1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama
dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Upaya awal penerapan sistem profit and loss sharing tercatat di Pakistan
dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusi lainnya adalah Islamic Rural Bank
di desa Mit Ghamer pada tahun 1963 di Kairo, Mesir. Setelah dua rintisan yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan
sangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 saja sudah tercatat
lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di Negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun
Amerika.
1
1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, h.19.
Prakarsa untuk mendirikan bank Islam di Indonesia dilakukan pada tahun 1990. Majlis Ulama Indonesia MUI pada tanggal 18-20 Agustus di Cisarua,
Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Jakarta, 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok tim kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
2
Setelah krisis ekonomi tahun 1998, Bangsa Indonesia semakin giat membangun berbagai aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, terutama
pembangunan dalam sektor ekonomi. Di sini peran bank syariah cukup diperhitungkan, sehingga bank syariah mengalami pertumbuhan yang cukup
pesat. Bank syariah pun melebarkan sayap bisnisnya, termasuk dalam bidang pembiayaan Kepemilikan Rumah KPR.
Berbagai cara dilakukan bank-bank syariah dalam menyelami bisnis KPR ini. KPR merupakan bisnis yang membutuhkan kesabaran dan perhitungan yang
matang agar dapat berjalan dengan baik. Selain itu, diperkirakan bisnis KPR jarang mengalami kerugian apabila pengembang dapat mengelolanya secara
professional. Kebutuhan manusia akan papan akan selalu ada dan diperkirakan akan selalu bertambah karena kebutuhan rumah berbanding linier dengan
2
Ibid.
pertumbuhan penduduk sehingga semakin pesat pertumbuhan penduduk di suatu Negara maka akan semakin besar pula kebutuhan pemukiman untuk mereka.
3
Properti masih
dianggap sebagai
instrumen investasi
yang menguntungkan. Pertama, nilai properti terus meningkat setiap tahun sehingga
konsumen akan mendapatkan capital gain yang cukup besar tergantung lokasi dan jenis properti. Kedua, keuntungan dari tingkat sewa jika properti tersebut
disewakan ke orang lain. Tarif sewa juga terus naik setiap tahun. Karena menguntungkan, banyak orang yang berusaha membeli properti berupa tanah,
rumah, apartemen, kavling, kondominium, ruko, dan sebagainya. Untuk membelinya konsumen tidak harus punya uang tunai. Dengan uang yang tidak
banyak pun konsumen bisa membeli properti yang diinginkannya. Karena mereka memanfaatkan fasilitas pembiayaan kredit pemilikan rumah KPR dari kalangan
perbankan.
4
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan deficit unit. Pada istilah teknisnya pada perbankan syariah pembiayaan disebut sebagai Earning Assets Aktiva Produktif. Earning Assets
adalah berupa investasi dalam bentuk: Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil Mudharabah, Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan Musyarakah,
3
Fauzia Ramadhany, “Analisis terhadap Mekanisme Take Over Pada Pembiayaan Kepemilikan Rumah Studi Pada Devisi Syariah PT. BNI” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, hal 2.
4
http:bataviase.co.idnode247290.html
Pembiayaan berdasarkan prinsip jual-beli Murabahah, Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa Ijarah, dan Ijarah wa Iqtina’Ijarah Muntahiya bittamlik, Surat-
surat berharga syariah dan investasi lainnya.
5
Bisnis properti pada tahun ini diprediksikan akan terus membaik, seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional. Para pengamat properti
memperkirakan pasar properti di tanah air akan naik sekitar 15 pada tahun 2010 dengan nilai kapitalisasi penjualan mencapai Rp 103 triliun. Pada tahun 2009 lalu
nilai penjualan properti mencapai angka Rp 85 triliun. Sejalan dengan tumbuhnya sektor properti maka sektor kredit untuk
perumahan pun juga mengalami pertumbuhan yang cukup besar. Meningkatnya pertumbuhan KPR disebabkan semakin banyaknya perbankan yang terjun
membiayai sektor KPR ini. termasuk bank syariah. BNI Syariah merupakan salah satu bank syariah yang aktif menawarkan kredit perumahan, dengan nama BNI iB
Griya. Produk KPR BNI iB Griya ini semakin diminati masyarakat sejalan dengan semakin dikenalnya bank syariah di Indonesia. Berkembangnya KPR
syariah ini tidak terlepas dari berbagai keunggulan produk KPR BNI iB Griya yang tidak dimiliki oleh KPR konvensional.
6
Bambang Widjanarko, Direktur Bisnis PT Bank BNI Syariah menjelaskan bahwa secara umum perbedaan KPR konvensional dan KPR syariah terletak pada
3 hal pokok. Pertama, Aspek akad dan legalitas. Ini lah kunci utama pembeda
5
Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, Pustaka Alvabet, 2006, Cet.4, h.53.
6
http:bataviase.co.idnode198000.html
KPR Syariah dan KPR konvensional. KPR syariah dapat berupa jual beli Murabahah, untuk rumah inden Istisna, dan sistem sewa beli Ijarah
Muttahiyah BiTamlik IMBT yang maksudnya kepemilikan rumah terjadi pada akhir masa sewa. Kedua, objek yang dibiayai. Pada KPR konvensional, cara
pembiayaannya adalah bank memberi pinjaman uang untuk membeli rumah, sehingga bank pun mengenakan bunga. Sedangkan pada KPR syariah, caranya
adalah bank membeli rumah yang diminati nasabah dari pihak pengembang penjual, kemudian bank menjual kembali ke pihak nasabah. Ketika menjual lagi,
bank mengambil margin keuntungan sesuai kesepakatan dengan nasabah. Ketiga, sistem angsuran. Pada KPR konvensional, angsuran bersifat floating
mengambang tergantung pada suku bunga yang berlaku. Sedangkan pada KPR syariah, angsuran akan tetap selama masa pembiayaan sesuai kesepakatan pada
saat akad.
7
Produk KPR syariah ini mendapat respons yang bagus dari konsumen. Ini karena tingginya kebutuhan sebagian masyarakat terhadap jasa keuangan
perbankan yang berlandaskan syariah. BNI iB Griya sebagai produk pembiayaan rumah yang dikeluarkan oleh
BNI Syariah pada kuartal pertama 2010 mengalami peningkatan pembiayaan dengan total Rp1,4 trilyun. Pertumbuhan pembiayaan rumah meningkat sekitar
20 dari Desember 2009 dan ditargetkan sampai akhir tahun ini bisa mencapai Rp2 trilyun,” ujar Rizqullah selaku Pimpinan UUS BNI Syariah ketika
7
“KPR Syariah Menarik Karena Cicilannya Tetap”, Tabloid Rumah, edisi 196-VIII, h.24.
diwawancarai setelah menjadi pembicara Seminar International “Potensi Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Pembiayaan Rumah” yang
diselenggarakan Islamic Banking and Finance Institute Trisakti, di Hotel Sultan, Senin 19 April 2010.
8
BNI iB Griya menggunakan akad jual beli murabahah, yakni pembiayaan dengan prinsip Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati, dimana pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. Pembayarannya dilakukan secara angsuran sesuai dengan
kesepakatan bersama. Dengan menggunakan akad syariah maka nasabah akan merasa tentram karena terhindar dari riba dan rumah yang dibelinya pun akan
semakin barokah.
9
Beranjak dari latar belakang masalah tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan menuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul :
ANALISIS PRODUK PEMBIAYAAN KEPEMILIKAN RUMAH BNI IB GRIYA STUDI PADA PT. BANK BNI SYARIAH CABANG SYARIAH
JAKARTA SELATAN
8
http:ib.eramuslim.combni-ib-griya-capai -pengingkatan--pembiayaan-rp1-4-trilyun.html
9
http:bataviase.co.idnode197998.html
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah