenoida terbentuk
dari “unit isopren” C5.
Teori lain dengan judul “jalur asam sikimat” diusulkan oleh Davis, yang menyatakan bahwa biosintesis dari asam-asam amino aromatik dan senyawa aromatik
(23)
yang bertalian. Robinson juga menemukan hubungan di antara alkaloida dengan asam amino prekursornya.
Dari semua teori biogenesis itu dapat disimpulkan adanya 4 kelas senyawa organik bahan alam, yakni:
a. Poliketida (asetogenin)
b. Fenolat (fenilpropanoida)
c. Isoprenoida
d. Alkaloida (Tobing, 1989).
2.2.1. Senyawa Alkaloida
Banyak tumbuhan mengandung senyawa nitrogen aromatik yang dinamakan alkaloida. Secara kimia, alkaloida biasanya mengandung nitrogen di cincin heterosiklik yang bentuknya bermacam-macam. Selain itu alkaloida juga memiliki aktivitas fisiologis dan psikologis yang dramatis pada manusia dan hewan karena dipercaya bahwa banyak diantaranya yang mempunyai peranan penting dalam tumbuhan (Salisbury, 1992).
Alkaloida merupakan metabolit basa yang mengandung nitrogen, yang dapat diisolasi dari tanaman. Sebagian besar alkaloida dibentuk dari banyak asam amina, yaitu: lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Oleh karena itu, senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok (Herbert, 1989).
Alkaloida, sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya, alkaloida mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida sering sekali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi, sehingga dapat digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloida biasanya tanwarna, sering sekali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar.
Prazat alkaloida yang paling umum adalah asam amino, meskipun pada umumnya biosintesis kebanyakan alkaloida lebih rumit. Secara kimia, alkaloida merupakan suatu
(24)
golongan heterogen. Fungsi alkaloida dalam tumbuhan masih kabur, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh, atau penghalau dan penarik serangga (Harborne, 1987).
Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam tumbuh-tumbuhan dan banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologis yang kuat. Beberapa efek tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum Ilmu Kimia Organik berkembang. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, dunia alkaloida memerlukan satu bidang tersendiri (Tobing, 1989).
Senyawa alkaloida merupakan salah satu senyawa metabolisme sekunder dalam bahan alam. Produk-produk metabolisme sekunder serupa dengan yang semula disebut sebagai produk alami oleh para ahli kimia organik, misalnya terpena. Metabolit sekunder sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies. Misalnya: zat kimia untuk pertahanan, penarik seks, dan feromon (Manitto, 1992)
Semua alkaloida mengandung paling sedikit sebuah nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Batasan mengenai alkaloida seperti di atas perlu dikaji dengan hati-hati, karena banyak senyawa heterosiklik nitrogen lainnya yang ditemukan di alam bukan termasuk alkaloida. Misalnya pirimidin dan asam nukleat, yang kesemuanya itu tidak pernah dinyatakan sebagai alkaloida (Achmad, 1986).
Yang disebut alkaloida tidak mewakili golongan yang dari segi kimia bersifat homogen, semuanya mengandung nitrogen yang sering terdapat dalam cincin heterosiklik dan tidak semuanya bersifat basa seperti yang ditunjukkan oleh namanya. Senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering ditangani di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini, sering alkaloida bebas, berupa padat berbentuk kristal berwarna tanwarna. Beberapa alkaloida berupa cairan dan alkaloida yang berwarna pun langka.
(25)
Alkaloida telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama karena pengaruh fisiologinya terhadap binatang menyusui dan pemakaiannya di bidang farmasi. Salah satu pendapat yang dikemukakan pertama kali, sekarang tidak dianut lagi, ialah bahwa alkaloida berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat dalam hewan. Liebig menyatakan bahwa sebagian besar senyawa alkaloida bersifat basa, yang dapat menggantikan basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion dalam tumbuhan (Robinson, 1991).
1. Sejarah Alkaloida
Hadirnya alkaloida hampir setua peradaban manusia. Manusia telah menggunakan obat-obatan yang mengandung alkaloida dalam minuman, kedokteran, teh, dan racun selama 4000 tahun. Saat itu, tidak ada usaha manusia untuk mengisolasi komponen aktif dari ramuan obat-obatan hingga permulaan abad ke sembilan belas (Cordell, 1981).
Obat-obatan pertama yang ditemukan secara kimia adalah opium, getah kering Apium Papaver samniferum. Opium telah digunakan dalam obat-obatan selama berabad-abad dan sifat-sifatnya sebagai analgesik maupun narkotik telah diketahui. Pada tahun 1803, Derosne mengisolasi alkaloida semi murni dari opium dan diberi nama narkotin. Sertuner pada tahun 1805 mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap opium dapat berhasil mengisolasi morphin. Tahun 1817-1820 di Laboratorium Pelletier Caventon di Fakultas Farmasi di Paris, telah berhasil memperoleh senyawa alkaloida, yaitu strikhnin, emetin, brusin, piperin, kaffein, quinine, sinkhonin, dan kolkhisin. Dan tahun 1826, Pelletier dan Caventon memperoleh konini, suatu senyawa alkaloida yang memiliki sejarah cukup terkenal, dan merupakan alkaloida pertama yang ditentukan sifat-sifatnya (1870), yang pertama disintesis (1886). Selama tahun 1884, telah ditemukan paling sedikit 25 alkaloid hanya dari Cinchona.
Pada tahun 1939 hampir 300 alkaloida telah diisolasi dan sekitar 200 dari padanya telah diketahui strukturnya. Di dalam seri Alkaloida yang diterbitkan oleh Mankse tahun 1950 memuat lebih 1000 alkaloida. Dengan dikenalkannya teknik kromatografi preparatif dan instrumen spektroskopi yang canggih, maka jumlah alkaloida yang ditemukan
(26)
semakin meningkat, dan akhir tahun 1978 telah ditemukan alkaloida hampir 4000 yang telah diidentifikasi strukturnya.
2. Sumber Alkaloida
Pada waktu lampau, sebagian besar sumber alkaloida adalah pada tanaman berbunga, angiosperma. Pada tahun-tahun berikutnya penemuan sejumlah besar alkaloida terdapat pada hewan, serangga, organisme laut, mikroorganisme dan tanaman tingkat rendah. Misalnya, isolasi muskopiridin dari sebangsa rusa, kastoramin dari sejenis musang Kanada, likopodin dari genus lumut Lycopodium, khanoklavin-I dari sebangsa cendawan, dan neurotoksik konstituen dari Gonyaular catenella.
Empat puluh persen dari semua famili tanaman paling sedikit mengandung satu alkaloida. Namun demikian, dilaporkan hanya sekitar 8,7% alkaloida yang terdapat pada di sekitar 10.000 genus. Kebanyakan famili tanaman yang mengandung alkaloida yang penting adalah Liliacea, Solanaceae, dan Rubiaceae. Famili tanaman yang tidak lazim yang mengandung alkaloida adalah papaveraceae. Di dalam tanaman yang mengandung alkaloida, alkaloida terlokasi pada bagian tanaman tertentu. Misalnya, reserpin terlokasi pada akar (hingga dapat diisolasi), quinine terdapat dalam kulit, tidak pada daun
Cinchona ledgeriana, dan morfin terlokasi pada getah atau lateks Papaver samniferum
(Sastrohamidjojo, 1996).
Senyawa akaloida dapat ditemukan pada biji, akar, dan kulit batang tumbuhan
dengan cara mengisolasi ekstraknya dengan larutan asam (misalnya HCl, H2SO4, dan
CH3COOH) atau dengan alkohol. Pada umumnya, senyawa nitrogen banyak ditemukan di
fungi atau mikroorganisme lain sehingga diduga mengandung alkaloida. Alkaloida indol, buforwnin, tidak hanya dapat ditemukan pada tumbuhan Piptadenia pergrina, tetapi juga dalam tumbuhan Bufo vulgaris, dan fungi (Amanita mappa) (Ikan, 1991).
(27)
2.2.2. Sifat-sifat Alkaloida
1. Sifat Fisika Alkaloida
Kebanyakan alkaloida yang telah diisolasi berupa padatan kristal dengan titik lebur yang tertentu. Ada sedikit alkaloida yang berbentuk amorf, ada juga yang berbentuk cairan, misalnya nikotin dan koniin. Kebanyakan alkaloida tidak berwarna, tetapi beberapa senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna, misalnya berberin berwarna kuning dan betanin berwarna merah. Pada umumnya, basa bebas alkaloida hanya larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa jenis pseudoalkaloida dan protoalkaloida larut dalam air. Garam alkaloida dan quartener sangat larut dalam air.
2. Sifat Kimia Alkaloida
Kebanyakan alkaloida bersifat basa. Sifat tersebut tergantung kepada adanya pasangan elektron pada nitrogen. Jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai contoh gugus alkil, maka ketersediaan elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa.
Kebasaan alkaloida menyebabakan senyawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Dekomposisi alkaloida selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu yang lama. Pembentukan garam dengan senyawa organik atau anorganik sering mencegah dekomposisi (Sastrohamidjojo, 1996).
Secara umum, golongan alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut
dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti eter, etanol, dan kloroform. Beberapa alkaloida (seperti konini dan nikotin) berwujud cair dan larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberin (kuning).
2. Bersifat basa, pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek
fisiologis serta optis aktif.
3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam pikrat,
(28)
yang memiliki bentuk kristal yang khusus sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya (Tobing, 1989).
2.2.3. Deteksi Alkaloida
(a) Cara yang dianjurkan:
Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, senyawa alkaloida tidak dapat diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal. Pada umumnya, sulit mengidentifikasi suatu alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan tersebut. Karena kelarutan dan sifat lain alkaloida sangat berbeda-beda, cara penjaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak dapat berhasil mendeteksi senyawa khas.
Sebagai basa, alkaloida biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1 M atau asam asetat 10 %), kemudian diendapkan dengan ammonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari tumbuhan lainnya dapat diulangi, atau pemisahan selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi pelarut. Adanya alkaloida pada ekstrak kasar dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloida. Tetapi sebaliknya dilakukan KLT dan KKt dalam beberapa hal yang dapat digunakan, yang kemudian kertas dan plat disemprot dengan penampak bercak untuk alkaloida.
(b) Langkah Kerja
Ekstrak jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, dibiarkan sekurang-kurangnya empat jam. Dipekatkan ekstrak sampai seperempat volume awal dan
diendapkan alkaloida dengan meneteskan NH4OH(p). Dikumpulkan endapan dengan
pemusingan, dicuci dengan NH4OH(p). Dilarutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau
kloroform.
Kromatografi sebagian larutan pada kertas-dapar sitrat dalam n-butanol larutan asam sitrat dalam air. Kromatografi sebagian larutan lagi pada pelat silika gel G dalam
(29)
dengan fluoresensi di bawah sinar UV, kemudian menggunakan tiga penyemprot: pereaksi Dragendorf, iodoplatinat, dan Marquis. Cara memastikan adanya alkaloida khas
yaitu dengan mengukur spektrum UV suatu cuplikan yang dilarutkan dalam H2SO4 0,1M.
Harga maksimum khas berkisar dari 250 sampai 303 nm. Alkaloida yang bercincin aromatik pada strukturnya dapat juga menyerap sinar bergelombang lebih panjang, misalnya kolkhisina λmaks243 dan 351 nm, berberina λmaks 265 dan 243 nm. Uji ini tidak
dapat diterapkan jika dalam ekstrak yang diperiksa terdapat lebih dari satu alkaloida utama.
(c) Identifikasi selanjutnya
Bila semua jenis alkaloida dalam tumbuhan telah ditentukan, maka selanjutnya dapat diisolasi basanya yang agak banyak. Secara klasik alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat. Alkaloida dapat dipisahkan dan diisolasi dengan beberapa gabungan, yaitu: KKt, KLT, kolom, atau KGC.
(d) Penentuan kuantitatif
Ada cara khas yang digunakan oleh Hultin dan Torssell (1965) untuk menjaring 200 suku tumbuhan Swedia, yaitu dengan melakukan ekstraksi pendahuluan 4 g jaringan kering setiap cuplikan dengan metanol. Larutan air dari bagian yang larut asam dari fraksi
metanol dibasakan dengan NH4OH(p), kemudian diekstraksi dengan kloroform-etanol.
Lalu diuji dengan memakai enam perekasi sehingga memberikan reaksi positif.
2.2.4. Isolasi Alkaloida
Ada beberapa metode yang digunakan dalam mengisolasi senyawa alkaloida, yaitu: (a) Metode isoalsi senyawa alkaloida menurut Harborne
- Ekstraksi jaringan secara maserasi dengan asam asetat 5% (15 bagian), lalu disaring
ekstrak tersebut untuk memisahkan serpihan. Dipanaskan sampai 70oC dan
(30)
- Diekstraski ekstrak, lalu lapisan beningnya dibuang. Endapan diekstraksi dengan
NH4OH 1%.
- Dikumpulkan, dikeringkan, dan ditimbang solanina kasar yang diperoleh. Lalu dimurnikan dengan melarutkannya dalam air mendidih, disaring, dan dipekatkan sampai alkaloida mulai mengkristal (Harborne, 1987).
(b) Metode isolasi senyawa alkaloida menurut Hess
Sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan eter selama tiga hari dalam alat soklet, lalu diendapkan dan dilarutkan dengan ammonia. Endapan yang diperoleh diekstraksi lagi dengan pelarut organik lain, misalnya kloroform, lalu dipisahkan melalui kromatografi kolom dengan adsorben silika gel dan benzen-kloroform sebagai pengelusi.
(c) Metode isolasi senyawa alkaloida menurut BT.Cromwell
- sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, lalu diekstraksi dengan HCl
0,2M dalam etanol, lalu didiamkan selama ± 10 jam pada suhu 60oC, kemudian disaring
dalam keadaan panas, dan residu yang dihasilkan dicuci kembali dengan pelarut yang sama sampai menunjukkan hasil yang negatif terhadap pereaksi alkaloida.
- ekstrak yang diperoleh didinginkan dan didiamkan selama ± 12 jam, lalu disaring filtrat
yang diperoleh, kemudian ditambahkan NH4OH(p) sampai pH=10, lalu didinginkan
selama 24 jam pada suhu kamar.
- endapan yang dihasilkan dipisahkan, dan dilarutkan dalam kloroform, lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dan residu yang diperoleh dipisahkan, lalu dilakukan kromatografi untuk memperoleh senyawa alkaloida.
2.2.5. Klasifikasi Alkaloida
Menurut Hegnauer, alkaloida dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu (a) alkaloida sesungguhnya, (b) protoalkaloida, dan (c) pseudoalkaloida.
(31)
Alkaloida sesungguhnya merupakan alkaloida yang bersifat racun. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Kolkhisin dan aristolokhat bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloida quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.
(b) Protoalkaloida
Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.
(c) Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa ini biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloida stereoidal (contohnya konessin dan purin) (Sastrohamidjojo, 1996).
Dalam bukunya, Matsjeh (2002) mengklasifikasikan alkaloida berdasarkan lokasi atom nitrogen di dalam struktur alkaloida. Klasifikasinya dibagi menjadi 5 golongan yaitu:
1. Alkaloida Heterosiklis
Alkaloida heterosiklis merupakan alkaloida dengan atom nitrogennya terdapat dalam cincin heterosiklis. Alkaloida heterosiklis dibagi menjadi:
- Alkaloida pirolidin - Alkaloida indol - Alkaloida piperidin - Alkaloida piridin
- Alkaloida tropan dan basa yang berhubungan - Alkaloida histamin, imidazol dan guanidina - Alkaloida isokuinolin
(32)
- Alkaloida akridin - Alkaloida kuinazolin - Alkaloida izidin
2. Alkaloida dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis
Alkaloida dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
-Eritrofleum
-Fenilalkilamina
-Kapsaisin
-Alkaloida dari jenis kolkina
3. Alkaloida putressina, spermidina, dan spermina
4. Alkaloida peptida
5. Alkaloida terpena dan steroida
2.2.6. Biosintesis Alkaloida
Istilah biosintesis diartikan sebagai pembentukan molekul alami dari molekul lain yang kurang rumit strukturnya, dengan melalui reaksi endoerganik. Reaksi-reaksi demikian, adalah khas reaksi pada proses-proses anabolik dalam metabolit sekunder. Misalnya, dalam Conium maculatum memiliki kandungan paling tinggi dari koniseina yang dicapai atau dibiosintesis dalam waktu 1 minggu sebelum koniina dan alkaloida yang tersebut terakhir ini nampaknya berasal dari yang pertama. Prekursor alkaloida yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis alkaloida lebih rumit. Salah satu contoh adalah biosintesis dari iridoida, yang menarik perhatian banyak kelompok peneliti. Hal ini disebabkan oleh inkorporasi yang baik dari prazat terlabel dan adanya hubungan biogenetika yang dekat antara iridoida dan banyak jenis alkaloida indol dan isokuinolina, yang 10 atau 9 atom karbonnya berasal dari kerangka iridoida. Iridoida penting adalah loganin, yang merupakan prazat dari sekoiridoida, misalnya swerosida dan bagian terpena dari alkaloida-alkaloida yang telah disebut di atas (Manitto, 1992).
(33)
Ada dua hal penting yang bermanfaat tentang biosintesis alkaloida, yaitu: struktur-struktur alkaloida yang mirip sering mengesankan adanya hubungan atau ketertarikan biosintetik, misalnya higrin yang dibentuk dari spesies yang sama seperti esterm yang kemungkinan merupakan suatu zat antara dalam pembentukan tropin. Yang kedua yaitu: pembentukan akaloida menyangkut reaksi-reaksi yang sederhana, dan hampir selalu berulang (Herbert, 1989).
Sebagian dari turunan sederhana dari triptophan, misalnya indolilalkilamina,
phisostigmina, dan β-carbolina, pembentukan secara analogis dalam tirosin, senyawa
mayor dari indol alkaloida. Indol alkaloida umumnya diperoleh tiga famili pada tumbuhan, yaitu Apocynaceae, Loganiaceae, dan Rubiaceae. Dalam beberapa instansi, inti indol telah dimodifikasikan menjadi inti isoquinolin, misalnya dalam alkaloida calicanthina dan cinchonina (Torssell, 1983).
Aktivitas fisiologis dari alkaloida menarik perhatian ilmuwan sejak dahulu kala. Banyak senyawa alkaloida yang ditemukan dalam 100 tahun terakhir. Spesies tumbuhan dalam family atau genus tunggal sering menghasilkan dasar bigenetika yang memiliki struktur yang sama, senyawa tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis strukturnya (contohnya benzylisoquinolina alkaloida, indol alkaloida). Berikut ini diagram skematis klasifikasi senyawa alkaloida secara umum (Nakanishi, 1975).
asetil-CoA malonil-CoA protein
N2 atau
asam amino
mevalonat poliketida asam amino CO2
NH2 amina
isoprenoid amina poliketida amina
CO2
Pseudoalkaloida Alkaloida sesungguhnya
Protoalkaloida
Asam amino yang telah dimodifikasi
Alkaloida tidak sempurna
(34)
2.3. Metode Pemisahan
Pemisahan adalah keadaan hipotesis dari suatu pemisahan sempurna, m dipisahkan dari unit makroskopik, dimana m merupakan komponen kimia penyusun dari campuran. Dengan kata lain, tujuan dari proses pemisahan adalah mengisolasi komponen kimia m dari bentuk aslinya, ke dalam tabung tempat hasil m dipisahkan, misalnya gelas vial atau botol polyethylene (Miller, 1991).
2.3.1. Estraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya: n-heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat, etanol, metanol dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotarievaporator (Harborne, 1987).
Alkaloida biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air, yang diasamkan yang dapat melarutkan alkaloida sebagai garam, atau bahan tumbuhan dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya, dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya. Larutan dalam air yang bersifat asam dan mengandung alkaloida dapat dibasakan dan alkaloida diekstraksi dengan pelarut organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam air. Kemudian alkaloida dielusi dengan basa encer. Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloida dan perincian kasar dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloida (Robinson, 1991).
Pada umumnya, alkaloida diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui prosedur berikut:
(35)
- Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit dan atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan.
- Alkaloida diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol, kemudian
pelarutnya diuapkan.
- Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam ammonium
kuarterner, kemudian diekstraksikan kembali.
- Garam N+ yang diperoleh diekstraksikan dengan natrium karbonat (sehingga
menghasilkan alkaloida-alkaloida yang bebas), kemudian diekstraksi dengan pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.
- Campuran alkaloida-alkaloida yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai cara,
misalnya dengan metode kromatografi. Cara lain, misalnya dengan cara mereaksikan alkaloida dengan “larutan Reinecke”). Hasilnya adalah campuran reinekat-reinekat, dilarutkan dalam aseton dan kemudian melalui kolom penggantian ion (ion-exchange column). Cara ini biasanya menghasilkan alkaloida-alkaloida yang lebih murni (Tobing, 1989).
2.3.2. Kromatografi
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat ialah:
- Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
- Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi,
penjerapan)
- Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)
Pada sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan demikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut. Hal ini melibatkan dua sifat berlainan, misalnya penjerapan dan kelarutan, misalnya kelarutan di dalam dua cairan yang tidak bercampur.
Walaupun kromatografi melibatkan proses saling mempengaruhi antara beberapa sifat ialah pertama-tama dengan memperlihatkan pegun. Misalnya memasukkan senyawa ke dalam corong pisah yang berisi dua pelarut yang masing-masing mempunyai kelarutan yang terbatas dalam pelarut pasangannya (misalnya eter dan air), senyawa itu cenderung
(36)
terdistribusi atau terpartisi di antara kedua cairan itu atau fase bergantung kepada sifat kelarutannya.
Partisi yang demikian merupakan persaingan antara kelarutan di dalam cairan. Jika dimasukkan linarut ke dalam labu yang berisi cairan dan serbuk bahan padat (misalnya arang), linarut akan terdistribusi di antara permukaan bahan padat (dalam hal kedua ini, linarut menunjukkan sifat kejerapannya). Pada akhirnya dimasukkan linarut ke dalam labu yang sedikit mengandung cairan yang tidak atsiri, linarut akan menunjukkan sifat kelarutan dan keatsirian. Dalam sistem kromatografi, mungkin saja dapat memperbesar perbedaan itu, walaupun perbedaan itu sangat kecil, dan menjadikannya sebagai dasar pemisahan (Gritter, 1991).
2.3.2.1. Kromatografi Lapisan Tipis
Teknik ini dikembangkan pada tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase bergerak akan merayap sepanjang fase diam dan terbentuklah kromatogram. Kecepatan pemisahan tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa-senyawa yang terpisahkan. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel. Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan (Khopkar, 2003).
2.3.2.2. Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan.
Pemisahan tergantung kepada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya. Untuk memisahkan campuran, kolom yang telah dipilih sesuai ukuran diisi dengan bahan penyerap (adsorben) seperti alumina dalam
(37)
keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut. Dengan penambahan pelarut (eluen) secara terus-menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan penyerap, komponen campuran dan eluen. Setiap zona yang keluar dari kolom dapat ditampung dengan sempurna sebelum zona yang lain keluar dari kolom (Yazid, 2005).
2.3.2.3. Kromatografi Kertas
Kromatografi kertas pertama sekali dikembangkan di pertengahan abad ke 19 dan kemudian digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Meskipun dalam beberapa tahun metode pemisahan ini digantikan dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Fase gerak dalam kromatografi kertas terdiri dari selulosa. Mekanisme terhadap pemisahan melibatkan penyerapan pada zat terlarut pada selulosa dan pemisahan pada zat terlarut antara fase oganik bergerak dan air dalam kertas (Landgrebe, 1982).
2.4. Teknik Spektroskopi
Spektroskopi adalah studi mengenai antaraksi cahaya dengan atom dan molekul. Radiasi cahaya atau elektromagnet dapat dianggap menyerupai gelombang atau korpuskular. Beberapa sifat fisika cahaya paling baik diterangkan dengan ciri gelombangnya, sedangkan sifat lain diterangkan dengan sifat partikel. Jadi, cahaya dapat dikatakan bersifat ganda.
2.4.1. Spektrofotometri Inframerah (FT-IR)
Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Identifikasi pita adsorbsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah. Frekuensi regang O-H
menimbulkan pita absorpsi kuat di daerah 3350 cm-1. Adanya pita kuat absorpsi kuat di
daerah merah suatu senyawa merupakan petunjuk kuat bahwa molekul itu mengandung
(38)
lentur C-H berada di daerah 1475-1300 cm-1. Frekuensi regang C=O berada di daerah
1675-1625 cm-1. Frekuensi regang C-H pada CH3-, -CH2-, ≡C-H berada di daerah
3300-2700 cm-1 (Creswell, 1981).
Untuk menafsirkan sebuah spektrum infra-merah tidak terdapat aturan yang pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mencoba menafsirkan sebuah spektrum, yaitu:
a. Spektrum haruslah cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai.
b. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup murni.
c. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita akan teramati pada panjang
gelombang yang semestinya.
d. Metode penanganan cuplikan harus ditentukan.
Jika menggunakan pelarut, maka macam dan konsentrasi pelarut serta tebal sel harus disebutkan juga (Silverstein, 1984).
Dalam molekul sederhana beratom dua atau beratom tiga tidak sukar untuk menentukan jumlah dan jenis vibrasinya dan menghubungkan vibrasi-vibarasi tersebut dengan energi serapan. Tetapi untuk molekul-molekul beratom banyak, analisa jumlah dan jenis vibrasi tersebut menjadi sangat sukar, karena besarnya jumlah pusat-pusat vibrasi dan harus diperhitungkan terjadinya saling mempengaruhi (interaksi) beberapa pusat vibrasi.
Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan nama, yakni vibrasi regang (stretching vibrations) dan vibrasi lentur (bending vibrations).
a. Vibrasi Regang
Di sini terjadi terus menerus perubahan jarak antara dua atom di dalam suatu molekul. Vibrasi regang ini ada dua macam, yaitu vibrasi regang simetris dan tak simetris.
b. Vibrasi Lentur
Di sini terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam vibrasi lentur, yaitu vibrasi lentur dalam bidang (in-plane bending) yang dapat berupa vibrasi
(39)
“scissoring” (deformasi) atau vibrasi “rocking” dan vibrasi keluar bidang (out of plane
bending) yang dapat berupa “waging” atau berupa “twisting” (Noerdin, 1985).
2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Dari spektrum RMI (Resonansi Magnetik Inti), berbagai jenis proton yang ada dalam molekul dapat dibedakan. Luas di bawah puncak RMI berbanding lurus dengan jumlah proton di dalam suatu lingkungan kimia khusus. Jumlah proton dalam molekul merupakan kelipatan jumlah angkabanding (ratio) tersederhana luas puncak tersebut. Jadi, suatu molekul yang spektrum RMI nya menunjukkan singlet tiga proton, kuartet dua proton, dan triplet tiga proton mungkin mempunyai 8, 16, 24, … proton. Proton berikatan hidrogen kurang terperisai dan mengabsorpsi pada medan magnet lebih rendah daripada proton tidak berikatan hidrogen. Kesetimbangan cepat antara proton dalam bentuk berikatan hidrogen dan tidak berikatan hidrogen menghasilkan puncak resonansi tunggal. Rumus molekul dapat ditentukan bila bobot molekul, jenis unsur yang ada (analisis kualitatif unsur) dan spektrum RMI diketahui.
Spektrum RMI suatu senyawa, memberikan data yang memungkinkan mengidentifikasi satuan struktur dalam molekul (yaitu suatu gugus karbonil, etil, cincin benzene tersubsitusi para, dan sebagainya). Setelah mengidentifikasi satuan tersebut, masih ada 2 masalah :
a. Penentuan satuan struktur yang tidak dapat diidentifikasi dengan data spektrum
b. Urutan yang mungkin agar satuan struktur tersebut dapat dilihat menjadi satu senyawa.
Untuk menentukan satuan struktur sisa yang tidak dapat diidentifikasi dengan data spektrum, rumus molekul senyawa dikurangi dengan rumus molekul semua satuan struktur unik yang diketahui. Intuisi kimia dan data lain mengenai senyawa, seperti bau, titik lebur, atau asal senyawa mungkin berguna sekali pada penentuan satuan struktur sisa (Creswell, 1981).
(40)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat-Alat
1. Kolom Kromatografi 29/32 GL 14
2. Neraca analitis Mettler PM 480
3. Kertas saring biasa
4. Rotary evaporator Buchi R-114
5. Labu rotarievaporator 500 ml Duran
6. Alat destilasi
7. Corong saring
8. Plat tetes
9. Indikator Universal E. Merck Art
10.Corong pisah 500 ml Pyrex
11.Gelas ukur 25 ml Pyrex
50 ml Pyrex
12.Gelas beaker 500 ml Pyrex
250 ml Duran
13.Gelas erlenmeyer 250 ml Pyrex
14.Pipa kapiler
15.Pipet tetes
16.Tabung reaksi Pyrex
17.Penangas air
18.Spatula
19.Melting point apparatus Fisher Johns
20.Botol vial
(41)
22.Magnetik stirer
23.Bejana KLT
24.Lampu UV 254 nm
25.Hotplate stirrer PMC
26.Spektrofotometer IR Shimadzu
27.Spektrometer 1H-NMR Delta2_NMR
3.2. Bahan
1. Daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness)
2. Kloroform
3. Metanol
4. Ammonium hidroksida pekat
5. Asam asetat 2%
6. Kieselgel 60 F254 E.Merck.Art 554
7. N-heksana
8. Pereaksi Meyer
9. Pereaksi Wagner
10.Pereaksi Bouchardat
11.Pereaksi Dragendorff
12.Akuades
(42)
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Penyediaan Sampel
Sampel yang diteliti adalah 1050 gram daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness) yang diperoleh dari areal pertanaman Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara.
3.3.2. Uji Skrining Fitokimia
Dilakukan uji pendahuluan terhadap daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness) untuk membuktikan adanya senyawa alkaloida yang terdapat di dalamnya. Uji pendahuluan secara kualitatif dengan reaksi warna.
Prosedur :
- Dimasukkan 10 gram daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness) yang telah dikeringkan dan dipotong-potong kecil ke dalam
erlenmeyer
- Ditambahkan metanol secukupnya
- Didiamkan selama 1 malam
- Disaring
- Dibagi ekstrak metanol ke dalam 4 tabung reaksi
- Ditambahkan masing-masing pereaksi
a. Tabung I : dengan pereaksi Meyer menghasilkan larutan berwarna
kekeruhan
b. Tabung II : dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan berwarna
cokelat
c. Tabung III : dengan pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan berwarna
cokelat
d. Tabung IV : dengan pereksi Daragendorf menghasilkan endapan berwarna
(43)
3.3.3. Pengadaan Ekstrak Kloroform Daun Tumbuhan Sambiloto
Daun tumbuhan sambiloto yang telah dikeringkan dan dipotong-potong kecil ditimbang sebanyak 1050 gram, kemudian dimaserasi dengan metanol sebanyak 7 liter selama ± 48 jam, kemudian disaring dan dipekatkan dengan menggunakan alat rotarievaporator sehingga terbentuk ekstrak pekat metanol. Ekstrak pekat metanol tersebut dipartisi berulang-ulang dengan menggunakan n-heksan sebanyak 10 kali. Lalu diambil lapisan metanol dan dipekatkan. Kemudian diasamkan dengan menggunakan asam asetat 2% hingga mencapai pH=4 sambil diaduk. Lalu didiamkan selama 1 malam, kemudian
dibasakan dengan NH4OH(p) sampai pH=10 sambil diaduk dan didiamkan selama 1
malam. Lalu diekstraksi partisi dengan menggunakan kloroform sebanyak 3 kali, lapisan kloroform ditampung kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotarievaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat kloroform sebagai alkaloida total sebanyak 0,537 gram.
3.3.4. Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Analisis dimaksudkan untuk mencari perbandingan pelarut yang sesuai di dalam pemisahan senyawa dengan meningkatkan kepolarannya dalam kromatografi kolom. Pelarut yang digunakan adalah campuran pelarut kloroform : metanol (9:1 ; 8:2 ; 7:3 ; 6:4 ; 5:5 ; 4:6 ; 3:7 ; 2:8 ; 1:9) v/v, sehingga diperoleh perbandingan pelarut kloroform : metanol yang sesuai untuk kromatografi kolom.
Pelarut yang sesuai didasarkan kepada jumlah bercak atau noda yang terpisah dengan baik dalam kromatografi lapis tipis.
Prosedur:
Ke dalam bejana kromatografi lapis tipis dimasukkan larutan fase gerak yaitu campuran pelarut kloroform : metanol dengan campuran pelarut (9:1 ; 8:2 ; 7:3 ; 6:4 ; 5:5 ; 4:6 ; 3:7 ; 2:8 ; 1:9) v/v. Kemudian ekstrak kloroform ditotolkan pada plat KLT yang sudah diaktifkan. Lalu plat dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut yang dijenuhkan, kemudian ditutup. Setelah dielusi, dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan.
(44)
Noda yang terbentuk diamati dengan sinar ultraviolet dan difraksinasi dengan pereaksi bouchardat. Kemudian dihitung dan dicatat harga Rf. Yang memberikan pemisahan bercak noda yang baik adalah perbandingan pelarut kloroform : metanol (9:1) v/v yang memberikan tiga noda dengan harga Rf yaitu: 0,875 ; 0,625 ; 0,325.
3.3.5. Isolasi Senyawa Alkaloida dengan Kromatografi Kolom
Dilakukan isolasi senyawa alkaloida terhadap total alkaloida yang telah diperoleh dengan menggunakan kromatografi kolom. Dimana sebagai fase diam yaitu silika gel 60 GF (0,063-0,200 mm) E.Merck.Art.7734 dan fase gerak yaitu pelarut kloroform 100% dengan campuran pelarut kloroform : metanol (90 : 10 ; 80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40 ; 50 : 50 ; 40 : 60 ; 30 : 70 ; 20 : 80 ; 10 : 90) v/v.
Prosedur :
Dibersihkan peralatan kromatografi kolom, dibilas dengan metanol, dikeringkan, dan dirangkai. Kemudian silika gel 60 GF (0,063-0,200 mm) E.Merck.Art.7734 sebanyak 20 gram dibuburkan dengan pelarut n-heksana, diaduk sampai homogen dan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Lalu dielusi dengan n-heksana 100% hingga bubur silika gel memadat dan homogen. Dimasukkan alkaloida total sebanyak 0,537 gram yang telah dibuburkan dengan silika gel ke dalam kolom kromatografi yang telah diaktifkan. Sampel dibiarkan turun hingga memadat. Kemudian dielusi dengan pelarut kloroform 100% sebanyak 100 ml dan diatur aliran fraksi yang keluar dari kolom kromatografi bergerak secara kontinu dan ditampung tiap fraksi dalam botolfial masing-masing sebanyak 8 ml.
Perlakuan yang sama dilakukan terhadap campuran pelarut antara kloroform : metanol (90 : 10 ; 80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40 ; 50 : 50 ; 40 : 60 ; 30 : 70 ; 20 : 80 ; 10 : 90) v/v. Tiap-tiap fraksi yang telah diperoleh dari hasil elusi pelarut kloroform 100% dan variasi pelarut diKLT, lalu digabung fraksi dengan harga Rf yang sama dari perbandingan pelarut kloroform : metanol (90 : 10) v/v, kemudian diuapkan pelarutnya hingga diperoleh kristal.
(45)
3.3.6. Analisis Kristal Hasil Isolasi
3.3.6.1. Uji Kemurnian Hasil Isolasi dengan Kromatografi Lapis Tipis
Uji kemurnian kristal dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis, dimana
fase diam yang digunakan adalah Kieselgel 60 F254 (0,2 mm) E.Merck.Art 554 dan fase
gerak kloroform : metanol 90 : 10 v/v.
Prosedur:
Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan metanol, lalu ditotolkan pada plat KLT.
1. Dimasukkan larutan fase gerak kloroform : metanol (90 : 10 v/v) dalam bejana
kromatografi lapis tipis yang telah dijenuhkan. Plat yang telah ditotolkan sampel dimasukkan ke dalam bejana kromatografi tersebut dan dibiarkan hingga pelarut naik sampai batas atas yang telah ditentukan dalam plat tipis.
2. Dikeluarkan plat dari bejana kromatografi, lalu dikeringkan dan dilihat bercak
noda di bawah lampu UV, kemudian difiksasi dengan pereaksi bouchardat yang memberikan bercak noda berwarna cokelat yang menunjukkan bahwa senyawa alkaloida positif.
3. Dikeringkan hingga terbentuk kristal. Dari kristal yang terbentuk tersebut
diperoleh 2 warna kristal dan hasil bercak noda dari KLT yang telah dilakukan diperoleh lebih dari satu bercak noda.
4. Dimurnikan dengan metanol sebanyak 3 kali, kemudian diuapkan hingga
terbentuk kristal.
Dilakukan uji kemurnian terhadap kristal yang sudah dimurnikan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis, dengan cara :
- Dimasukkan larutan fase gerak kloroform : metanol (90 : 10 v/v) dalam bejana
kromatografi lapis tipis yang telah dijenuhkan. Plat yang telah ditotolkan sampel dimasukkan ke dalam bejana kromatografi tersebut dan dibiarkan hingga pelarut naik sampai batas atas yang telah ditentukan dalam plat tipis.
(46)
- Dikeluarkan plat dari bejana kromatografi, lalu dikeringkan dan dilihat bercak noda di bawah lampu UV, kemudian difiksasi dengan pereaksi bouchardat yang memberikan bercak noda tunggal berwarna cokelat yang menunjukkan bahwa senyawa alkaloida positif.
3.3.6.2. Uji Reaksi Warna terhadap Kristal Hasil Isolasi dengan Pereaksi Alkaloida
Dilarutkan kristal hasil isolasi secukupnya ke dalam botolfial, lalu diteteskan menjadi 4 larutan ke dalam plat tetes.
1. Larutan pertama ditetesi dengan pereaksi Meyer memberikan larutan berwarna
kekeruhan
2. Larutan kedua ditetesi dengan pereaksi Bouchardat memberikan endapan berwarna
cokelat
3. Larutan ketiga ditetesi dengan pereaski Wagner memberikan endapan berwarna
cokelat
4. Larutan ketiga ditetesi dengan pereaksi Dragendorf memberikan endapan berwarna
putih kekuningan
3.3.6.3. Penentuan Titik Lebur
Kristal hasil isolasi yang telah murni dimasukkan ke dalam peralatan melting point apparatus, diatur temperaturnya, lalu diamati temperatur awal mulai kristal melebur sampai kristal melebur seluruhnya.
3.3.7. Analisis Spektroskopi Kristal Hasil Isolasi
3.3.7.1. Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrofotometer Inframerah
Analisis kristal hasil isolasi dengan alat spektrofotometer FT-IR dilakukan di Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong – Tangerang. (lampiran E)
(47)
3.3.7.2. Uji Kristal Hasil Isolasi dengan Spektrometer Resonansi Magnetik Inti Proton 1H-NMR
Analisis Kristal hasil isolasi dengan alat Spektrometer 1H-NMR dilakukan di Pusat
Penelitian Kimia LIPI Serpong – Tangerang dengan menggunakan metanol (CD3OD)
(48)
3.3. Bagan Tes Uji Pendahuluan (Skrining Fitokimia) terhadap Daun Tumbuhan Sambiloto
Diekstraksi maserasi dengan pelarut metanol Disaring
Dibagi dalam 4 tabung reaksi
Ditambahkan Ditambahkan Ditambahkan Ditambahkan perekasi Meyer pereaksi Wagner pereaksi Bouchardat pereaksi
Dragendorf Diamati perubahan Diamati perubahan Diamati perubahan Diamati peruba-
yang terjadi yang terjadi yang terjadi han yang terjadi 10 g daun tumbuhan
sambiloto kering halus
Ekstrak pekat metanol
Tabung I Tabung II Tabung III Tabung IV
Larutan kekeruhan
Endapan coklat
Endapan
(49)
3.3.1. Bagan Penelitian
→ Disikrining fitokimia
→ Dimaserasi dengan metanol selama ± 48 jam → diulangi sebanyak 3 kali
→ diskrining fitokimia → dipekatkan dengan rotarievaporator
→ diekstraksi partisi dengan n-heksana sebanyak 10 kali
→ dipekatkan dengan rotarievaporator
→ diasamkan dengan CH3COOH 2% hingga pH=4 sambil diaduk → didiamkan 1 malam
→ disaring
→ dibasakan dengan NH4OH(p) hingga pH=10 sambil diaduk → didiamkan 1 malam
→ diekstrasi partisi dengan pelarut CHCl3 sebanyak 3 kali
→ dipekatkan dengan rotarievaporator
→ uji pereaksi alkaloida
→ dianalisis KLT untuk menentukan eluen yang sesuai pada pemisahan kromatografi kolom
→ dipisahkan dengan kolom kromatografi dengan fase diam silika gel 60 GF (0,063-0,200 mm) E.Merck. KGaA dan fase gerak kloroform : metanol (90:10) v/v
→ ditampung tiap fraksi sebanyak 8 ml
→ uji pereaksi alkaloida → uji pereaksi alkaloida → monitoring
→ monitoring KLT (Rf) → monitoring KLT (Rf) → monitoring KLT (Rf) → monitoring KLT (Rf) KLT (Rf)
→ diuapkan → diuapkan → diuapkan → diuapkan
→ dikristalisasi dengan metanol
→ dianalisis KLT
→ dikarakterisasikan
Ekstrak pekat metanol
Lapisan n-heksana Lapisan metanol
Ekstrak metanol-asam pH=4
1050 gram daun tumbuhan sambiloto kering halus
Residu
Ekstrak basa pH=10
Lapisan CHCl3 Ekstrak basa pH=10
Residu Ekstak metanol
Ekstrak pekat CHCl3
Fraksi 1-2 Fraksi 5-7
Residu kuning Fraksi 8-11 Kristal Fraksi 12-20 Residu cokelat kekuningan
Kristal murni Putih Kekuningan
Hasil negatif Fraksi 3-4
Residu cokelat kekuningan
(50)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Dari hasil uji pendahuluan (skrining) fitokimia yang dilakukan terhadap daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness) menunjukkan bahwa daun tumbuhan sambiloto mengandung senyawa alkaloida. Dimana pereaksi-pereaksi yang digunakan menunjukkan:
1. Pereaksi Meyer menghasilkan larutan berwarna kekeruhan
2. Pereaksi Wagner menghasilkan endapan cokelat
3. Pereaksi Bouchardat menghasilkan endapan cokelat
4. Pereaksi Dragendorf menghasilkan endapan merah kecokelatan
Hasil isolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness) diperoleh dengan menggunakan fase gerak CHCl3 : metanol
(90:10) v/v pada fraksi (8-11) berwarna putih kekuningan, berbentuk amorf dengan
TL=149-152oC.
Hasil analisis Spektrofotometer infra merah (FT-IR) dari kristal hasil isolasi memberikan
pita-pita serapan pada daerah bilangan gelombang (cm-1) sebagai berikut (lampiran E) :
1. Pada bilangan gelombang 3433,29 – 3360 cm-1 puncak lemah/sedang
menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) basa nitrogen amina (-N-).
2. Pada bilangan gelombang 2931,80 – 2852,72 cm-1 puncak sedang menunjukkan
adanya vibrasi ulur (stretch) –CH.
3. Pada bilangan gelombang 1747,51 cm-1 puncak kuat menunjukkan adanya vibrasi
(51)
4. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 1643,35 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya ikatan rangkap C=C dari system vinyl.
5. Pada bilangan gelombang 1610,56 cm-1 puncak sedang diduga menunjukkan
adanya absorbsi dari indolina kromofor (Hesse, 1983).
6. Pada bilangan gelombang 1444,68 cm-1 puncak kuat menunjukkan adanya vibrasi
ulur (stretch) –CH3.
7. Pada bilangan gelombang 1246,02 cm-1 dan 1172,72 cm-1 puncak sedang
menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) dari C-O.
8. Pada bilangan gelombang 1068,56 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya
vibrasi tekuk (bend) ikatan –NH.
9. Pada bilangan gelombang 1029,99 cm-1 puncak kuat menunjukkan adanya vibrasi
ulur (stretch) dari gugus –CN.
10.Pada bilangan gelombang 835,18 cm-1 dan 785,03 cm-1 puncak sedang
menunjukkan adanya vibrasi –CH pada cincin aromatik.
11.Pada bilangan gelombang 686,66 cm-1 puncak sedang menunjukkan adanya
vibrasi ulur (stretch) –NH.
Hasil analisis spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
memberikan pergeseran kimia pada daerah (ppm) sebagai berikut (lampiran F-I) :
1. Pergeseran kimia pada daerah δ=0,71 – 2,0 ppm puncak beragam (multiplet)
menunjukkan adanya proton-proton pada gugus –CH3, -CH2, -CH. Penampakan
puncak tajam (intense peak) singlet jelas terlihat pada pergeseran kimia δ=0,71
ppm dan δ=1,05 ppm. Kedua puncak tajam tersebut menunjukkan adanya gugus
–CH3.
2. Pergeseran kimia pada daerah δ=3,65 – 3,68 ppm puncak kuartet menunjukkan
proton pada subsitusi gugus etilidina.
3. Pergeseran kimia pada daerah δ=3,83 – 3,86 ppm puncak doblet-doblet yang
menunjukkan proton yang terdapat pada sistem vinyl.
4. Pergeseran kimia pada daerah δ=4,08 – 4,10 ppm puncak doblet dan δ=4,16 –
4,17 ppm puncak doblet menunjukkan proton yang terikat pada C2 dan C3 pada
(52)
5. Pergeseran kimia pada daerah δ=4,63 ppm puncak singlet menunjukkan proton yang terikat pada gugus –NH stuktur indol atau indolina.
6. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,33 ppm puncak singlet menunjukkan prot
on-proton pada cincin benzena.
4.2. Pembahasan
Dari hasil kromatografi lapis tipis, diketahui bahwa perbandingan pelarut yang baik untuk mengisolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sambiloto adalah kloroform : metanol (90 : 10 v/v), yang menunjukkan pemisahan yang lebih baik dari noda yang dihasilkan.
Dari uji titik lebur yang dilakukan dengan menggunakan alat Fisher Johns terhadap kristal hasil isolasi dari 3 kali perlakuan menunjukkan titik lebur kristal yang
sama dengan interval 149-152oC. Hal ini menunjukkan bahwa kristal yang diperoleh
sudah murni. Hal ini juga dibuktikan dengan analisis KLT yang menunjukkan hanya satu noda tunggal pada kristal.
Dari hasil interpretasi Spektrum Infra Merah diperoleh pita serapan sebagai berikut:
1. Pada bilangan yang terdapat pada daerah 3433,29 – 3360 cm-1 menyatakan adanya
gugus basa nitrogen amina (-N- vibrasi ulur –NH) yang merupakan vibrasi puncak serapan lemah/sedang. Adanya gugus amina ini didukung dengan adanya vibrasi tekukan NH simetris dengan puncak serapan sedang pada bilangan gelombang
1068,56 cm-1 dan puncak serapan sedang didukung adanya vibrasi ulur (stretch) –
NH pada bilangan gelombang 686,66 cm-1. Hal ini juga didukung dengan adanya
vibrasi ulur (stretch) dari gugus –CN pada daerah 1029,99 cm-1.
2. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 2931,80 – 2852,72 cm-1
puncak sedang menunjukkan adanya vibrasi ulur (stretch) –CH dari gugus metil
(CH3), metilen (CH2), dan CH. Hal ini didukung dengan adanya vibrasi ulur
(stretch) pada bilangan gelombang 1444,68 cm-1 menunjukkan adanya gugus metil
(53)
3. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 1747,51 cm-1 puncak kuat menunjukkan vibrasi ikatan rangkap gugus karbonil (C=O) dari suatu senyawa keton atau lakton, tetapi bukan dari gugus aldehida atau ester yang puncak serapannya sedang
4. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 1610,56 cm-1 puncak sedang
menunjukkan adanya absorbsi dari sistem struktur indolina kromofor. Adanya vibrasi ulur (stretch) C-O juga ditunjukkan puncak serapan sedang pada daerah
bilangan gelombang 1246,02 cm-1 dan 1172,72 cm-1.
5. Pada bilangan gelombang yang terdapat pada daerah 835,18 cm-1 puncak sedang
menunjukkan adanya vibrasi –CH pada cincin benzena (ring benzene) yang juga
didukung munculnya puncak sedang pada daerah serapan 785,03 cm-1.
Dari hasil interpretasi Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
senyawa hasil isolasi dengan menggunakan pelarut CD3OD diperoleh :
1. Pergeseran kimia pada daerah δ=0,71 – 2,0 ppm menunjukkan puncak beragam
(multiplet) menunjukkan adanya gugus –CH3, -CH2, -CH, dimana penampakan
tajam gugus metil (-CH3) jelas terlihat pada daerah δ=0,71 ppm dan pada 1,05
ppm gugus metil (-CH3) yang terikat pada gugus karbonil (C=O).
a. δ=0,71 ppm menunjukkan proton metil (–CH3) dalam sistem alifatis.
b. δ=1,05 ppm menunjukkan proton metil (–CH3) yang terikat pada gugus
karbonil (C=O) (Hesse, 1983).
Adanya gugus metil (-CH3) ini didukung oleh adanya vibrasi ulur (stretch) –CH3
dengan puncak kuat pada daerah serapan 1444,68 cm-1 dalam spektrum
inframerah. Penampakan CH ini juga didukung oleh adanya vibrasi –CH puncak
sedang pada daerah serapan 835,81 cm-1 dan 785 cm-1 dalam spektrum
inframerah.
2. Pergeseran kimia pada daerah δ=3,65 – 3,69 ppm puncak kuartet, menunjukkan
adanya proton pada subsitusi gugus etilidina.
C C C H H H H
(54)
Adanya proton pada sistem etilidina ini didukung oleh adanya absorbsi serapan
dari vibrasi ulur (stretch) –CH puncak sedang pada daerah 2931,80 – 2852,72 cm-1
dalam spektrum inframerah. Dan juga didukung oleh adanya absorbsi ikatan rangkap C=C dari sistem vinyl pada daerah serapan bilangan gelombang 1643,35
cm-1 dengan puncak sedang.
C C
3. Pergeseran kimia pada daerah δ=3,83 – 3,86 ppm puncak doblet-doblet
menunjukkan adanya proton yang terdapat pada sistem vinyl.
C C
H H H
H
Hal ini didukung dengan adanya absorbsi serapan vibrasi C=C dengan puncak
sedang pada daerah 1634,35 cm-1 dalam spektrum inframerah.
4. Pergeseran kimia pada daerah δ=4,08 – 4,10 ppm dan δ=4,16 – 4,17 ppm puncak
doblet menunjukkan proton pada C2 dan C3 yang terdapat pada cincin 5 anggota
dari struktur indolina kromofor.
NH H H H H 2 1 3 4 5 6 7 8 9
Hal ini didukung dengan adanya serapan vibrasi –CH pada bilangan gelombang
2931,80 – 2852,72 cm-1 puncak sedang. Didukung juga dengan adanya serapan
vibrasi ikatan rangkap C=C dari sistem vinyl pada daerah serapan bilangan
gelombang 1643,35 cm-1 puncak sedang. Dan diperkuat dengan adanya vibrasi
ulur (stretch) –NH pada bilangan gelombang 686,66 cm-1 puncak sedang dan
vibrasi tekuk (bend) ikatan –NH pada bilangan gelombang 1068,56 cm-1 puncak
sedang, serta vibrasi ulur (stretch) dari gugus –CN pada bilangan gelombang
1029,99 cm-1 puncak kuat dan adanya vibrasi ulur (stretch) basa nitrogen amina
(-N-) pada bilangan gelombang 3433,29 – 3360 cm-1 puncak lemah/sedang dalam
(55)
5. Pergeseran kimia pada daerah δ=4,63 ppm puncak singlet menunjukkan proton yang terikat pada gugus –NH dalam struktur indol atau indolina. Adanya gugus –NH ini didukung oleh adanya vibrasi ulur (stretch) basa nitrogen amina (-N-)
pada daerah serapan 3433,29 – 3360 cm-1 puncak lemah/sedang dan adanya
vibrasi tekuk (bend) –NH pada daerah serapan 1068,56 cm-1 dengan puncak
sedang serta pada daerah serapan 686,66 cm-1 puncak sedang dalam spektrum
inframerah.
6. Pergeseran kimia pada daerah δ=7,33 ppm puncak singlet, menunjukkan adanya
proton-ptroton dari cincin aromatik. Adanya proton ini didukung oleh adanya
vibrasi –CH pada cincin aromatik pada daerah serapan 835,18 cm-1 dan 785,03
cm-1 puncak sedang dalam spektrum inframerah.
Berdasarkan analisis data dari interpretasi yang dilakukan pada spektrum
inframerah (FT-IR) dan resonansi magnetik inti proton (1H-NMR) serta membandingkan
data spektrum inframerah yang diperoleh dengan spektrum inframerah senyawa Indolina Alkaloida (1H-Indole, 2,3-dihydro) (lampiran J) mengindikasikan bahwa kristal murni yang diperoleh dari hasil isolasi merupakan suatu senyawa alkaloida (Indolina Alkaloida) yaitu suatu senyawa alkaloida heterosiklik golongan Indol-Alkaloida dengan struktur molekulnya seperti:
NH
H H
H H
2
1 3 4 5 6
7 8
9
(56)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dari hasil uji skrining fitokimia dengan pereaksi dengan pereaksi alkaloida
menunjukkan bahwa daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata
(Burm.f.) Ness) mengandung senyawa alkaloida.
2. Isolasi senyawa alkaloida dari daun tumbuhan sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.) Ness) yang diekstraksi dengan pelarut metanol diperoleh
kristal murni sebanyak 37 mg, berbentuk amorf berwarna putih kekuningan
dengan titik lebur 149-152oC.
3. Dari data dan pembahasan hasil identifikasi spektroskopi Infra Merah (FT-IR) dan
spektroskopi Magnetik Inti Proton (1H-NMR) menunjukkan bahwa kristal hasil
isolasi dari daun tumbuhan sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness) adalah senyawa alkaloida.
5.2. Saran
1. Untuk lebih mendukung struktur senyawa alkaloida dari kristal yang diperoleh
sebaiknya perlu dilakukan analisis spektroskopi karbon (13C-NMR) dan
(57)
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Penerbit Karunika Jakarta Universitas Terbuka.
Cordell, A.F. 1981. Introduction to Alkaloids. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Creswell, C.J. 1981. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Edisi kedua.
Bandung: Penerbit ITB.
Dalimartha, S., 1996. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan. Jakarta: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Gritter, R.J. 1991. Pengantar Kromatografi. Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Harborne, J. B. 1987. Metoda Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terbitan ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang
Soediro. Bandung: Penerbit ITB.
Herbert, R.B. 1989. Biosintesis Metabolit Sekunder. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Semarang: IKIP Press.
Hesse, M. 1983. Alkaloid Chemistry. New York: John Wiley and Sons, Inc. Ikan, R. 1991. Natural Product. Second Edition. New York: Academic Press.
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Terjemahan A.Saptorahardjo. Jakarta: UI-Press.
Klaipool, R.J.C. 1952. Nature Lond. Tesis Sarjana ITB. Bandung: Penerbit ITB.
Kurniasari, A. 1971. Efek Ekstrak Daun Sambiloto Terhadap Respirasi Sel. Tesis Sarjana ITB. Bandung: Penerbit ITB.
(58)
Landgrebe, J.A. 1982. Theory and Practice in the Organic Laboratory. Third Edition. New York: D.C. Heath and Company.
Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Cetakan Pertama. Terjemahan Koensoemardiyah. Bandung: IKIP Press.
Matsjeh, S. 2002. Kimia Hasil Alam Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan Flavonoid,
Terpenoid dan Alkaloid. Yogyakarta: Kimia FMIPA UGM.
Miller, J.C. 1991. Statistika Untuk Kimia Analitik. Bandung: Penerbit ITB.
Nakanishi, K. 1975. Natural Products Chemistry. Volume 2. Tokyo: Kodansha LTD. Nazaruddin. 2009. Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta: UGM Press.
Noerdin, D. 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara Spektroskopi
Ultralembayung dan Inframerah. Bandung: Penerbit Angkasa.
Nuratmin, dkk. 1996. Beberapa Penelitian Farmakologi Sambiloto (Andrographis
paniculata Nees). Jakarta.
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Salisbury, F.B. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Edisi Keempat. Jilid Dua. Bandung: Penerbit ITB.
Sastrapradja, S., dkk. 1978. Tanaman Obat Yang Digunakan. Lembaga Biologi
Nasional-LIPI. Bogor.
Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Silverstein, R.M. 1984. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik. Terjemahan A.J. Hatomo dan Any Viktor Purba. Edisi Keempat. Jakarta: Pernerbit Erlangga.
(59)
Tobing, R.L. 1989. Kimia Bahan Alam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Torssell, K.B.G. 1983. Natural Product Chemistry, A Mechanistic and Biosynthetic
Approach to Secondary Metabolism. New York: John Wiley and Sons Limited.
Wijayakusuma, H.M., dkk. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini.
Yazid, E. 2005. Kimia Fisika untuk Paramedis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Yuniarti, T. 2008. Ensiklopedia Tananman Obat Tradisional. Cetakan Pertama. Yogyakarta: MedPress.
Yusron dkk., 2005. Budidaya Tanaman Samibloto. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Sirkular. No. 11.
(60)
(61)
Lampiran A. Gambar Daun Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness.)
(62)
Lampiran B. Surat Determinasi Daun Tumbuhan Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness.)
(1)
(2)
(3)
Lampiran G. Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi Ekspansi Fraksi 8-11
(4)
Lampiran H. Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi Ekspansi Fraksi 8-11
(5)
Lampiran I. Spektrum Resonansi Magnetik Inti Proton Senyawa Hasil Isolasi Ekspansi Fraksi 8-11
(6)
Lampiran J. Senyawa Pembanding Indolina Alkaloida (1H-Indole, 2,3-dihydro)
Sumber : Infrared Spectrum Standard Reference Data cc 2008
Copyright by: The US Secretary of Commerce The United States of America