Akibat Sumpah Li’an Aibat Li’an dari Segi Hukum

31 Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa „iddah termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang saudara perempuanya masih dalam „„iddah dari talak ba‟in. 30 Khulu‟ dapat dikatakan pula suatu keputusan seorang istri yang menginginkan perceraian, sedangkan seorang suami tetap mempertahankan perkawinannya atau tidak menghendaki adanya perceraian. Walaupun seorang istri telah mengkhulu‟ seorang suaminya, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi jumlah talak yang dimiliki oleh suami.

4. Akibat Sumpah Li’an

Pelaksanaan hukum li‟an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi isteri yang sedang dalam perkara li‟an ini bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenanggan berpikir. Hal ini tidak lain adalah: a. Karena bilangan sumpah li‟an b. Karena dilaksanakan di tempat yang paling mulia, yaitu masjid. c. Karena dilaksanakan pada waktu yang paling penting, yaitu waktu ashar setelah shalat d. Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jama‟ah manusia banyak, sekurang-kurangnya berjumlah empat orang. 31 Disamping itu, pengaruh lain akibat li‟an ini adalah terjadinya perceraian antara suami isteri, isterinya menjadi haram untuk dirinya 30 Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 315-316. 31 Ibid, h. 317-318. 32 selamanya. Ia tidak boleh ruju‟ ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumi bukan termasuk keturunan suaminya.

5. Aibat Li’an dari Segi Hukum

Akibat lain yang ditimbulkan karena li‟an, secara hukum adalah: a. Had zina gugur b. Had zina berlalu c. Suami isteri bercerai untuk selamanya. d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri isterinya. e. Bila ada anak setelah pernyataan li‟an itu tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya. Sebaliknya, si isteri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan membela li‟an suaminya dengan li‟an-nya pula atas suaminya. 32 Kompilasi Hukum Islam pun pada pasal 162 menjelaskan akibat li‟an juga dapat menghilangkan nasab anaknya kepada bapaknya, akan tetapi nasab anaknya dinasabkan kepada ibunya dan juga kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada anaknya pun dapat terbebaskan. 33 Kompilasi Hukum Islam Bab XVII bagian kesatu pada penjelasan akibat talak pasal 149, menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan sebagai berikut: 32 Ibid, h. 319-322. 33 Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam”, h. 52. 33 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut belum dicampuri. b. Member nafkah, maskan tempat tinggal, dan kiswah pakaian kepada bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhnya apabila qabla al-dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 34 Pada bagian kedua juga Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang batas waktu tunggu yang terdapat pada pasal 153, yaitu: 1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu „iddah, kecuali qabla al-dukhul, dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 seratus tiga puluh hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 sembilan puluh hari. c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil. Waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yan putus karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami. 5. Waktu tunggu isteri yang pernah haid, sedangkan pada waktu menjalani „„iddah tidak haid karena menyusui, maka „iddahnya tiga kali waktu suci. 35 34 Ibid, h. 48. 35 Ibid, h. 49-50. 34 Dari uraian diatas, menurut pandangan penulis bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi jika keadaan telah demikian memaksanya sehingga jalan damai telah tertutup atau buntu hingga sulit bagi kedua suami istri untuk tetap bersatu dalam satu rumah tangga. Apabila perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh oleh suami istri yang sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan ikatan perkawinan bersama-sama lagi, maka pihak yang ingin bercerai harus ada alasan yang menguatkan bahwa kehidupan rumah tangga tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Alasan-alasan perceraian juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam fiqih memang secara khusus tidak mengatur alasan untuk boleh terjadinya perceraian dengan nama talak, karena talak itu merupakan hak suami dan dia dapat melakukannya sekalipun tanpa alasan. Alasan-alasan yang mengenai perceraian dapat ditemukan dalam alasan perceraian yang berbentuk fasakh dan dalam pandangan fiqih, fasakh terjadi bukan atas kehendak dan permintaan suami, tetapi dilakukan atas permintaan istri yang ingin bercerai dari suami, dan bahkan dilakukan didepan hakim. Bagi pihak yang menginginkan terjadi perceraian dengan alasan tidak dapat hidup rukun kembali juga harus memikirkan kepada permasalahan nafkah anak-anaknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan mengenai akibat talak yang tertuang pada pasal 149, terdapat kewajiban bekas suami untuk menafkahkan mantan istrinya. 35

BAB III SUAMI GHOIB

MAFQUD MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Umum Tentang Suami Mafqud

1. Menurut Ulama Fiqih

Kata mafqud secara etimologis merupakan isim maf‟ul dari lafadz faqoda-yafqodu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu. 1 Jadi yang dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah ia masih hidup sehingga bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia sudah mati hingga kuburannya dapat diketahui. 2 Dalam bahasa istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini secara etimologis memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat. 3 Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1 Mahmud Yunus “Kamus Arab Indonesia” Jakarta : Yayasan Penyelenggara PentarjamahPenafsir Al- Qur‟an, 1973 h. 642. 2 Wahbah Al-Zuhaily “Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz 7” Beirut : Dar-El Fikr,t,th h.642. 3 Mahmud Yunus “Kamus Arab Indonesia” h.304.