Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
minoritas. Menurut Yekti Maunati, tujuannya adalah untuk mewujudkan konsep nasionalisme dan komposisi ideal bangsa Kamboja.
4
Walaupun pada masa kemudian julukan ini dipertanyakan oleh beberapa ahli karena tujuan dari politik
asimilasi tersebut yang dianggap sebagai langkah mengeliminasi atau menyembunyikan etnis minoritas. Jadi dalam penyebutan etnis minoritas di
Kamboja terdapat tiga pembagian sebutan, yakni Khmer Loeu untuk menyebutkan orang Kamboja yang tinggal di dataran tinggi timur laut, Khmer Krom untuk
orang yang tinggal di delta Mekong, dan Khmer Islam untuk orang Cham dan Melayu. Maka dari itu hingga kini Muslim Kamboja yang notabenenya berasal
dari etnis Cham dan Melayu lebih dikenal dengan sebutan Khmer Islam atau Khmer Muslim. Namun sangat disayangkan, keberadaan Muslim Melayu jarang
disebut dalam berbagai literatur. Keberadaan mereka nampaknya disamakan dengan etnis Cham yang memang jumlahnya lebih mendominasi.
Sejak masa kemerdekaan kondisi politik Kamboja memang selalu mengalami guncangan. Kancah politik Kamboja selalu diwarnai dengan perebutan
pengaruh kaum komunis dan kaum liberalis yang dipelopori oleh Lon Nol. Sihanouk belakangan memiliki kecenderungan dengan kaum komunis. Ia
memberikan izin pendirian basis militer Partai Komunis Indocina Indocina Communist Party
– ICP di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan silang pendapat di kalangan elit pemerintahan. Lon Nol yang kala itu menjabat sebagai
perdana menteri tidak menyetujui hal tersebut, karena sangat beresiko bagi keselamatan masyarakat sipil. Mengingat Amerika Serikat sedang gencar
membombardir semua wilayah yang menjadi basis kaum komunis di Indocina
4
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari ed, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia,
Jakarta : LIPI Press, 2013, hlm. 164.
Kamboja, Laos, dan Vietnam. Ditambah lagi dengan sikap para militer ICP yang di dalamnya juga terdapat kader Khmer Merah berlaku semena-mena di dalam
wilayah Kamboja yang juga menuai perotes dari kalangan masyarakat sipil. Selain itu penolakan Lon Nol juga bermotifkan penyelamatan Kamboja dari pengaruh
komunis yang dipelopori oleh ICP dan Khmer Merah, melihat ICP yang kala itu sedang gencar menyebarluaskan pengaruhnya di Indocina. Lon Nol tidak
menginginkan bila ICP menanamkan pengaruhnya di Kamboja. Maka dari itu Lon Nol berusaha menolak kebijakan Sihanouk yang memberikan izin mendirikan
basis militer ICP di Kamboja. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya juga mendapatkan dorongan dari Amerika Serikat.
Berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pemerintahan membuat Sihanouk dan Lon Nol terpecah. Akhirnya pada tahun 1970 ketika sedang pergi
ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer yang diplopori oleh Lon Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja dengan mengkudeta raja Sihanouk
melalui sidang Dewan Perhimpunan.
5
Pada masa Lon-Nol sistem kenegaraan yang tadinya menganut sistem monarki, akhirnya digantikan dengan sistem republik.
6
Hubungan antara umat Islam dengan pemerintah terjalin dengan baik pada masa ini. Memang sebenarnya
sejak masa Sihanouk umat Islam tidak pernah mengalami konflik dengan pemerintah. Lon Nol memberikan kebebasan bagi orang-orang Islam untuk
berpartisipasi di kancah perpolitikan. Di bawah Les Kosem, salah seorang jendral Muslim, dua organisasi Islam berhasil didirikan, yakni, The Central Islamic
5
M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm. 584.
6
Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari ed, The Cham Diaspora in Southeast Asia, hlm. 165.
Association of The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic Youth - AKIY.
7
Pada masa Lon Nol umat Islam sangat dekat dengan pemerintah, sehingga banyak orang Islam yang diberikan posisi penting dalam pemerintahan.
Namun tak lama memerintah, Lon-Nol dianggap korup oleh berbagai kalangan, sehingga memunculkan citra negatif di kalangan masyarakat Kamboja.
Di samping itu Lon Nol juga sangat ketergantungan terhadap Amerika Serikat baik dalam masalah politik maupun ekonomi, sehingga Lon Nol dituding telah
gagal membawa
Kamboja menjadi
negara yang
mandiri karena
ketergantungannya tersebut. Sementara itu Sihanouk dengan didukung oleh pemerintahan komunis Beijing menjalin kerjasama dengan Communist Party of
Kampuchea CPK yang dipimpin oleh Saloth Sar atau Pol-Pot untuk mengkudeta rezim Lon-Nol. Meskipun menurut dunia Internasional CPK di bawah Pol Pot
dianggap sebagai pemberontak, namun mereka mendapat dukungan yang cukup banyak dari masyarakat Kamboja. Ditambah lagi hampir 60 persen wilayah
Kamboja pada tahun 1975 telah dikuasai oleh CPK. Hal ini membuat pemerintahan Lon Nol semakin terdesak dan mulai merumuskan penyerahan
tanpa syarat. Akhirnya pada 17 April 1975, Phnom Penh, ibukota Kamboja berhasil
dikuasai oleh pasukan revolusioner.
8
Sejak saat itulah Kamboja dikuasai oleh rezim yang menyebut dirinya Khmer Merah atau Khmer Rouge. Julukan Khmer
7
Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974, hlm. 49-51.
8
Mengenai naiknya rezim Komunis Khmer Merah pada tampuk kekuasaan Kamboja lihat
:“Phnom Penh Fallas Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Antara, 17 April 1975. Istilah Revolusioner merujuk pada Communist Party of Kampuchea. Hal ini dikarenakan
tujuannya yang ingin melakukan perubahan secara fundamental terhadap Kamboja dalam segala aspek. Secara definisi gerakan revolusioner merupakan gerakan yang bermaksud mengubah
masyarakat dengan menentang nilai-nilai yang fundamental. Lihat: Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Poitik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2013, hlm. 71.
Merah diberikan oleh Sihanouk ketika orang-orang komunis memberontak pada tahun 1960. Khmer Merah merupakan kelompok ideologi komunis garis keras.
Kelompok ini diisi oleh penganut paham komunis yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan pernah tergabung dalam Partai Komunis Prancis Communist Party of
France – CPF di Prancis. Pol-Pot dijuluki sebagai Brother One atau kakak
pertama dalam organisasi ini. Selanjutnya diikuti oleh rekan-rekannya seperti Ieng Sary, Hou Youn, Khieu Samphan, dan Noun Chea. Mereka adalah
mahasiswa Kamboja yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan membentuk organisasi yang mencetuskan ide-ide komunis radikal. Mereka pulalah yang
menjadi pelopor kudeta terhadap pemerintah Lon-Nol pada tahun 1975. Keberadaan para penganut ideologi komunis sebenarnya telah ada sejak
masa protektorat Prancis. Namun pergerakan mereka baru sebatas penyebaran pamflet dan perekrutan anggota dalam tingkat distrik. Keberadaan mereka
berkembang seiring tumbuhnya rasa nasionalisme masyarakat Kamboja. Gerakan perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan didirikannya
Barisan Pembebasan Khmer Nekhum Isarak Khmer pada April tahun 1950 di provinsi Kompot.
9
Organisasi ini diketuai oleh Song Ngoch Minh, salah seorang pendeta Budha yang keluar dari wiharanya. Sebenarnya didirikannya Barisan
Pembebasan Khmer merupakan inspirasi dari Partai Komunis Indocina Indocina Communist Party
– ICP di bawah Vietnam. Tujuan didirikannya Nekhum Issarak Khmer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama
9
Ibid., hlm. 5.
berkeinginan menentang hegemoni kolonial Prancis di Indocina Kamboja, Laos, dan Vietnam.
10
Pada tahun 1951 Nekhum Issarak Khmer mempelopori berdirinya sebuah partai komunis pertama di Kamboja yakni, Partai Revolusioner Rakyat Khmer
Khmer People’s Revolutionary Party – KPRP. Song Ngoch Minh masih memainkan peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.
11
Pada tahun 1951- 1959 banyak kader KPRP yang mati terbunuh oleh rezim Sihanouk. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya kekosongan di beberapa cabang KPRP. Saat itulah Pol Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun Nim, dan Ieng
Sary mengisi kekosongan tersebut dan memainkan peran sentral di dalam tubuh KPRP.
Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama menjadi Partai Pekerja Kamboja Worker Party of Kampuchea
– WPK. Tou Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai
Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Tak lama berselang dari kongres tersebut, Tao Samouth tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Kala itu
Sihanouk memang sedang gencar melakukan perburuan pada kader komunis yang memberontak. Selepas kematian Tou Samouth, kemudian posisinya digantikan
oleh Pol Pot yang ditetapkan melalui kongres partai yang dilaksanakan pada 21 Februari 1963 di Pnom Penh. Kemudian pada tahun 1966 WPK berganti nama
menjadi Partai Komunis Kamboja Communist Party of Kampuchea – CPK.
12
10
Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, Boston MA: South End Press, 1984, hlm. 197.
11
Ibid.,
12
Ibid., hlm. 9.
CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist-Leninis.
13
CPK ini yang kemudian lebih dikenal dengan Khmer Merah atau rezim Demokratic
Kampuchea. Tahun naiknya Khmer Merah disebut sebagai tahun nol atau zero year.
Dikatakan sebagai zero year karena Pol-Pot ingin menjadikan masa pemerintahannya sebagai titik awal perubahan. Sehingga segala sesuatunya
dianggap bermulai dari nol. Di bawah kepemimpinan Saloth Sar atau yang lebih dikenal dengan Pol-Pot, Khmer Merah berusaha menjadikan Kamboja sebagai
negara berfaham komunis yang fokus pada modernisasi bidang pertanian.
14
Seluruh warga dikonsentrasikan di pedesaan untuk bekerja di sawah, ladang, dan peternakan. Seluruh warga dihimbau untuk menggunakan pakaian hitam sebagai
simbol kesetaraan sosial. Awalnya rezim ini disambut baik oleh masyarakat, karena program-
programnya yang dianggap pro rakyat. Namun sambutan baik itu dengan cepat berubah menjadi petaka dan sejarah kelam bagi masyarakat Kamboja terutama
kaum minoritas di dalamnya. Harapan indah masyarakat Kamboja kini berubah menjadi neraka Kamboja. Pemerintah Khmer Merah menerapkan kebijakan
menaikkan target penghasilan pertanian 3 ton beras dalam 1 hektar yang dirasa sangat memberatkan.
15
Hal tersebut sulit terealisasikan mengingat alat pertanian yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam hal ini rakyat menjadi pihak yang
sangat menderita, karena pemerintah Khmer Merah lebih mengutamakan ekspor dan memasok kebutuhan militer. Sedangkan rakyat harus rela kelaparan karena
13
Ibid., hlm. 199.
14
Ibid., hlm. 66.
15
David P. Chandler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document from Demokratic Kampuchea 1976-1977
, New Haven: Yale University of Southeast Asian Studies, 1988, hlm 37.
kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Akhirnya banyak rakyat Kamboja yang harus mati karena kelaparan dan menderita penyakit.
Di samping itu, untuk memuluskan cita-citanya pemerintah Khmer Merah kerap kali menggunakan kekerasan dan paksaan. Hanya terdapat dua pilihan pada
masa Pol Pot, yakni mengikuti Pol-Pot atau menjadi musuh Pol Pot.
16
Berbagai kekejaman dan diskriminasi tak jarang dialamatkan kepada kaum minoritas
termasuk umat Islam di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa masa Khmer Merah berkuasa di Kamboja pada
tahun 1975-1979 merupakan sejarah kelam bagi umat Islam di Kamboja. Pada masa pemerintah Khmer Merah umat Islam mengalami intimidasi, pembantaian,
dan diskriminasi. Para tokoh agama Islam banyak yang menjadi target pembunuhan dan pembantaian, di antaranya adalah para pemimpin tertinggi
Muslim Kamboja seperti, Mufti Hadji Abdullah bin Idres Res Las, Hadji Suleimane Sukri, dan Hadji Sulaimane Fekri.
17
Masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam dihancurkan dan dibakar. Pada tahun 1976 tak kurang dari 20-30 orang dibantai di kamp konsentrasi.
18
Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan agamanya, dan meninggalkan teradisi keislamannya. Bahkan tak sampai di situ, umat Islam Kamboja juga dipaksa untuk
memakan daging babi dan meminum arak, serta menikah dengan berlainan agama. Banyak dari umat Islam yang disiksa di kamp-kamp konsentrasi di Tuol
16
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 227.
17
Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985,
hlm. 194.
18
Ysa Osman, OUKOUBAH Justice for The Cham Muslims Under the Democratic Kampuchea Regime
, Phnom Penh:Documentation Center of Cambodia, 2002, hlm. 96-106.
Sleng Penjara S21.
19
Sebelum Khmer Merah berkuasa diperkirakan jumlah Muslim di Kamboja mencapai 700.000 jiwa.
20
Namun pada masa Pol-pot sekitar 70 persen dari total penduduk Muslim Kamboja mati terbunuh, dalam kamp
konsentrasi maupun saat bekerja.
21
Seluruh Masjid yang kurang lebih berjumlah 113 di hancurkan dan dialihfungsikan.
22
Berdasarkan fakta yang didapat, analisa penulis terkait motif diskriminasi yang dilakukan pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja disebabkan
karena tiga hal. Pertama, Khmer Merah melakukan perburuan terhadap elit Muslim dikarenakan kedekatan mereka dengan rezim Lon Nol. Khmer Merah
khawatir apabila dibiarkan mereka akan menjadi oposisi yang mengancam pemerintahan Khmer Merah. Kedua, kebijakan dalam Five Point Plans 1975 yang
menyudutkan dan mengebiri umat Islam untuk melakukan praktik keagamaannya. Kebijakan tersebut di antaranya, pelarangan penggunaan hijab, perintah untuk
memusnahkan al- Qur’an, paksaan memakan daging babi, larangan shalat,
penutupan masjid, dan pemaksaan untuk menikah dengan berlainan agama.
23
19
Ibid., hlm. 108.
20
International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, United Kingdom: Manchester Free Press, 1995, hlm. 10.
Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and
Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985, hlm.194.
Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar
di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, London: Frances Pinter Publisher, 1986, hlm.1.
21
Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985,
hlm.194.
22
Ibid.,
23
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006, hlm. 55.
Hal ini berbuah respons berupa pemberontakan di beberapa distrik di Kampong Cham. Berawal dari bentrok antara Khmer Merah dan umat Islam
tersebut membuat umat Islam masuk ke dalam daftar musuh dalam negeri internal enemy Khmer Merah. Hal tersebut berlanjut sampai ditetapkannya
Demokratic Kampuchea Constitution pada tahun 1976 yang melarang keberadaan agama reaksioner. Agama reaksioner dalam hal ini adalah agama-agama yang
memiliki kecenderungan untuk memberontak, termasuk umat Islam di dalamnya. Karena pada masa sebelumnya umat Islam sempat melakukan pemberontakan-
pemberontakan terhadap rezim Khmer Merah. Maka dari itu agama Islam dimasukkan ke dalam agama reaksioner. Faktor yang ketiga adalah karena
perbedaan etnis. Dalam hal kebudayaan, Khmer Merah ingin melakukan Khmerisasi dengan mencoba mengeliminasi etnis minor seperti etnis Cham dan
Melayu yang notebenenya beragama Islam. Maka dari itu perlu kiranya ditelisik lebih dalam mengenai apa motif yang
melatarbelakangi penindasan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam, dan bagaimana kebijakan Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja. Penelitian ini
juga sekaligus ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont dalam buku Kerajaan Champa
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,
24
P.B Lafont menjelaskan perjalanan sejarah etnis Cham dari abad XVI sampai abad XX
dengan menjadikan Vietnam dan Kamboja sebagai fokus kajiannya. Lafont sedikit menyinggung mengenai kekerasan, penindasan, dan intimidasi yang dilakukan
oleh rezim Khmer Merah terhadap Cham Muslim di Kamboja. Namun ia belum
24
P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX, dalam Kerajaan Champa, Jakarta: Balai Pustaka, 1981, hlm. 71-80.
menjawab pertanyaan yang dia ajukannya sendiri. Maka dari itu bersamaan dengan pertanyaan yang belum dijawab oleh Lafont tersebut, dalam skripsi ini
penulis ingin menjawab pertanyaan yang diajukan Lafont dalam artikelnya.