Muslim Kamboja di bawah rezim Komunis Khmer Merah

(1)

MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KOMUNIS KHMER

MERAH 1975-1979

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Disusun oleh :

Dirga Fawakih (1111022000028)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 M/ 1436 H


(2)

i

LEMBAR PENYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 06 Juli 2015


(3)

(4)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM

KOMUNIS KHMER MERAH 1975-1979 telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Jakarta, 06 Juli 2015 Panitia Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Nurhasan, MA Sholikatus Sa’dyah, M.Pd

NIP: 196907241997031001 NIP: 197504172005012007

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Sudarnoto Abd. Hakim, MA Dra. Hj. Tati Hartimah, MA

NIP: 195902031989031003 NIP: 1955073119890322001

Pembimbing

Nurhasan, MA NIP: 196907241997031001


(5)

i ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan menganalisa mengenai apa motif diskriminasi dan bagaimana kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja, di mana etnis Cham-Melayu yang notabennya beragama Islam termasuk di dalamnya. Selain itu skripsi ini juga ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont yang dalam artikelnya belum menjawab mengenai apa motif diskriminasi yang dilakukan Khmer Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Penelitian ini bersifat analytical history, maka dari itu penulis menggunakan metode penelitian yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik, verifikasi, interpretasi,dan historiografi. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan temuan-temuan baru terkait motif yang melatarbelakangi diskriminasi Khmer Merah terhadap umat Islam di Kamboja. Selain itu penulis juga menemukan fakta-fakta terkait kebijakan rezim Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang belum sempat menjawab permasalahan yang menjadi fokus kajian skripsi ini.

Skripsi ini juga ingin menguji teori gerakan sosial Rafael Raga Maran, yang mengatakan bahwa, “masalah sosial dan masalah ekonomi adalah yang menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintahan”. Berangkat dari kerangka teori tersebut, penulis berusaha merumuskan permasalahan skripsi ini dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial. Dari hasil analisa menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja yang cenderung menyudutkan berimplikasi pada pemberontakan-pemberontakan umat Islam di beberapa wilayah yang menjadi konsentrasi umat Islam. Namun pemberontakan tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan rentetan kisah pilu umat Islam berupa penindasan, pembantaian, dan pembakaran rumah ibadah terus berlangsung di bawah rezim Khmer Merah.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memuja. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Muslim Kamboja di Bawah Rezim Komunis Khmer Merah 1975

-1979”. Meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajian pada Islam di Kamboja.

Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk membantu. Maka dengan niatan suci yang terpatri kuat dalam sanubari, penulis sampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam serta

dosen pembimbing yang dengan sangat teliti dan sabar memberikan arahan dan masukan positif bagi penulis.


(7)

iii

4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis butuhkan.

5. Dr. Saidun Derani, M.A. selaku dosen penasihat akademik yang terus memberikan arahan, masukan, dan meyakinkan penulis dalam menggeluti pengkajian Islam di Kamboja.

6. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A. selaku dosen penasihat akademik. Terima kasih atas pengorbanan tanpa pamrih dan nilai kejujuran yang telah ditanamkan.

7. H. Budi Santoso dan Rumiyati selaku orang tua penulis. Terima kasih atas motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.

8. Kakak dan adik-adiku tercinta, Prawira Yudha Santoso, Ditto Santoso, Pringga Tritanoko, Ukhtia Khuluqi Adzima, dan Siti Rohadatul Aisy. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati. 9. Kawan-kawan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2011. Terima

kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses.

10.Yanti Susilawati, Siti Rahmawati, dan Amanah penulis hanturkan terima kasih yang mendalam telah menjadi teman berjuang dalam perburuan sumber. 11.Ikatan Remaja Lingkungan RW 05 (IKRA 05) penulis hanturkan terima kasih

atas waktu dan keluangan yang diberikan kepada penulis untuk memfokuskan diri dalam menyusun skripsi.

12.Dita Aulia Afifah, sahabat yang tidak henti memberikan motivasi demi tercapainya cita-cita nan hakiki.


(8)

iv

13.Dan yang tersepesial untuk almarhum Abdul Ajid bin Manat, sahabat sejati yang selalu menginspirasi. Terima kasih atas optimisme yang engkau patrikan dalam hati. Cita dan harapanmu akan selalu hidup dalam sanubari. Semoga engkau ditempatkan di sisi sang Ilahi. Untukmulah skripsi ini aku persembahkan.

Jakarta, 06 Juli 2015 Dirga Fawakih


(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR ISTILAH... vii

DAFTAR SINGKATAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 11

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 11

D. Tujuan Penelitian... 12

E. Manfaat Penelitian... 12

F. Tinjauan Pustaka... 13

G. Kerangka Teori... 17

H. Metode Penelitian... 20

I. Sistematika Penulisan... 23

BAB II MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH BERKUASA A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja... 25

B. Mengenal Muslim Kamboja... 27


(10)

vi

BAB III MUSLIM KAMBOJA DI BAWAH REZIM KHMER MERAH 1975-1979

A. Sejarah dan Kiprah Khmer Merah dalam Kancah Perpolitikan

Kamboja... 46

B. Kebijakan Politik Rezim Khmer Merah terhadap Agama dan Etnis Minoritas... 56

C. Motif Penindasan Khmer Merah terhadap Umat Islam Kamboja ... 63

D. Respons Muslim Kamboja terhadap Kebijakan Politik Khmer Merah... 73

BAB IV MUSLIM KAMBOJA PASCA KEJATUHAN REZIM KHMER MERAH A. Faktor Kejatuhan Rezim Khmer Merah... 79

B. Muslim Kamboja di Bawah Rezim People Republic of Kampuchea... 85

C. Kebangkitan Islam di Kamboja... 90

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 97

B. Saran... 100

DAFTAR PUSTAKA... 102


(11)

vii

DAFTAR ISTILAH

Angkar Pasukan revolusioner Khmer Merah

Bilal Pengumandang Adzan

Cham Etnis yang berasal dari pesisir

Vietnam

Cham-Chvea Asimilasi etnis Cham dan Melayu

Cham Jahed/ Cham Bani Cham Muslim berfaham Animisme

Indocina Wilayah yang meliputi Kamboja,

Laos, Vietnam

Imom Imam/ pengurus masjid

Jva Iyava Orang Melayu dari Jawa

Jva Krapi Orang Melayu dari Sumatera

Jva Melayu Orang Melayu dari Malaysia,

Singapura, dan Thailand Selatan

Katan Khitan, Sunat

Keitap Kitab pelajaran agama Islam (Fiqih)

Khatib Pembaca doa di masjid

Khmer Islam Sebutan orang Muslim Kamboja

Khmer Issarak Organisasi komunis pertama di

Kamboja

Khmer Merah Organisasi komunis radikal

Mophati Mufti, pemimpin tertinggi umat Islam

Kamboja.


(12)

viii

Ramvon Bulan Ramadhan, bulan puasa

Sihanoukisme Paham sosialisme Budha yang

digaungkan oleh Norodom Sihanouk


(13)

i

DAFTAR SINGKATAN

AKIY Association of Khmer Islamic Youth

ASEAN Association of Southeast Asian Nations

CIS Central Islamic Association

CPF Communist Party of France

CPK Communist Party of Kampuchea

CMDF Cambodian Muslim Development

Foundation

DK Demokratic Kampuchea

FULRO Front Univie de Lutte des Race Oprimess

FUNK Front Uni National du Kampuchea

GRUNK Gouvernment of National Union of

Kampuchea

ICP Indocina Communist Party

KNUFNS Kampuchean National United Front for

National Salvation

KPRP Khmer People Revolutioner Party

NGO Non Goverment Organization

NLAF National Liberation Armed Forces


(14)

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah Kamboja merdeka dari protektorat Prancis pada tahun 19531 umat Islam Kamboja yang didominasi oleh etnis Cham dan Melayu telah menjadi bagian dari warganegara Kamboja. Meski mereka sadar bahwa identitas agama dan etnis mereka berbeda dengan etnis yang mendominasi Kamboja yakni etnis Khmer yang notabenenya beragama Budha. Namun status mereka tetap disamakan dengan masyarakat pribumi Kamboja.2 Perlahan mereka dapat berbaur dengan masyarakat Khmer yang dominan, meskipun identitas agama dan budaya mereka tetap dipertahankan dengan baik. Sejauh ini hubungan antara agama Islam dan Budha digambarkan dalam kondisi yang harmonis. Sejauh penulis membaca berbagai literatur terkait Islam di Kamboja, belum pernah disinggung mengenai masalah konflik yang terjadi, baik horizontal maupun vertikal.

Pada masa awal kemerdekaan, ketika kancah perpolitikan Kamboja dipimpin oleh raja Norodom Sihanouk (1953-1970), hubungan umat Islam dengan pemerintah berjalan dengan baik. Bahkan tak jarang raja Norodom Sihanouk menggelar dialog dengan orang-orang Islam di kerajaan.3 Pada masa Sihanouk diterapkan politik asimilasi dan diperkenalkan istilah Khmer untuk etnis

1

Kamboja telah menjadi protektorat Prancis sejak tahun 1864. Semenjak kehadiran Prancis sebenarnya suasana politik Kamboja lebih stabil dibanding masa sebelumnya. Tahun 1941 Prancis mengangkat pangeran Norodom Sihanouk menjadi raja Kamboja. Sihanouk inilah yang kelak membawa Kamboja ke pintu kemerdekaan pada tahun 1953. Lihat: Ensiklopedi Nasonal Indonesia Jilid 8, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), hlm. 94.

2

P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 75.

3

Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 242-243.


(16)

minoritas. Menurut Yekti Maunati, tujuannya adalah untuk mewujudkan konsep nasionalisme dan komposisi ideal bangsa Kamboja.4 Walaupun pada masa kemudian julukan ini dipertanyakan oleh beberapa ahli karena tujuan dari politik asimilasi tersebut yang dianggap sebagai langkah mengeliminasi atau menyembunyikan etnis minoritas. Jadi dalam penyebutan etnis minoritas di Kamboja terdapat tiga pembagian sebutan, yakni Khmer Loeu untuk menyebutkan orang Kamboja yang tinggal di dataran tinggi timur laut, Khmer Krom untuk orang yang tinggal di delta Mekong, dan Khmer Islam untuk orang Cham dan Melayu. Maka dari itu hingga kini Muslim Kamboja yang notabenenya berasal dari etnis Cham dan Melayu lebih dikenal dengan sebutan Khmer Islam atau Khmer Muslim. Namun sangat disayangkan, keberadaan Muslim Melayu jarang disebut dalam berbagai literatur. Keberadaan mereka nampaknya disamakan dengan etnis Cham yang memang jumlahnya lebih mendominasi.

Sejak masa kemerdekaan kondisi politik Kamboja memang selalu mengalami guncangan. Kancah politik Kamboja selalu diwarnai dengan perebutan pengaruh kaum komunis dan kaum liberalis yang dipelopori oleh Lon Nol. Sihanouk belakangan memiliki kecenderungan dengan kaum komunis. Ia memberikan izin pendirian basis militer Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) di Kamboja. Hal ini sontak menimbulkan silang pendapat di kalangan elit pemerintahan. Lon Nol yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri tidak menyetujui hal tersebut, karena sangat beresiko bagi keselamatan masyarakat sipil. Mengingat Amerika Serikat sedang gencar membombardir semua wilayah yang menjadi basis kaum komunis di Indocina

4

Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, (Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 164.


(17)

(Kamboja, Laos, dan Vietnam). Ditambah lagi dengan sikap para militer ICP yang di dalamnya juga terdapat kader Khmer Merah berlaku semena-mena di dalam wilayah Kamboja yang juga menuai perotes dari kalangan masyarakat sipil. Selain itu penolakan Lon Nol juga bermotifkan penyelamatan Kamboja dari pengaruh komunis yang dipelopori oleh ICP dan Khmer Merah, melihat ICP yang kala itu sedang gencar menyebarluaskan pengaruhnya di Indocina. Lon Nol tidak menginginkan bila ICP menanamkan pengaruhnya di Kamboja. Maka dari itu Lon Nol berusaha menolak kebijakan Sihanouk yang memberikan izin mendirikan basis militer ICP di Kamboja. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa usahanya juga mendapatkan dorongan dari Amerika Serikat.

Berbagai permasalahan yang terjadi di dalam pemerintahan membuat Sihanouk dan Lon Nol terpecah. Akhirnya pada tahun 1970 ketika sedang pergi ke Prancis untuk berobat, dengan leluasa akhirnya militer yang diplopori oleh Lon Nol mengambil alih kepemimpinan Kamboja dengan mengkudeta raja Sihanouk melalui sidang Dewan Perhimpunan.5

Pada masa Lon-Nol sistem kenegaraan yang tadinya menganut sistem monarki, akhirnya digantikan dengan sistem republik.6 Hubungan antara umat Islam dengan pemerintah terjalin dengan baik pada masa ini. Memang sebenarnya sejak masa Sihanouk umat Islam tidak pernah mengalami konflik dengan pemerintah. Lon Nol memberikan kebebasan bagi orang-orang Islam untuk berpartisipasi di kancah perpolitikan. Di bawah Les Kosem, salah seorang jendral Muslim, dua organisasi Islam berhasil didirikan, yakni, The Central Islamic

5

M.C Ricklef, Sejarah Asia Tenggara dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 584.

6

Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia, hlm. 165.


(18)

Association of The Khmer Republic - CIS, dan The Association of Khmer Islamic Youth - AKIY.7 Pada masa Lon Nol umat Islam sangat dekat dengan pemerintah, sehingga banyak orang Islam yang diberikan posisi penting dalam pemerintahan.

Namun tak lama memerintah, Lon-Nol dianggap korup oleh berbagai kalangan, sehingga memunculkan citra negatif di kalangan masyarakat Kamboja. Di samping itu Lon Nol juga sangat ketergantungan terhadap Amerika Serikat baik dalam masalah politik maupun ekonomi, sehingga Lon Nol dituding telah gagal membawa Kamboja menjadi negara yang mandiri karena ketergantungannya tersebut. Sementara itu Sihanouk dengan didukung oleh pemerintahan komunis Beijing menjalin kerjasama dengan Communist Party of Kampuchea (CPK) yang dipimpin oleh Saloth Sar atau Pol-Pot untuk mengkudeta rezim Lon-Nol. Meskipun menurut dunia Internasional CPK di bawah Pol Pot dianggap sebagai pemberontak, namun mereka mendapat dukungan yang cukup banyak dari masyarakat Kamboja. Ditambah lagi hampir 60 persen wilayah Kamboja pada tahun 1975 telah dikuasai oleh CPK. Hal ini membuat pemerintahan Lon Nol semakin terdesak dan mulai merumuskan penyerahan tanpa syarat.

Akhirnya pada 17 April 1975, Phnom Penh, ibukota Kamboja berhasil dikuasai oleh pasukan revolusioner.8 Sejak saat itulah Kamboja dikuasai oleh rezim yang menyebut dirinya Khmer Merah atau Khmer Rouge. Julukan Khmer

7

Khmer Republic, The Martydrom of Khmer Muslim, (Phnom Penh: Decho Damdin Printing Press, 1974), hlm. 49-51.

8

Mengenai naiknya rezim Komunis Khmer Merah pada tampuk kekuasaan Kamboja lihat:“Phnom Penh Fallas Into Khmer Rouge Hands.” Warta Berita Antara, 17 April 1975.

Istilah Revolusioner merujuk pada Communist Party of Kampuchea. Hal ini dikarenakan tujuannya yang ingin melakukan perubahan secara fundamental terhadap Kamboja dalam segala aspek. Secara definisi gerakan revolusioner merupakan gerakan yang bermaksud mengubah masyarakat dengan menentang nilai-nilai yang fundamental. Lihat: Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Poitik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 71.


(19)

Merah diberikan oleh Sihanouk ketika orang-orang komunis memberontak pada tahun 1960. Khmer Merah merupakan kelompok ideologi komunis garis keras. Kelompok ini diisi oleh penganut paham komunis yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan pernah tergabung dalam Partai Komunis Prancis (Communist Party of France – CPF) di Prancis. Pol-Pot dijuluki sebagai Brother One atau kakak pertama dalam organisasi ini. Selanjutnya diikuti oleh rekan-rekannya seperti Ieng Sary, Hou Youn, Khieu Samphan, dan Noun Chea. Mereka adalah mahasiswa Kamboja yang pernah menuntut ilmu di Prancis dan membentuk organisasi yang mencetuskan ide-ide komunis radikal. Mereka pulalah yang menjadi pelopor kudeta terhadap pemerintah Lon-Nol pada tahun 1975.

Keberadaan para penganut ideologi komunis sebenarnya telah ada sejak masa protektorat Prancis. Namun pergerakan mereka baru sebatas penyebaran pamflet dan perekrutan anggota dalam tingkat distrik. Keberadaan mereka berkembang seiring tumbuhnya rasa nasionalisme masyarakat Kamboja. Gerakan perlawanan para penganut ideologi komunis dikokohkan dengan didirikannya Barisan Pembebasan Khmer (Nekhum Isarak Khmer) pada April tahun 1950 di provinsi Kompot.9 Organisasi ini diketuai oleh Song Ngoch Minh, salah seorang pendeta Budha yang keluar dari wiharanya. Sebenarnya didirikannya Barisan Pembebasan Khmer merupakan inspirasi dari Partai Komunis Indocina (Indocina Communist Party – ICP) di bawah Vietnam. Tujuan didirikannya Nekhum Issarak Khmer sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ICP, mereka sama-sama

9


(20)

berkeinginan menentang hegemoni kolonial Prancis di Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam).10

Pada tahun 1951 Nekhum Issarak Khmer mempelopori berdirinya sebuah partai komunis pertama di Kamboja yakni, Partai Revolusioner Rakyat Khmer (Khmer People’s Revolutionary Party – KPRP). Song Ngoch Minh masih memainkan peran yang sangat sentral dalam organisasi ini.11 Pada tahun 1951-1959 banyak kader KPRP yang mati terbunuh oleh rezim Sihanouk. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan di beberapa cabang KPRP. Saat itulah Pol Pot bersama kawan-kawannya, Khieu Samphan, Hou Youn, Hun Nim, dan Ieng Sary mengisi kekosongan tersebut dan memainkan peran sentral di dalam tubuh KPRP.

Pada kongres tertutup tahun 1960 di Phnom Penh, KPRP berganti nama menjadi Partai Pekerja Kamboja (Worker Party of Kampuchea – WPK). Tou Samout menjadi Sekretaris Jenderal Komite Pusat, Noun Chea menjabat sebagai Wakil Sekretaris, dan Pol Pot menjadi Wakil Sekretaris Dua. Tak lama berselang dari kongres tersebut, Tao Samouth tewas terbunuh oleh polisi Sihanouk. Kala itu Sihanouk memang sedang gencar melakukan perburuan pada kader komunis yang memberontak. Selepas kematian Tou Samouth, kemudian posisinya digantikan oleh Pol Pot yang ditetapkan melalui kongres partai yang dilaksanakan pada 21 Februari 1963 di Pnom Penh. Kemudian pada tahun 1966 WPK berganti nama menjadi Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea – CPK).12

10

Michael Vickery, Cambodia 1975-1982, (Boston MA: South End Press, 1984), hlm. 197.

11

Ibid.,

12


(21)

CPK didirikan dengan dasar ideologi Communist-Leninis.13 CPK ini yang kemudian lebih dikenal dengan Khmer Merah atau rezim Demokratic Kampuchea.

Tahun naiknya Khmer Merah disebut sebagai tahun nol atau zero year. Dikatakan sebagai zero year karena Pol-Pot ingin menjadikan masa pemerintahannya sebagai titik awal perubahan. Sehingga segala sesuatunya dianggap bermulai dari nol. Di bawah kepemimpinan Saloth Sar atau yang lebih dikenal dengan Pol-Pot, Khmer Merah berusaha menjadikan Kamboja sebagai negara berfaham komunis yang fokus pada modernisasi bidang pertanian.14 Seluruh warga dikonsentrasikan di pedesaan untuk bekerja di sawah, ladang, dan peternakan. Seluruh warga dihimbau untuk menggunakan pakaian hitam sebagai simbol kesetaraan sosial.

Awalnya rezim ini disambut baik oleh masyarakat, karena program-programnya yang dianggap pro rakyat. Namun sambutan baik itu dengan cepat berubah menjadi petaka dan sejarah kelam bagi masyarakat Kamboja terutama kaum minoritas di dalamnya. Harapan indah masyarakat Kamboja kini berubah menjadi neraka Kamboja. Pemerintah Khmer Merah menerapkan kebijakan menaikkan target penghasilan pertanian 3 ton beras dalam 1 hektar yang dirasa sangat memberatkan.15 Hal tersebut sulit terealisasikan mengingat alat pertanian yang digunakan masih sangat sederhana. Dalam hal ini rakyat menjadi pihak yang sangat menderita, karena pemerintah Khmer Merah lebih mengutamakan ekspor dan memasok kebutuhan militer. Sedangkan rakyat harus rela kelaparan karena

13

Ibid., hlm. 199.

14

Ibid., hlm. 66.

15

David P. Chandler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Document from Demokratic Kampuchea 1976-1977, (New Haven: Yale University of Southeast Asian Studies, 1988), hlm 37.


(22)

kebutuhan pangannya tidak terpenuhi. Akhirnya banyak rakyat Kamboja yang harus mati karena kelaparan dan menderita penyakit.

Di samping itu, untuk memuluskan cita-citanya pemerintah Khmer Merah kerap kali menggunakan kekerasan dan paksaan. Hanya terdapat dua pilihan pada masa Pol Pot, yakni mengikuti Pol-Pot atau menjadi musuh Pol Pot.16 Berbagai kekejaman dan diskriminasi tak jarang dialamatkan kepada kaum minoritas termasuk umat Islam di dalamnya.

Dapat dikatakan bahwa masa Khmer Merah berkuasa di Kamboja pada tahun 1975-1979 merupakan sejarah kelam bagi umat Islam di Kamboja. Pada masa pemerintah Khmer Merah umat Islam mengalami intimidasi, pembantaian, dan diskriminasi. Para tokoh agama Islam banyak yang menjadi target pembunuhan dan pembantaian, di antaranya adalah para pemimpin tertinggi Muslim Kamboja seperti, Mufti Hadji Abdullah bin Idres (Res Las), Hadji Suleimane Sukri, dan Hadji Sulaimane Fekri.17

Masjid-masjid dan lembaga pendidikan Islam dihancurkan dan dibakar. Pada tahun 1976 tak kurang dari 20-30 orang dibantai di kamp konsentrasi.18 Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan agamanya, dan meninggalkan teradisi keislamannya. Bahkan tak sampai di situ, umat Islam Kamboja juga dipaksa untuk memakan daging babi dan meminum arak, serta menikah dengan berlainan agama. Banyak dari umat Islam yang disiksa di kamp-kamp konsentrasi di Tuol

16

Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 227.

17

Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm. 194.

18

Ysa Osman, OUKOUBAH Justice for The Cham Muslims Under the Democratic Kampuchea Regime, (Phnom Penh:Documentation Center of Cambodia, 2002), hlm. 96-106.


(23)

Sleng (Penjara S21).19 Sebelum Khmer Merah berkuasa diperkirakan jumlah Muslim di Kamboja mencapai 700.000 jiwa. 20 Namun pada masa Pol-pot sekitar 70 persen dari total penduduk Muslim Kamboja mati terbunuh, dalam kamp konsentrasi maupun saat bekerja.21 Seluruh Masjid yang kurang lebih berjumlah 113 di hancurkan dan dialihfungsikan.22

Berdasarkan fakta yang didapat, analisa penulis terkait motif diskriminasi yang dilakukan pemerintah Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja disebabkan karena tiga hal. Pertama, Khmer Merah melakukan perburuan terhadap elit Muslim dikarenakan kedekatan mereka dengan rezim Lon Nol. Khmer Merah khawatir apabila dibiarkan mereka akan menjadi oposisi yang mengancam pemerintahan Khmer Merah. Kedua, kebijakan dalam Five Point Plans 1975 yang menyudutkan dan mengebiri umat Islam untuk melakukan praktik keagamaannya. Kebijakan tersebut di antaranya, pelarangan penggunaan hijab, perintah untuk memusnahkan al-Qur’an, paksaan memakan daging babi, larangan shalat, penutupan masjid, dan pemaksaan untuk menikah dengan berlainan agama.23

19

Ibid., hlm. 108.

20

International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 10.

Seddik Taouti berbeda pendapat, ia mengatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 berkisar 800.000 orang, lihat: Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim, Readings on Islam ini Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194.

Michael Vieckery mengemukakan pendapat lain, ia menyatakan bahwa jumlah umat Islam sebelum tahun 1975 diperkirakan hanya berkisar 185.000 jiwa saja yang semuanya tersebar di seluruh distrik. Michael Vickery, Kampuchea Politic Economics and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm.1.

21

Seddik Taouti, Forgotten Muslim Kampuchea and Vietnam, dalam Ahmad Ibrahim dkk, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1985), hlm.194.

22

Ibid.,

23

Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phnom Penh: Document Center of Cambodia, 2006), hlm. 55.


(24)

Hal ini berbuah respons berupa pemberontakan di beberapa distrik di Kampong Cham. Berawal dari bentrok antara Khmer Merah dan umat Islam tersebut membuat umat Islam masuk ke dalam daftar musuh dalam negeri (internal enemy) Khmer Merah. Hal tersebut berlanjut sampai ditetapkannya Demokratic Kampuchea Constitution pada tahun 1976 yang melarang keberadaan agama reaksioner. Agama reaksioner dalam hal ini adalah agama-agama yang memiliki kecenderungan untuk memberontak, termasuk umat Islam di dalamnya. Karena pada masa sebelumnya umat Islam sempat melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap rezim Khmer Merah. Maka dari itu agama Islam dimasukkan ke dalam agama reaksioner. Faktor yang ketiga adalah karena perbedaan etnis. Dalam hal kebudayaan, Khmer Merah ingin melakukan Khmerisasi dengan mencoba mengeliminasi etnis minor seperti etnis Cham dan Melayu yang notebenenya beragama Islam.

Maka dari itu perlu kiranya ditelisik lebih dalam mengenai apa motif yang melatarbelakangi penindasan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam, dan bagaimana kebijakan Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja. Penelitian ini juga sekaligus ingin melanjutkan tulisan P.B Lafont dalam buku Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX,24 P.B Lafont menjelaskan perjalanan sejarah etnis Cham dari abad XVI sampai abad XX dengan menjadikan Vietnam dan Kamboja sebagai fokus kajiannya. Lafont sedikit menyinggung mengenai kekerasan, penindasan, dan intimidasi yang dilakukan oleh rezim Khmer Merah terhadap Cham Muslim di Kamboja. Namun ia belum

24

P. B Lafont, Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI s.d Abad XX, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 71-80.


(25)

menjawab pertanyaan yang dia ajukannya sendiri. Maka dari itu bersamaan dengan pertanyaan yang belum dijawab oleh Lafont tersebut, dalam skripsi ini penulis ingin menjawab pertanyaan yang diajukan Lafont dalam artikelnya.

B. Identifikasi Masalah

Sejak masa awal kedatangannya sampai dengan berkuasanya rezim Lon-Nol (1970-1975), Muslim Kamboja memiliki rekam jejak hubungan yang baik dengan pemerintah maupun etnis Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Namun pada 1975-1979 ketika Khmer Merah salah satu partai politik berideologi komunis radikal di bawah Pol Pot menguasai kancah perpolitikan Kamboja, umat Islam Kamboja memasuki era kegelapan. Terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait kondisi Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah, di antaranya:

1. Etnis dan agama minoritas menjadi sasaran diskriminasi dari kebijakan rezim Khmer Merah, di mana umat Islam termasuk di dalamnya

2. Negara-negara Islam baik di Timur Tengah maupun Asia Tenggara tidak menunjukkan simpatinya ketika umat Islam Kamboja mengalami diskriminasi oleh rezim Khmer Merah

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari dua permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar kebijakan Khmer Merah terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja, di mana umat Islam termasuk di dalamnya. Penulis juga akan menelusuri lebih jauh mengenai dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah terhadap etnis


(26)

dan agama minoritas di Kamboja. Batas tahun yang digunakan ialah tahun 1975-1979 ketika rezim komunis Khmer Merah berkuasa penuh atas Kamboja. Ruang lingkup yang penulis gunakan ialah negara Kamboja secara keseluruhan, terutama wilayah yang terdapat komunitas Muslim di dalamnya. Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam penelitian ini di antaranya:

1. Apa motif yang melatarbelakangi penindasan dan diskriminasi yang dilakukan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja?

2. Bagaimana kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap etnis dan agama minoritas di Kamboja?

3. Bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer Merah? 4. Bagaimana kondisi Muslim Kamboja pasca jatuhnya rezim Khmer Merah

pada tahun 1979?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan motif penindasan dan dikriminasi yang dilakukan rezim Khmer Merah terhadap umat Islam Kamboja.

2. Menjelaskan kebijakan politik rezim Khmer Merah dan dampaknya terhadap Muslim Kamboja.

3. Menjelaskan bagaimana respons umat Islam terhadap kebijakan rezim Khmer Merah.

4. Menjelaskan kondisi Muslim Kamboja pasca rezim Khmer Merah jatuh pada tahun 1979.


(27)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum, saat, dan setelah rezim Khmer Merah berkuasa di Kamboja tahun 1975-1979.

2. Menambah khazanah penelitian dan pengkajian Islam di Kamboja setelah sebelumnya pembahasan ini tidak banyak atau bahkan belum sama sekali menjadi sorotan, terutama oleh mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Padahal estimasi jumlah penduduk Muslim Kamboja tidak dapat dikatakan kecil dan peranannya cukup signifikan dalam berbagai aspek di Kamboja. Maka dari itu perlu kiranya membangkitkan gairah pengkajian Islam di Kamboja lebih jauh, khususnya untuk mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara.

3. Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara mendetail dengan menggunakan metode sejarah yang ilmiah. Untuk itu keberlangsungan penelitian ini juga bermaksud untuk melengkapi beberapa karya pengkajian Islam di Kamboja. Seperti dalam tulisan P. B. Lafont dan Yekti Maunati yang belum menjawab lebih mendetail mengenai kebijakan Khmer Merah dan dampaknya terhadap Muslim Kamboja. Agar kelak penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap pengkajian Islam di Asia Tenggara. Khususnya bagi mereka yang menaruh perhatian terhadap perkembangan Islam di Kamboja.


(28)

F. Tinjauan Pustaka

Penulis mencari beberapa literatur terkait kondisi Muslim Kamboja khususnya saat kancah perpolitikan Kamboja dikuasai oleh Khmer Merah, namun tidak banyak sumber terutama yang berbahasa Indonesia yang menggambarkan hal terkait. Walaupun memang ada, literatur tersebut tidak banyak memberikan informasi mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Kamboja dikuasai oleh rezim Khmer Merah (1975-1979). Sedangkan dalam skripsi-skripsi yang telah ada baik di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belum ditemukan satupun judul yang membahas mengenai kondisi Muslim di Kamboja, baik pada masa Khmer Merah (1975-1979) maupun sebelum dan sesudahnya. Maka dari itu penelitian ini ingin menyajikan hasil penelitian yang original yang sebelumnya tidak pernah menjadi pembahasan pokok dalam berbagai literatur maupun skripsi yang telah ada. Terutama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berikut beberapa literatur yang dijadikan tinjauan pustaka:

1. Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 1975-197925, karya Diana Yulianti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Skripsi ini membahas mengenai perjalanan politik Khmer Merah yang meliputi sejarah berdirinya, kiprahnya dalam perpolitikan Kamboja, dan jatuhnya rezim Khmer Merah. Skripsi ini lebih memfokuskan permasalahan pada narasi perjalanan politik Khmer Merah saja. Terutama hubungan internasional dengan beberapa negara lain. Diana memaparkan lebih banyak mengenai program-program agraria Khmer Merah dan konflik yang terjadi antara

25

Diana Yulianti, Pemerintahan Khmer Merah di Kamboja dan Kejatuhannya 1975-1979, (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009).


(29)

Kamboja dengan Vietnam. Namun permasalahan mengenai kebijakan agama dan etnis, serta kondisi mereka luput dari kajian Diana.

Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, dalam skripsi ini penulis menjadikan Muslim Kamboja sebagai obyek kajian utama. Penulis mengangkat tema kondisi Muslim Kamboja pada saat Khmer Merah berkuasa. Terutama mengenai motif pendiskriminasian Khmer Merah terhadap umat Islam. Dalam hal ini juga penulis lebih memaksimalkan sumber-sumber yang ditulis oleh kalangan Muslim. Sehingga penulis menarik kesimpulan, meski berjibaku pada pembatasan tahun dan pendekatan yang sama, namun obyek kajiannya sangat berbeda dan permasalahannya berbeda.

2. The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia.26 Editor Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari. Buku ini mengkaji lebih jauh mengenai bagaimana proses terintegrasinya Muslim Cham dengan masyarakat pribumi Kamboja. Pembahasannya diawali dengan proses diasporanya etnis Cham di Kamboja. Setelah itu dalam buku ini Yekti sedikit memaparkan kondisi umum Muslim Kamboja di beberapa rezim yang berkuasa. Hemat penulis buku ini lebih mengedepankan mengenai pola-pola kehidupan masyarakat Cham pada masa kekinian. Baik meliputi keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun perekonomian. Hal ini sangat berbeda jauh dengan kajian dalam skripsi ini, baik dalam hal waktu maupun pendekatan. Dalam buku ini Yekti menggunakan pendekatan multidimensional, dengan mengkaji berbagai aspek. Berbeda dengan skripsi ini, dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan kajian pada permasalahan

26

Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational Networks the Case of Cambodia, (Jakarta: LIPI Press, 2013).


(30)

perpolitikan dan sosial saja, yang meliputi kebijakan-kebijakan politik Khmer Merah terhadap etnis minoritas di mana etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam termasuk di dalamnya. Selain itu batas waktu yang digunakan dalam buku ini juga tidak dijelaskan secara spesifik. Berbeda dengan skripsi penulis yang menekankan pada model diakronis27 yang menggunakan batas waktu dan lebih menekankan pada proses.

3. The Forgoten Muslim of Kampuchea and Vietnam,28 karya Seddik Taouti, dalam Reading on Islam in Southeast Asia. Buku ini merupakan hasil pengalaman perjalanan Seddik Taouti di Kamboja pasca Kamboja dikuasai oleh rezim Khmer Merah. Buku ini cukup membantu memberikan gambaran-gambaran mengenai kondisi umat Islam Kamboja pasca Khmer Merah berkuasa. Buku ini lebih menekankan pada kondisi Muslim dan pembangunan-pembangunan umat Islam di berbagai sektor pasca rezim Khmer Merah berkuasa. Buku ini banyak memperoleh data melalui wawancara dengan tokoh Muslim Kamboja seperti Mohammad Aly, Dr. Abdoul Koyoum, dan Mr. Attman Ibrahim. Namun seperti pada beberapa literatur lainnya, buku ini lebih menekankan pada gambaran mengenai keadaan umat Islam pasca Khmer Merah. Namun buku ini mengabaikan mengenai kebijakan rezim Khmer Merah serta implikasinya. Mengenai respons masyarakat Muslim yang menjadi obyek penindasan juga luput dari pemaparan buku ini. Beberapa kekosongan dalam buku inilah yang akan

27

Model diakronis merupakan ciri yang membedakan antara kajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, antropologi, dan sebagainya. Unsur diakronis lebih menekankan pada proses atau memanjang dalam waktu. Sedangkan Singkronis yang menjadi model pengkajian ilmu sosial lebih menekankan pada struktur atau meluas dalam ruang. Lihat: Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 44-45.

28

Seddik Taouti, The Forgotten Muslim in Kampuchea and Viet, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985).


(31)

penulis lengkapi dalam kajian skripsi ini, baik meliputi kebijakan yang ditujukan kepada etnis minoritas, maupun respons dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Khmer Merah. Perbedaan yang mencolok dari buku-buku di atas dengan kajian skripsi penulis adalah, bahwa dalam skripsi ini (meskipun penulis juga menyertakan kondisi Muslim Kamboja sebelum Khmer Merah berkuasa) lebih berfokus pada penjelasan mengenai kondisi Muslim Kamboja saat Khmer Merah berkuasa. Penulis lebih jauh akan menelisik mengenai kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Khmer merah terutama kebijakan politik yang berkaitan dengan etnis minoritas dan agama.

G. Kerangka Teori

Menurut Miriam Budiardjo, untuk mencapai komunisme, kekerasan dipandang sebagai alat sah yang harus dipakai.29 Kekerasan ini dipakai untuk menghancurkan lawan politik dan bagi mereka yang menentang atau dianggap sebagai musuh. Begitupun dengan rezim komunis Khmer Merah yang cenderung memaksakan gagasan revolusionernya dengan melakukan perubahan secara fundamental. Kerap kali kekerasan digunakan sebagai alat penindasan dan kebijakan dijadikan alat diskriminasi. Tak jarang umat Islam yang merupakan agama minoritas menjadi sasaran.

Maka dari itu berdasarkan uraian fakta di atas, studi ini ingin menguji teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan oleh Rafael Raga Maran. Rafael mengatakan bahwa masalah sosial dan masalah ekonomi adalah

29


(32)

yang menyebabkan munculnya gerakan sosial menentang pemerintah.30 Masalah sosial yang terjadi adalah penindasan, pendiskriminasian, dan pembantaian massal yang dilakukan rezim Khmer Merah melalui kebijakannya. Sedangkan masalah ekonomi yang terjadi dalam konteks kajian penulis adalah, kegagalan rezim Khmer Merah dalam memodernisasi bidang pertanian. Produksi beras yang ditargetkan sebanyak 3 ton per hektar gagal diwujudkan. Hal ini berimbas pada kurangnya pasokan beras untuk rakyat yang menyebabkan banyak rakyat yang mati kelaparan.

Kebijakan Khmer Merah yang tertuang dalam Five Point Plans 1975 dan Konstitusi Khmer Merah sangat menyudutkan umat Islam Kamboja. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai permasalahan sosial yang terjadi pada umat Islam, di antaranya, umat Islam mengalami pendiskriminasian etnis, penindasan, bahkan sampai dengan pembunuhan massal. Bila mengacu kepada teori gerakan sosial dengan pendekatan konflik yang dikemukakan Rafael, umat Islam yang mengalami permasalahan sosial tersebut akan bergerak menentang pemerintah. Selain itu umat Islam dan seluruh masyarakat Kamboja juga mengalami permasalahan ekonomi berupa kekurangan pangan. Permasalahan ekonomi tersebut juga dimungkinkan dapat menjadi pemicu munculnya gerakan sosial. Namun untuk mendukung atau menolak teori tersebut penulis akan melakukan analisa lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan politik dan sosial.

Konsep31 Muslim Kamboja yang dimaksud dalam skripsi ini merujuk pada etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam. Sebagian besar dari mereka

30

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 78.

31

Konsep dalam ilmu sejarah diartikan sebagai suatu abstraksi mengenai gejala dan realitas. Realitas yang ditunjukan oleh konsep dapat berupa penyebutan orang-orang seperti


(33)

terkonsentrasi di beberapa wilayah seperti, di Kampong Cham, Kampong Chnnang, Battambang, Phnom Penh, dan beberapa tempat lainnya. Sebutan Muslim Kamboja penulis khususkan kepada etnis Cham dan Melayu dikarenakan sejauh ini penulis belum menemukan data mengenai etnis lain terutama etnis Khmer yang merupakan pribumi yang memeluk agama Islam. Konsep Muslim Kamboja yang penulis gunakan juga selaras dengan julukan Khmer Islam atau Khmer Muslim yang diberikan Sihanouk untuk mengganti identitas etnis Cham dan Melayu yang beragama Islam.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat analitical history,32 sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yakni, heuristik atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran, dan yang terakhir adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah.33

Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan atau library research. Penulis menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan dokumen berupa undang-undang Khmer Merah atau Demokratic Kampuchea Constitution 1976. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa bulletin yang dikeluarkan oleh rezim Khmer Merah yang berjudul Demokratic Kampuchea a

muslimin, muslimat, kristiani, reformis dan sebagainya. Selengkapnya lihat: Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 35-37.

32

Analitical History merupakan jenis penelitian sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi. Lihat: M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 218.

33

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hlm. 89.


(34)

Workers’ Peasants’ State in South-East Asia.34 Selain sumber primer berupa dokumen, penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa foto-foto. Sumber-sumber tersebut, baik Sumber-sumber primer berupa dokumen, bulletin, maupun foto, kesemuanya penulis dapatkan dari situs resmi Document Center of Cambodia.35

Untuk sumber sekunder penulis menggunakan surat kabar terbitan tahun 1975-1979 yang penulis dapatkan di Perpustakaan Nasional. Surat kabar yang penulis himpun di antaranya, surat kabar Warta Berita Antara, Kompas, dan Merdeka. Di antara surat kabar tersebut penulis lebih banyak menggunakan Warta Berita Antara. Dikarenakan Warta Berita Antara memiliki bagian khusus kilas internasional yang selalu menginformasikan berita-berita internasional secara aktual. Selain itu, hal tersebut lebih memudahkan penulis dalam proses pencarian. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber sekunder berupa jurnal bulanan Asian Survey yang terbit pada tahun 1979 yang penulis temukan di Perpustakaan Universitas Indonesia. Selebihnya data-data sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel, majalah, dan tesis yang penulis temukan di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan situs internet.

34 Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South

-East Asia, (Berlin: Embassy of Demokratic Kampuchea, 1977). Tersedia di: http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/pdf/Bulletin_of_the_Embassy_of_Democratic_Ka mpuchea_in_Berlin_GDR_March_1977.pdf (akses: 24/04/2015)

35

Documen Center of Cambodia merupakan institusi resmi yang dibentuk oleh pemerintah Kamboja untuk mengurusi bidang kearsipan (serupa ANRI di Indonesia). Dalam situs ini dimuat secara digital arsip terkait sejarah Kamboja, terutama arsip-arsip pada masa Khmer Merah. Selain arsip, situs ini juga memuat berbagai foto-foto, majalah, buku-buku, dan beberapa konten lain yang dapat diunduh secara gratis. Lebih lanjut mengenai Document Center of Cambodia lihat: http://www.d.dcCham.org/Archives/Documents/Documents.htm


(35)

Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ekstern. Selain itu penulis juga melakukan uji kelayakan sumber atau kredibilitas, yang penulis telusuri melalui kritik intern. Dalam kritik ekstern penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber-sumber primer yang penulis dapatkan melalu situs resmi Document Center of Cambodia. Dokumen-dokumen yang penulis temukan dalam situs Document Center of Cambodia beberapa sudah ada yang dicetak ulang dalam bahasa Khmer dan Inggris. Sehingga secara fisik dokumen tersebut tidak dapat dikatakan otentik karena sudah tidak dalam bentuk aslinya, namun hemat penulis sumber tersebut tetap memuat unsur-unsur primer.36 Sumber primer berupa buletin dan foto yang penulis temukan masih dalam bentuk asli yang dipublikasikan dalam bentuk mikrofilm. Sehingga secara ekstern bulletin dan foto tersebut dapat dikatakan otentik dan memuat unsur-unsur primer.

Setelah itu penulis juga menguji kredibilitas sumber dengan menggunakan kritik intern. Dalam kritik inten penulis membandingkan sumber-sumber yang penulis dapatkan. Penulis membandingkan Konstitusi Khmer Merah yang diterbitkan oleh Document Center of Cambodia dengan yang diterbitkan oleh pihak lain. Hal ini dilakukan mengingat dokumen tersebut telah dicetak ulang, sehingga perlu rasanya penulis menaruh kecurigaan terhadap kredibilitas sumber tersebut. Penulis menghimpun beberapa Konstitusi Khmer Merah dalam beberapa versi, di antaranya versi Document Center of Cambodia, versi Franҫois Ponchaud, dalam bukunya Cambodia Year Zero37, dan versi yang dipublikasikan oleh

36

Lebih jauh mengenai unsur-unsur primer lihat: Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. (Jakarta: UI Press, 2008), hlm. 45.

37


(36)

Kedutaan Besar Khmer Merah di Berlin tahun 1977.38 Dari ketiga versi tersebut penulis tidak menemukan perbedaan berarti kecuali dalam segi fisik dan tata bahasa saja, sehingga penulis menyimpulkan bahwa sumber tersebut kredibel dalam menyajikan unsur-unsur primer.

Sedangkan kritik internal yang penulis lakukan pada sumber skunder hanya ditemukan perbedaan-perbedaan mengenai waktu sebuah peristiwa terjadi, seperti perbedaan mengenai tahun kedatangan umat Islam. Selain itu juga terdapat perbedaan mengenai estimasi jumlah umat Islam Kamboja sebelum rezim Khmer Merah berkuasa. Seperti Ysa Osman mengatakan bahwa jumlahnya 700.000 jiwa, sedangkan Seddik Taouti mengatakan 800.000 jiwa. Sedangkan Ramlan Surbakti dan Michael Vickery mengatakan jumlahnya tidak lebih dari 200.000 jiwa.

Tahap selanjutnya yakni penulis melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh fakta-fakta terkait permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis. Dalam tahap ini penulis menggunakan metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis atau penguraian, penulis memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis baca baik sumber primer maupun sekunder, seperti pada masa rezim Khmer Merah banyak masjid yang diberangus dan dialihfungsikan, banyak perburuan dan pembunuhan para ulama dan intelektual Muslim, selain itu telah terjadi penurunan jumlah populasi Muslim Kamboja secara drastis, yang disebabkan karena genosida atau pembunuhan massal, dan yang terakhir terdapat pemberontakan-pemberontakan oleh umat Islam terhadap rezim Khmer Merah. Kesemua fakta tersebut merupakan buah dari kebijakan rezim Khmer Merah yang

38 Demokratic Kampuchea a Workers’ Peasants’ State in South

-East Asia, (Berlin: Embassy of Demokratic Kampuchea, 1977).


(37)

menyudutkan keberadaan umat Islam Kamboja. Dari beberapa fakta hasil analisis tersebut maka sintesisnya adalah, bahwa telah terjadi pendiskriminasian terhadap etnis dan agama minoritas oleh rezim Khmer Merah, di mana umat Islam termasuk di dalamnya.

Tahap terakhir yakni historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan fakta-fakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini.

I. Sistematika Penulisan

Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Berisikan Pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat

permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta sistematika penulisan.

Bab II Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja sebelum rezim

Khmer Merah berkuasa pada tahun 1975-1979. Yang meliputi gambaran geografi serta struktur masyarakat Kamboja, mengenal Muslim Kamboja, dan kondisi Muslim di bawah dua rezim yang berdaulat sebelum Khmer Merah, yakni rezim Norodom Sihanouk, dan Lon-Nol.


(38)

berkuasa pada tahun 1975-1979, motif yang melatarbelakangi penindasan umat Islam, kebijakan-kebijakan rezim Khmer Merah terhadap Muslim Kamboja serta respons Muslim Kamboja terhadap kebijakan yang diterapkan oleh rezim Khmer Merah.

Bab IV Membahas mengenai kondisi Muslim Kamboja ketika rezim

Khmer Merah jatuh dalam kancah perpolitikan Kamboja tahun 1979. Yang meliputi faktor intern dan ekstern penyebab kejatuhan rezim Khmer Merah dari kancah kekuasaan di Kamboja, kondisi Muslim Kamboja di bawah rezim Hun Sen dari People Republic of Kampuchea, dan kebangkitan Islam di Kamboja yang menyinggung beberapa aspek seperti perekonomian, sosial keagamaan, dan hubungan dengan negara-negara Muslim lain di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Bab V Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan

jawaban dari permasalahan yang menjadi motif awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan untuk perbaikan penelitian berikutnya.


(39)

BABII

MUSLIM KAMBOJA SEBELUM REZIM KHMER MERAH BERKUASA

A. Geografi dan Struktur Masyarakat Kamboja

Kamboja atau Kampuchea merupakan wilayah yang terletak di Semenanjung barat daya Indocina.1 Negara yang beribukota Phnom Penh ini sempat masuk ke dalam negara yang diproteksi oleh Prancis bersama Laos dan Vietnam. Kamboja berbatasan langsung dengan Laos di sebelah utara, Vietnam di timur dan selatan, serta Thailand di barat dan utara. Luas negara ini sekitar 181.035 km persegi.2 Jumlah penduduk Kamboja berkisar 7 juta jiwa pada survei sebelum tahun 1975.3

Kamboja merupakan wilayah yang terdiri atas sebagian besar daratan. Garis pantainya hanya berkisar 560 km. Dilengkapi dengan keberadaan sungai Mekong yang membentang sepanjang 540 km di dalam negara ini, menjadikan wilayah Kamboja sebagai wilayah pertanian yang subur. Ditambah lagi dengan jumlah anak sungai yang sangat melimpah dan danau Tonle Sap yang membentang luas, membuat wilayah Kamboja seakan tidak pernah defisit air. Kamboja memiliki iklim Muson tropis dengan suhu antara 21-35 derajat celcius. Curah hujan yang mencapai 5000 milimeter pertahun membuat empat perlima wilayah Kamboja terdiri atas hutan tropis.

1

Indocina merupakan wilayah yang pernah masuk kedalam protektorat Prancis yang meliputi Kamboja, Vietnam, dan Laos. Istilah Indocina diambil karena adanya perpaduan pengaruh kebudayaan India dan China di wilayah tersebut. Lihat: Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 7, (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1989). hlm. 71.

2

Lebih lanjut mengenai data geografis dan demografi Kamboja lihat : Rahmat Bratamidjaja dkk. Ensiklopedia Indonesia Seri Geografi, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,1990), hlm. 125-130

3

Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm. 3.


(40)

Perekonomian Kamboja bergantung pada sektor pertanian. Sektor pertanian menyerap sekitar tiga perempat dari tenaga kerja Kamboja.4 Beras masih menjadi komoditas utama pertanian negeri ini. Selain beras, karet menempati posisi kedua sebagai fokus utama bidang perkebunan. Wilayah Kamboja yang terdapat banyak anak sungai menjadikan sebagian penduduknya juga berkecimpung pada sektor perikanan.

Kamboja sebenarnya merupakan salah satu negara yang terbilang homogen. Karena sekitar 90 persen penduduknya etnis Khmer.5 Etnis Khmer tercatat telah mendatangi Kamboja sejak abad ke-2 Masehi. Selain Khmer terdapat pula beberapa etnis minoritas seperti Cham-Melayu, Vietnam, Lao, Thai, dan China. Etnis Cham-Melayu menduduki peringkat pertama minoritas terbanyak di Kamboja dengan populasi sekitar 700.000 jiwa pada survei sebelum tahun 1975.6 Kemudian sisanya adalah etnis lain seperti Vietnam, Lao, Thai, dan China.

Agama Budha menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Kamboja. Jumlah pemeluknya sekitar 96 persen dari total keseluruhan masyarakat Kamboja. Setelah itu disusul dengan pemeluk agama Islam yang berjumlah sekitar 2,1 persen. Sisanya adalah pemeluk agama Kristen dan animisme. Hal yang cukup menarik dari keberadaan agama-agama minoritas ini adalah, harmoni yang tercipta antar pemeluk agama di Kamboja. Meski agama Budha menjadi agama mayoritas namun jarang sekali ditemukan sikap superioritas dalam bentuk diskriminasi terhadap agama minoritas. Berbeda dengan kasus di beberapa negara

4

Ibid., hlm. 97.

5

The People of Cambodia, (Cambodia Research Network, 2007), hlm. 30.

6

International Center for Ethnic Study, Minorities in Cambodia, (United Kingdom: Manchester Free Press, 1995), hlm. 10.


(41)

lain di wilayah Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Myanmar yang sangat sensitif dengan isu konflik baik yang berlatar belakang agama maupun ras. Di Kamboja toleransi umat beragama sangat dijunjung tinggi. Hal tersebut terjadi disetiap rezim, baik pada masa kerajaan maupun pasca kemerdekaan Kamboja. Pada masa rezim Khmer Merahpun sebenarnya tidak terjadi konflik horizontal, yang terjadi adalah konflik vertikal antara umat Islam dan pemerintah Khmer Merah. Harmoni yang tercipta sangat dimungkinkan terjadi karena mulai terintegrasikan dengan baik antara umat Islam dengan masyarakat pribumi Kamboja. Terutama pasca penerapan nasionalisasi Khmer yang dilakukan Sihanouk.

B. Mengenal Muslim Kamboja

Nampaknya Islamisasi di Kamboja berjalan mandek sampai pada masa Sihanouk berkuasa (1953), dikarenakan jarang sekali ditemukan pribumi Kamboja dalam hal ini etnis Khmer yang memeluk Islam. Kebanyakan dari masyarakat pribumi tetap bertahan pada ajaran agama Budha. Pendapat penulis dikuatkan dengan beberapa literatur yang telah penulis temukan. Kebanyakan literatur tersebut kerap kali mengaitkan Islam di Kamboja dengan etnis Cham dan Melayu. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa Islam eksklusif dipeluk oleh etnis Cham dan Melayu. Berbicara Islam di Kamboja berarti berbicara mengenai etnis Cham dan Melayu, begitupun sebaliknya. Hal ini berlaku sebelum Khmer Merah berkuasa. Namun tidak berlaku pada masa kekinian, melihat Islam pada akhir abad ke-20 juga dipeluk oleh etnis-etnis lain di Kamboja walaupun jumlahnya memang tidak signifikan.


(42)

Antara Muslim Cham dan Melayu sebenarnya terdapat perbedaan dalam proses kedatangannya, baik dalam waktu maupun motif. Muslim Cham yang datang ke Kamboja merupakan Muslim Cham yang berasal dari Kerajaan Champa yang berada di pesisir Vietnam Selatan.7 Beberapa literatur sepakat bahwa kehadiran mereka bermula pada tahun 1471 M ketika ibukota mereka di Vijaya jatuh akibat serangan dari Kerajaan Viet Utara.8 Kejatuhan ibukota mereka memaksa orang-orang Cham melarikan diri ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera, Borneo, Thailand Selatan, dan Kamboja, bahkan ke Jawa. Etnis Cham sendiri pernah memiliki hubungan baik dengan Kerajaan Majapahit di Jawa.9 Biasanya wilayah yang menjadi target pelariannya adalah wilayah yang pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Champa sebelum keruntuhannya.

Etnis Cham memang terkenal dengan tipikal yang kosmopolit. Ditambah dengan sistem pelayaran yang cukup maju pada masanya, sangat memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kontak dengan wilayah-wilayah lain terutama dengan wilayah yang menjadi basis etnis Melayu.10 Kebanyakan mereka yang mengalami penindasan oleh orang-orang Viet adalah Cham Muslim. Hal ini dimaksudkan karena Islam dianggap sebagai agama yang dapat menggangu

7

Kerajaan Champa merupakan kerajaan bercorak Hindu yang terletak di pesisir Vietnam Selatan. Kemunculan kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-2 dikenal dengan nama Lin Yi. Lebih lengkap mengenai Kerajaan Champa sejak awal berdirinya sampai dengan kejatuhannya lihat, George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam Kerajaan Champa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70. Lihat pula: George Coedes, Sejarah Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010).

8

Saifullah, Sejarah Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 223.

9

Dikabarkan bahwa raja Brawijaya pernah memperistri seorang putri dari Kerajaan Champa yang telah memeluk Islam. Lebih lanjut mengenai hubungan Champa dan Jawa lihat: Po Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa. Dalam Panggung Sejarah, Henry Chambert-Loir dan Hasan Mua’rif Ambary (ed). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 163-169.

10

Lebih lanjut mengenai sepak terjang kerajaan Champa dalam bidang maritim lihat: Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 53-74.


(43)

keberlangsungan kekuasaan orang-orang Viet di Champa. Mengingat orang-orang Cham Muslim masih tinggal di beberapa tempat eksklusif terutama di wilayah Tanjung Varella yang memungkinkan mereka untuk melakukan pemberontakan. Meskipun hemat penulis hal tersebut sangat sulit dilakukan mengingat sudah melemahnya etnis Cham akibat aneksasi pasukan Viet dan banyak dari mereka yang sudah meninggalkan Vietnam sejak Vijaya direbut oleh Viet.

Sebenarnya literatur yang menegaskan mengenai Islamnya orang Champa masih sangat sedikit. Bahkan George Coedes dengan maha karyanya yang berjudul Asia Tenggara masa Hindu Budha, tidak menjelaskan mengenai Islamnya orang-orang Champa.11 Begitupun dalam artikel yang ia tulis dalam Buku yang berjudul Kerajaan Champa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Champa dari awal Sampai Tahun 1471 ia tidak menyinggung mengenai Islamnya masyarakat kerajaan Champa.12 Namun Ahmad Dahlan dalam karyanya yang berjudul Sejarah Melayu, mengatakan bahwa Champa telah Islam sejak abad ke-10 Masehi. Menurut Dahlan, para pedagang Arablah yang memiliki andil dalam Islamnya masyarakat Champa.13 Namun sayangnya pendapat Dahlan ini tidak disertakan dengan bukti yang cukup kuat. Berbeda dengan Anthony Cabaton yang mengatakan bahwa Islam telah dikenal penduduk Champa sejak abad ke-11 Masehi dibawa oleh orang-orang Arab dan Persia, kemudian dikembangkan oleh orang-orang Melayu pada abad

11

Lebih lanjut lihat: George Coedes, Asia Tenggara Masa Hindu Budha, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 264-265.

12

George Coedes, Sejarah Champa dari Awal Sampai Tahun 1471, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 31-70.

13

Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, (Jakarta: Keputakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 41.


(44)

ke-14.14 Permasalahan ini nampaknya butuh dikaji lebih jauh dalam pembahasan lain.

Kita tinggalkan mengenai Islamnya orang-orang Champa di Vietnam yang pada kemudian hari menjadi agen pembawa agama Islam di Kamboja. Sejak kejatuhannya pada tahun 1471 M secara bertahap sampai dengan tahun 1832 masyarakat Cham mulai meninggalkan tanah air mereka.15 Terdapat pula sebagian kecil Muslim Cham yang tetap bertahan di sana yang pada kemudian hari dikenal dengan Cham Bani. Namun sebagian besar terdiasporakan ke berbagai wilayah, salah satunya adalah Kamboja. Menurut P.B. Lafont hampir seluruhnya etnis Cham yang terdiasporakan ke Kamboja beragama Islam.16

Sebenarnya telah lama Kerajaan Champa kuno dengan Kerajaan Angkor menjalin hubungan, baik dalam hal perekonomian maupun politik. Maka dari itu ketika kejatuhan ibukota Champa di Vijaya, orang-orang Cham memilih Kamboja sebagai destinasi pelarian mereka. Keberadaan sungai Mekong dan anak sungainya yang membentang dari perbatasan Kamboja dan Vietnam juga menjadi akses yang mudah bagi pelarian orang-orang Cham Muslim menuju Kamboja. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya orang-orang Muslim yang bertempat tinggal di sepanjang sungai Mekong pada masa sekarang.

Kedatangan orang-orang Cham ke Kamboja disambut baik oleh raja Jayajettha III (1677-1705) yang menjadi raja yang berdaulat di Kamboja kala

14

Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indocina Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 223.

15

Po Dharma, Kepulauan Indonesia dan Champa, dalam Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 164.

16

Tinjauan Sepintas Sejarah Bangsa Cham dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 74.


(45)

itu.17 Orang-orang Cham yang datang kala itu ditempatkan di beberapa tempat seperti di Kampong Chnang, Kampong Cham, Battambang, Kompot, dan beberapa wilayah lainnya.18 Dalam perjalanannya orang-orang Cham dapat hidup berbaur dengan orang Khmer yang menjadi pribumi Kamboja. Orang-orang Cham juga mengabdi dengan baik dengan raja Khmer kala itu. Bahkan beberapa dari mereka diangkat menjadi pegawai kerajaan.19 Pada Abad ke-17 sebenarnya terdapat raja Khmer yang telah memeluk Islam, yakni raja Ramadhipati (1642-1658) yang kelak berganti nama menjadi Ibrahim.20 Namun keislaman raja ini tidak seraya diikuti oleh rakyatnya. Selepas raja tersebut mangkat, agama Budha tetap mendominasi di Kamboja. Gagalnya Islamisasi pada tingkat elite, menurut penulis yang menjadi salah satu faktor mandeknya Islamisasi di Kamboja.

Selain etnis Cham yang berjasa dalam membawa Islam ke Kamboja, etnis Melayu juga memiliki peran yang cukup signifikan. Namun perannya sedikit sekali disinggung dalam beberapa literatur yang penulis temukan. Atau bahkan keberadaan mereka disamakan dengan Muslim Cham. Jika motif kedatangan Muslim Cham ke Kamboja adalah sebagai pelarian dari kejaran orang-orang Viet, berbeda dengan kedatangan orang Melayu yang memiliki motif perdagangan.

Diperkirakan orang-orang Melayu telah menjalin hubungan dagang dengan masyarakat Khmer sejak abad ke-7. Namun, menurut penulis orang-orang Melayu yang datang ke Kamboja pada abad ke-7 belum memeluk agama Islam. Karena proses Islamisasi di tanah Melayu saja baru santer setelah abad ke 7. Para

17

Muhammad Zain Musa, “Perpindahan dan Hubungan Semasa Orang Cham”, dalam Jurnal Sari, vol 26, 2008, hlm. 260.

18

Ibid.,

19

Ibid.,

20

Reiko Okawa. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in the Khmer Rouge Period”. International & Regional Studies No. 45. Meiji Gakuin University, 2014. hlm. 5.


(46)

pedagang Melayu yang datang ke Kamboja adalah keturunan mubaligh Islam yang memiliki misi berdagang dan berdakwah.

Orang Melayu di Kamboja juga dibagi menjadi beberapa golongan. Namun pembagian golongan ini tidak menjadi perbedaan bagi mereka. Karena perbedaan golongan tersebut hanya sebatas identitas dari mana mereka datang. Sedikitnya terdapat tiga golongan Muslim Melayu yang berada di Kamboja, di antaranya, Jva Krapi, Jva Iyava, dan Jva Melayu.21 Jva Krapi merupakan orang-orang Melayu yang datang dari wilayah Sumatera terutama wilayah Minangkabau dan Aceh. Jva Iyava merupakan orang Melayu yang datang dari wilayah pulau Jawa. Sedangkan Jva Melayu merupakan orang-orang Melayu yang datang dari wilayah Semenanjung Melayu, seperti Thailand Selatan, Singapura, dan Malaysia.

Jumlah Muslim Melayu yang datang di Kamboja memang tidak sesignifikan Muslim Cham. Antara etnis Cham dan Melayu keduanya memiliki ikatan yang cukup baik. Sejatinya memang sejak abad ke-15 antara kerajaan Champa dan orang-orang Muslim Melayu telah memiliki hubungan yang baik, terutama dalam hal perdagangan.22 Sehingga tidak aneh jika hal ini berimplikasi pada hubungan kedua etnis tersebut ketika bertemu di Kamboja.

Di Kamboja, Cham dan Melayu membentuk semacam asimilasi etnis yang bernama Cham-Chvea atau Cham-Jva.23 Asimilasi etnis Cham dan Melayu dilakukan melalui jalur perkawinan. Muslim Melayu sangat berjasa dalam

membentuk identitas Muslim Cham dengan memperkenalkan mazhab Syafi’i.

21

Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, (Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.

22

Anthony Reid., Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm. 63.

23

Terkadang disebut Cham-Jva atau Cham Syariat. Lebih lanjut lihat: Omar Farouk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at the Margins: The Muslim of Indocina, ( Kyoto University: Center of Integrated Area Studies, 2008), hlm. 72.


(47)

Maka dari itu proses interaksi etnis Cham dan Melayu membuat etnis Cham lebih taat dalam menjalankan syari’at Islam dibanding masa-masa sebelumnya. Yang perlu digarisbawahi terkait masuknya Muslim Cham di Kamboja adalah, orang-orang Cham yang membawa agama Islam di Kamboja merupakan orang-orang Cham Muslim yang praktik keagamaannya masih bercampur dengan tradisi Hindu Champa.

Selain Cham-Chvea sebenarnya terdapat satu Muslim Cham lain yakni Cham Jahed atau Cham Bani. Jika Cham-Chvea adalah penganut mazhab Syafi’i dengan identifikasi bahwa mereka melaksanakan shalat lima waktu dan beberapa praktik keagamaan khas mazhab Syafi’i. Berbeda dengan Cham Jahed, meskipun mereka sama-sama beragama Islam, namun praktik keagamaan mereka masih bercampur dengan tradisi Hindu Champa yang pula dipraktikan oleh Muslim Cham di Vietnam. Bila etnis Cham-Chvea melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari, berbeda dengan Cham Jahed yang hanya melaksanakan shalat satu kali

dalam seminggu yakni pada hari Jum’at saja.24

Maka dari itu Muslim Cham ini kerap kali disebut Cham Tujuh. Kebanyakan Cham Jahed bertempat tinggal di Battambang, Pursat, Oudong, dan Kampong Chnnang.

Akan tetapi perbedaan-perbedaan ini tidak lantas membuat mereka berselisih faham. Meskipun secara prinsip keagamaan antara orang Cham yang berasimilasi dengan orang Melayu dan Cham Jahed berbeda, namun Islam tetap menjadi identitas utama dan simbol pemersatu mereka. Merekalah yang penulis maksudkan dengan Muslim Kamboja yang lebih dikenal dengan Khmer Islam atau Khmer Muslim.

24

Yekti Maunati dan Betti Rosita Sari (ed), The Cham Diaspora in Southeast Asia Social Integration and Transnational the Case of Cambodia, Jakarta : LIPI Press, 2013), hlm. 114-122.


(48)

Kebanyakan orang Muslim Kamboja bermukim di pedesaan atau daerah pinggiran. Sedikit sekali mereka yang memilih tinggal di kota-kota besar. Tidak diketahui secara pasti apa penyebabnya. Mereka tinggal hampir di 150 desa yang tersebar di beberapa kota.25 Hal ini membuat mereka banyak yang menekuni pekerjaan kasar. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai penebang kayu, petani karet, petani padi, pedagang, dan nelayan.26 Namun terdapat pula sebagian dari mereka yang berkiprah dalam dunia kemiliteran dan politik.

Struktur masyarakat Muslim Kamboja menunjukkan stratifikasi dalam bidang keagamaan yang cukup teratur. Masyarakat Muslim Kamboja diketuai oleh seorang mufti atau mophati. Beberapa mufti terkenal yang pernah menjabat ialah mufti Hadji Abdullah bin Idres.27 Di bawah seorang mophati terdapat seorang tuh khalik atau raja khalik dan tuan pake. Mereka bertugas sebagai asisten atau pembantu seorang mophati. Setelah itu ada pula imom atau hakim yang memiliki tugas mengelola masjid. Biasanya seorang imom dipilih oleh raja.28 Di bawah imom terdapat seorang khatib yang memiliki tugas membacakan doa dan memimpin shalat berjamaah. Dalam struktur paling bawah adalah bilal yang bertugas mengumandangkan adzan dan mengatur ketertiban shalat.

Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa hampir seluruh

Muslim Kamboja menganut mazhab Syafi’i, kecuali Cham Jahed atau Cham Bani.

Hal ini memengaruhi kepada tradisi keagamaan yang berkembang di Kamboja. Muslim Kamboja layaknya Muslim di negara-negara lain mereka juga

25

Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, (London: Frances Pinter Publisher, 1986), hlm. 164.

26

Anthony Cabaton, Orang Cam Islam di Indo-China Prancis, dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm. 241.

27

Michael Vickery, Kampuchea Politic, Economics, and Society, hlm. 194.

28


(1)

Lampiran 7.1

DK Constitution

The Cambodian Constitutions (1953-1993) Collected and Introduced by Raoul M. Jennar

Democratic Kampuchea (1975-1979)

After the vote on 18 March 1970 dismissing him as Head of State, Prince NorodomSihanouk sent out an appeal from Peking for an armed uprising against the regime, which had taken power in Phnom Penh. The Communist movement which had been fighting the regime since 1968 rallied to the Prince, who created the Front National Uni du Kampuchea (FUNK) and a related Gouvernement Royal d'Union Nationale du Kampuchea (GRUNK).

The North Vietnamese Army and the Vietcong brought decisive support to the embryonic FUNK forces. Little by little, the most radical elements of Cambodian communism—dubbed Khmer Rouge as early as 1970 by Prince Sihanouk—began to increase their influence within FUNK, of which they took control from 1973 on. The Vietnamese forces, which had signed the Paris Agreements at the beginning of the year, retreated to the frontier zones. While "frontism" remained the political practice in the combat zones, the first purges and massacres commenced in the so-called "liberated zones". Sihanouk supporters, moderate communists (or those suspected of sympathy for Hanoi) and reticent people, were the principal victims.

On 17 April 1975 the Khmer Rouge forces entered Phnom Penh and set up the regime named Democratic Kampuchea.

During a command group meeting in the Cambodian capital from 15 to 19 December 1975, the text of a Constitution was adopted, the principles of which had been decided at the end of April. It was promulgated on 5 January 1976.

To establish this unofficial translation in English, we have relied on the translation published by David Chandler, "The Constitution of Democratic Kampuchea: The Semantics of Revolutionary Change", Pacific Affairs, Fall 1976; and Craig Etcheson, The

Rise and Demise of Democratic Kampuchea, Colorado, Westview, 1984.

Preamble

On the basis of the sacred and fundamental desires of the people, workers, peasants, and other labourers as well as those of the fighters and cadres of the Kampuchean Revolutionary Army; and

Whereas a significant role has been played by the people, especially the workers, poor peasants, the lower middle peasantry, and other strata of labourers in the countryside and cities, who account for more than ninety-five percent of the entire Kampuchean nation, who assumed the heaviest responsibility in waging the war for the liberation of the nation and the people, made the greatest sacrifices in terms of life, property, and

Lampiran 7.1

Konstitusi Khmer Merah 1976


(2)

commitment, served the front line relentlessly, and unhesitatingly sacrificed their children and husbands by the thousands for the fight on the battlefield;

Whereas great sacrifices have been borne by the three categories of the Kampuchean Revolutionary Army who fought valiantly, day and night, in the dry and rainy season, underwent all sorts of hardship and misery, shortages of food, medicine, clothing, ammunition, and other commodities in the great war for the liberation of the nation and the people;

Whereas the entire Kampuchean people and the entire Kampuchean Revolutionary Army desire an independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign Kampuchea enjoying territorial integrity, a national society informed by genuine happiness, equality, justice, and democracy without rich or poor and without exploiters or exploited, a society in which all live harmoniously in great national solidarity and join forces to do manual labour together and increase production for the construction and defence of the country;

And whereas the resolution of the Special National Congress held on 25, 26 and 27 April 1975 solemnly proclaimed recognition and respect for the above desires of the entire people and the entire Kampuchean Revolutionary Army;

The Constitution of Kampuchea states:

Chapter One The State

Article 1 The State of Kampuchea is an independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign, and democratic State enjoying territorial integrity.

The State of Kampuchea is a State of the people, workers, peasants, and all other Kampuchean labourers.

The official name of the State of Kampuchea is "Democratic Kampuchea".

Chapter Two The Economy

Article 2 All important general means of production are the collective property of the people's State and the common property of the people's collectives.

Property for everyday use remains in private hands.

Chapter Three Culture

Article 3 The culture of Democratic Kampuchea has a national, popular, forward-looking, and healthful character such as will serve the tasks of defending and building Kampuchea into an ever more prosperous country.

This new culture is absolutely opposed to the corrupt, reactionary culture of the various oppressive classes and that of colonialism and imperialism in Kampuchea.


(3)

The Principle of Leadership and Work

Article 4 Democratic Kampuchea applies the collective principle in leadership and work.

Chapter Five Legislative Power

Article 5 Legislative power is invested in the representative assembly of the people, workers, peasants, and all other Kampuchean labourers.

This Assembly shall be officially known as the "Kampuchean People's Representative Assembly".

The Kampuchean People's Representative Assembly shall be made up of 250 members, representing the people, the workers, peasants, and all other Kampuchean labourers and the Kampuchean Revolutionary Army. Of these 250, there shall be:

Representing the peasants 150

Representing the labourers and other working people 50 Representing the revolutionary army 50

Article 6 The members of the Kampuchean People's Representative Assembly are to be elected by the people through direct and prompt general elections by secret ballot to be held throughout the country every five years.

Article 7 The People's Representative Assembly is responsible for legislation and for defining the various domestic and foreign policies of Democratic Kampuchea.

Chapter Six The Executive Body

Article 8 The administration is a body responsible for executing the laws and political lines of the Kampuchean People's Representative Assembly.

The administration is elected by the Kampuchean People's Representative Assembly and must be fully responsible to the Kampuchean People's Representative Assembly for all its activities inside and outside the country.

Chapter Seven Justice

Article 9 Justice is administered by people's courts, representing and defending the people's justice, defending the democratic rights and liberties of the people, and condemning any activities directed against the people's State or violating the laws of the people's State.

The judges at all levels will be chosen and appointed by the People's Representative Assembly.

Article 10 Actions violating the laws of the people's State are as follows:


(4)

highest degree.

Other cases are subject to constructive re-education in the framework of the State's or people's organisations.

Chapter Eight The State Presidium

Article 11 Democratic Kampuchea has a State Presidium chosen and appointed by the Kampuchean People's Representative Assembly once every five years.

The State Presidium is responsible for representing the State of Democratic Kampuchea inside and outside the country in keeping with the Constitution of Democratic Kampuchea and with the laws and political lines of the Kampuchean People's Representative Assembly.

The State Presidium is composed as follows: a president, a first vice-president, and a second vice-president.

Chapter Nine

The Rights and Duties of the Individual

Article 12 Every citizen of Kampuchea enjoys full rights to a constantly improving material, spiritual, and cultural life.

Every citizen of Democratic Kampuchea is guaranteed a living. All workers are the masters of their factories.

All peasants are the masters of the rice paddies and fields. All other labourers have the right to work.

There is absolutely no unemployment in Democratic Kampuchea.

Article 13 There must be complete equality among all Kampuchean people in an equal, just, democratic, harmonious, and happy society within the great national solidarity for defending and building the country together.

Men and women are fully equal in every respect. Polygamy is prohibited.

Article 14 It is the duty of all to defend and build the country together in accordance with individual ability and potential.

Chapter Ten The Capital

Article 15 The capital city of Democratic Kampuchea is Phnom Penh.

Chapter Eleven The National Flag

Article 16 The design and significance of the Kampuchean national flag are as follows: The background is red, with a yellow three-towered temple in the middle.


(5)

The red background symbolises the revolutionary movement, the resolute and valiant struggle of the Kampuchean people for the liberation, defence, and construction of their country.

The yellow temple symbolises the national traditions of the Kampuchean people, who are defending and building the country to make it ever more prosperous.

Chapter Twelve The National Emblem

Article 17 The national emblem consists of a network of dikes and canals, which symbolise modern agriculture, and factories, which symbolise industry. These are framed by an oval garland of rice ears, with the inscription "Democratic Kampuchea" at the bottom.

Chapter Thirteen The National Anthem

Article 18 The national anthem of Democratic Kampuchea is the "Dap Prampi Mesa Chokchey" ["Glorious Seventeenth of April"].

Chapter Fourteen

The Kampuchean Revolutionary Army

Article 19 The three categories of the Kampuchean Revolutionary Army—regular,

regional, and guerrilla—form an army of the people made up of men and women fighters and cadres who are the children of the labourers, peasants, and other Kampuchean working people. They defend the State power of the Kampuchean people and of independent, unified, peaceful, neutral, non-aligned, sovereign, and democratic Kampuchea, which enjoys territorial integrity, and at the same time they help to build a country growing more prosperous every day to improve and develop the people's standard of living.

Chapter Fifteen Worship and Religion

Article 20 Every citizen of Kampuchea has the right to worship according to any religion and the right not to worship according to any religion.

Reactionary religions which are detrimental to Democratic Kampuchea and Kampuchean people are absolutely forbidden.

Chapter Sixteen Foreign Policy

Article 21 Democratic Kampuchea fervently and earnestly desires to maintain close and friendly relations with all countries sharing a common border and with all those near and distant throughout the world in conformity with the principles of mutual and absolute respect for sovereignty and territorial integrity.

Democratic Kampuchea adheres to a policy of independence, peace, neutrality and non-alignment. It will permit absolutely no foreign country to maintain military bases on its


(6)

Sumber:

http://www.d.dccam.org/Archives/Documents/DK_Policy/DK_Policy_DK_Constitution.ht

m (Akses: 24/04/2015)

territory and is resolutely opposed to all forms of outside interference in its internal affairs, and to all forms of subversion and aggression against Democratic Kampuchea from outside, whether military, political, cultural, social, diplomatic, or humanitarian.

Democratic Kampuchea refuses all intervention in the domestic affairs of other countries, and scrupulously respects the principle that every country is sovereign and entitled to manage and decide its own affairs without outside interference.

Democratic Kampuchea remains absolutely within the great family of non-aligned nations.

Democratic Kampuchea strives to promote solidarity with the peoples of the Third World in Asia, Africa, and Latin America, and with peace- and justice-loving people the world over, and to contribute most actively to mutual aid and support in the struggle against imperialism, colonialism, neo-colonialism, and in favour of independence, peace, friendship, democracy, justice, and progress in the world.