Perceraian dalam putusan verstek menurut hukum islam analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0965/PDT.G/2009/PAJS

(1)

1

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan

Studi Strata Satu (S1)

Oleh:

IIN INAYAH

NIM: 106043201336

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

2

PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK MENURUT HUKUM ISLAM

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

IIN INAYAH 106043201236

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing

Dr. H. Muhammad Taufiki. MAg NIP: 196511191998031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERCERAIAN DALAM PUTUSAN VERSTEK MENURUT HUKUM ISLAM ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN NOMOR: 0965/PDT.G/2009/PAJS telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 22 Desember 2010

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag (……….) NIP. 196511191998031002

2. Sekretaris : Fahmi M. Ahmadi, S.Ag.,M.Si (……….) NIP. 197421132003121002

3. Pembimbing : Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag (……….) NIP. 196511191998031002

4. Penguji I : Dr. Euis Nurlaelawati, MA. (……….) NIP. 197007041996032002

5. Penguji II : Dra. Maskufa. MA,g (……….)


(4)

i

ميحرلا نمرلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis telah diberikan kesehatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak pula Shalawat serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan kehadirannya telah memberikan pencerahan, ketenangan, dan kenyamanan hidup manusia, juga kepada keluarga, karib kerabat, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti dan mentaati hingga akhir zaman.

Setelah melewati waktu yang cukup panjang, melelahkan, dan penuh perjuangan, akhirnya dengan penuh kesabaran dan keyakinan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, semua ini tentunya tidak dapat menjadi kenyataan tanpa bantuan dan partisipasi semua pihak. untuk itu penulis menyampaikan ucapan trimakasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,M.Si, selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH)


(5)

ii

4. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bantuan baik dalam segi arahan, waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah memberikan informasi dan data-data.

6. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Pimpinan Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun yang lainnya, sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan. 7. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Ayahanda Muhamad Amir, Ibunda Malikha, Adinda Aenul yaqin, Dede Adi Gufron, dan Afaf Sajidatuffah, beserta keluarga besar Alm. Rasta dan keluarga besar Alm. Karsan yang telah membesarkan penulis serta memberikan dukungan dan motivasi baik dari segi moril maupun materil, sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang ini.

9. Bapak Sadja Bin Abdul Ghani, Ibunda Sarah dan Romadona, Rohimah S.E, Sri Wahyuni, Mulyati, Ilyas, dan Irwan terima kasih atas dukungan serta


(6)

iii

10.perhatiannya yang telah dicurahkan kepada penulis. Semoga segala cita-cita yang kita dambakan dapat terwujud serta mendapat ridha dari Allah SWT. 11.Teman-teman seperjuangan, Siti Nurhayati, M. Ilham Fauzi,SHI, Diana,SHI,

Husnul, Khodijah, Khoirunnisaa, Zakiyah, Merly, Alya, Lidia, Afrizal, Solahudin, Firdaus, Harif, Sidik, Adew, Dakilah, Afifah, Vini Kriptianti, Fauzi Ramdhan, Layli, Q-cung, Fajrul, Rosyadi, Rahmat, Kahfi, dan teman-teman Perbandingan Mazhab dan Hukum khususnya Perbandingan Hukum 2006, yyang tidak penulis sebutkan namanya dalam mengarungi bahtera kemahasiswaan yang penuh dengan perjuangan (Thanks for all you are the best).

Semoga segala partipasi, dukungan dan motifasu serta do‟a kepada penulis

mendapatkan pahala disisi-Nya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan keislaman. Akhirnya kepada-Nyalah segala urusan akan kembali dan kepada-Nya kita memohon hidayah dan taufik serta ampunan-Nya.

Jakarta, 16 Desember 2010 10 Muharram 1432


(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi ... 8

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II ALASAN YANG MENGAKIBATKAN PUTUSNYA PERNIKAHAN A. Pengertian Putusnya Perkawinan ... 14

B. Alasan Putusnya Perkawinan ... 16

C. Akibat Putusnya Perkawinan ... 19

BAB III SUAMI GHOIB (MAFQUD) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Umum Tentang Suami Mafqud... 35


(8)

v BAB IV ANALISA PUTUSAN

A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Mengenai Perceraian ... ... 55 B. Analisa Putusan ... ... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA


(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam menganjurkan pernikahan atau perkawinan, pernikahan juga disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia, sejak zaman Nabi Adam dan Siti Hawa, pernikahan sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Siti Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam Islam.1

Perkawinan merupakan suatu media untuk membangun keluarga bagi kesinambungan kehidupan manusia, Islam menjadikan perkawinan bukan sekedar wadah bertemunya dua insan berlainan jenis dan bukan sebagai sarana pemuas nafsu saja. Akan tetapi lebih dari itu untuk menjadikan perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci. Penyataan ini dibuktikan dari tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara hubungan suami istri dan juga tata cara penyelesaian perkawinan.2

Bagaimana pun juga suatu perkawinan yang sukses tidak dapat diharapkan dari mereka yang masih kurang matang, baik fisik maupun mental emosional, melainkan menuntut kedewasaan, dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan

1

Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri. “Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan

Praktek” (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, th 1981) h. 83. 2

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.157.


(10)

2

mental. Dengan demikian, perkawinan dilakukan dengan persiapan yang matang supaya berlangsung langgeng.

Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab,3 dan sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan, oleh karena itu kalau seseorang hendak melangsungkan pernikahan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja seolah-olah sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai sebagai suatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh orang-orang dengan tujuan luhur dan suci, hanya dengan demikian tujuan pernikahan dapat tercapai.4

Namun, suatu pernikahan yang sudah dipertahankan tidak akan terwujud sesuai dengan tujuan pernikahan yang terdapat pada pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahunn 1974 apabila kedua belah pihak memutuskan untuk melakukan perceraian. Perceraian merupakan satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari kata perkawinan karena merupakan kelanjutan yang selalu berhubungan satu sama lainnya. Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya pasangan suami istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak menjadi pudar, tetapi pada kenyataannya kasih sayang itu bila tidak dirawat dengan baik bisa menjadi pudar

3

Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. “Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia” (Jakarta, Bina Aksara Jakarta, 1987) h. 2.

4

Lili Rasyidi, “Hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan Indonesia” (Bandung: Alumni, 1982) h.10.


(11)

bahkan menjadi kebencian. Kalau kebencian sudah datang dan suami istri tidak dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dan memuliakan kembali rasa kasih sayang tersebut, dampak negatif terhadap anak keturunannya akan terjadi.5

Talak atau perceraian adalah perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu, perceraian merupakan alternativ terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh manakala bahtera rumah tangga tidak dapat dipertaruhkan keutuhan dan kesinambungannya.6 Disebabkan ketidaksepakatan antara suami istri, dengan keadilan Allah SWT dibukakan suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian.

Dalam konteks keindonesiaan perceraian sendiri diatur oleh undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975 sebagaimana tercantum dalam pasal 19 dan dalam KHI pasal 116 serta dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989, bagi pasangan suami istri yang hendak bercerai terlebih dahulu mengajukan permohonan izin thalak dari pengadilan Agama, sedangkan istri yang ingin bercerai juga harus terlebih dahulu mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

Perceraian yang terjadi dalam hubungan perkawinan selalu menimbulkan perkara yang tidak mudah dikemudian hari. Hal ini karena kedua belah pihak baik suami atau istri akan dihadapkan pada masalah baru yang lebih menantang. Imbas

5

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet. Pertama, (Jakarta: PT. Prenada Persada, 2000), h. 98.

6

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 269.


(12)

4

dari perceraian selain kepada yang melakukannya, juga akan berdampak pada saudara pihak keduanya, baik hak ataupun kewajiban yang diakibatkan mulai dari masalah pembagian harta atau yang lebih dikenal dengan harta gono gini yang merupakan harta bawaan masing-masing dari suami istri, ataupun yang diperoleh dari keduaanya atau salah satunya (pasal 87 ayat 1, Impres RI No. 1/1991 tentang KHI) hingga keturunan dan akibat-akibat hukumnya, seperti hak pemeliharaan anak yang belum mencapai usia 12 (dua belas) yang mencakup biaya pendidikan pengasuhan dan perwaliannya (pasal 105, 106 dan 107, Impres RI No. 1/1991 tentang KHI).

Perceraian masih diminati karena merupakan jalan yang legal formal dalam mengatasi konflik perkawinan, perceraian diatur dalam hukum positif dan agama Islam baik yang diakibatkan oleh perilaku suami istri serta proses beracara yang mendukungnya mengharuskan jalan penyelesaian perceraian dengan tuntas, dan diselesaikan tanpa menimbulkan akibat hukum yang panjang dikemudian hari. Perceraian dapat terjadi diakibatkan oleh kemauan suami yang sering dikenal dengan cara menjatuhkan cerai talak atau atas pengajuan istri yang biasa juga disebut gugat cerai dengan berbagai sebab yang menyertainya.

Salah satu cerai gugat yang diajukan oleh seorang istri yaitu masalah suami ghoib (mafqud). Permasalahan suami hilang atau mafqud terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 116 point b yang menyatakan;


(13)

“salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut -turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannnya”.7

Seorang suami hilang (mafqud) tentunya akan menimbulkan banyak akibat bagi sang istri karena kepergiannya, mulai dari tekanan psikologis yang dialami sang istri apalagi jika sang istri masih tergolong muda, maka dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah yang berada disekelilingnya, sampai terhentinya pemberian nafkah baik lahir ataupun batin, terlebih jika sang istri menggantungkan kehidupannya kepada sang suami.

Pada situasi seperti ini sang istri tentunya akan mengalami kebingungan yang luar biasa. Disatu sisi, ia tidak mungkin terus membiarkan dirinya hidup sendiri, artinya ia membutuhkan sosok pelindung dalam keluarga dan memikirkan nasibnya serta nasib anaknya dimasa depan sehingga harus menikah lagi dengan laki-laki lain. Dikhawatirkan ternyata pada suatu saat sang istri kembali kepada keluarganya.

Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut tentang: “Perceraian Dalam Putusan Verstek Menurut Hukum Islam (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor:

0965/Pdt.G/2009/PAJS)”

7

Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi


(14)

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka untuk fokus dalam pembahasannnya, penulis akan membatasi persoalan yang mengganggu dalam kehidupan rumah tangga, dengan pembatasan masalah pada status hukum istri akibat suami ghoib (mafqud).

2. Perumusan Masalah

Untuk mengurai skripsi ini, penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut: suatu keluarga supaya tidak mudah terjadi perceraian, suami dan istri dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam keadaan tertentu diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut-turut (penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974) dan buku akta nikah suami meninggalkan 6 bulan berturut-turut, demikian pula dalam fikih Islam. Dari uraian diatas, maka perlu diberikan perumusan masalah yang harus dijawab dan diteliti, antara lain meliputi:

a. Bagaimana Hakim di Pengadilan Agama Jakarta selatan menyelesaikan perkara perceraian karena alasan suami ghoib (mafqud)?

b. Apakah suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu alasan terjadinya perceraian di pengadilan agama?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, yaitu:

1. Untuk mengetahui upaya Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menyelesaikan perkara perceraian karena alasan suami ghoib (mafqud).

2. Untuk mengetahui apakah suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu alasan yang dapat mempengaruhi terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini adalah:

Dapat diketahui bahwa nilai suatu penelitian tergantung pada metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh antara lain:

1. Untuk menambah penelaahan ilmiah yang dapat dipergunakan dan dimanfaatkan didalam bidang hukum terutama hukum perceraian yang diakibatkan oleh suami ghoib (maafqud) dan juga diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan tentang perceraian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud).

2. Secara akademis adalah untuk memperkaya khazanah keilmuan dilingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama pada fakultas


(16)

8

perdata terutama dalam masalah perceraian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud), dimana penulis sangat berharap agar penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengenai perceraian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud).

D. Review Studi

Begitu banyaknya skripsi yang mengangkat permasalahan tentang cerai gugat maka penulis ingin melakukan review pustaka atau tinjauan kepustakaan untuk membandingkan skripsi yang penulis buat dengan skripsi yang telah ada.

Dalam hal ini saya ingin meninjau skripsi yang ditulis oleh saudara : 1. Jamil Fatoni, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama, judul

“Perkara Gugat Cerai Dengan Dengan Alasan Suami Mafqud (analisa

beberapa putusan pengadilan agama Jakarta pusat dari prespektf fikih)”.

Skripsi tersebut menjelaskan tentang nafkah yang harus diberikan oleh seorang suami kepada istri.

2. Rio Arif Wicaksono, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Jurusan Pidana Islam,

judul “Status Perkawinan Istri Akibat Suami Hilang”. Skripsi ini menjelaskan status perkawinan suami istri yang salah satunya meninggalkan pasangannya, juga jangka waktu bagi suami istri boleh meninggalkan pasangannya.

3. Usi Sanusi, fakultas Syari‟ah dan Hukum, judul “Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian Dan Dampaknya Terhadap Pemeliharaaan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974”


(17)

Adapun alasan memilih skripsi tersebut diatas sebagai review pustaka dikarenakan adanya beberapa kemiripan tersebut hanya sebatas akibat hukum yang ditimbulkan serta menyelesaikan perkara ini. Karena dalam contoh perkara yang kami ambil ini Hakim sama-sama menjatuhkan putusan vestek yang mana putusan itu jatuh dikarenakan salah satu pihak tidak hadir setelah dilakukan pemanggilan resmi dan juga pemeliharaan anak setelah perceraian dan tanggung jawab atas pembiayaan atas anak setelah perceraian.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai sebagai dasar penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian hukum ada dua jenis penelitian, yaitu penelitian normatif dan penelitian empiris/sosiologis atau penelitian lapangan. Penelitian normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, dimana dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut memiliki ruang lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.8

8

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat), cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995), h.23.


(18)

10

Oleh karena itu penulis akan menggunakan jenis penelitian normatif karena dalam hal ini penulis akan meneliti tentang otopsi dan pelaksanaannya melalui penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini saya lakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yang mempunyai pengertian bahwa penelitian ini didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku dan berkaitan erat dengan hukum pidana.

2. Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan dalam penulisan skripsi ini adalah data kualitatif bukan data kuantitatif. Data kualitatif yaitu penelitian yang data umumnya dalam bentuk narasi atau ganbar-gambar. Sedangkan data kuantitatif adalah data yang dapat diukur sehingga data dapat menggunakan statistic dalam pengujiannya.9

Dalam pengumpulan data kualitatif, ada data yang berupa bahan hukum yang terdiri dari:

a. Data hukum primer adalah data-data yang penulis peroleh berdasarkan kepada aturan hukum yang mengikat, adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor: 09655/PDT.G/2009/PAJS.

b. Data hukum sekunder, yaitu data pendukung yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, seperti literature-literatur dan dokumen-dokumen, antara lain: perundang-undang yaitu undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang

9

Ronny Kountur, Metode Penelitian (Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis), cet.II, (Jakarta: PPM, 2004), h.16.


(19)

No. 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), buku-buku fiqh dan umum yaitu pendapat-pendapat para ahli hukum yang disusun dalam bentuk buku, internet dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti juga hasil-hasil penelitian hasil karya dari kalangan hukum dan buku-buku.

c. Data hukum tersier, adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah: Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Ilmiah Populer.

3. Teknik Pengumpulan Data

Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.10 Dalam hal ini, penelitian yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan teknik studi dokumen atau bahan pustaka yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis yang bias ditemukan dalam bahan pustaka yang terdiri dari buku-buku atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembahasan ini.

4. Penyajian dan Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif, yaitu penulis menggambarkan hasil penelitian yakni tentang percerian yang diakibatkan oleh suami ghoib (mafqud) dengan

10


(20)

12

jelasnya. Adapun tujuan dari penyajian seperti ini tidak lain adalah agar pembaca dapat memahami dengan jelas tentang perceraian yang diakibatkan oelh suami ghoib (mafqud) berdasarkan kepada analisis Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Content Analysis, yaitu melakukan analisis isi dokumen secara terperinci dengan mengambil inti dari dokumen yang menjadi sumber data baik dari buku-buku atau dokumen yang berisi tentang hukum positif atau hukum Islam yang sesuai dengan kajian skripsi ini.11

5. Teknik Penulisan

Teknik Penulisan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub-sub yang secara logis saling berhubungan dan merupakan satu kebulatan dari masalah yang diteliti. Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu sebagai berikut:

Bab I Membahas tentang pendahuluan, di dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah yang menggambarkan yang secara umum inti permasalahan disamping untuk memudahkan mebaca dalam

11


(21)

memahami isi keseluruhan skripsi. Dalam bab ini diuraikan mengenai permasalahan atau latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan tekhnik penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas tentang perkawinan dalam Islam. Dalam bab ini membahas dan menjelaskan pengertian dan definisi tentang perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan serta hak dan kewajiban suami-istri serta alasan putusnya perkawinan dan akibat putusnya perkawinan.

Bab III Membahas tinjauan umum tentang suami ghoib (mafqud), bab ini berisi pengertian umum, dan lama waktu kepergian suami.

Bab IV Dalam bab ini menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0965/PDT.G/2009/PAJS mengenai perceraian dalam putusan verstek dan analisis putusan verstek Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bab V Penutup, yaitu berisikan tentang kesimpulan, saran-saran dan lampiran putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari rumusan masalah. Dan bagian kedua adalah saran.


(22)

14 BAB II

ALASAN YANG MENGAKIBATKAN PUTUSNYA PERKAWINAN

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selama-lamanya dalam kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dan sampai matinya salah seorang suami dan istri sehingga tujuan perkawinan yang dianjurkan oleh undang-undang perkawinan dapat terwujud. Inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu, artinya apabila hubungan perkawinan tidak dapat dilanjutkan maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga, dengan begitu putusnya perkawinan adalah suatu jalan yang baik.1

A. Pengertian Putusnya Perkawinan

Putusnya Perkawinan adalah Istilah hukum yang digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan “Perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.

Perceraian adalah suatu kata yang berasal dari kata cerai. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah dalam berlaki bini, putus

1 Amir syarifuddin, “

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan” (Jakarta: Prenada Media, 2006) h. 188.


(23)

pertalian, perpecahan dan perpisahan.2 Perceraian dalam bahasa arab disebut dengan istilah Talak. Talak dalam istilah agama adalah menguraikan atau melepaskan ikatan nikah, sedangkan Talak di dalam Ensiklopedia Istilah Islam adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami jika keadaan telah demikian memaksanya sehingga jalan damai telah tertutup atau buntu hingga sulit bagi kedua suami istri untuk tetap bersatu dalam satu rumah tangga.3

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam Putusan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan pengertian perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 117 menyebutkan, Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Untuk maksud putusnya perkawinan, dalam fiqh menggunakan istilah

furqoh” Penggunaan istilah putusnya perkawinan ini dilakukan secara hati-hati, Karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan

kata” ba-in“, yaitu suatu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi

kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yang baru. Ba‟in itu

2

Tim Pustaka Phonix, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: PT. Media Pustaka, 2009), cet IV, h. 158.

3


(24)

16

merupakan satu bagian atau bentuk dari perceraian, sebagai lawan pengertian dari perceraian dalam bentuk roj‟i, yaitu perceraiannya suami dengan istrinya namun belum dalam bentuknya yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada mantan istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih berada dalam „iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu itu ternyata dia tidak kembali kepada mantan istrinya, baru perkawinannya dikatakan putus dalam arti sebenarnya atau yang disebut ba‟in.4

Biasanya istilah yang digunakan memang adalah “perceraian”, namun

sulit juga menggunakan istilah tersebut sebagai pengganti “putusnya

perkawinan”, karena perceraian itu adalah salah satu bentuk dari putusnya

perkawinan. Untuk tidak terjebak dalam istilah tersebut, kita dapat menggunakan

“putusnya perkawinan” namun dalam arti yang tidak sama dengan istilah ba‟in yang digunakan dalam fiqh, atau ia dipandang sebagai sinonim dari istilah furqah

yang terdapat dalam kitab fiqh.

B. Alasan Putusnya Perkawinan

Apabila perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh oleh suami istri yang sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan ikatan perkawinan bersama-sama lagi. Salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama untuk diproses, karena perceraian yang diakui

4 Amir Syarifuddin, “

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, h. 189.


(25)

Negara dan mempunyai kekuatan hukum adalah didepan persidangan. Pengadilan tidak langsung mengabulkan atau menolak gugatan yang diajukan. Akan tetapi, mempelajari alasan-alasan yang diajukan di Pengadilan Agama terlebih dahulu, sebagaimana Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat (2) menyatakan: untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.5 Alasan-alasan itu juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam bab XVI putusnya perkawinan, yaitu pada pasal 116.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan6:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

5. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

5 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “

Kitab Undang-undang Hukum Perdata: dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), Cet 31, h. 549.

6

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI” (Jakarta: Prenada media, 2004) Cet-1, h. 218-219.


(26)

18

Permohonan cerai talak berdasarkan alasan perceraian juga dapat dijelaskan melalui pengertian talak seperti yang disebutkan oleh Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Talak hanya dapat dilakukan melalui proses tertentu seperti harus adanya permohonan dan dilakukan didepan sidang pengadilan berikut dengan kejelasan alasan-alasannya.

Alasan-alasan tersebut diantaranya:

1. Permohonan cerai Talak karena isteri melalaikan kewajiban.

2. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri berbuat zina atau pemadat. 3. Permohonan cerai Talak dengan alasan istri meninggalkan suami selama dua

(2) tahun berturut-turut tanpa izin dan tanpa alasan yang sah.

4. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri mendapat hukuman penjara lima (5) tahun atau lebih.

5. Permohonan cerai Talak dengan alasan suami/isteri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

6. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri. 7. Permohonan cerai Talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisiihan dan

pertengkaran.

8. Permohonan cerai Talak dengan alasan isteri murtad. 9. Permohonan cerai Talak dengan alasan syiqaq. 10.Permohonan cerai Talak dengan alasan Li‟an.7

Didalam fiqih memang secara khusus tidak mengatur alasan untuk boleh terjadinya perceraian dengan nama talak, karena talak itu merupakan hak suami dan dia dapat melakukannya meskipun tanpa alasan apa-apa.8

Dalam prinsipnya al-Qur‟an mengisyaratkan mesti adanya alasan yang cukup bagi suami untuk mentalak istrinya dan menjadikannya sebagai langkah

7

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 224-228. 8 Amir syarifuddin, “

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, h. 228.


(27)

terakhir yang tidak dapat dihindari. Alasan-alasan yang mengenai perceraian dapat ditemukan dalam alasan perceraian yang berbentuk fasakh dan dalam pandangan fiqih fasakh terjadi bukan atas kehendak dan permintaan suami. Akan tetapi, dilakukan atas permintaan istri yang ingin bercerai dari suami, dan bahkan dilakukan didepan hakim, dengan syarat memenuhi alasan-alasan yang ditentukan.9

Perceraian haruslah menjadi suatu jalan terakhir yang diinginkan oleh kedua belah pihak dalam perkawinannya. Perceraian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang ingin bercerai juga harus berdasarkan kepada alasan-alasan diperbolehkannya bercerai menurut Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam serta alasan-alasannya.

C. Akibat Putusnya Perkawinan

1. Akibat Talak

Secara harfiyah Talak itu berarti lepas dan bebas. Kata Talak berasal

dari kata “ ًاقالط - قلْطي -قلط “ yang berarti melepaskan atau lepas dari

ikatannya,10 baik tali yang bersifat kongkrit seperti tali pengikat unta maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata Talak merupakan isim

9

Ibid,h. 229. 10

Ahmad Warson Munawwir, “al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,” (t.t.,:t.p., t.th.,), h. 923.


(28)

20

masdhar dari kata “ ًقيلطت -قلْطي -قلط“ yang semakna dengan kata “ ْلاسْرإا “ dan “ ك ْرتلا“ yang berarti melepaskan atau meninggalkan.

Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas11. Dalam mengemukakan arti thalaq secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun maksudnya sama.

Talak menurut istilah syara‟ dikemukakan oleh para ulama dalam beberapa pengertian, antara lain:

a. Menurut Sayyid Sabiq:

Artinya:

“Melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.12

b. Menurut Abdurrahman al-Jaziri:

Artinya:

“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan)

pelepasan dengan kata-kata tertentu”.13

11

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 229.

12Sayyid Sabiq, “Fiqih Sunnah”,

(Beirut: Darul Fikr, 1983), Cet IV, Jilid II, h. 206. 13

Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Arba‟ah” (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, t.th), Jilid IV, h. 278.


(29)

c. Menurut Abu Zakariya al-Anshari:

Artinya:

“Melepaskan tali akad nikah dengan kata Talak dan yang semacamnya.14

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam Putusan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan pengertian perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 117 menyebutkan Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya apabila ia merasa sudah tidak dapat lagi mempertahankan perkawinan dan keutuhan rumah tangganya. Talak juga dirumuskan oleh Al-Mahalli yang mewakili definisi yang diberikan kitab-kitab fiqh terdapat tiga kunci yang menunjukan hakikat dari perceraian yang disebut dengan talak. Pertama, kata “melepaskan” atau membuka mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua, kata ikatan perkawinan yang

14


(30)

22

mengandung arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka itu hubungan suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram hukumnya. Ketiga, kata dengan lafaz

“tha-la-qa” sama maksudnya dengan itu mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan, ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus dikarenakan salah satunya meninggal (putus karena kematian).15

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan mengenai akibat talak yang tertuang pada pasal 149, terdapat kewajiban bekas suami untuk menafkahkan mantan istrinya. Kewajiban tersebut antara lain:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam

iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al-dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.16

15

Tiham., Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” hal, 229. 16

Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi


(31)

Kata talak sama artinya dengan arti putusnya perkawinan yaitu lepas atau pisahnya ikatan perkawinan antara suami dan istri (perceraian). Kata talak biasa dipergunakan dalam fiqh, dan kata putusnya perkawinan dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan.

1) Akibat Talak Raj‟i

Talak raj‟i adalah Talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju‟ selama dalam masa „„iddah.17

Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan talak raj‟i adalah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (ruju‟) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa „„iddah, baik

istri tersebut bersedia diruju‟ maupun tidak.18

Talak raj‟i menurut pasal 118 Kompilasi Hukum Islam adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak untuk ruju‟ selama istri dalam masa„„iddah.19

Talak raj‟i tidak melarang mantan suami untuk berkumpul dengan mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak menghilangkan hak

17

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 223. 18

Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.

Hambali”. Penerjemah Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Lentera, 2005), Cet IV, h. 441. 19

Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi


(32)

24

(pemilikan) serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).20

Namun sekalipun tidak mengakibatkan perceraian, Talak ini tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang lain, selama masih dalam masa „iddah istrinya. Segala hukum akibat hukum Talak baru berjalan sesudah habis masa „„iddah dan jika tidak ada ruju‟. Apabila masa „„iddah telah habis maka tidak boleh ruju‟. Artinya, Perempuan itu telah berTalak ba‟in. Jika ia menggauli istrinya berarti ia telah ruju‟.

Ruju‟ adalah satu hak bagi laki-laki dalam masa „„iddah. Oleh karena itu, ia tidak boleh membatalkannya sekalipun suami, misalnya,

Berkata: “Tidak ada ruju‟ bagiku” Namun, Sebenarnya ia tetap

mempunyai hukum ruju‟. Didalam firman Allah disebutkan:





2

228

Artinya: “Dan suami-suaminya berhak meruju‟inya dalam masa menanti

itu” (QS Al-Baqarah: 228)

Ruju‟ merupakan hak suami, maka untuk meruju‟nya suami tidak perlu saksi, hanya kerelaan mantan istri serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam ruju‟ hukumnya sunnat, karena dikhawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal ruju‟nya suami.21

20

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 307. 21


(33)

Talak raj‟i adalah talak satu atau dua yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya, karena seorang suami boleh melakukan talak terhadap istrinya itu hanya mempunyai dua talak saja dalam agama.

Apabila suami ingin ruju‟, maka ruju‟lah dengan cara yang baik dan tidak mengungkit-ungkit kesalahan yang lalu, atau apabila bertekad untuk menceraikannya dan telah mempertimbangkan secara seksama segala konsekuensinya, maka ceraikanlah dengan cara yang baik pula, sebagaimana firman Allah SWT didalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 229:







. . .

2

229

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk

lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara

yang baik”.(QS Al-Baqarah: 229)

2) Akibat Talak Ba‟in Sughra

Talak ba‟in sughra ialah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan isteri setelah kata talak diucapkan, karena ikatan perkawinan telah putus, maka isterinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya.

Talak ba‟in sughra juga dapat dirumuskan dengan talak ba‟in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istrinya, tetapi tidak


(34)

26

menghilangkan kehalalan bekas suami untuk nikah lagi dengan bekas istrinya, baik pada masa „iddah maupun sesudahnya.22

Apabila ia baru mentalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali talak setelah ruju‟ dan jika sudah dua kali talak, maka ia hanya berhak atas satu kali lagi talak setelah ruju‟.

Yang termasuk talak ba‟in sughra adalah sebagai berikut:

a) Talak yang dilakukan suami sebelum menggauli istri. Talak ini tidak memerlukan masa „iddah, karena tidak ada masa „iddah sebelum istri digauli oleh suami, maka tidak ada kesempatan untuk ruju‟, sebab ruju‟ hanya dilakukan dalam masa „iddah.

b) Talak yang dilakukan istri dengan cara tebusan kepada suaminya atau yang disebut khulu‟.

c) Perceraian yang dilakukan suami istri dengan melalui putusan Hakim di pengadilan atau disebut dengan fasakh.23

Talak ba‟in sughra merupakan kata talak yang harus diperhatikan oleh seorang suami dalam menjatuhkan talak, karena talak tersebut memutuskan hubungan perkawinan antara suami istri, dan istri sudah menjadi orang lain bagi suaminya.

22

Zurinal. Z dan Aminuddin, “Fiqih Ibadah,” (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), Cet I, h. 254.

23


(35)

3) Akibat Talak Ba‟in Kubra

Hukum talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in sugro, yaitu memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi, talak ba‟in kubra tidak menghalalkan bekas suami meruju‟nya kembali bekas isteri, kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah bersenggama), tanpa ada niat tahlil.24

Menurut Sayyuti Thalib yang termasuk talakba‟in kubra adalah: a) Talak itu berupa talak tiga.

b) Perceraian karena li‟an, karena pasangan suami istri tersebut tidak diperbolehkan kawin lagi untuk selamanya.25

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 230;













2

230

Artinya: “Kemudian jika si suami menTalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang

(mau) mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 230)

24

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 311. 25

Sayyuti Thalib, “Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam”,(Jakarta: UI Press, 1998) Cet V, h. 103-104.


(36)

28

Perempuan yang menjalani „„iddah talak ba‟in, jika ia tidak hamil, hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi, jika ia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah. Dalam Al-Qur‟an ditegaskan: QS ath-Thalaq : 65;6 :









65

6

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah diTalak) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, ….” (QS at-Thalaq: 65)

Para ulama sepakat apabila seorang suami melakukan talak dengan talak tiga, maka suami sudah tidak boleh kembali lagi terhadap istrinya sampai istri melakukan perkawinan terlebih dahulu dengan laki-laki yang lain selayaknya suami istri pada umumnya. Imamiyah dan Maliki mensyaratkan yang menjadi suami kedua (muhalil) adalah laki-laki dewasa bukan laki-laki yang belum dewasa, sedangkan menurut Syafi‟i dan Hanafi laki-laki yang menjadi suami kedua (muhalil) boleh laki-laki yang belum cukup umur atau dewasa asalkan cukup bila melakukan hubungan suami istri.26

26


(37)

Talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in sugro, yaitu memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Talak ba‟in kubra

tidak menghalalkan bekas suami meruju‟nya kembali bekas isteri, kecuali sesudah ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah bersenggama).

2. Akibat Hukum Fasakh

Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab, talak ada talak bain dan talak raj‟i. Talak raj‟I tidak mengakhiri ikatan suami dan isteri dengan seketika, sedangkan talak ba‟in mengakhirinya seketika itu juga.

Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri ikatan pernikahan seketika itu.

Selain itu, pisahnya suami isteri yang diakibatkan talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami mentalak isterinya dengan talak raj‟i kemudian kembali pada masa „„iddahnya atau akad lagi setelah habis masa „„iddahnya dengan akad baru, maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ia masih ada kesempatan dua kali untuk mentalak lagi. Sedangkan pisah suami isteri karena fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami isteri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.


(38)

30

Mengenai masa pelaksanaan fasakh, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Syafi‟i berkata: “harus menunggu selama tiga hari”,

sedangkan Imam Malik mengatakan: “harus menunggu selama satu bulan”,

dan Imam Hmbali Mengatakan “harus menunggu selama satu tahun.”27

Semua itu maksudnya adalah, selama waktu tersebut, laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila si isteri tidak rela lagi. Kalau isteri mau menunggu dan rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu di fasakh, sebab nafkah itu adalah haknya.

3. Akibat Khulu’

Khulu‟ yaitu perceraian atas keinginan pihak istri sedangkan suami tidak menghendaki.28 Akibat khulu‟ ini juga dapat mengurangi jumlah talak dan dapat melakukan ruju‟ kembali.29

Dalam hal akibat khulu‟, terdapat persoalan apakah perempuan yang menerima khulu‟ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa khulu‟ itu dapat di ikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Imam hanafi mengatakan bahwa khulu‟ dapat diikuti dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak.

27

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 314-315. 28

Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI”, h. 232. 29

Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi


(39)

Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa „iddah termasuk hukum talak, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang saudara perempuanya masih dalam „„iddah dari talak ba‟in.30

Khulu‟ dapat dikatakan pula suatu keputusan seorang istri yang menginginkan perceraian, sedangkan seorang suami tetap mempertahankan perkawinannya atau tidak menghendaki adanya perceraian. Walaupun seorang istri telah mengkhulu‟ seorang suaminya, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi jumlah talak yang dimiliki oleh suami.

4. Akibat Sumpah Li’an

Pelaksanaan hukum li‟an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi isteri yang sedang dalam perkara li‟an ini bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenanggan berpikir. Hal ini tidak lain adalah:

a. Karena bilangan sumpah li‟an

b. Karena dilaksanakan di tempat yang paling mulia, yaitu masjid.

c. Karena dilaksanakan pada waktu yang paling penting, yaitu waktu ashar setelah shalat

d. Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jama‟ah (manusia banyak), sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.31

Disamping itu, pengaruh lain akibat li‟an ini adalah terjadinya perceraian antara suami isteri, isterinya menjadi haram untuk dirinya

30

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap”, h. 315-316. 31


(40)

32

selamanya. Ia tidak boleh ruju‟ ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumi bukan termasuk keturunan suaminya.

5. Aibat Li’an dari Segi Hukum

Akibat lain yang ditimbulkan karena li‟an, secara hukum adalah: a. Had zina gugur

b. Had zina berlalu

c. Suami isteri bercerai untuk selamanya.

d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri isterinya.

e. Bila ada anak setelah pernyataan li‟an itu tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.

Sebaliknya, si isteri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan membela li‟an suaminya dengan li‟an-nya pula atas suaminya.32 Kompilasi Hukum Islam pun pada pasal 162 menjelaskan akibat li‟an juga dapat menghilangkan nasab anaknya kepada bapaknya, akan tetapi nasab anaknya dinasabkan kepada ibunya dan juga kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada anaknya pun dapat terbebaskan.33

Kompilasi Hukum Islam Bab XVII bagian kesatu pada penjelasan akibat talak pasal 149, menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan sebagai berikut:

32

Ibid, h. 319-322. 33

Tim Redaksi Fokusmedia, “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi


(41)

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut belum dicampuri.

b. Member nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhnya apabila

qabla al-dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.34

Pada bagian kedua juga Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang batas waktu tunggu yang terdapat pada pasal 153, yaitu:

1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu „iddah, kecuali qabla al-dukhul, dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul,

waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil. Waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian,

sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul. 4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung

sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yan putus karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.

5. Waktu tunggu isteri yang pernah haid, sedangkan pada waktu menjalani „„iddah tidak haid karena menyusui, maka „iddahnya tiga kali waktu suci.35

34

Ibid, h. 48. 35


(42)

34

Dari uraian diatas, menurut pandangan penulis bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi jika keadaan telah demikian memaksanya sehingga jalan damai telah tertutup atau buntu hingga sulit bagi kedua suami istri untuk tetap bersatu dalam satu rumah tangga.

Apabila perceraian merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh oleh suami istri yang sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan ikatan perkawinan bersama-sama lagi, maka pihak yang ingin bercerai harus ada alasan yang menguatkan bahwa kehidupan rumah tangga tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri. Alasan-alasan perceraian juga harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Didalam fiqih memang secara khusus tidak mengatur alasan untuk boleh terjadinya perceraian dengan nama talak, karena talak itu merupakan hak suami dan dia dapat melakukannya sekalipun tanpa alasan. Alasan-alasan yang mengenai perceraian dapat ditemukan dalam alasan perceraian yang berbentuk fasakh dan dalam pandangan fiqih, fasakh terjadi bukan atas kehendak dan permintaan suami, tetapi dilakukan atas permintaan istri yang ingin bercerai dari suami, dan bahkan dilakukan didepan hakim.

Bagi pihak yang menginginkan terjadi perceraian dengan alasan tidak dapat hidup rukun kembali juga harus memikirkan kepada permasalahan nafkah anak-anaknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan mengenai akibat talak yang tertuang pada pasal 149, terdapat kewajiban bekas suami untuk menafkahkan mantan istrinya.


(43)

35

DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Umum Tentang Suami Mafqud

1. Menurut Ulama Fiqih

Kata mafqud secara etimologis merupakan isim maf‟ul dari lafadz faqoda-yafqodu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.1 Jadi yang dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah ia masih hidup sehingga bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia sudah mati hingga kuburannya dapat diketahui.2

Dalam bahasa istilah mafqud bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini secara etimologis memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi, mengumpat.3 Hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1 Mahmud Yunus “Kamus Arab Indonesia”

(Jakarta : Yayasan Penyelenggara Pentarjamah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973 ) h. 642.

2

Wahbah Al-Zuhaily “Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz 7” (Beirut : Dar-El Fikr,t,th) h.642.

3


(44)

36

a. Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau informasi tentangnya.

b. Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya.

Dari dua definisi diatas, nampak telah jelas bahwa yang dimaksud dengan mafqud disini orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus.

Adapun bentuk suami dikatakan hilang antara lain:

a. Suami yang hilang diantara keluarganya baik siang ataupun malam.

b. Seorang suami yang meninggalkan rumah untuk melaksanakan sholat di masjid tetapi ia tidak kembali.

c. Seseorang yang hilang digurun pasir atau padang yang luas. d. Suami yang hilang karena perang.

e. Seorang yang mengalami musibah dalam perjalanan, misalnya kapal yang ditumpanginya tenggelam.4

Setidaknya dari beberapa bentuk di atas dapat disimpulkan menjadi dua kriteria besar. Pertama, seorang yang hilang yang dari awal kepergiannya tidak diketahui kemana dan dimana. Kedua, suami yang kepergiannya diketahui oleh keluarganya (istrinya) tetapi pada suatu saat tidak diketahui lagi bagaimana keadaannya dan dimana ia sekarang.

Para ahli fiqih telah menetapkan haramnya suami meninggalkan istri dalam waktu lebih dari 4 (empat) bulan. Bahkan, sebagian ahli fikih

4


(45)

menetapkan dengan lebih ikhtiyath (hati-hati) lagi, yakni lebih dari empat malam meskipun hanya sekali saja. Sebagaimana telah diriwayatkan, kata al

mudhaja‟ah ditafsirkan dengan tingal bersama istri setelah satu malam dan ditambah sesaat pada waktu paginya. Inilah suatu nas (ketentuan), tetapi lebih tepat merupakan usaha perlindungan kepada istri, khususnya pada bagian pertama, yaitu lebih dari empat bulan. Bertolak dari sini, ada beberapa riwayat yang menunjukan bahwa dosa seorang istri dapat dibebankan kepada suaminya bila adanya perbuatan dosa istri sebagai akibat dari perbuatan suami. Efektifitas kebenaran pernyataan untuk memberikan perlindungan ini diperkuat dengan adanya nas yang melarang memberikan pengecualian (hak istimewa) kepada istri muda.5

Dalam hal ini mafqud diartikan sebagai seorang yang hilang tanpa kabar akan kepergiannya, tidak diketahui keadaan serta keberadaannya.

Mafqud disini pun yaitu orang yang meninggalkan keluarganya yang sampai pada saat tertentu keluarganya tidak mengetahui apakah ia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia ataukah kabarnya masih tersambung atau akan terputus.

2. Pandangan Ulama Madzhab Tentang Mafqud

Para ulama fiqih sepakat bahwa jika suami yang meninggalkan istrinya itu masih terdengar kabarnya maka tidak ada alasan bagi wanita untuk

5

Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili “Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam


(46)

38

ber‟iddah dan menikah lagi. Suami yang meninggalkannya diupayakan untuk kembali kepada keluarganya untuk hidup bersama-sama lagi karena suami mempunyai kewajiban memberi nafkah dan kasih sayang dalam keluarga begitu juga istri mempunyai hak untuk mendapatkan hal tersebut, kecuali suami yang diketahui keberadaannya itu tidak mau kembali lagi dan menunaikan kewajibannya maka seorang istri dapat melakukan khulu‟.6

Para ulama berbeda pendapat mengenai perceraian bagi istri yang suaminya mafqud. Beberapa pendapat tersebut antara lain adalah:

a. Menurut Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi adalah Abu Hanifah an-Nukman bin Tsabit bin Zufi at-Tamimi. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Abu hanifah menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh menjadi dewasa disana dan sejak masih kanak-kanak beliau telah mengkaji dan menghafal al-Qur‟an. Beliau wafat pada tahun 150 H/767 M pada usia 70 tahun dan beliau dimakamkan di Khizra.7

Menurut mazhab Hanafi dan dan mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa orang yang dianggap masih hidup baik mengenai istrinya baik mengenai hartanya kedua-duanya masih kepunyaan suaminya sampai ada

6

http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf. 7

Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.


(47)

kepastian tentang hidup matinya. Pendapat ini memegang apa yang telah ada dengan yakin.8

Menurut mazhab Hanafi pun menjelaskan bahwasanya istri tidak mempunyai hak untuk menuntut cerai dengan alasan hilangnya suami, walaupun hilangnya dalam kurun waktu yang lama.9 Sehingga sang istri

tidak boleh ber‟iddah dan menikah lagi sampai berita tentang keberadaan suaminya baik hidup atau matinya jelas. Hanafi mengunakan dalil istishab

dalam hal ini, yaitu menggunakan hukum yang lama sebelum datang hukum yang baru.

Namun jika kabar kematian suaminya itu telah sampai kepada seorang istri atau ada seseorang yang dapat dipercaya memberikan informasi tentang kematian suaminya atau bahwa suaminya telah menthalaq bain atau ada surat yang datang untuk istri yang dibawah oleh orang yang tsiqoh yang menerangkan bahwa si istri sudah di thalaq maka seoran istri boleh melakukan iddah dn kemudian menikah lagi dengan orang lain.10

8

Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah

Fiqih” (Djakarta; Bulan Bintang, 1973) Cet I, h. 210. 9

Musthofa al-Baabi Al-Halabi “Mughni Al-Muhtaaj” (Kairo: Maktabah Ar-riyadhi Al-Haditsah) h. 442.

10


(48)

40

Mazhab hanafi memperbolehkan seorang istri ber‟iddah walaupun belum ada kabar tentang kematian suaminya jika sudah melewati waktu selama 120 tahun yang didasarkan pada umur manusia pada umumnya.11 b. Menurut Mazhab Syafi‟i

Nama asli dari Imam Syafi‟I adalah Muhammad bin Idris gelar beliau adalah Abu abdilah, beliau lahir di Gazza pada tahun 150 H pertengahan abad kedua hijriyah. Beliau adalah pendiri dari mazhab

Syafi‟i.12

Sumber hukum syariat dalam mazhabnya terdiri 4, yaitu;

al-Qur‟an, Hadist atau sunah-sunah rasul, Ijma‟ (kesepakatan imam-imam mujtahid dalam satu masa) dan Qiyas (perbandingan antara yang satu dengan yang lain).13

Syafi‟i dalam qoul jadid (fatwa terbarunya yang dikeluarkan di Mesir) menyatakan bahwa jika sesuatu hukum belum membolehkan suami membagikan harta warisannya, maka seorang istri belum

diperbolehkan untuk ber‟iddah dan menikah lagi. Dalam hal ini seperti

Hanafi, Syafi‟i juga mengambil dalil istishab sebagai sumber hukum.

Syafi‟i memberikan batasan waktu selama 90 tahun bagi istri untuk menunggu kabar suaminya. Jika setelah batas waktu itu masih juga tidak ada kabar, maka istri diperbolehkan ber‟iddah.

11

M. Jawad Mughniyyah “Al-Akhwal al-Syakhsiyyah”, h. 154. 12

Sirajuddin Abbas, “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‟ie”, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995) Cet VII, h. 13.

13


(49)

c. Menurut Mazhab Malik

Imam Malik bin Anas, beliau adalah pendiri mazhab Maliki. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Beliau berasal dari kabilah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu pengetahuan sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal al-Quran. Imam Maliki meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut banyak bagian diseluruh dunia.14

Adapun mazhab Malikiyah berpendapat bahwa mereka memperhatikan apakah hilang itu dengan sebab yang biasanya selamat, maka mereka itu menunggu sampai seumur orang pada masa itu. Apabila hilang dengan sebab yang biasanya tidak selamat, mereka membagi kedalam dua macam: Pertama, sebab yang besar dugaan tidak selamat, karena terjadinya sesudah sebab yang membinasakan, maka mereka itu memberi hukum sudah dapat dianggap cerai antara suami istri seketika selesainya kejadian itu jika tidak memerlukan waktu untuk pulang.

Kedua, yang tidak berat dugaan binasa, karena bukan terjadi sesudah sesuatu sebab yang membinasakan. Mereka itu mengatakan dalam hal inilah yang diberi waktu 4 tahun.15

14

Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.

Hambali”, h. xxvii-xxviii. 15

Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah


(50)

42

Mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang istri cukup menunggu selama 4 tahun, jika telah ditunggu selama waktu itu maka istri boleh

ber‟iddah selama 4 bulan 10 hari, kemudian setelah itu istri boleh

ber‟iddah lagi. Imam Malik menambahkan bahwa jika suami pertama datang dan si istri belum dipergauli oleh suami yang kedua, maka istri masih menjadi hak suami yang pertama, namun jika sudah dipergauli maka istri tetap menjadi hak suami yang kedua dengan konpensasi suami kedua harus membayar mas kawin kepada suami pertama.16

Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i, jika suami pertama datang dan istrinya sudah menikah, maka nikahnya batal dan istri tetap menjadi hak suami yang pertama. sedangkan menurut Imam Ahmad bahwa jika istri belum dipergauli oleh suami kedua, maka istri menjadi hak suami yang pertama, namun jika istri sudah melakukan hubungan badan dengan suami kedua, maka diserahkan kepada suami pertama apakah ia akan mengambil istrinya kembali dengan membayar maskawin atau ia meninggalkannya dan mendapatkan maskawin tersebut. Hal ini dilakukan jika perkara ini belum diserahkan kepada hakim. Adapun ketika perempuan merasa rugi atas kepergian suaminya, maka ia boleh mengadu kepada hakim agar memutuskan perkawinannya. Imam Ahmad bin Mali memperbolehkan talakmodel ini.17

16

http://hukumonline.com. 17


(51)

Namun jika suami tersebut tidak mempunyai harta begitu juga tidak ada orang lain yang menggantikan perannya, maka istri harus tetap bersabar atau jika istri menginginkan menikah maka ia boleh mengadukan perkara ini kepada Hakim. Dalam hal ini Hakim akan menunda dan memeriksa selama 4 tahun terhitung mulai perkara ini diterima sampai permasalahan tersebut jelas.

Jika masih belum jelas maka ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu:

1) Jika suami yang hilang tersebut mempunyai wali atau wakil maka hakim memerintahkan kepada wali tersebut untuk menceraikan si istri.

2) Jika suami yang hilang tersebut tidak mempunyai wali, atau ia mempunyai wali namun wali tersebut menolak untuk mentalak dan tidak mungkin memaksanya maka Hakim mempunyai otoritas untuk menceraikan pasangan tersebut dengan ketentuan syariah, kemudian istri ber‟iddah 4 bulan 10 hari setelah itu halal untuk menikah lagi.18

Hilang menurut d. Menurut Mazhab Hambali

Imam Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada Rabiul

18


(52)

44

awal tahun 164 H (780 M). Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi.

Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kali dan disanalah beliau belajar dengan Imam Syafi‟i. Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun tepatnya pada tahun 241 H (855 M). sepeninggalan beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi satu mazhab yang memiliki banyak penganut.19

Menurut pendapat mazhab Hambali mengatakan bahwa menceraikan antara orang yang hilang dan istrinya adalah didasarkan pada menolak kemelaratan terhadap istri yang suaminya sudah hilang dan meninggalkannya dan berhadapan dengan kepahitan hidup sendirian dan apabila istri itu masih muda, tentu ia tidak dapat menjaga dirinya dari faktor-faktor fitnah yang berada disekelilingnya.20

Mazhab Hambali berpendapat hilang itu ada dua macam: Pertama,

hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara. Dalam hal ini hukumnya sama seperti pendapat ulama Hanafiah dan ulama

Syafi‟iyah, yaitu harus lewat waktu tertentu, yaitu 90 tahun terhitung

sejak lahirnya orang itu. Kedua, hilang yang menurut lahirnya tidak

19

Muhammad Jawad Mughniyyah, “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki, Syafi‟ie.

Hambali”, h. xxxi-xxxii. 20

Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, “Perbandingan Mazhab dalam Masalah


(1)

65

sang suami telah meninggalkannya tanpa ada kabar dan berita tentang keberadaannya (pasal 39 ayat 2 pada huruf b Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan). Hal ini sangat berakibat buruk terhadap penggugat, seperti sudah tidak adanya tanggung jawab terhadap keluarga baik itu dari segi nafkah lahir maupun nafkah bathin.

Pertimbangan hal lainnya yaitu dalil gugatan penggugat dapat dibuktikan dengan adanya kesaksian dua orang saksi yang menyatakan jawaban yang sama mengenai dalail gugatan penggugat. Hal ini dianggap oleh Majelis Hakim, bahwa penggugat dapat membuktikan dalil gugatan yang beralasan dan tidak melawan hukum. Dengan demikian Majelis Hakim menilai gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan yang dimaksud pasal 19 huruf (f) dan huruf (b) PP Nomor. 9 tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan bercerai. Oleh karenanya gugatan cerai patut dikabulkan.

Suami ghoib (mafqud) dapat menjadi salah satu alasan perceraian di Pengadilan Agama adalah berdasarakan pasal 19 huruf (f) dan huruf (b) PP Nomor. 9 tahun 1975 Jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan bercerai.

Hakim mendasarkan putusannya juga pada putusan verstek. Hal ini disebabkan karena salah satu pihak (tergugat) mengabaikan panggilan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Putusan verstek tersebut didasarkan pada pasal 125, 126 H.I.R. yang menyatakan bahwa:


(2)

Pasal 125 H.I.R

“Apabila pihak tergugat tidak hadir atau mengirimkan wakilnya yang sah dalam persidangan, meski telah dipanggil secara patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi pengadilan negeri bahwa gugatan tersebut tidak beralasan”.

Pasal 126 H.I.R

“Sebelum menyatakan suatu putusan, pengadilan dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain. Kepada pihak yang hadir diberitahukan oleh ketua dalam persidangan; panggilan itu sama dengan panggilan baginya”.

B. Saran-saran

Ada banyak hal yang memotivasi pasangan suami istri untuk melakukan perceraian dengan alasan-alasan perceraian, hal ini mengakibatkan dampak negatif bukan hanya pasangan suami istri yang bercerai tersebut melainkan juga bagi anak mereka. Untuk meminialisir dampak tersebut, penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat tentang hakiat sebuah perkawinan, karena pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai meninggalnya salah seorang suami istri, inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam.


(3)

67

2. Meskipun dalam perkawinan pria dan wanita mempunyai hak untuk bercerai, sebaiknya hak tersebut digunakan pada saat-saat yang tepat atau merupakan opsi terakhir dalam menyelesaikan masalah tersebut agar tidak ada yang merasa dirugikan.

3. Tentang hak dan kewajiban suami istri sebaiknya diberi pengertian sejak dini, seperti disekolah aliayah dan pemerintah juga ikut andil dalam member pengertian kepada masyarakat supaya mengurangi terjadinya perceraian d Indonesia.


(4)

68

Al-Amili, Ali Husain Muhammad Makki. “Perceraian Salah Siapa? Bimbingan Islam Dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga” (Jakarta: Lentera,2001)

Al-Anshari, Abu Yahya Zakariya. “Fathul Wahab”, (Beirut: Darul Fikri, t.th), Juz II Al-Halabi, Al-baabi Musthofa. “Mughni Al-Muhtaaj” (Kairo: Maktabah Ar-riyadhi

Al-Haditsah)

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. “Fiqh Wanita Islam” (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991) Cet. Pertama

Al-Jaziri, Abdurrahman. “Al-Fiqh „ala al-Arba‟ah” (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, t.th), Jilid IV

Al-Zuhaily, Wahbah. “Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz 7” (Beirut : Dar-El Fikr,t,th)

As-Suyuti, Jalaludin Abd. Rahman bin Abi Bakar. “Uqud Zabarjad „ala Musnad al -Imam Ahmad”,(Beirut: Dar-al Ilmiyah, 1987)

Abbas Sirajuddin, “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi‟ie”, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995) Cet VII

Ahmad, Rofiq. Hukum Islam di Indonesia, cet IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)

Ali, Muhammad Daud. “Hukum Islam dan Peradilan Agama” (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2

Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri. “Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan Praktek” (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, th 1981)

Djalil, Basiq. “Pernikahan Lintas Agama” (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet. Ke-1 Djoko, Prakoso, Murtika I Ketut. “Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia”


(5)

69

http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf. Diakses pada 5 Agustus 2010

http://hukumonline.com.asp?id=1594&c1=fokus diakses pada 7 September 2010 http:// mlatiffauzi. files. Wordpress.com/2007/09/iddah/pdf. Diakses pada 22 Juli

2010

Ismuha. “Pencaharian Bersama Suami Istri” (Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1986) Cet. Pertama

Ismuha. “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang) Cet 8, 1996

Kamal, Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

Komandoko, Gamal. Ensiklopedi Istilah Islam, (Yogyakarta: Cakrwala, 2005), Cet. I Mughniyyah, Muhammad Jawad. “Fiqih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi. Maliki,

Syafi‟ie. Hambali”. Penerjemah Masykur A.B, dkk, (Jakarta: Lentera, 2005), Cet IV

Munawwir, Ahmad Warson. “al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,” (t.t.,:t.p., t.th.,)

M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet. Pertama, (Jakarta: PT. Prenada Persada, 2000)

Nuruddin, Amiur. Azhari Akmal Tarigan. “Hukum Perdata Islam di Indonesia-Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih UU no. 1/1974 sampai KHI” (Jakarta: Prenada media, 2004) Cet-1

Prins, J. “Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia” (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982) Cet. Pertama

Prodjohamidjojo, Martiman. “Hukum Perkawinan Indonesia” (Jakarta: Indonesia Legal Central Publishing, 2002)

Rasyidi, Lili. “Hukum perkawinan dan perceraian di Malaysia dan Indonesia” (Bandung: Alumni, 1982)


(6)

Saleh, K. Wantjik. “Himpunan Peraturan dan Undang-undang Perkawinan”,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1974) Cet II

Sjaltout Sjaich Mahmoud, as-Sajis Sjaich M. Ali. “Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih” (Djakarta; Bulan Bintang, 1973) Cet I,

Sayyid, Sabiq. “Fiqih Sunnah”,(Beirut: Darul Fikr, 1983), Cet IV, Jilid II

Subekti, R. dan Tjitrosudibio, R. “Kitab Undang-undang Hukum Perdata: dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), Cet 31

Syarifuddin, Amir. “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan” (Jakarta: Prenada Media, 2006)

Thalib, Sayyuti. “Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam”,(Jakarta: UI Press, 1998) Cet V

Tihami, Sohari. “Fikih Munakat Kajian Fikih Nikah Lengkap” (Jakarta: Rajawali Press, 2009)

Tim Pustaka Phonix. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, (Jakarta: PT. Media Pustaka, 2009), cet IV

Tim Redaksi Fokusmedia. “Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kompilasi Hukum Islam”, (Bandung: Fokus Media, 2007)

Yunus, Mahmud.“Kamus Arab Indonesia” (Jakarta : Yayasan Penyelenggara

Pentarjamah/Penafsir Al-Qur‟an, 1973 ) 1998) Cet V

Zurinal, Z dan Aminuddin. “Fiqih Ibadah,” (Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), Cet I