Pandangan Ulama Madzhab Tentang Mafqud

37 menetapkan dengan lebih ikhtiyath hati-hati lagi, yakni lebih dari empat malam meskipun hanya sekali saja. Sebagaimana telah diriwayatkan, kata al mudhaja‟ah ditafsirkan dengan tingal bersama istri setelah satu malam dan ditambah sesaat pada waktu paginya. Inilah suatu nas ketentuan, tetapi lebih tepat merupakan usaha perlindungan kepada istri, khususnya pada bagian pertama, yaitu lebih dari empat bulan. Bertolak dari sini, ada beberapa riwayat yang menunjukan bahwa dosa seorang istri dapat dibebankan kepada suaminya bila adanya perbuatan dosa istri sebagai akibat dari perbuatan suami. Efektifitas kebenaran pernyataan untuk memberikan perlindungan ini diperkuat dengan adanya nas yang melarang memberikan pengecualian hak istimewa kepada istri muda. 5 Dalam hal ini mafqud diartikan sebagai seorang yang hilang tanpa kabar akan kepergiannya, tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Mafqud disini pun yaitu orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus.

2. Pandangan Ulama Madzhab Tentang Mafqud

Para ulama fiqih sepakat bahwa jika suami yang meninggalkan istrinya itu masih terdengar kabarnya maka tidak ada alasan bagi wanita untuk 5 Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili “Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga” Jakarta: Lentera, 2001, hal 82-83. 38 ber‟iddah dan menikah lagi. Suami yang meninggalkannya diupayakan untuk kembali kepada keluarganya untuk hidup bersama-sama lagi karena suami mempunyai kewajiban memberi nafkah dan kasih sayang dalam keluarga begitu juga istri mempunyai hak untuk mendapatkan hal tersebut, kecuali suami yang diketahui keberadaannya itu tidak mau kembali lagi dan menunaikan kewajibannya maka seorang istri dapat melakukan khulu ‟. 6 Para ulama berbeda pendapat mengenai perceraian bagi istri yang suaminya mafqud. Beberapa pendapat tersebut antara lain adalah: a. Menurut Mazhab Hanafi Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi adalah Abu Hanifah an-Nukman bin Tsabit bin Zufi at-Tamimi. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 150 H699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Abu hanifah menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi dewasa disana dan sejak masih kanak-kanak beliau telah mengkaji dan menghafal al- Qur‟an. Beliau wafat pada tahun 150 H767 M pada usia 70 tahun dan beliau dimakamkan di Khizra. 7 Menurut mazhab Hanafi dan dan mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa orang yang dianggap masih hidup baik mengenai istrinya baik mengenai hartanya kedua-duanya masih kepunyaan suaminya sampai ada 6 http: mlatiffauzi. files. Wordpress.com200709iddahpdf. 7 Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie. Hambali”, h. xxv-xxvi. 39 kepastian tentang hidup matinya. Pendapat ini memegang apa yang telah ada dengan yakin. 8 Menurut mazhab Hanafi pun menjelaskan bahwasanya istri tidak mempunyai hak untuk menuntut cerai dengan alasan hilangnya suami, walaupun hilangnya dalam kurun waktu yang lama. 9 Sehingga sang istri tidak boleh ber‟iddah dan menikah lagi sampai berita tentang keberadaan suaminya baik hidup atau matinya jelas. Hanafi mengunakan dalil istishab dalam hal ini, yaitu menggunakan hukum yang lama sebelum datang hukum yang baru. Namun jika kabar kematian suaminya itu telah sampai kepada seorang istri atau ada seseorang yang dapat dipercaya memberikan informasi tentang kematian suaminya atau bahwa suaminya telah menthalaq bain atau ada surat yang datang untuk istri yang dibawah oleh orang yang tsiqoh yang menerangkan bahwa si istri sudah di thalaq maka seoran istri boleh melakukan iddah dn kemudian menikah lagi dengan orang lain. 10 8 Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih” Djakarta; Bulan Bintang, 1973 Cet I, h. 210. 9 Musthofa al-Baabi Al-Halabi “Mughni Al-Muhtaaj” Kairo: Maktabah Ar-riyadhi Al- Haditsah h. 442. 10 Wahbah al-Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu”, h. 642. 40 Mazhab hanafi memperbolehkan seorang istri ber‟iddah walaupun belum ada kabar tentang kematian suaminya jika sudah melewati waktu selama 120 tahun yang didasarkan pada umur manusia pada umumnya. 11 b. Menurut Mazhab Syafi‟i Nama asli dari Imam Syafi‟I adalah Muhammad bin Idris gelar beliau adalah Abu abdilah, beliau lahir di Gazza pada tahun 150 H pertengahan abad kedua hijriyah. Beliau adalah pendiri dari mazhab Syafi‟i. 12 Sumber hukum syariat dalam mazhabnya terdiri 4, yaitu; al- Qur‟an, Hadist atau sunah-sunah rasul, Ijma‟ kesepakatan imam-imam mujtahid dalam satu masa dan Qiyas perbandingan antara yang satu dengan yang lain. 13 Syafi‟i dalam qoul jadid fatwa terbarunya yang dikeluarkan di Mesir menyatakan bahwa jika sesuatu hukum belum membolehkan suami membagikan harta warisannya, maka seorang istri belum diperbolehkan untuk ber‟iddah dan menikah lagi. Dalam hal ini seperti Hanafi, Syafi‟i juga mengambil dalil istishab sebagai sumber hukum. Syafi‟i memberikan batasan waktu selama 90 tahun bagi istri untuk menunggu kabar suaminya. Jika setelah batas waktu itu masih juga tidak ada kabar, maka istri diperbolehka n ber‟iddah. 11 M. Jawad Mughniyyah “Al-Akhwal al-Syakhsiyyah”, h. 154. 12 Sirajuddin Abbas, “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‟ie”, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995 Cet VII, h. 13. 13 Ibid, h. 119. 41 c. Menurut Mazhab Malik Imam Malik bin Anas, beliau adalah pendiri mazhab Maliki. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Beliau berasal dari kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal al-Quran. Imam Maliki meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut banyak bagian diseluruh dunia. 14 Adapun mazhab Malikiyah berpendapat bahwa mereka memperhatikan apakah hilang itu dengan sebab yang biasanya selamat, maka mereka itu menunggu sampai seumur orang pada masa itu. Apabila hilang dengan sebab yang biasanya tidak selamat, mereka membagi kedalam dua macam: Pertama, sebab yang besar dugaan tidak selamat, karena terjadinya sesudah sebab yang membinasakan, maka mereka itu memberi hukum sudah dapat dianggap cerai antara suami istri seketika selesainya kejadian itu jika tidak memerlukan waktu untuk pulang. Kedua, yang tidak berat dugaan binasa, karena bukan terjadi sesudah sesuatu sebab yang membinasakan. Mereka itu mengatakan dalam hal inilah yang diberi waktu 4 tahun. 15 14 Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie. Hambali”, h. xxvii-xxviii. 15 Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih”, h. 216-217. 42 Mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang istri cukup menunggu selama 4 tahun, jika telah ditunggu selama waktu itu maka istri boleh ber‟iddah selama 4 bulan 10 hari, kemudian setelah itu istri boleh ber‟iddah lagi. Imam Malik menambahkan bahwa jika suami pertama datang dan si istri belum dipergauli oleh suami yang kedua, maka istri masih menjadi hak suami yang pertama, namun jika sudah dipergauli maka istri tetap menjadi hak suami yang kedua dengan konpensasi suami kedua harus membayar mas kawin kepada suami pertama. 16 Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i, jika suami pertama datang dan istrinya sudah menikah, maka nikahnya batal dan istri tetap menjadi hak suami yang pertama. sedangkan menurut Imam Ahmad bahwa jika istri belum dipergauli oleh suami kedua, maka istri menjadi hak suami yang pertama, namun jika istri sudah melakukan hubungan badan dengan suami kedua, maka diserahkan kepada suami pertama apakah ia akan mengambil istrinya kembali dengan membayar maskawin atau ia meninggalkannya dan mendapatkan maskawin tersebut. Hal ini dilakukan jika perkara ini belum diserahkan kepada hakim. Adapun ketika perempuan merasa rugi atas kepergian suaminya, maka ia boleh mengadu kepada hakim agar memutuskan perkawinannya. Imam Ahmad bin Mali memperbolehkan talak model ini. 17 16 http:hukumonline.com . 17 http: mlatiffauzi. files. Wordpress.com200709iddahpdf. 43 Namun jika suami tersebut tidak mempunyai harta begitu juga tidak ada orang lain yang menggantikan perannya, maka istri harus tetap bersabar atau jika istri menginginkan menikah maka ia boleh mengadukan perkara ini kepada Hakim. Dalam hal ini Hakim akan menunda dan memeriksa selama 4 tahun terhitung mulai perkara ini diterima sampai permasalahan tersebut jelas. Jika masih belum jelas maka ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu: 1 Jika suami yang hilang tersebut mempunyai wali atau wakil maka hakim memerintahkan kepada wali tersebut untuk menceraikan si istri. 2 Jika suami yang hilang tersebut tidak mempunyai wali, atau ia mempunyai wali namun wali tersebut menolak untuk mentalak dan tidak mungkin memaksanya maka Hakim mempunyai otoritas untuk menceraikan pasangan tersebut dengan ketentuan syariah, kemudian istri ber ‟iddah 4 bulan 10 hari setelah itu halal untuk menikah lagi. 18 Hilang menurut d. Menurut Mazhab Hambali Imam Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada Rabiul 18 M. Jawad Mughniyyah “Al-Akhwal al-Syakhsiyyah” h. 154-155. 44 awal tahun 164 H 780 M. Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali dan disanalah beliau belajar dengan Imam Syafi‟i. Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun tepatnya pada tahun 241 H 855 M. sepeninggalan beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi satu mazhab yang memiliki banyak penganut. 19 Menurut pendapat mazhab Hambali mengatakan bahwa menceraikan antara orang yang hilang dan istrinya adalah didasarkan pada menolak kemelaratan terhadap istri yang suaminya sudah hilang dan meninggalkannya dan berhadapan dengan kepahitan hidup sendirian dan apabila istri itu masih muda, tentu ia tidak dapat menjaga dirinya dari faktor-faktor fitnah yang berada disekelilingnya. 20 Mazhab Hambali berpendapat hilang itu ada dua macam: Pertama, hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara. Dalam hal ini hukumnya sama seperti pendapat ulama Hanafiah dan ulama Syafi‟iyah, yaitu harus lewat waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung sejak lahirnya orang itu. Kedua, hilang yang menurut lahirnya tidak 19 Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie. Hambali”, h. xxxi-xxxii. 20 Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih”, h. 217. 45 selamat. Seperti orang yang hilang tiba-tiba diantara keluarganya atau ia keluar untuk salat tetapi tidak kembali lagi atau ia pergi karena sesuatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya, hukum mengenai hal itu ditunggu sampai 4 tahun. Kalau tidak ada juga kabar beritanya, maka hartanya dibagikan dan istrinya mulai ber‟iddah sebagai istri yang meninggal suaminya, yaitu 4 bulan 10 hari. 21 Dalam hal ini, apabila seorang suami hilang dalam pertempuran perang dan lahirnya tidak diketahui oleh orang lain, maka seorang istri dapat ber‟iddah selama batas waktu yang ditentukan yaitu 4 bulan 10 hari. „Iddah tersebut yakni „iddah sebagai istri yang meninggal suaminya dan juga hartanya dapat dibagikan kepada ahli warisnya.

3. Pandangan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang