Batas Umur Dalam Hukum Islam
28
sewaktu masih berumur 6 tahun.
31
Jadi Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh melangsungka perkawinan. Sekalipun
hukum Islam tidak membatasi usia minimal untuk dapat melangsunkan perkawinan, namun hukum Islam menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan
kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisa 04:6.
4 6
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas pandai
memelihara harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara pemelihara itu
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
tentang penyerahan itu bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu.
Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan dengan dewasa. Kedewasaan itu bukanlah bergantung kepada umur,
tetapi kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya
31
al-Zuhailly, al-Fiqh al-Islami,vol. 9,6582.
29
telah agak lanjut, tetapi belum matang pemikirannya.
32
Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara konkrit yang dinyatakan dalam
bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah baligh sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat haidh dan hamil merupakan bukti ke
baligh-an seorang wanita. Hamil terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-
laki. Dalam hal menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa
pendapat diantaranya: a.
Menurut Ulama Syafi’iyah dan hanafiyah, menentukan masa dewasa itu mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik
menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun wanita.
33
b. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai
umur 15 tahun, meskipun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda- tanda di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua
orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan
32
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta:Pustaka panji Mas,1983, Juz IV, h266.
33
Helmi Karim, Kedewasaan untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta:Pustaka Firdaus,1996, h.70
30
dengan akal, dengan akal maka terjadi taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.
34
c. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21
tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini orang melakukan persiapan matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam
proses belajar. Namun demikian kepada mereka dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun.
35
d. Sedangkan Majlis Ulama Indonesia MUI hanya memberikan dua kriteria
sebelum melangsungkan perkawinan yakni secara spiritual dan material. Secara spiritual agar di dalamnya diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir
dan batin yang memungkinkan berkembangnya cinta dan kasih sayang. Adapun secara material merupakan kesanggupan membayar mahar dan
nafaqah.
36
Dengan melihat ketentuan seperti itu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat melaksanakan perkawinan baik pria maupun wanita harus
dewasa dan cakap hukum dalam artian matang secara biologis, psikologis, dan ekonominya. Di samping itu dilihat dari salah satu tujuan perkawinan menurut
hukum Islam adalah membentuk rumah tangga yang damai, tentram dan kekal
34
Ibid.,h.70.
35
Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1975 ,Jilid 2, h.20.
36
Boy Valdi,Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No.008PDT2006PAJP, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta,2008,h.42
31
maka hal ini tidak mungkin tercapai apabila pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan belum dewasa dan belum matang jiwanya.
Selain dari mayoritas ulama fiqih yang membolehkan perkawinan dalam usia muda, ada juga yang mengatakan bahwa perkawinan gadis di usia muda itu
tidak sah atau dilarang. Menurut para ulama perkawinan dini antara Aisyah binti Abu Bakar dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah jauh lebih dewasa tidak
dapat dijadikan dalil umum. Begitu pula halnya dengan Nabi sampai beristri 10 wanita, termasuk isterinya yang bukan orang Arab Ajam yaitu Jariyah dari
Mesir bernama Mariyah Baswedan, tidak bisa dijadikan dalil umum. Oleh karena sifatnya yang khusus, hampir semua isteri Nabi adalah janda kecuali
Aisyah, dan semuanya mempunyai latar belakang sejarah dengan perjuangan Islam dimasa permulaan.
37
Seperti pendapat dari Ibnu Syubrumah, beliau menyatakan beberapa alasan, diantaranya hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim.
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Ia berkata,” Rasulallah Saw. Telah bersabda,”
Perempuan janda
janganlah dinikahkan
sebelum diajak
bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinnya.’ Sahabat- sahabat lalu bertanya,’ Bagaimana cara izin perawan itu, ya
Rasulullah?’ Jawab beliau,’ Diamnya tanda izinnya,” Riwayat Muttafaq’alaih
37
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju:bandung,2007, h.51.
32
Hadist ini mewajibkan wali termasuk bapak untuk meminta izin dari anak gadisnya sebelum berlangsung akad nikahnya. Oleh karena sahnya akad nikah
tergantung pada izin sedangkan izin dari orang tua atau gadis yang belum dewasa tidak dianggap, maka wajiblah atas wali menunggu sampai anak gadisnya
dewasa untuk mendapatkan izinnya. Dalil ini kita kemukakan sebagai alasan Ibnu Syubrumah menurut riwayat Ibnu Hazam. Sedangkan pendirian Ibnu
Syubrumah sendiri menurut at-Thahawi, dalil yang harus kita kemukakan adalah sebagai berikut: tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mendapatkan
keturunan dan memlihara diri dari kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan memelihara tentulah dengan jalan persetubuhan, sedangkan maksud utama
ini hanya dapat dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan untuk disetubuhi.
Lebih lanjut Ibnu Syubrumah dan al Batti berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan
Islam Suatu Studi perbandingan dalam kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara- negara Islam, bahwa tidak sah sama sekali mengawinkan anak yang masih kecil.
Akad nikah yang dilakukan oleh wali sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal. Penulis menyatakan bahwa hikmah hukum perkawinan dalam
Islam memperkuat pandangan Ibnu Syubrumah, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam perkawinan yang serupa itu perkawinan dini, bahkan
akan mendatangkan kemudharatan.
38
38
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-Negara Islam, h.131.
33
Selain dari pada pendapat Ibnu Syubrumah ada juga dalil- dalil syar’i
lainnya yang dapat menunjukan isyarat untuk kedewasaan seseorang sebelum melakukakan suatu perkawinan. Dalil-dalil hukum itu diantaranya:
1. Saad Adz-Dzari’ah, artinya melaksanakan suatu perbuatan yang semula
mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan kemafsadatan, dimana menutup jalan yang bisa membawa mala petaka, karena kawin dini
bisa membawa malapetaka bagi keluarga dan akibat-akibat lainnya yang negatif maka wajib menghindari denga
n jalan menunda perkawinan”.
39
2. Kaidah-kaidah dalam fiqhiyah antara lain.
40
a. Artinya:
”Mudharat atau malapetaka itu harus dihilangkan,” Karena nikah dini membawa mudharat baik kepada dirinya,
keluarga maupun kepada masyarakat, maka sebaiknya nikah dini harus dihindari
b. Artinya:
“Menghindari mafsadat atau kerusakan harus didahulukan dari pada mencari maslahat atau kebaikan.”
Kawin dini mungkin adapula manfaat atau maslahatnya, namun mudharat atau resiko jauh lebih besar dari pada manfaat atau kebaikannya. Oleh karena itu,
39
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung . CV. Pustaka Setia, 1999, Cet.Ke-1. h.132.
40
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah ilmu Fiqh, Jakrta: Kalam Mulia, 2001, Cet.Ke-2.h.9.
34
sudah seharusnya kawin dini itu ditunda sampai orang itu cukup dewasa dan matang fisik, fsikis dan mentalnya.
Dengan memperlihatkan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama tersebut di atas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang
gadis yang belum dewasa dan yang tidak memperbolehkannay maka penulis cenderung untuk tidak memeperbolehkannya karena perkawinan sebagai akad
istimewa mitsaqon ghalidhon seharusnya memenuhi syarat sebagai sesorang yang mampu bertindak hukum sama sekali yaitu seseorang yang sudah dewasa
dan berakal sehat dan ini sejalan dengan apa yang disebut dalam surat al-Nisa 4 ayat 6. Kemudian jika dikaitkan dengan pencapaian tujuan perkawinan
menurut Islam adalah untuk membentukmelahirkan keluarga bahagia sakinah. Membentuk keluarga bahagia ini sekaligus sebagai tujuan pokok, adapun tujuan
pokok perkawinan adalah pemenuhan kebutuhan biologis antara suami dan isteri seperti tujuan reproduksi menjaga kehormatan dan tujuan beribadah juga tujuan
lainnya. Untuk melahirkan generasi berkualitas ada persoalan reproduksi, yakni
kemampuan secara fisik dan psikis menjadi seorang ibu yang harus mengandung, melahirkan, dan mengurus anak. Jadi dapat disimpulkan dibutuhkan kedewasaan
dan kematangan prima untuk dapat mencapai tujuan perkawinan. Maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan nikah dini hanya berlaku khusus untuk
Rasulallah Muhammad SAW.
35