27
kebnayakn tidak mencatat tanggal lahir anak-anaknya karena kebanykan buta huruf.
29
3. Batas Umur Dalam Hukum Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwa imam mazhab fikih konvensional membolehkan nikah dini. Yaitu laki-laki dan perempuan yang
masih kecil dan pada umumnya zaman dahulu para ulama membolehkan seorang bapak sebagai wali mujbir mengawinkan anaknya laki-laki atau
perempuan yang masih gadis dan masih di bawah umur tanpa meminta persetujuan anaknya terlebih dahulu baik kebolehan tersebut dinyatakan secara
jelas seperti ungkapan” boleh terjdi pernikahan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan laki-laki yang
masih kecil dan perempuan yang masih kecil”. Sebagimana pendapat Ibnu al Humam yang dikutip oleh Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia antar fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan.
30
Ibn al-Mundzir menganggap bolehnya pernikahan dini sebagai ijma kalau memang kuf sekufu. Dalil yang dipakai mayoritas ulama ini ada
banyak, salah satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah
29
Ibid.h.50.
30
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta:Kencana,2006, h.66.
28
sewaktu masih berumur 6 tahun.
31
Jadi Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh melangsungka perkawinan. Sekalipun
hukum Islam tidak membatasi usia minimal untuk dapat melangsunkan perkawinan, namun hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan
kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisa 04:6.
4 6
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas pandai
memelihara harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara pemelihara itu
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
tentang penyerahan itu bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu.
Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan dengan dewasa. Kedewasaan itu bukanlah bergantung kepada umur,
tetapi kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya
31
al-Zuhailly, al-Fiqh al-Islami,vol. 9,6582.