1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Profesi akuntan publik semakin berkembang karena kebutuhan perusahaan publik yang membutuhkan jasa akuntan publik untuk menilai laporan
keuangannya. Banyaknya kebutuhan akan jasa akuntan publik disebabkan oleh keinginan perusahaan publik untuk menyajikan laporan keuangan secara
wajar. Laporan
keuangan merupakan
suatu media
utama untuk
mengkomunikasikan informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar entitas. Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban dan penyampaian
informasi keuangan suatu perusahaan atau organisasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan, eksternal maupun internal Jensen dan Meckling, 1976 dalam
Wijaya, 2013. Disinilah pentingnya sistem pelaporan akuntansi dan auditing dalam proses pemenuhan kontrak sosial perusahaan dengan pihak
stakeholders Wijaya, 2013. Keandalan laporan keuangan sangat dibutuhkan oleh pihak stakeholder karena berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
Kinerja dari suatu perusahaan dapat dilihat dari laporan keuangannya dan oleh karena itu, manajemen perusahaan memiliki kewajiban untuk menyajikan
laporan keuangan yang dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Namun, laporan keuangan yang disusun oleh manajemen perusahaan bisa
berpotensi adanya unsur kepentingan pribadi, sementara pihak di luar entitas membutuhkan informasi laporan keuangan yang dapat diandalkan. Auditor
2 sebagai pihak yang menyediakan fungsi audit diharapkan mampu
menjembatani kepentingan dari pihak manajemen maupun pihak stakeholder. Untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat diandalkan, auditor
harus memiliki objektivitas dalam menyatakan kewajaran laporan keuangan tersebut. Objektivitas dipengaruhi oleh independensi yang merupakan keadaan
yang bebas dari pengaruh perusahaan klien. Melalui standar audit, seorang auditor diwajibkan bersikap independen, dalam arti tidak mudah dipengaruhi,
karena pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan mayarakat umum. Guna menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik, maka auditor dalam
melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia IAI, yakni standar umum, standar
pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. Standar umum mengatur persyaratan pribadi auditor. Kelompok standar ini mengatur keahlian dan
pelatihan teknis yang harus dipenuhi agar seseorang memenuhi syarat untuk melakukan audit, sikap mental independen yang harus dipertahankan oleh
auditor dalam segala hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan perikatannya, dan keharusan auditor menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat
dan seksama Mulyadi, 2002 dalam Rapina, et al, 2010. Selain standar audit, akuntan publik atau auditor independen dalam
menjalankan tugasnya harus memegang prinsip-prinsip profesi baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Prinsip-prinsip ini
mengatur tentang tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas,
3 objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku
profesional, dan standar teknis Simamora, 2002 dalam Rapina et al, 2010. Berkenaan dengan profesionalismenya tersebut sebagai seorang auditor,
pada satu sisi muncul berbagai keraguan mengenai independensi tersebut yaitu, apakah hubungan kerja yang panjang antara KAP dan klien
kemungkinan menciptakan suatu ancaman terhadap hubungan yang terjalin diantara mereka sehingga dapat mempengaruhi objektivitas dan independensi
KAP. Menurut Divianto 2011 independensi auditor adalah kunci utama dari profesi audit, termasuk untuk menilai kewajaran laporan keuangan. Menurut
Badjuri 2011 independensi mencakup dua aspek yaitu independensi dalam fakta in fact dan independensi dalam penampilan in appearance.
Independensi in fact merupakan kemampuan auditor untuk bersikap bebas, jujur, dan objektif dalam melakukan penugasan audit. Sedangkan
independensi in appearance adalah independensi yang dipandang dari pihak- pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan yang diaudit yang
mengetahui hubungan antara auditor dengan kliennya. Ada beberapa kasus yang terjadi karena lunturnya independensi auditor. Auditor mungkin saja
tidak menemukan bahkan mengabaikan kesalahan saji material, baik itu merupakan suatu kecurangan maupun kekeliruan. Hal ini dapat menyebabkan
kegagalan audit audit failure, di mana auditor tidak dapat menemukan kesalahan salah saji material dalam laporan keuangan yang di auditnya,
sehingga berdampak pada terjadinya kesalahan dalam memberikan opini terhadap laporan keuangan. Karena kelalaian tersebut, auditor mungkin saja
4 dapat dituntut secara hukum, terlebih jika kesalahan tersebut murni milik
auditor. Berikut merupakan kasus-kasus perusahaan yang memiliki hubungan
dengan auditornya yang disajikan dalam tabel 1.1 ini:
Tabel 1.1 Kasus
No. Nama Perusahaan
Kasus 1.
Enron Corporation Laporan keuangan Enron Corporation sebelumnya
dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh Kantor Akuntan Arthur Anderson, salah satu KAP dalam
jajaran Big Four, namun pada tanggal 2 Desember 2001 dinyatakan pailit. Kepailitan tersebut salah
satunya karena KAP Arthur Andersen memberikan dua jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan
konsultasi bisnis
Santoso, 2002
dalam Trisnaningsih 2007.
2. PT Kereta Api
Indonesia PT KAI Persero
Terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh KAP S.
Manan. Menurut komisaris PT KAI, seharusnya perusahaan BUMN tersebut mengalami kerugian
sebesar Rp
63 miliar,
namun dilaporkan
memperoleh keuntungan Sagara dan Jalil, 2013. Sumber: dari berbagai referensi
5 No.
Nama Perusahaan Kasus
3. PT Great River
Internasional, Tbk. Auditor investigasi dari BAPEPAM menemukan
indikasi penggelembungan
account penjualan,
piutang dan aset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan PT Great River Internasional, Tbk
tahun 2003 yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam
membayar utang. Sebelumnya PT Great River Internasional, Tbk. Diaudit oleh KAP Justinus
Aditya Sidharta dan menyatakan KAP Justinus Aditya Sidharta menjadi tersangka karena telah
salah dalam mengaudit perusahaan PT Great River Internasional, Tbk Hutabarat, 2012.
4. PT Kimia Farma, Tbk.
Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar
Rp 132 miliar, dan laporan tersebut diaudit oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa HTM. Akan tetapi,
Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung
unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma
2001 disajikan kembali restated, karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Tabel 1.1 Lanjutan
Sumber: dari berbagai referensi
6 No.
Nama Perusahaan Kasus
4. PT Kimia Farma, Tbk.
Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau
lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7 dari laba awal yang dilaporkan Sagara dan Jalil,
2013 Sumber: dari berbagai referensi
Pembatasan tenure masa perikatan audit merupakan usaha untuk mencegah auditor terlalu dekat berinteraksi dengan klien sehingga menggangu
independensi auditor. Salah satu anjuran adalah ketentuan pergantian KAP secara wajib mandatory yang dilandasi alasan teoritis bahwa penerapan
pergantian auditor dan KAP secara wajib diharapkan akan meningkatkan independensi baik secara penampilan maupun secara fakta Giri, 2010.
Pembatasan tenure auditor merupakan usaha untuk mencegah auditor terlalu dekat berinteraksi dengan klien sehingga mengganggu independensinya Giri,
2010. Menurut Wijayanti 2011 kritik terhadap independensi tersebut tidak bisa dilepaskan pula dari fakta perbandingan jumlah Kantor Akuntan Publik
dengan jumlah perusahaan yang diaudit. Jumlah kantor akuntan selalu lebih kecil daripada jumlah perusahaan yang meminta jasa audit. Kantor akuntan
sendiri memiliki perbedaan kualitas antara kantor akuntan yang satu dengan kantor akuntan yang lain sehingga perusahaan akan cenderung memilih kantor
akuntan yang mempunyai kualitas auditor yang baik. Selain itu, ada kecenderungan pula bahwa perusahaan hanya akan memilih kantor akuntan
Tabel 1.1 Lanjutan
7 yang sepakat dengan pilihan metode akuntansi tertentu. Kesimpulannya,
hubungan antara klien dengan auditor memang secara alami akan terjadi dan sangat besar kemungkinan akan terjalin dalam jangka waktu yang panjang.
Di lain pihak sebenarnya auditor tidak keberatan untuk melayani klien dalam waktu yang lama, namun karena adanya kecenderungan yang akan membuat
hubungan yang “merasa nyaman” antara auditor dengan klien dapat mengancam independensi auditor dalam melakukan tugas auditnya, maka
perlu adanya pembatasan dalam masa perikatan audit. Dalam hal ini, perusahaan diberikan
pilihan, apakah akan tetap menggunakan KAP yang lama atau melakukan pergantian KAP auditor switching.
Pergantian KAP ini dapat dibedakan menjadi pergantian secara wajib mandatory dan pergantian secara sukarela voluntary. Pergantian terjadi
secara mandatory wajib, seperti yang terjadi di Indonesia, hal itu terjadi karena adanya peraturan yang mewajibkan.
Pergantian wajib dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pergantian wajib dlakukan sesuai dengan KMK-
359KMK.062003 tentang Jasa Akuntan Publik merupakan perubahan atas KMK-423KMK.062002 yang berlaku sejak tanggal 30 September 2002,
yang isinya antara lain menyebutkan akuntan publik yang menandatangani laporan audit hanya boleh menangani perusahaan yang sama paling lama 3
tiga tahun. Sedangkan KAP dibatasi paling lama 5 lima tahun. Peraturan ini berlaku sejak tanggal 21 Agustus 2003. Peraturan tersebut kemudian
diperbaharui dengan PMK-17PMK.012008 tentang Jasa Akuntan Publik
8 yang berlaku sejak tanggal 5 Februari 2008. Perubahannya ada 2 yaitu,
pemberian jasa audit umum oleh KAP paling lama untuk 6 enam tahun berturut-turut dan oleh akuntan publik paling lama untuk 3 tiga tahun buku
berturut-turut pada satu klien yang sama pasal 3 ayat 1, serta KAP dan akuntan publik boleh menerima kembali penugasan setelah satu tahun buku
tidak memberikan jasa audit umum kepada klien tersebut pasal 3 ayat 2 dan 3.
Mulai tahun 2008, menurut PMK-17PMK.012008 tentang Jasa Akuntan Publik, perusahaan diwajibkan melakukan pergantian KAP setelah enam tahun
menerima penugasan jasa audit dari suatu KAP. Sedangkan pergantian sukarela dilakukan apabila klien mengganti auditornya, ketika tidak ada
peraturan yang mewajibkannya untuk melakukan pergantian auditor Susan dan Trisnawati, 2011. Jika pergantian auditor terjadi secara voluntary
sukarela, maka faktor-faktor penyebab dapat berasal dari sisi klien misalnya kesulitan keuangan, manajemen yang gagal, perubahan ownership, Initial
Public Offering, dan sebagainya dan dari sisi auditor misalnya fee audit, kualitas audit, dan sebagainya.
Fenomena mengenai pergantian Kantor Akuntan Publik KAP memang sangat menarik untuk dikaji, hal ini dikarenakan banyak faktor yang dapat
mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan pergantian auditor atau KAP dengan hasil penelitian yang berbeda-beda. Faktor-faktor tersebut
dapat dipengaruhi oleh faktor klien maupun faktor yang berasal dari auditor. Bukti empiris menunjukkan, bahwa perusahaan yang melakukan penggantian
9 KAP secara sukarela disebabkan karena KAP yang terdahulu bertindak
konservatif dan tidak sejalan dengan kepentingan manajemen perusahaan, sehingga perusahaan melakukan penggantian KAP secara sukarela. Pergantian
KAP disebabkan karena perusahaan ingin mencari KAP yang dapat memenuhi kepentingannya. Menurut Sinarwati 2010, jika terjadi pergantian KAP oleh
perusahaan di luar ketentuan peraturan yang telah ditetapkan maka akan menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan dari investor sehingga penting
untuk diketahui faktor penyebabnya. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Susan dan Trisnawati
2011 yang menguji 5 faktor pergantian manajemen, opini akuntan, kesulitan keuangan perusahaan, ukuran KAP dan presentase perubahan ROA yang
dianggap berpengaruh terhadap pergantian KAP pada perusahaan manufaktur di Indonesia periode tahun 2004-2009 dan hasilnya variabel pergantian
manajemen dan ukuran KAP yang berpengaruh secara signifikan terhadap pergantan KAP, sedangkan opini akuntan, kesulitan keuangan perusahaan dan
presentase perubahan ROA tidak berpengaruh. Penelitian yang dilakukan oleh Divianto 2011 menguji ukuran KAP dan
opini auditor terhadap pergantian KAP. Penelitian ini memberikan bukti bahwa opini audit berpengaruh terhadap pergantian KAP, sedangkan ukuran
KAP tidak berpengaruh terhadap pergantian KAP. Penelitian yang dilakukan oleh Aprillia 2013 menguji variabel
pergantian manajemen, kepemilikan publik yang diproksikan dengan persentase saham yang dimiliki oleh publik atau masyarakat, kesulitan
10 keuangan perusahaan dan ukuran KAP. Hasilnya hanya variabel ukuran KAP
saja yang berpengaruh terhadap pergantain KAP, sedangkan variabel pergantian manajemen, kepemilikan publik dan kesulitan keuangan
perusahaan tidak berpengaruh terhadap pergantian KAP. Penelitian yang dilakukan oleh Kawijaya dan Juniarti 2002
menggunakan variabel opini wajar dengan pengecualian, merger, pergantian manajemen dan ekspansi. Hasilnya tidak ada yang signifikan dari variabel
yang diuji. Penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi dan Wilsya 2009 menyatakan
bahwa tipe KAP dan pertumbuhan perusahaan yang diukur dengan total asset berpengaruh secara signifikan terhadap kemungkinan pergantian KAP.
Sedangkan ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan yang diukur dengan perubahan sales, perubahan MVE dan perubahan income dan masalah
keuangan tidak berpengaruh signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pergantian auditor di Indonesia.
Penelitian Pratini dan Astika 2013 yang menguji variabel opini auditor, ukuran KAP, pergantian manajemen dan kesulitan keuangan perusahaan.
Dengan hasil penelitian pergantian manajemen dan kesulitan keuangan perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pergantian auditor di
perusahaan manufaktur, sedangkan opini auditor dan ukuran KAP tidak berpengaruh terhadap pergantian auditor di perusahaan manufaktur.
Penelitian yang dilakukan Suyono, et al., 2011 menyatakan kondisi keuangan klien, tingkat persaingan di antara perusahaan audit dan masa
11 perikatan audit berpengaruh signifikan terhadap pergantian KAP, sedangkan
fee audit dan ukuran KAP tidak berpengaruh terhadap pergantian KAP. Berdasarkan uraian di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan
penelitian ini karena pertama, pergantian KAP yang terjadi di Indonesia diindikasikan oleh adanya perusahaan-perusahaan tersebut melakukan
pergantian KAP secara wajib, bukan karena adanya suatu aturan yang mengaharuskan untuk melakukan pergantian KAP, melainkan karena adanya
maksud dan kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pergantian KAP. Semakin tidak independen seorang auditor, maka kualitas
audit akan semakin rendah. Kedua, beberapa peneliti telah menguji faktor- faktor yang mempengaruhi pergantian KAP dan memiliki hasil empiris yang
berbeda-beda. Penelitian ini mengacu dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Susan dan Trisnawati 2011. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Variabel Penelitian sebelumnya menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
pergantian KAP, dimana variabel independennya yaitu pergantian manajemen, opini akuntan, kesulitan keuangan perusahaan, ukuran KAP
dan presentase perubahan ROA. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengambil 2 variabel yang signifikan saja yaitu pergantian manajemen
dan ukuran KAP dan menambahkan 2 variabel yaitu tingkat pertumbuhan perusahaan dan fee audit.
2. Objek dalam penelitian ini adalah sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI selama periode 2009-2014, sedangkan
12 penelitian sebelumnya adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta BEJ selama periode 2004-2009. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang
berjudul
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perusahaan Manufaktur di Indonesia Melakukan Pergantian Kantor Akuntan
Publik”.
B. Perumusan Masalah