Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA TONSILITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Oleh: dr. Nina Amalia

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

Medan, 30 Juni 2011

Tesis dengan judul

KARAKTERISTIK PENDERITA TONSILITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) NIP: 19471130 198003 1 002

Anggota

dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL NIP: 19520603 197912 2 001 NIP. 19710622 199703 2 001

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. dr. Abdul Rachman S, Sp.THT-KL(K) dr. T.Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL NIP: 19471130 198003 1 002 NIP: 19790620 200212 2 003


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim, saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasannya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


(4)

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H dan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk mengambil data di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, dr T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU sebelumnya Prof. Dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, Sp.THT-KL, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr.


(5)

Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Hafni,Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Hrp, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), (Almh) dr. Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, Sp.THT-KL, dr. Farhat, Sp.THT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira, Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda H. OK Agahan Sjah dan Ibunda Hj. Sulastri, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT, Ya Allah ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

Yang tercinta Bapak Mertua Alm. Drs. H. Tinggi Dalimunthe dan Almh. Dra. Ellya Nora Panggabean Ayah dan Ibu mertua yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.


(6)

Kepada suamikuku tercinta dr. Irvan Nevri Dalimunthe, serta buah hati kami tersayang Naifa Aqiila Irvan Dalimunthe dan Khaira Irdina Irvan Dalimunthe, tiada kata yang lebih indah yang dapat saya ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya dan doa kepada ibunda sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada kakak dan Adik OK. Alvin Syah, Maya Soraya, S.Sos, M.sP, OK. Mirza Syah SE, dr. Ridha Raudha, serta kakak dan adik ipar penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Juni 2011

Penulis


(7)

KARAKTERISTIK PENDERITA TONSILITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

Abstrak

Pendahuluan: Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di bagian THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, data yang diambil berasal dari data sekunder di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009. Populasi penelitian adalah semua data penderita Tonsilitis Kronis yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2009-Desember 2009, sampel diambil secara purposis semua penderita yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP H.Adam Malik Medan yakni sebanyak 80 sampel.

Hasil penelitian: Proporsi tertinggi penderita Tonsilitis Kronis terdapat pada kelompok umur 36-47 tahun sebanyak 26,3% penderita, jenis kelamin perempuan sebanyak 52,7%, suku Batak sebanyak 67,5%, keluhan utama sangkut menelan sebanyak 42,5%, ukuran tonsil T2/T2 sebanyak 33,8%, penatalaksanaa medikamentosa sebanyak 83,7%, sumber pendanaan dengan biaya pribadi sebanyak 38,8%.

Kesimpulan: Ada perbedaan yang bermakna antara umur (p=0,001) dan penatalaksanaan (p=0.000) berdasarkan ukuran tonsil, tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin (p=0,82), suku (p=0,666), dan sumber pembiayaan berdasarkan ukuran tonsil (p=0,27).


(8)

THE CHARACTERISTIC OF CHRONIC TONSILLITIS IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN 2009

Abstract

Introduction: Chronic Tonsillitis is the most commonest disease in the throat occurring predominantly in the younger age group. It is due to chronic inflammation within the tonsils due to insufficient or inappropriate of the antibiotika for acute tonsillitis. The morbidity rate in children 5-14 year group from the family survey in 1995, chronic tonsillitis was on the fifth.

Purpose: This study aimed to find the characteristic of chronic tonsillitis patients in H. Adam Malik General Hospital Medan.

Method: This is a descriptive study with a case series design from secondary data from H. Adam Malik General Hospital Medan in 2009. Population of this research is all the chronic tonsillitis patient of H. Adam Malik General Hospital Medan, the samples take purposisly all the chronic tonsillitis patients from outgoing clinic patient which are 80 cases..

Result: The proportion of patients with Chronic Tonsillitis is highest at group ages 36-47 years old 21 (26,3%), female 45 (52,7%), Bataknesse 51 (67,5%), main complain is sorethroat 34 (42,5%), tonsil size is T2/T2 27 (33,8%), the treatment is conservative 67 (83,7%), the charges is private 31 (38,8%).

Conclusion: There were significant differences between the ages (0,001) and treatment (0,000) based on the size of tonsils, there were no significant differences between the sexes (0,666), rases (0,666), and charges (0,27) based on the size of tonsils.


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ………..i

KATA PENGANTAR ……….…………..ii

ABSTRAK ……….………vi

ABSTRACT ……….... vii

DAFTAR ISI ...………... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ………xii

BAB 1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ………...… 3

1.3. Tujuan Penelitian ………... 3

1.3.1 Tujuan Umum …... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ………... 3

1.4. Manfaat Penelitian ………... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………... 5

2.1. Fisiologi ………...……... 5

2.2. Definisi ... 6

2.3. Etiologi ………...………... 7

2.3.1. Determinan Pada Penderita Tonsilitis Kronis ... 8


(10)

2.5. Gejala Klinis ………... 10

2.6. Pemeriksaan ………... 10

2.7. Pemeriksaan Penunjang ... 12

2.8. Penatalaksanaan ... 12

2.9. Komplikasi ...16

2.10. Prognosa ... ... ... 17

2.11. Pencegahan ………... 17

2.12. Kerangka Teori ………. 18

2.13. Kerangka Konsep ……….. 18

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Desain Penelitian ……….……...…... 19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian …………...…… 19

3.3. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 19

3.3.1. Populasi ……….….. 19

3.3.2. Sampel Penelitian ………... 19

3.4. Variabel dan Definisi Operasional ………..……... 19

3.5. Kerangka Kerja ………..…...… 21

3.6. Cara Analisis Data ………...……... 22

3.7. Jadwal Penelitian ………...………... 22

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 23

BAB 5. PEMBAHASAN ... 30

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ……...………... 48

6.2. Saran …...…………....………...…….... 49

KEPUSTAKAAN ………... 50


(11)

LAMPIRAN ……….. 57

CURICULUM VITAE ………. 64

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis menurut kelompok umur 23 Tabel 4.1.2. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan jenis kelamin

…….... 23 Tabel 4.1.3. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan suku

………... 24 Tabel 4.1.4. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama

... 24 Tabel 4.1.5. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

... 25 Tabel 4.1.6. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan

penatalaksanaan ... 26 Tabel 4.1.7. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan sumber

pendanaan ... 26 Tabel 4.2.1. Proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran

tonsil ... 26

Tabel 4.2.2. Proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan

ukuran tonsil ………... 27

Tabel 4.2.3. Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran


(12)

Tabel 4.2.4. Proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis

berdasarkan ukuran tonsil ... 28

Tabel 4.2.5. Proporsi sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ……… 29


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1.1. Diagram Pie Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan kelompok umur ... 30

Gambar 5.1.2. Diagram Pie Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan jenis kelamin………. ... 32

Gambar 5.1.3. Diagram Pie Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan suku ... 34

Gambar 5.1.4. Diagram Pie Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama ... 35

Gambar 5.1.5. Diagram Pie Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ... 36

Gambar 5.1.6. Diagram Pie Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan penetalaksanaan……… ... 38

Gambar 5.1.7. Diagram Pie Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan sumber pendanaan ………... 39 Gambar 5.2.1. Diagram Bar Proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ... 40 Gambar 5.2.2. Diagram Bar Proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ... 42

Gambar 5.2.3. Diagram Bar Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ………... 43

Gambar 5.2.4. Diagram Bar Proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil ... 44 Gambar 5.2.5. Diagram Bar Proporsi sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil …... 47


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Penelitian ……….……… 57

Lampiran 2.Data mentah ……….. 58

Lampiran 3.Output statistik ……….. 60


(15)

KARAKTERISTIK PENDERITA TONSILITIS KRONIS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

Abstrak

Pendahuluan: Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di bagian THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian ini bersifat deskiptif dengan desain case series, data yang diambil berasal dari data sekunder di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009. Populasi penelitian adalah semua data penderita Tonsilitis Kronis yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2009-Desember 2009, sampel diambil secara purposis semua penderita yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP H.Adam Malik Medan yakni sebanyak 80 sampel.

Hasil penelitian: Proporsi tertinggi penderita Tonsilitis Kronis terdapat pada kelompok umur 36-47 tahun sebanyak 26,3% penderita, jenis kelamin perempuan sebanyak 52,7%, suku Batak sebanyak 67,5%, keluhan utama sangkut menelan sebanyak 42,5%, ukuran tonsil T2/T2 sebanyak 33,8%, penatalaksanaa medikamentosa sebanyak 83,7%, sumber pendanaan dengan biaya pribadi sebanyak 38,8%.

Kesimpulan: Ada perbedaan yang bermakna antara umur (p=0,001) dan penatalaksanaan (p=0.000) berdasarkan ukuran tonsil, tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin (p=0,82), suku (p=0,666), dan sumber pembiayaan berdasarkan ukuran tonsil (p=0,27).


(16)

THE CHARACTERISTIC OF CHRONIC TONSILLITIS IN H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN 2009

Abstract

Introduction: Chronic Tonsillitis is the most commonest disease in the throat occurring predominantly in the younger age group. It is due to chronic inflammation within the tonsils due to insufficient or inappropriate of the antibiotika for acute tonsillitis. The morbidity rate in children 5-14 year group from the family survey in 1995, chronic tonsillitis was on the fifth.

Purpose: This study aimed to find the characteristic of chronic tonsillitis patients in H. Adam Malik General Hospital Medan.

Method: This is a descriptive study with a case series design from secondary data from H. Adam Malik General Hospital Medan in 2009. Population of this research is all the chronic tonsillitis patient of H. Adam Malik General Hospital Medan, the samples take purposisly all the chronic tonsillitis patients from outgoing clinic patient which are 80 cases..

Result: The proportion of patients with Chronic Tonsillitis is highest at group ages 36-47 years old 21 (26,3%), female 45 (52,7%), Bataknesse 51 (67,5%), main complain is sorethroat 34 (42,5%), tonsil size is T2/T2 27 (33,8%), the treatment is conservative 67 (83,7%), the charges is private 31 (38,8%).

Conclusion: There were significant differences between the ages (0,001) and treatment (0,000) based on the size of tonsils, there were no significant differences between the sexes (0,666), rases (0,666), and charges (0,27) based on the size of tonsils.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut (Kurien M et al, 2003). Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita Tonsilitis Akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya Tonsilitis Kronis (Dias EP, 2009).

Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%) (Suwendo, 2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (Undaya R,1999).

Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan) (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, 1995).

Pola penyakit THT bervariasi pada tiap-tiap Negara. Banyak faktor lingkungan dan sosial diyakini bertanggung jawab terhadap etiologi infeksi penyakit ini. Penelitian


(18)

yang dilakukan di Departemen THT Islamabad-Pakistan selama 10 tahun (Januari 1998-Desember 2007) dari 68.488 kunjungan pasien didapati penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai yakni sebanyak 15.067 (22%) penderita (Awan, 2009). Sementara penelitian yang dilakukan di Malaysia pada poli THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 kunjungan pasien dan jumlah penderita penyakit Tonsilitis Kronis menempati urutan keempat yakni sebanyak 657 (8,1%) (Sing, 2007). Dalam analisa tentang kekambuhan penyakit-penyakit kronis pada saluran nafas atas dilakukan penelitian terhadap total populasi lebih dari 3,5 juta jiwa populasi di Amerika Serikat mendapatkan prevalensi penderita Tonsilitis Kronis sebesar 15,9/1.000 penduduk (Otvagin, 2007). Menurut penelitian di Rusia mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 (26,3%) dari 307 ibu-ibu usia reproduktif didiagnosa Tonsilitis Kronis (Khasanov et al, 2006).

Hasil pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada Telinga Hidung dan Tenggorok berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan didapati 38,4% diantaranya merupakan penderita penyakit Tonsilitis Kronis (Tarasov, 1991).

Pada penelitian Farokah mengenai hubungan Tonsilitis Kronis dengan prestasi belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di kota Semarang didapati prevalensi penderita Tonsilitis Kronis sebesar 48,2% (145/301) dan dengan hasil penelitian terdapat hubungan bermakna antara Tonsilitis Kronis dan prestasi belajar siswa. Siswa dengan Tonsilitis Kronis mempunyai risiko 3,5 kali lebih besar mempunyai prestasi belajar kurang dari rata-rata kelas dibandingkan yang tidak menderita Tonsilitis Kronis (Farokah, 2003).


(19)

Tonsilitis Kronis menjadi lesi yang paling sering terjadi diantara semua peradangan pada faring dengan banyak kompikasi regional maupun lokal misal Otitis Media Akut, Sinusitis, Glomerulonefritis, dan Endokarditis (Mogoanta et al, 2008).

Informasi mengenai epidemiologi penyakit-penyakit THT di Indonesia masih sulit tersedia. Sampai saat ini belum didapatkan data yang pasti tentang gambaran penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik Medan, karena itulah penulis mencoba untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di bagian THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tonsilitis Kronis menurut sosiodemografi antara lain : umur, jenis kelamin, suku.

b. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama.


(20)

c. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

d. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penatalaksanaan.

e. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan sumber pembiayaan.

f. Mengetahui perbedaan proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

g. Mengetahui perbedaan proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

h. Mengetahui perbedaan proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

i. Mengetahui perbedaan proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

j. Mengetahui perbedaan proporsi sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk memperoleh data awal bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Sebagai sumber referensi untuk perbaikan kelengkapan data penderita Tonsilitis Kronis.

1.4.3 Sebagai bahan untuk pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.


(21)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Fisiologi

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2003).

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu


(22)

menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika, 2008).

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk membantu melawan infeksi (Edgren, 2002). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun (Amarudin, 2007).

2.2 Definisi

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001). Anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik


(23)

diperlukan untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Pada Tonsilitis Kronis tonsil dapat terlihat normal, namun ada tanda-tanda spesifik untuk menentukan diagnosa seperti plika anterior yang hiperemis, pembesaran kelenjar limfe, dan bertambahnya jumlah kripta pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.3 Etiologi

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003). Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna (Colman, 2001).

Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli (Suyitno dan Sadeli, 1995).


(24)

2.3.1 Determinan pada penderita Tonsilitis Kronis

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis (Kvestad, 2005).

a. Umur

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas (Edgren, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % (Hannafort, 2004). Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun (Kisve, 2009).

b. Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita (Awan , 2009).


(25)

c. Suku

Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14% (Sing, 2007)

2.4 Patologi

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2003).

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).

Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil (Undaya, 1999)


(26)

2.5 Gejala klinis

Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu: 1) Sangkut menelan. Dalam penelitiaa mengenai aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama (Timbo, 1998). 2) Bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil. Pada penelitian tahun 2007 di Sao Paulo Brazil, mendapatkan keluhan utama halitosis atau bau mulut pada penderita Tonsilitis Kronis didapati terdapat pada 27% penderita (Dalrio, 2007). 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas) (Dhingra, 2008; Shnayder, 2008). 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Butiran putih pada tonsil (Brodsky, 2006).

2.6 Pemeriksaan

Dari pemeriksaan dapat dijumpai:

2.6.1 Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75% (Brodsky, 2006). Sedangkan menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula. T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993). Penelitian yang dilakukan di Denizli Turkey dari 1.784 anak sekolah usia


(27)

4-17 tahun didapatkan data ukuran tonsil terbanyak yakni T1: 1.119 (62%), T2: 507 (28,4%), T3: 58 (3,3%), T4: 2 (0,1%) (Akcay, 2006).

2.6.2 Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil (Dhingra, 2008)

2.6.3 Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju (Dhingra, 2008).

2.6.4 Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil (Dhingra, 2008).

Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula (Primara, 1999). Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan (Dass, 1988). Untuk menegakkan diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita (Kurien, 2000).

2.7Pemeriksaan penunjang


(28)

2.7.1 Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus ( Kurien, 2000).

2.7.2 Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis (Ugras, 2008).

2.8Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan:

2.8.1 Medikamentosa

yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole,


(29)

klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononukleosis) (Adam, 1997; Lee, 2008).

2.8.2 Operatif

Dengan tindakan tonsilektomi (Adam, 1997; Lee, 2008). Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan

data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi (Khasanov et al, 2006).

Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat

penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit ( Hannaford, 2005).

a. Indikasi Tonsilektomi

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum

dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas


(30)

tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak) (Burton, 2004).Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi absolut: a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner. b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. c)Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi. Indikasi Relatif: a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. b) Halitosis akibat Tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis. c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten (Kartika, 2008).


(31)

b. Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat (Kartika, 2008).

c. Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi. Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil. Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar. Laser tonsilektomi:

Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi (Dhingra, 2008).

2.9Komplikasi


(32)

a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses (Shnayder, Lee, Bernstein, 2008).

b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal (Fachruddin, 2001; Adam, 1989).

c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau


(33)

e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.

e) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis (Dhingra, 2008). Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis (Xie, 2004).

2.10 Prognosa

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

2.11 Pencegahan

Bakteri dan virus penyebab Tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Tidaklah jarang terjadi seluruh keluarga atau beberapa anak


(34)

pada kelas yang sama datang dengan keluhan yang sama, khususnya bila Streptokokus pyogenase adalah penyebabnya. Risiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderíta Tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang talah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang-orang yang merupakan karier Tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain (Edgren, 2002).

2.12 Kerangka teori terjadinya Tonsilitis Kronis

2.13 Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis 1. Sosiodemografi

Umur

Jenis kelamin Suku

2. Keluhan utama 3. Ukuran tonsil 4. Penatalaksanaan 5. Sosial ekonomi

DAYA TAHAN TUBUH  (umur, jenis kelamin,  suku, sosial ekonomi) 

TONSILITIS AKUT  TONSILITIS KRONIS


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan design Case series dari data sekunder di RSUP H. Adam Malik Medan.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen/SMF THT-KL FK-USU RSUP H. Adam Malik Medan mulai Januari-Desember 2009. Alasan pemilihan tempat penelitian karena merupakan Rumah Sakit sentra pendidikan program Magister dan Spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL dan tersedia data rekam medis yang dapat diakses.

3.3Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi

Semua penderita Tonsilitis Kronis yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan sejak Januari 2009 sampai dengan Desember 2009.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel diambil secara purposis semua penderita yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan yakni sebanyak 80 penderita.

3.4Variabel dan Defenisi Operational

3.4.1 Tonsilitis Kronis adalah penderita yang didiagnosa Tonsilitis Kronis sesuai yang tercatat pada kartu status yang ada di rekam medik. Ukuran tonsil adalah


(36)

besarnya tonsil sesuai yang tercatat pada kartu status rekam medis. Ukuran tonsil dibedakan atas:

Tonsil hipertropi : ukuran tonsil ≥ T3 baik satu maupun kedua tonsil Tonsil non hipertropi : ukuran tonsil selain ukuran tonsil hipertropi

3.4.2 Umur adalah usia penderita Tonsilitis Kronis sesuai dengan yang tercatat pada kartu status, dikelompokkan atas :

1. < 18 tahun 2. 18 - 44 tahun 3. 45 – 64 tahun 4. 65 – 74 tahun 5. ≥ 75 tahun

3.4.3 Jenis kelamin, sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, yaitu: 1. Laki-laki

2. Perempuan

3.4.4 Suku adalah suatu masyarakat dengan budaya, bahasa, agama, dll yang tersendiri, sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis.

1. Batak 2. Jawa 3. Aceh 4. Minang

3.4.5 Keluhan Utama adalah keadaan atau kondisi yang menyebabkan penderita datang berobat sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dibedakan atas :

1. Sangkut menelan


(37)

3. Sulit menelan

4. Pembesaran kelenjar pada leher 5. Amandel membesar

3.4.6 Penatalaksanaan adalah pengobatan atau tindakan yang diberikan terhadap penderita sesuai penyakitnya, dibedakan atas :

1. Medikamentosa 2. Operatif

3.4.7 Sumber pembiayaan adalah asal biaya yang dikeluarkan pasien sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dibedakan atas :

1. Biaya pribadi 2. Askes

3. Jamkesmas

3.5 Kerangka Kerja

Umur Jenis kelamin

Suku

Sumber Pendanaan Keluhan utama

Ukuran Tonsil Penatalaksanaan Penderita Tonsilitis

Kronis (2009) Rekam Medis


(38)

3.6 Cara Analisis Data

Data diambil dari rekam medis Poliklinik THT-KL FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan dan dikumpulkan diolah serta dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan komputer melalui program SPSS (Statistical Pacage for the Social Science). Analisa Univariat secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau grafik. Analisa Bivariat dengan melakukan tabulasi silang dan dilakukan uji statistic chi-square.

3.7 Jadwal Penelitian

Waktu No Jenis Kegiatan

Jan Feb Mar April Mei Juni 1. Persiapan Proposal

2. Presentasi Proposal 3. Pengumpulan,Pengolahan

data/Pembuatan laporan 4. Laporan Tesis


(39)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan design case series dimana pengambilan data dari data klinis di Bagian Rekam Medik Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Data penelitiannya adalah seluruh kasus Tonsilitis Kronis yang berobat di RSUP H. Adam Malik sejak Januari 2009 sampai dengan Desember 2009.

4.1. Analisis Data Univariat

4.1.1. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis menurut kelompok umur Kelompok Umur (Tahun) f (%)

0-11 tahun 17 (21,3) 12-23 tahun 17 (21,3) 24-35 tahun 11 (13,8) 36-47 tahun 21 (26,3) 48-59 tahun 10 (12,5) 60-71 tahun 2 (2,5) 72-83 tahun 2 (2,5) Total 80 (100)

Proporsi tertinggi penderita Tonsilitis Kronis terdapat pada kelompok umur 36-47 tahun sebanyak 21(26,3%) penderita diikuti kelompok umur 0-11 tahun dan 12-23 tahun sebanyak 17(21,3%) penderita.

4.1.2. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin f (%)

Perempuan 45(52,7) Laki-laki 35(47,3)


(40)

Jenis kelamin terbanyak menderita Tonsilitis Kronis adalah perempuan sebanyak 45 penderita (57,1%) dan laki-laki sebanyak 35 penderita (42,9%).

4.1.3. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan suku Suku f (%)

Batak 51 (67,5) Jawa 10 (12,5) Aceh 12 (15,0) Minang 4 (5,0)

Total 77 (100)

Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis terbanyak dijumpai adalah suku Batak dengan 51 penderita (67,5%), dan terendah adalah suku Minang yaitu sebanyak 4 penderita (5,0%), sebanyak 3 penderita dengan data rekam medis yang kurang lengkap.

4.1.4. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama tarcatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009

Keluhan Utama f (%)

Sangkut menelan 34 (42,5) Rasa mengganjal di tenggorokan 22 (27,5) Sulit menelan 9 (11,2) Pembesaran kelenjar di leher 7 (8,7) Amandel membesar 6 (7,6) Dll 2 (2,5) Total 80 (100)

Proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah sangkut menelan yaitu sebanyak 34 penderita (42,5%), diikuti rasa


(41)

mengganjal ditenggorokan 22 penderita (27,5%) dan sulit menelan sebanyak 9 penderita (11,2%).

4.1.5. Proporsi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Ukuran Tonsil f (%)

T2/T2 27 (33,8) T3/T3 20 (25,0) T1/T1 17 (21,3) T1/T2 5 (6,3) T2/T3 4 (5,0) T1/T3 1 (1,3) T4/T4 1 (1,3)

Total 80 (100)

Proporsi ukuran tonsil yang terbanyak dijumpai adalah ukuran T2/T2 yaitu sebanyak 27 (33,8%) penderita, diikuti dengan ukuran T3/T3 sebanyak 20 (25,0%) penderita. Sementara ukuran T4/T4 dijumpai hanya pada satu penderita.

4.1.6. Distribusi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penatalaksanaan

Penatalaksanaan f (%) Medikamentosa 67 (83,7) Operatif 13 (16,3) Total 80 (100)

Proporsi penatalaksanaan terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah dengan medikamentosa sebanyak 67 (83,7% ) penderita dan operatif


(42)

4.1.7. Distribusi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan sumber pendanaan

Sumber Pendanaan f (%) Pribadi 31 (38,8) Askes 24 (30,0) Jamkesmas 25 (31,3) Total 80 (100)

Proporsi sumber pendanaan terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah berasal dari biaya pribadi sebanyak 31 (38,8%), diikuti oleh penderita dengan sumber pendanaan Jamkesmas sebanyak 25 (31,3%), kemudian yang terakhir dengan sumber pendanaan Askes sebanyak penderita 24 (31,3%).

4.2. Analisis Data Bivariat

4.2.1. Proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil Ukuran Tonsil Umur (Tahun)

≤ 18 > 18 Jumlah f (%) f (%) n (%) Tonsil non Hipertropi 10 (20,4) 39 (79,6) 49 (100)

Tonsil Hipertropi 18 (58,1) 13 (41,9) 31 (100)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penderita dengan tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada umur > 18 tahun (79,6%) dibanding umur ≤ 18 tahun (20,4%). Proporsi penderita dengan tonsil hipertropi lebih tinggi pada umur ≤ 18 tahun (58,1%) daripada umur > 18 tahun (41,9%). Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan proporsi yang bermakna umur penderita dengan tonsil non hipertropi dibanding dengan tonsil hipertropi.


(43)

4.2.2 Proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil Jenis Kelamin

Ukuran Tonsil Laki-laki Perempuan Jumlah f (%) f (%) n(%) Tonsil non Hipertropi 18 (36,7) 31 (63,3) 49 (100) Tonsil Hipertropi 17 (54,8) 14 (45,2) 31 (100)

Dari tabel diatas dapat diketahui proporsi penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada perempuan (63,3%) dibanding laki-laki (36,7%). Proporsi penderita tonsil hipertropi tinggi pada laki-laki (54,8%) dibanding dengan perempuan (45,2%).

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan ukuran tonsil.

4.2.3 Distribusi proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Ukuran Tonsil Suku Batak Bukan Batak Jumlah f (%) f (%) n (%) Tonsil non Hipertropi 32 (65,3) 17 (34,7) 49 (100) Tonsil Hipertropi 19 (67,9) 9 (32,1) 28 (100)

Dari tabel diatas dapat diketahui penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada suku Batak 32 (65,3%) dibanding dengan suku bukan


(44)

Batak 17 (34,7%). Proporsi tonsil hipertropi lebih tinggi proporsinya pada suku Batak sebanyak 19 (67,9%) dibanding suku bukan Batak sebanyak 9 (32,1%) penderita.

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05, hal ini menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara suku berdasarkan ukuran tonsil.

4.2.4 Proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Penatalaksanaan

Ukuran Tonsil Medikamentosa Operatif Jumlah f (%) f (%) n (%) Tonsil non Hipertropi 47 (95,9) 2 (4,1) 49 (100) Tonsil Hipertropi 20 (64,5) 11 (35,5) 31 (100)

Dari gambar diatas dapat diketahui penderita dengan tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya dengan penatalaksanaan medikamentosa yakni sebanyak 47 (95,9%) penderita dibanding dengan penatalaksanaan operatif sebanyak 2 (4,1%) penderita. Demikian juga pada penderita dengan tonsil hipertropi, penatalaksanaan medikamentosa juga lebih banyak dijumpai yakni 20 (64,5%) penderita dibanding penatalaksanaan operatif sebanyak 11 (35,5%) penderita.

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan proporsi yang bermakna penatalaksanaan penderita dengan tonsil non hipertropi dan tonsil hipertropi.


(45)

4.2.5 Proporsi sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Sumber Pembiayaan

Ukuran Tonsil Pibadi Askes Jamkesmas Jumlah f (%) f (%) f (%) n (%) Tonsil non Hipertropi 23 (46,9) 16 (32,7) 10 (20,4) 49 (100) Tonsil Hipertropi 8 (25,8) 8 (25,8) 15 (48,4) 31 (100)

Dari tabel diatas, penderita dengan tonsil non hipertropi paling tinggi dengan sumber pembiayaan pribadi sebanyak 23 (46,9%) dibanding dengan sumber pembiayaan Askes sebanyak 16 (32,7%) dan Jamkesmas sebanyak 10 (20,4%). Pada penderita dengan tonsil hipertropi sumber pembiayaan terbanyak adalah Jamkesmas 15 (48,4%) daripada pada penderita dengan sumber pembiayaan Askes dan pembiayaan pribadi.

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p > 0,05 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna sumber pembiayaan pada penderita tonsil non hipertropi dibanding dengan tonsil hipertropi.


(46)

BAB 5

PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan di Departemen THT-KL FK USU bagian Rekam Medik RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita Tonsilitis Kronis pada Tahun 2009 sebanyak 80 penderita.

5.1. Analisis Univariat

5.1.1. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan kelompok umur

Gambar 5.1.1. Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan kelompok umur  

Dari gambar 5.1.1 Proporsi tertinggi penderita Tonsilitis Kronis terdapat pada kelompok umur 36-47 tahun sebanyak 21 (26,3%) penderita diikuti kelompok umur 0-11 tahun dan 12-23 tahun sebanyak 17 (21,3%) penderita.

Penelitian cross sectional Hannafort et al (2004) pada terhadap 30

penderita Tonsilitis Kronis mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah (38-47 tahun) sebanyak 36,6%.


(47)

tahunnya terbanyak pada kelompok umur < 18 tahun yakni sebanyak 24,9/1.000 penduduk, kemudian diikuti dengan kelompok umur 18-44 tahun sebanyak 9,7/1.000 penduduk dan kelompok umur 44-64 tahun sebanyak 2,9/1.000 penduduk (National Center for Health Statistic United State, 1997).

Penelitian case series Sing (2007) terhadap terhadap 657 penderita

Tonsilitis yang berobat ke Poliklinik rawat jalan RS Serawak Malaysia mendapatkan kelompok terbanyak pada umur ≤ 14 tahun sebesar (58%) penderita sedangkan kelompok umur >14 tahun sebanyak (48%) penderita.

Penelitian case control Paradise et al (2002) terhadap 58 penderita yang dilakukan tindakan tonsilektomi pada anak-anak, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah (7 - 15 tahun) sebanyak 41 (30%) penderita.

Pada kepustakaan disebutkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis sering terjadi pada usia anak-anak. Junior (2008) menyebutkan bahwa rata-rata usia penderita yang dilakukan tidakan tonsilektomi adalah usis 11-22 tahun.

5.1.2 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan jenis kelamin

5 6 ,3 % 4 3 ,7 %

Perempuan Laki‐laki

  Gambar 5.1.2 Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan jenis kelamin


(48)

Dari gambar diatas juga didapatkan bahwa proporsi penderita Tonsilitis Kronis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 45 (52,7%) sedangkan laki-laki sebanyak 35 (47,3%).

Penelitian case series Kishve (2010) mendapatkan dari 203 penderita

Tonsilitis, lebih banyak berjenis kelamin perempuan yakni sebanyak 105 (51,72%) penderita sedangkan laki-laki sebanyak 98 (48,28%) penderita

Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Farokah (2007)

mendapatkan penderita Tonsilitis Kronis lebih banyak berjenis kelamin perempuan yakni sebanyak 156 (51,8%) dibanding dengan laki-laki yakni 145 (48,2%).

Penelitian case series Sing (2007) terhadap 657 penderita Tonsilitis

Kronis didapatkan perempuan sebanyak 342 (52%) penderita dan laki-laki sebanyak 315 (48%) penderita.

Penelitian cross sectional Kurien (2000) mendapatkan dari 40 penderita

Tonsilitis Kronis sebanyak 22 (55%) penderita adalah perempuan dan 18 (45%) penderita dengan jenis kelamin laki-laki.

Beberapa penelitian lain sebelumnya terhadap Tonsilitis Kronis, juga mendapatkan jumlah penderita lebih banyak perempuan. Hal ini sesuai dengan data dari prevalensi penyakit-penyakit Kronis Amerika Serikat, didapatkan rata-rata jumlah penderita Tonsilitis Kronis setiap tahunnya lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yakni sebanyak 13,7/1.000 penduduk sedangkan laki-laki sebanyak 9/1.000 penduduk ((National Center for Health Statistic United State, 1997).


(49)

Hasil yang berbeda dilaporkan pada penelitian cross sectional Hammouda et al (2009) terhadap 72 penderita Tonsilitis Kronis mendapatkan

penderita Tonsilitis Kronis lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yakni 47 (65,28%) sedangkan perempuan sebanyak 25 (34,72%) penderita.

Penelitian cross sectional Ugras (2008) mendapatkan dari 240 penerita

Tonsilitis Kronis didapatkan lebih banyak penderita berjenis kelamin laki-laki sebanyak 132 (55%) penderita dibanding dengan perempuan sebanyak 108 (45%) penderita.

Penelitian cross sectional Pereira (2008) mendapatkan dari 102 penderita

Tonsilitis Kronis, baik jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki jumlah yang sama yakni sebanyak 51 (50%) penderita. .

Penelitian case control Kvestad et al (2005) menunjukkan dari 9.479

kembar dua yang lahir periode 1 Januari 1967 sampai 31 Desember 1979 diperoleh hasil tidak ada bukti keterlibatan genetik terhadap jenis kelamin tertentu untuk menderita penyakit Tonsilitis Kronis.

5.1.3 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdarkan suku

      Gambar 5.1.3 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan suku


(50)

Pada gambar diatas Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis terbanyak dijumpai adalah suku Batak dengan 51 penderita (67,5%), dan terendah adalah suku Minang yaitu sebanyak 4 penderita (5,0%), sebanyak 3 penderita dengan data rekam medis yang kurang lengkap.

Pada penelitian case series Sing (2007) mendapatkan proporsi penderita

Tonsilitis terbanyak pada suku Bidayuh (38%), diikuti suku Malay ( 25%) dan suku Iban (20%).

Penelitian cross sectional Pereira (2008) mendapatkan dari 102 penderita

yang dilakukan tindakan tonsilektomi sebanyak 44 (43,1%) adalah Afrika dan 33 (32,4)% adalah Indian dan selebihnya digolongkan dan lain-lain (Kaukasia, Chinese, tidak diketahui).

Penelitian cross sectional Goldstein et al (2008) mendapatkan dari 92

penderita yang dilakukan tindakan tonsilektomi, sebanyak 70 (76,1%) merupakan ras Kulit Hitam, 15 (16,3%) ras Kulit Putih, 5 (5,4%) Hispanik dan 2 (2,2%) adalah Asia.

Sampai saat ini belum ada penelitian menunjukkan keterlibatan gen spesifik tertentu terhadap terjadinya penyakit Tonsilitis Kronis.


(51)

5.1.4. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama

42.5

27.5 11.2

8.7

7.6 2.5 sangkut menelan

rasa mengganjal sulit menelan

pembesaran kelenjar amandel membesar dll

  Gambar 5.1.5. Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan keluhan utama

Pada gambar diatas proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah sangkut menelan yaitu sebanyak 34 penderita (42,5%), diikuti rasa mengganjal ditenggorokan 22 penderita (27,5%) dan sulit menelan pada 9 penderita (11,2%). Sebanyak 2 (2,5%) penderita dengan didapati data rekam medis yang kurang lengkap.

Penelitiaan case series Timbo (2008) mendapatkan dari 63 penderita

Tonsilitis Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama.

Keluhan utama sangkut menelan menjadi keluhan utama terbanyak pada penelitian kami, hal ini kemungkinan karena kondisi sangkut menelan lebih terasa mengganggu daripada pembesaran kelenjar pada leher dan tonsil membesar pada penderita Tonsilitis Kronis sehingga penderita datang dengan keluhan tersebut.


(52)

5.1.5 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

33,8 %

28,6 % 21,3%

6,2 % 6,2%

2,6% 1,3 %

T2/T2 T3/T3 T1/T1 T1/T2 T2/T3 T3/T1 T4/T4

Gambar 5.1.5 proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Dari gambar diatas ukuran tonsil penderita Tonsilitis Kronis terbanyak adalah T2/T2 yakni sebanyak 27 (33,8%), dan ukuran tonsil T3/T3 sebanyak 23 (28,6%). Didapatkan ukuran tonsil T4/T4 hanya pada 1 (1,3%).

Penelitian cross sectional Nikhlagh ( 2009) dari 812 penderita yang

mendapatkan tindakan tonsilektomi, sebanyak 341 (42%) dengan ukuran tonsil T3, sebanyak 308 (38%) ukuran T4, sebanyak 130 (16%) ukuran T2, dan sebanyak 33 (4%) ukuran T1. Penelitan cross sectional Kargoshaie (2009) mendapatkan dari 320 anak sekolah didapatkan ukuran tonsil terbanyak adalah T1 sebanyak 53,4%, T2 sebanyak 29,7%, T3 sebanyak 8,8% , T0 sebanyak 1,9% dan T4 sebanyak 1,6%.

Penelitian case control Alcantara et al (2007) dari 100 penderita yang

dilakukan tindakan tonsilektomi, sebanyak 42% memiliki ukuran tonsil T3, 38% ukuran tonsil T4, 14% ukuran tonsil T2 dan sebanyak 6% penderita memiliki ukuran tonsil T1.


(53)

Penelitian cross sectional Farokah (2007) dari 145 siswa yang menderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 83 mempunyai ukuran tonsil T1 dan T2 sementara 62 siswa mempunyai ukuran tonsil T3 dan tidak ditemukan ukuran tonsil T4.

Penelitian case control Lam (2006) mendapatkan dari 451 anak usia 1-15 tahun normal didapatkan sebanyak 222 (49,2%) dengan ukuran tonsil T2, sebanyak 114 (25,3%) anak dengan ukuran tonsil T1, sebanyak 93 (20,6%) anak dengan ukuran tonsil T3 dan sebanyak 22 (4,9%) anak dengan ukuran tonsil T4.

Penelitian Akcay (2002) dari 1.784 anak usia sekolah didapatkan ukuran tonsil terbanyak adalah T1 sebanyak 1.119 (62,7%), T2 sebanyak 507 (28,4%), T3 sebanyak 58 (3,3%), dan T4 sebanyak 2 (0,1%).

5.1.6 Proporsi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penatalaksanaan

83,8%

16,2%

Medikamentosa Operasi

  Gambar 5.1.6 Penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis

Dari gambar diatas penatalaksanaan pada penderita Tonsilitis Kronis yang terbanyak adalah dengan medikamentosa sebesar 67 (83,8%), sedangkan penatalaksanaan Tonsilitis Kronis dengan medikamentosa sebesar 13 (16,2%).


(54)

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi belum ada. Data yang didapatkan dari RS Cipto Mangunkusumo selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi (Hermani, 2004).

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat (Younis, 2002). Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi) (Paradise, 2002).

Burton (2004) melaporkan dalam Cochran review bahwa efektifitas tonsilektomi belum dievaluasi secara formal. Tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinis dalam memformulasikan indikasi bedah


(55)

Adenotonsilektomi secara umum merupakan tindakan yang aman, namun dilaporkan bahwa angka kematian tindakan ini adalah 1/16.000. Laporan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka tindakan tonsilektomi per tahun adalah 500.000, dengan menghindari tindakan tonsilektomi dapat diasumsikan bahwa 31,5 jiwa per tahun dapat diselamatkan (Sclafani, 1998).

5.1.7 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan sumber pendanaan

42,5%

33,8% 20,0%

JAMKESMAS Pribadi ASKES

Gambar 5.1.7 Sumber pendanaan penderita Tonsilitis Kronis

Dari gambar diatas sumber pendanaan penderita Tonsilitis yang terbanyak adalah dengan menggunakan sumber pendanaan jamkesmas 31 (38,7%), diikuti oleh sumber pendanaan pribadi 25 (31,3%), dan sumber pendanaan Askes 24 (30,0%).

Penderita yang mengunakan sumber pembiayaan Jamkesmas secara umum berada pada strata sosial ekonomi yang rendah dibanding dengan penderita dengan sumber pembiayaan Askes dan pribadi.

Junior (2008) menyebutkan bahwa kurangnya sanitasi, nutrisi dan penanganan medis meningkatkan penyakit infeksi pada saluran nafas atas.


(56)

5.2. Analisis Bivariat

5.2.1 Proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Gambar 5.2.3 Proporsi umur penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Dari gambar diatas dapat diketahui penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada umur diatas 18 tahun 39 (79,6%) dibanding dengan umur ≤ 18 tahun 10 (20,4%). Penderita tonsil hipertropi lebih tinggi proporsinya pada umur ≤ 18 tahun 18 (58,1%) dibanding umur > 18 tahun 13 (41,9%).

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,001 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna proporsi umur berdasarkan ukuran tonsil.

Pada penelitiannya Akcay (2002) menyebutkan bahwa pada anak dengan usia sekolah dengan ukuran tonsil T2 dan T3 menunjukkan penurunan jumlah sejalan dengan bertambahnya usia.

Beberapa peneliti menduga bahwa tonsil dan adenoid membesar pada usia anak-anak. Penelitian dengan menggunakan Magnetic Resonance Imagine


(57)

(MRI) memperlihatkan tonsil dan adenoid berkembang secara proporsional pada struktur organ selama perkembangan normal anak (Donnelly, 2009).

Pada literatur belum ada didapat perbedaan ukuran tonsil berdasarkan usia, namun untuk adenoid disebutkan bahwa adenoid menunjukkan pembesaran fisiologis pada usia enam tahun, dan kemudian menjadi atropi pada usia pubertas dan menghilang sebelum usia 20 tahun (Dhingra, 2006).

Penelitian cross sectional Crombie (1990) menyimpulkan adanya

kecenderungan ukuran tonsil relatif kecil pada usia muda (< 7 tahun), dan tonsil membesar pada usia 7-15 tahun, dan pada penderita usia tua memiliki ukuran tonsil yang kecil.

5.2.2 Proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Gambar 5.2.2 Proporsi jenis kelamin penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil


(58)

Dari gambar diatas dapat diketahui penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada perempuan 27 (63,3%) dibanding laki-laki 22 (36,7%). Proporsi penderita tonsil hipertopi lebih tinggi pada laki-laki 17 (54,8%) dibanding perempuan 14 (45,2%).

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,112 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan ukuran tonsil.

Penelitian Akcay (2006) juga mendapatkan proporsi pada anak usia sekolah dengan tonsil ukuran T1 dan T2 (tonsil non hipertropi) lebih banyak pada perempuan 901 (53,4%) dibanding laki-laki 725 (46,6%). Sedangkan anak usia sekolah dengan ukuran tonsil T3 dan T4 (tonsil hipertropi) lebih banyak pada laki-laki 37 (61,7%), dibanding perempuan 23 (38,3%). Akcay menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki mungkin menjadi salah satu faktor risiko terjadinya hipertropi tonsil. Hal ini kemungkinan disebabkan karena struktur anatomi dan profil hormonal pada gender tersebut.

Penelitian Abouzied (2008) menyebutkan bahwa perbedaan proporsi jenis kelamin pada penderita Tonsilitis Kronis masih belum jelas terjawab sampai saat ini. Banyak kemungkinan dikemukakan namun kesimpulan yang didapatkan masih belum memuaskan.


(59)

5.2.3 Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Gambar 5.2.3 Proporsi suku penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Dari tabel diatas dapat diketahui penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya pada suku Batak 32 (65,3%) dibanding dengan suku bukan Batak 17 (34,7%). Proporsi tonsil hipertropi lebih tinggi proporsinya pada suku Batak sebanyak 19 (67,9%) dibanding suku bukan Batak sebanyak 9 (32,1%) penderita.

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,82 hal ini menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara suku berdasarkan ukuran tonsil.

Zhang et al (2003) mendapatkan bahwa secara histopatologi area folikel pada jaringan tonsil hipertropi secara signifikan lebih besar dibanding dengan jaringan tonsil penderita Tonsilitis Kronis tanpa hipertropi tonsil. Namun apakah hal ini dipengaruhi faktor genetik spesifik belum ada penelitian yang membuktikannya.


(60)

5.2.4 Proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Gambar 5.2.5 Proporsi penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil

Dari gambar diatas penderita tonsil non hipertropi lebih tinggi proporsinya dengan penatalaksanaan medikamentosa 47 (95,9%) dibanding operatif 2 (4,1%). Penderita tonsil hipertropi juga lebih banyak dengan penatalaksanaan medikamentosa 20 (64,5%) dibanding operatif 11 (35,5%).

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,000 hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara penatalaksanaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.

Sistematik review updated Burton (2009) (4 Randomized Controled

Trials; 564 anak), tonsilektomi pada anak versus tanpa tindakan operatif

mendapatkan tindakan tonsilektomi mengurangi jumlah episode sangkut menelan, durasi sangkut menelan dibanding diberikannya terapi standar selama waktu 1-3 tahun. Begitu juga dengan tonsilektomi versus tanpa tindakan operatif pada dewasa mendapatkan tindakan tonsilektomi mengurangi frekuensi dan durasi sangkut menelan dibanding dengan terapi standar selama 5-6 bulan .


(61)

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa (Hermani, 2004).

Darrow (2002) melakukan review uji klinis untuk memberikan dasar bagi klinisi dalam memutuskan bedah adenotonsilar. Dilaporkan bahwa indikasi absolut tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia adenotonsilar dengan obstructive sleep apnea, gagal tumbuh (failure to thrive) atau perkembangan

dentofacial abnormal; kecurigaan keganasan; dan (untuk tonsilektomi) Tonsilitis

perdarahan. Indikasi relatif tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia adenotonsilar dengan obstruksi saluran nafas atas, disfagia, penurunan kemampuan bicara dan halitosis. Indikasi relatif lain untuk adenoidektomi saja adalah Otitis Media dan Rinosinusitis atau Adenoiditis Rekuren atau Kronik. Indikasi relatif lain untuk tonsilektomi saja adalah Faringotonsilitis Rekuren atau Kronik, Abses Peritonsilar dan infeksi Streptokokus.

Pada penelitian lain Howel (2002) menyimpulkan bahwa tindakan tonsilektomi merupakan salah satu tindakan pilihan untuk penatalaksanaan Tonsilitis Kronis. Selama bertahun-tahun telah banyak ditemukan perdebatan


(62)

tonsilektomi. Oleh karena kriteria dan efektifitas tindakan tonsilektomi masih belum jelas, keputusan untuk melakukan tindakan tonsilektomi juga memerlukan banyak pertimbangan.

Penelitian case control Sclafani (1998) dari 167 penderita Hipertropi

Adenotonsilar Kronis dimana sebanyak 86 penderita mendapat terapi amoksisilin/asam klavulanat selama 30 hari dan 81 penderita mendapat terapi plasebo, didapatkan kesimpulan bahwa penderita yang mendapatkan terapi medikamentosa mengurangi 40% dilakukannya tindakan tonsilektomi setelah satu bulan, 32% setelah tiga bulan, dan 9% setelah 24 bulan. Pada kondisi dimana risiko tindakan operasi tinggi (misalnya penderita dengan gangguan faal hemostasis), terapi amoksisilin/asam klavulanat selama 30 hari merupakan pilihan yang bermanfaat.

5.2.5 Proporsi sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil


(63)

Dari gambar diatas proporsi penderita tonsil non hipertropi palling tinggi menggunakan pembiayaan pribadi 23 (46,9%) daripada pembiayaan Askes 16 (32,7%) dan Jamkesmas 10 (20,4%). Namun pada penderita tonsil non hipertropi paling tinggi dengan sumber pembiayaan Jamkesmas 15 (48,4%) daripada pembiayaan Askes 8 (25,8%) dan pribadi 8 ( 25,8%).

Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,27 hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara sumber pembiayaan penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan ukuran tonsil.


(64)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

6.1.1 Proporsi tertinggi penderita Tonsilitis Kronis terdapat pada kelompok umur 36-47 tahun sebanyak 21(26,3%) penderita.

6.1.2 Proporsi penderita Tonsilitis Kronis terbanyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan sebanyak 45 penderita (52,7%).

6.1.3. Proporsi penderita Tonsilitis Kronis terbanyak dijumpai pada suku Batak sebanyak 51 penderita (67,5%).

6.1.4. Proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah sangkut menelan sebanyak 34 penderita (42,5% ).

6.1.5. Proporsi ukuran tonsil terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah T2/T2 sebanyak 27 penderita (33,8%).

6.1.6. Proporsi penatalaksanaa terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah medikamentosa sebanyak 67 penderita 83,7%.

6.1.7. Proporsi sumber pendanaan terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis adalah dengan biaya pribadi sebanyak 31 penderita 38,8%.

6.1.8 Ada perbedaan yang bermakna antara umur berdasarkan ukuran tonsil (p=0,001).


(1)

B.

Nama

: dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL

NIP

:

195206031979122001

Gol/Pangkat

: IV-b Pembina Tingkat I

Jabatan

: Staf Divisi Faringolaringologi

Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. A. Malik

Medan

Fakultas :

Kedokteran

Perguruan Tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher

Waktu Disediakan

: 5 jam/minggu

C.

Nama

: dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT-KL

NIP

:

197106221997032001

Gol/Pangkat

: III/a, Penata

Jabatan

: Staf Divisi Rinologi Departemen THT-KL

FK USU/RSUP HAM

Fakultas :

Kedokteran

Perguruan Tinggi

: Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian

: Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan Leher

Waktu Disediakan

: 5 jam/minggu


(2)

(3)

Lampiran 2. Data Mentah (Master Table)

NU MR IP U JK S KU UT PN SP

1 378195 MW 8 1 4 1 3 2 3

2 381919 FA 22 1 2 1 2 1 1

3 382180 DB 4 1 1 3 3 1 1

4 381026 SS 8 1 1 1 7 1 2

5 382942 SS 48 1 3 2 3 2 3

6 380912 AR 21 1 2 2 7 1 1

7 380897 MH 21 2 4 3 1 1 2

8 381874 EF 21 2 1 1 2 1 1

9 361019 TM 33 2 1 2 2 1 2

10 273693 RG 46 2 2 1 2 1 3

11 375989 SS 43 2 2 2 2 1 3

12 385710 ES 45 1 1 1 1 1 1

13 387196 GC 7 1 1 5 3 1 1

14 391940 RG 44 2 2 1 1 1 2

15 391983 SE 48 2 4 2 2 2 3

16 396019 S 42 2 3 1 2 1 3

17 398474 PS 10 1 1 6 3 2 3

18 386506 DT 15 2 3 1 2 1 1

19 394880 AS 17 1 3 1 2 1 3

20 394848 IM 12 1 1 1 3 2 3

21 393971 RS 27 2 1 3 2 1 1

22 397652 OS 44 2 1 1 6 1 2

23 399221 S 31 2 0 1 3 1 3

24 580313 S 52 2 3 1 2 1 2

25 385327 IH 36 2 4 1 3 1 2

26 382326 I 45 1 4 2 2 1 2

27 357289 SJ 41 1 4 2 5 1 2

28 384186 RP 25 1 3 3 5 1 1

29 413302 LN 23 2 1 1 2 1 1

30 410649 RS 45 1 3 2 2 1 2

31 412983 FA 6 1 3 2 2 1 1

32 412860 AM 36 1 1 2 2 1 1

33 412739 AT 33 1 4 1 3 1 3

34 412940 SR 18 2 1 1 2 1 1

35 403936 ED 2 2 2 2 1 1 2

36 383763 AS 59 2 2 1 1 1 2

37 403677 MW 7 1 3 1 4 1 3

38 400885 NI 35 2 1 1 3 1 1

39 410248 LN 7 2 4 1 3 2 2

40 418486 RH 57 1 1 1 1 1 1

41 419638 ED 12 2 2 6 3 1 2

42 427343 E 40 1 1 1 7 1 1

43 426773 AN 11 2 1 1 5 1 1

44 426773 ET 43 2 2 1 3 2 3

45 387107 SH 39 2 1 1 1 1 1

46 405656 IN 39 2 2 2 2 1 1

47 136152 AT 21 2 1 2 2 1 2

48 411743 TP 57 1 1 2 1 1 3

49 410892 NK 75 2 2 2 1 1 1

50 411789 ST 10 1 1 4 3 1 2

51 402352 NL 61 1 1 4 1 1 2

52 414457 BS 46 2 2 2 5 1 3

53 413030 AS 29 1 3 1 2 1 1

54 416598 SM 49 2 1 4 2 1 3

55 411795 HS 15 2 1 4 9 2 3


(4)

57 388456 S 10 2 0 4 3 1 3

58 388046 FS 32 1 1 1 9 1 1

59 394950 IT 7 1 1 0 3 1 3

60 411795 HS 15 2 1 1 9 2 3

61 245078 TM 36 1 2 4 7 1 3

62 401531 GH 6 2 1 1 3 1 1

63 117109 RS 68 2 1 4 1 1 2

64 403930 ED 12 2 1 5 1 1 2

65 412940 SR 28 2 1 1 2 1 1

66 412860 AM 26 1 1 5 2 1 1

67 057289 M 41 1 4 2 5 1 2

68 347630 PS 38 1 1 2 1 1 1

69 379279 SS 41 2 1 2 3 1 2

70 378754 RS 58 2 1 4 1 1 3

71 351236 DE 30 2 4 1 1 1 1

72 378921 YA 6 1 2 5 3 2 2

73 379157 MS 56 2 1 2 8 1 1

74 378771 CI 15 2 4 2 2 2 2

75 378195 MW 8 1 4 5 3 2 3

76 378386 RS 59 1 1 1 1 1 3

77 377863 PM 14 2 1 3 2 1 1

78 300241 PI 3 2 1 3 2 1 2

79 250550 ES 78 1 1 2 1 1 1

80 379832 BS 36 2 2 3 2 1 1

KETERANGAN

NU : Nomor Urut MR : Medical Record

IP : Inisial Pasien U : Umur

JK : Jenis Kelamin

1. Laki-laki 2. Perempuan

S : Suku Bangsa

0. tdk ada ket

2. Aceh 4. Melayu

1. Batak

3. Minang

KU : Keluhan Utama

1. Sangkut menelan 4. Sulit menelan

2. Rasa mengganjal di tenggorokan 5. Amandel Membesar

3. Pembesaran kelenjar pada leher 6. dll

UT : Ukuran Tonsil

0. tdk ada ket

1. T1/T1

4. T4/T4

7. T2/T3

2. T2/T2

5. T1/T2

8. T2/T4

3. T3/T3

6. T1/T3

9. T3/T4

PN : Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

2. Operatif

SP : Sumber Pendanaan

1. Umum

2. Askes

3. Jamkesmas


(5)

Lampiran 3. Output Statistik

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Kategori Ukuran Tonsil

* Kategori Suku 77 100,0% 0 ,0% 77 100,0%

Kategori Ukuran Tonsil * Kategori Suku Crosstabulation

Count

Kategori Suku Total

Batak Non Batak Batak

Tonsil non Hipertropi 32 17 49 Kategori Ukuran

Tonsil Tonsil Hipertropi

19 9 28

Total 51 26 77

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square ,052(b) 1 ,820

Continuity

Correction(a) ,000 1 1,000

Likelihood Ratio ,052 1 ,820

Fisher's Exact Test 1,000 ,512

Linear-by-Linear

Association ,051 1 ,821

N of Valid Cases 77

a Computed only for a 2x2 table


(6)

 

75

CURICULUM VITAE

Nama Lengkap

: Nina Amalia, dr

Tanggal Lahir

: 23 Maret 1978

Tempat Lahir

: Tebing Tinggi

NIP

:

19780323203022008

Alamat

: Kompleks TASBI Blok GG no.56 Medan

Nama Orangtua

(Ayah) : H. OK. Agahan Sjah

(Ibu)

:

Hj.

Sulastri

Nama Suami

: dr. Irvan N Dalimunthe

Nama Anak

: Naifa Aqiila Irvan Dalimunthe

Khaira Irdina Irvan Dalimunthe

Riwayat Pendidikan

1.

Tahun 1983-1990

: SD Negri 164612 Tebing Tinggi

2.

Tahun 1990-1993

: SMP Negri 4 Tebing Tinggi

3.

Tahun 1993-1996

: SMA Negri 1 Tebing Tinggi

4.

Tahun 1997-2003

: Fakultas Kedokteran USU Medan

5.

Tahun 2007-sekarang : Asisten dokter (PPDS) Ilmu Kesehatan THT-KL FK

USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Riwayat Pekerjaan