Jadi proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana terorisme memerlukan ketentuan khusus yang diatur secara tersendiri, di samping ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam KUHP.
96
Pemberlakuan Perppu No. 1 tahun 2002 ditujukan untuk kepentingan yang sangat besar, yaitu melindungi dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Meski demikian, pemerintah tetap akan menjamin kebebasan beragama dan
menjalankan keyakinan warganya. Berkaitan dengan peristiwa bom Bali, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa DK PBB mengeluarkan
Resolusi Nomor 1438 2002 yang berisi simpati kepada pemerintah dan rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya, serta menyerukan kepada semua negara berdasarkan Resolusi Nomor 1373 2002 untuk bekerja sama
membantu pemerintah Indonesia untuk mengungkap pelaku yang terkait dengan peristiwa tersebut dan membawanya ke pengadilan.
97
[]
BAB III MOZAIK NAHDLATUL ULAMA NU
A. Visi NU 1.
Visi Kebangsaan
96
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perppu tentang Pemberantasan terorisme..., pada 18 Oktober 2002.
97
Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perppu tentang Pemberantasan terorisme... , pada 18 Oktober 2002.
Visi kebangsaan NU adalah cara pandang NU terhadap bangsa Indonesia sebagai sebuah satu kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat dengan segala kebhinekaannya.
Visi kebangsaan adalah ruh nasionalisme.
98
Tanpa nasionalisme, bangsa Indonesia akan tercerai berai.
Untuk melihat secara jelas visi kebangsaan NU dalam rentang panjang sejarah bangsa Indonesia, penulis menguraikannya secara historis dari sejak kemunculan
embrio NU di awal abad ke-20. Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlussunnah Waljamaah Aswaja. Organisasi ini didirikan oleh
beberapa ulama pada 31 Januari 1926, atau 16 Rajab 1334 H. dengan nama resmi Nahdlatul Ulama yang secara harfiah berarti kebangkitan para ulama.
99
Dalam konteks berbangsa, NU berpedoman pada visi kebangsaan di bawah wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, babak awal visi kebangsaan NU bisa dirunut dari sejak awal
proses kemunculan NU yang tidak bisa dilepaskan dari perannya sebagai agent of change
dan lokomotif perjuangan bagi rakyat Indonesia pada masa kolonial Belanda. Awal abad 18 situasi dirasakan oleh masyarakat Indonesia semakin sulit. Hal ini
karena Belanda mengeluarkan kebijakan tanam paksa 1830-1870 kepada rakyat Indonesia.
100
Pemerintah kolonial Belanda membutuhkan ongkos untuk pembangunan di negaranya, di samping untuk biaya ekspansi kolonialismenya. Kebijakan ini
dirasakan oleh rakyat Indonesia sangat menyengsarakan. Karena itu, sikap antipati rakyat Indonesia terhadap penjajah semakin menjadi-jadi hingga memunculkan
benih-benih perlawanan. Untuk mengamankan kebijakan ini, Belanda merasa perlu untuk menggandeng
kalangan feodal dan ningrat pribumi untuk bekerja sama. Dengan begitu, perlawanan-
98
Pandangan ini disarikan dari beberapa wawancara terhadap tokoh-tokoh NU antara lain, KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Agil Siradj, dan KH. Makruf Amin.
99
KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, Bandung: Penerbit Baru, 1970, h. 5
100
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terj. Hasan Basri, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h. 13.
perlawanan tersebut bisa diminimalisasi. Situasi ini berdampak pada disintegrasi sosial yang cukup tajam antara pribumi yang diuntungkan dan yang terjajah sehingga
muncul perlawanan di beberapa daerah. Salah satunya adalah pemberontakan petani di Banten.
101
Karena skala kecil, umumnya pemberontakan dapat ditangani dengan mudah oleh militer Belanda. Namun begitu, tidak berarti perlawanan rakyat terhadap Belanda
menjadi redup. Gerakan perlawanan tetap menguat namun muncul dalam bentuk lain yang terselubung, yaitu kegiatan keagamaan yang umumnya dipimpin oleh kalangan
ulama kyai. Mereka mengorganisasikan diri dengan baik dalam bentuk kegiatan- kegiatan keagamaan dan sosial, seperti tarekat, pengajian, madrasah diniyah, dan
pesantren. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan pihak Belanda. Kelompok-kelompok
massa yang terorganisir dari lingkungan pesantren tersebut sangat berpotensi mengganggu kepentingan kolonialisme. Belanda juga menyadari bahwa sikap antipati
kepada mereka yang ditunjukkan oleh bangsa Indonesia telah menguat di mana-mana. Untuk mengantisipasi situasi yang demikian, akhirnya pemerintah kolonial
Belanda menerapkan kebijakan politik balas budi. Kebijakan ini dilaksanakan dalam bentuk ikut menciptakan kemakmuran rakyat dan memberikan kesempatan kepada
bangsa Indonesia untuk memperoleh hak-hak dasar seperti hak memperoleh pendidikan, yaitu dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, fasilitas
perekonomian, dan fasilitas umum. Tujuannya adalah agar tercipta situasi sosial politik yang stabil dan terkendali sehingga gejolak perlawanan rakyat dapat dengan
sendirinya meredup. Sayangnya kebijakan politik etis tersebut tidak dibarengi dengan perubahan sikap pemerintah Belanda yang masih semena-mena dan otoriter dalam
menjalankan kekuasaan. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak mampu merebut hati rakyat dan meredam sikap antipati mereka.
101
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan..., h. 14.
Situasi di tanah air inilah yang kemudian membangkitkan obsesi sejumlah pemuda NU untuk melakukan perubahan nasib bangsanya, di antaranya adalah Abdul
Wahab Hasbullah, Mohammad Dahlan, Asnawi, dan Abbas. Mereka lantas mendirikan sebuah organisasi di bidang pendidikan dan dakwah pada tahun 1914
yang dinamakan Nahdlatul Wathan kebangkitan tanah air. Lembaga ini secara resmi mendapatkan badan hukum pada tahun 1916 berkat bantuan pemimpin SI, yaitu HOS.
Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto.
102
Pada tahun 1918, atau empat tahun setelah didirikannya Nahdlatul Wathan, Abdul Wahab dan Mas Mansur dibantu beberapa temannya kemudian mendirikan organisasi
di Surabaya yang diberi nama Tashwîrul Afkâr yang artinya representasi pemikiran. Organisasi ini bergerak di bidang yang sama namun lebih menekankan pada aspek
sosial.
103
Pada tahun 1918, Abdul Wahab dan kawan-kawan juga mendirikan sebuah koperasi untuk tujuan memberdayakan ekonomi umat. Hal ini dapat terlaksana
setelah mendapatkan restu dari gurunya, KH. Hasyim Asyari. Koperasi ini kemudian dinamakan “Nahdlatut Tujjâr” yang artinya kebangkitan para pedagang.
104
Jadi, meskipun NU secara organisasi saat itu belum terbentuk secara resmi, namun sebenarnya telah dimulai suatu upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk
melakukan perubahan sosial dalam konteks membangun bangsa. Ketiga organisasi tersebut akhirnya menjadi embrio munculnya organisasi Nahdlatul Ulama yang
kemudian berdiri pada 31 Januari 1926.
105
Organisasi NU kemudian menjadi media berkiprahnya para ulama untuk mengaktualisasikan diri dan membangun cita-cita bersama, yaitu mewujudkan
masyarakat yang merdeka dan bermartabat berdasarkan akidah Ahlussunnah Waljamaah.
102
Para pemuda inilah kelak yang menjadi ulama berpengaruh di kalangan ulama tradisionalis. KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan..., h. 7
103
KH. Hamid Sjahid, Riwayat Tashwirul Afkar, Naskah Pidato Peringatan 50 Tahun, Surabaya, 1968.
104
KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan..., h. 12
105
KH. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan..., h. 14
Babak selanjutnya dari visi kebangsaan NU adalah bisa dilihat dari peran NU dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Perjuangan
kemerdekaan memiliki implikasi yang sangat luas terhadap nasib bangsa Indonesia ke depan. Dengan kemerdekaan, bangsa Indonesia akan bisa mengatur dan
mengembangkan diri mereka sebagai bangsa yang berdaulat. Upaya ini bisa dilihat pada peran-peran NU dalam gerakan revolusi kemerdekaan saat itu, baik pada masa
perang gerilya di mana NU membentuk pasukan Hisbullah dan Sabilillah, maupun perannya dalam persiapan kemerdekaan, seperti pembentukan Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI.
106
Para ulama NU juga mengeluarkan fatwa tentang jihad yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Fatwa tersebut menyatakan bahwa perjuangan memperoleh
kemerdekaan bangsa adalah jihad di jalan Allah dan wajib dilakukan oleh setiap warga negara. Dengan Resolusi Jihad ini, kalangan NU meminta kepada seluruh
rakyat Indonesia untuk melawan dengan segenap kemampuan atas segala usaha yang menghambat dan akan menggagalkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Resolusi jihad jilid II muncul kembali pada muktamar NU pada tahun 1946, yang berisi seruan kepada semua umat Islam untuk berperang di jalan Allah jihâd fî
sabîlillâh dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa.
107
PBNU mengeluarkan resolusi jihad tersebut dipicu oleh adanya usaha-usaha kembalinya
kolonialisme dan imperialisme di bumi Indonesia. Momentum lainnya yang menegaskan visi kebangsaan NU adalah ketika NU ikut
andil dalam penghapusan 7 kalimat dalam Piagam Jakarta pada saat sidang PPKI dari Pembukaan UUD 1945. Tujuh kalimat tersebut adalah “Negara berdasar Ketuhanan
106
Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2006 h. 221
107
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1979 hal. 636-637
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk- pemeluknya”.
108
Sikap NU ini didasari kesadaran pemahaman bahwa negara Indonesia terdiri dari masyarakat yang beraneka ragam suku, agama, dan keyakinan. Keberadaan mereka
harus dihargai sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama. Karena itu, fundamen bangsa ini harus dibangun di atas kepentingan bersama dengan tanpa
memaksakan kehendak suatu kelompok di atas kelompok lainnya. Selain itu, penghapusan ini untuk menghindari ekstremitas penerapan syariat Islam dalam
ideologi negara. Visi kebangsaan NU teruji kembali ketika pemerintah mengharuskan asas tunggal
bagi seluruh organisasi di Indonesia. Di tengah derasnya penolakan kebijakan tersebut oleh ormas Islam, NU bisa menerima kebijakan tersebut sebagai bentuk
pengokohan visi kebangsaannya.
109
Kalangan NU berpendapat bahwa rumusan nilai- nilai yang dijadikan dasar negara Republik Indonesia itu sebenarnya sudah tuntas
dengan diterapkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Apalagi dalam prosesnya dulu, umat Islam terlibat dan aktif dalam merumuskannya sehingga Pancasila sebagai
dasar negara dapat disepakati dan dianggap tidak bertentangan dengan Islam. NU sendiri, yang berhaluan aqidah dan syariah Islam menurut faham Ahlussunnah
Waljamaah, sejak semula telah menerima Pancasila sebagaimana bunyi dan makna yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas tunggal telah dipikirkan oleh para ulama dari sudut keagamaan dan pemahaman NU terhadap sejarah bangsa, jadi bukan
108
Salah satu tokoh NU yang mengusulkan menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta tersebut adalah KH. A. Wahid Hasyim dari unsur NU. Inilah bentuk komitmen nyata dari visi kebangsaan yang
diusung NU. Lihat: Abdurrahman Wahid, Islamku..., h.23
109
Di kalangan NU awalnya terdapat friksi. Sebagian ulama NU menolak kebijakan ini. Namun friksi ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik pada Munas NU di Situbondo tahun 1983. KH. Achmad
Siddiq menjelaskan bahwa keputusan menerima Pancasila sebagai asas tunggal bukan berarti mendukung Pancasila sebagai agama. Jika Pancasila dijadikan agama nasional memang harus ditentang. Melalui
perdebatan yang panjang, para ulama akhirnya menyetujui Pancasila sebagai asas tunggal. Andre Feillard, NU vis a Vis Negara: Pencarian isi, Bentuk, dan Makna,
Yogyakarta: LKiS, 1999 hal. 243-245
sekedar karena situasi terpinggirkannya NU dalam pentas politik nasional pada pemilu 1982.
Dengan demikian, NU bukan saja organisasi sosial keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, tapi NU juga mewacanakan paradigmanya
mengenai hal ini dan menjadi inspirasi bagi umat Islam lainnya sehingga kelompok- kelompok Islam lainnya menyusul menerimanya.
Momentum terakhir yang menunjukkan visi kebangsaan NU bisa dilihat dari sikap NU dalam melihat persoalan-persoalan bangsa belakangan ini, seperti
separatisme, konflik-konflik horizontal, dan terorisme. NU secara tegas menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar lagi. Segala upaya separatisme yang mengancam keutuhan bangsa adalah bentuk pembangkangan pemberontakan yang tidak bisa ditolerir, baik dari sisi
nasionalisme maupun agama. Demikian juga saat di Indonesia muncul berbagai konflik yang bernuansa SARA.
NU tidak ikut meleburkan diri pada konflik tersebut. Pada kasus konflik Maluku misalnya, di permukaan yang terlihat adalah perang antara umat Islam melawan umat
Kristen. NU tidak melakukan pembelaan atas nama solidaritas agama, yaitu dengan mengirimkan pasukan ke wilayah konflik tersebut untuk membantu umat Islam di
sana. Tetapi NU berupaya keras untuk mendamaikan tersebut atas nama persatuan dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Munculnya beragam aksi radikalisme agama dan terorisme di Indonesia yang oleh NU disikapi dengan mewacanakan tema-tema inklusivitas beragama, pluralisme,
toleransi, persatuan, dan persaudaraan kepada bangsa Indonesia. NU juga mengingatkan akan adanya upaya kolonialisme gaya baru yang akan menjajah
Indonesia melalui isu-isu global seperti terorisme. Dengan demikian, dengan melihat berbagai peristiwa tersebut, maka bisa
disimpulkan bahwa visi kebangsaan NU sangat tegas. Visi kebangsaan menjadi karakter yang melekat dalam diri generasi NU secara turun menurun. Karena itu
dalam banyak hal, visi kebangsaan digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan dan sikap NU ketika menyikapi masalah bangsa Indonesia.
2. Visi Keagamaan
Dalam hal keyakinan, NU mengkhidmatkan diri kepada pada nilai-nilai luhur agama Islam dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. NU berpendirian bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘âlamîn yang akan membawa seluruh umat manusia
kepada kehidupan yang damai, saling menyayangi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Rahmatan lil ‘âlamîn
jelas mengandung arti bahwa ajaran dan pesan-pesan Islam berlaku universal bagi seluruh umat manusia tanpa tersekat oleh dimensi ruang dan waktu.
110
Karena itu, penting bagi NU menjelaskan hal ini untuk kembali menyegarkan hakikat ajaran Islam yang hanif dan damai sehingga Islam tidak muncul dengan wajah menyeramkan, sebagaimana yang tampak dalam perilaku keagamaan kelompok-
kelompok Islam garis keras di Indonesia. Karakter damai yang melekat pada visi ini didasarkan pada pemaknaan istilah Islam itu sendiri yang berarti damai, selamat,
dan berserah diri kepada Allah. Makna ini jelas menegasikan adanya kekerasan dalam implementasi semua ajarannya. Sementara cita-cita dasar dari agama ini sebagaimana disebut dalam Al-Quran QS. Al-Anbiya [21]: 107
111
adalah menjadikan rahmat bagi alam semesta rahmatan lil ‘âlamîn. Artinya, kehadiran Islam di tengah-tengah umat manusia harus mampu
membawa kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam. Karena menjadi rahmat bagi alam semesta, maka Islam memiliki sistem yang mengatur tata cara hidup manusia yang
menyangkut semua aspek kehidupan. Namun begitu, ditegaskan pula bahwa Islam juga melarang untuk memaksa nonmuslim untuk meyakini akidah Islam itu sendiri. Artinya, Islam tetap membebaskan manusia untuk memilih dan menjalankan
keyakinannya. Karena itu jika terdapat pemaksaan akidah Islam terhadap nonmuslim berarti telah mengingkari pesan Islam sendiri.
NU bersikap terbuka inklusif akan adanya keyakinan lain yang tumbuh dalam masyarakat. Sebab, persoalan keyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia. Ajaran Islam sendiri melarang pemaksaan terhadap agama dan wajib menghormati
keyakinan orang lain.
110
A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 36
111
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”.
Agaknya, inilah terkadang yang tidak disadari oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus, meski sadar tidak boleh memaksakan keyakinan Islam kepada orang lain, namun dalam prakteknya mereka melakukannya. Adanya upaya
untuk memberlakukan syariat Islam dan mendirikan khilafah Islam di Indonesia yang penduduknya dari Sabang sampai Merauke memiliki keragaman keyakinan, sama artinya dengan memaksakan Islam terhadap penganut agama lain secara tidak langsung.
Yang demikian jelas merupakan pelanggaran moral agama. Apalagi jika upaya tersebut dilakukan dengan cara-cara kekerasan, jelas merupakan bentuk kejahatan agama dan kemanusiaan.
Menengok sikap keberagamaan Rasulullah dulu, selama hampir 23 tahun menjalankan misi Islam, Nabi tidak pernah memaksakan apalagi dengan cara-cara keras. Secara konsisten Nabi selalu menggunakan pendekatan damai sehingga misi
kerahmatan lintas suku, budaya, dan agama dapat berkembang dengan baik. Cara seperti ini dilakukan sejak di Mekkah hingga di Madinah. Bahkan ketika Nabi memiliki kekuatan mapan di Madinah, ia tetap konsisten dengan cara damai dan beradab. Ia
membangun masyarakat Islam Madinah namun pada saat yang bersamaan Nabi memberikan kemerdekaan beragama dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama masing-masing sebagaimana yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Kalaupun
Nabi melakukan peperangan yang identik dengan kekerasan hal ini dilakukan untuk mempertahankan diri defensif dalam rangka menuju perdamaian, sebagaimana peristiwa penaklukan kota Mekkah. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif, destruktif
dan harus menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh warga sipil, anak-anak perempuan, orang tua, menghancurkan lingkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, bahkan membunuh hewan tunggangan perang sekalipun. Demikian wasiat
yang senantiasa disampaikan oleh Nabi pada saat perang.
112
Visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn mementingkan pemahaman pesan dasar ajaran Al-Quran. Artinya ajaran Islam dipahami oleh kalangan NU tidak secara literal, namun mengedepankan nilai-nilai substansinya. Sehingga pesan atau ruh dari ajaran
tersebut bisa diterapkan di mana pun dan kapan pun. Dengan pemahaman demikian maka agama Islam akan bisa dijalankan sesuai dengan cita-citanya, yaitu rahmat bagi alam semesta.
Pemahaman yang demikian, oleh NU kemudian dikembangkan melalui paradigma substantif-inklusif.
113
Paradigma ini menegasikan pemahaman agama secara kaku, literal, tertutup, dan intoleran.
Paradigma substantif-inklusif NU memiliki beberapa implikasi antara lain, pertama, keyakinan bahwa ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi berisi aspek-aspek etik dan pedoman moral bagi kehidupan manusia, tetapi tidak
112
Ahmad Baso, NU Studies, Jakarta: Erlangga, 2006, h.416
113
Istilah ini dikenalkan oleh DR. Syafi’i Anwar untuk menilai karakter keberagamaan kalangan NU sebagaimana yang dicontohkan oleh Gus Dur.
menyediakan detail-detail pembahasan terhadap setiap persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pedoman moral tersebut menuntun manusia untuk bisa bersikap benar dalam menjalani kehidupannya. Nilai-nilai moral tersebut antara lain
keadilan, kesetaraan, hak asasi, kebebasan, dan demokrasi. NU menolak cara beragama kelompok-kelompok Islam keras yang melihat bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap dan sempurna yang mampu
memecahkan semua permasalahan kehidupan umat manusia. Tegasnya, dalam konteks sosial, Islam hanya menyediakan pilar- pilar dasar yang berlaku universal yang penerjemahan operasionalnya secara detail tergantung pada kesepakatan dan pemahaman
masing-masing pemeluknya, yang tentu memiliki keunikan masing-masing berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan bentukan sosial budayanya.
Kedua , paradigma ini meniscayakan pelaksanaan ajaran Islam secara damai. NU tidak pernah bersikap keras dalam
melaksanakan ajaran Islam sebab Islam tidak mengenal kekerasan. Pemaksaan kehendak atas nama dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar, apalagi jika dilakukan dengan kekerasan dan cara-cara yang merusak, sama sekali tidak dibenarkan oleh
ajaran Islam. Bahkan, cara tersebut justru akan mencederai kemuliaan ajaran Islam. Ketiga
, paradigma ini menegaskan bahwa syariat tidak terikat oleh suatu negara. NU melihat bahwa syariat adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis sebagai hukum Tuhan yang tidak harus dijadikan sebagai dasar negara dan
konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh proses pemerintahan. Paradigma substansif-inklusif NU juga berimplikasi pada persoalan pluralisme
114
. Dalam pandangan Hasyim Muzadi, NU menerima keanekaragaman agama, keyakinan, suku, dan budaya sebagai kenyataan yang tidak bisa ditolak di bumi Indonesia.
Pandangan demikian akan mengantarkan pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi mulia. Syariat tidak boleh dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik dan ambisi kekuasaan. Karena itu, NU menolak secara tegas upaya formalisasi syariat Islam di
Indonesia. Semua itu bahkan menjadi kekayaan dan anugerah bagi bangsa Indonesia jika disikapi dengan benar. Karena itu, kesadaran pluralisme menjadi hal yang justru wajib dimiliki oleh setiap warga negara. Menafikan pluralisme beragama berarti
mengingkari kesejarahan bangsa Indonesia sendiri.
115
Kesadaran akan pengakuan eksistensi umat lain di luar keyakinan Islam, merupakan bentuk pengakuan eksistensi kemajemukan umat manusia. Islam memberikan apresiasi yang sangat baik terhadap pluralisme, baik secara substansif maupun
114
Pluralisme adalah keadaan dimana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan identitas mereka di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan. Lihat:
Salim MA, The Dictionary English, h. 1436
115
A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU Melalui Penyembuhan Luka Bangsa, Jakarta, PBNU, 2002, h. 34
secara simbolik. Dalam Al-Quran pluralitas disebut sebagai sunnatullah QS. Yunus [10]:99. Al-Quran juga memberikan kebebasan dalam beragama QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan QS. Al-Kafirun [109]: 6. Dalam ayat lain, apresiasi yang mendalam
juga diberikan kepada kalangan agama nonmuslim, seperti Kristiani, Yahudi, Shabi’ah yang beramal saleh, bahwa mereka mendapatkan pahala yang setimpal di akhirat.
Dalam paradigma NU, Islam sebenarnya telah mengatur tata hubungan masyarakat menyangkut aspek teologi, ritual, sosial, serta humanitas. Pada tataran teologi, Islam memberikan rumusan secara tegas dan baku, yang harus diyakini oleh setiap
pemeluknya tanpa sedikit pun menyisakan celah toleransi bagi tindak penyimpangan dan tindakan memaksa nonmuslim agar bersedia untuk memeluk agama Islam. Begitu juga aspek ritual, yang memang sudah ditentukan bentuk-bentuk operasionalnya
dalam Al-Quran dan Hadits. Namun dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar yang
penerjemahan operasionalnya secara detail sangat tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-masing komunitas masyarakat, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagamaan lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
116
Dalam pandangan NU, tidak ada satu pun agama yang membenarkan kekerasan, ketidakjujuran, penindasan, kekejaman, serta tindakan-tindakan yang dapat merendahkan martabat manusia sehingga tidak ada pula agama yang tidak menganjurkan
usaha menjalin hubungan antar kaum beriman, baik demi membangun rasa saling memahami dan menghormati, maupun dalam rangka mengembangkan usaha bersama.
Beragama secara jernih bisa diartikan sebagai kesanggupan menempatkan pilar teologi, ritual, sosial, dan humanitas dalam bingkai keislaman. Karenanya, umat beragama di Indonesia tidak boleh saling memengaruhi dan mengintervensi di bidang
teologi dan ritual. Tetapi, mereka harus bersatu di bawah pilar-pilar kehidupan sosial dan kemanusiaan yang pada dasarnya menunjukkan suatu persamaan.
Kemoderatan sikap beragama NU dilandasi oleh wacana keberagamaan substanstif-inklusif yang selama ini menjadi cara pandang NU terhadap agama. Dengan wacana ini pula, NU menjadi pluralis dan beradaptasi dengan baik dalam kultur
masyarakat setempat.
117
116
A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU..., h. 47
117
Cara pandang NU yang demikian melekat pada beberapa pemikiran para tokohnya. Lebih jauh tentang pandangan ini baca: Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: Wahid
Institute, 2006 cet. I, atau Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin: Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia,
DEPAG RI, 2006.
NU membedakan antara pluralisme dengan kebenaran agama. Menerima secara positif dan hormat kepada agama lain bukan berarti harus mengatakan bahwa semua agama adalah sama. Sikap pluralis lebih merujuk pada kemampuan untuk hidup
secara berdampingan dengan umat beragama lain dalam suasana saling menghargai serta terikat oleh rasa persaudaraan berdasarkan komitmen kebangsaan dan kemanusiaan.
Jadi, pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui keberadaan dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan sebagai rahmat Tuhan kepada
manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis dan pergaulan budaya yang beraneka ragam. Pluralisme adalah perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Sebab, jika pluralisme hanya dipahami sebatas
pengetahuan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama, maka itu justru hanya akan memunculkan kesan fragmentasi saja, bukan pluralisme. NU menegaskan bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban. Dengan demikian, visi Islam rahmatan lil ‘âlamîn yang diusung oleh NU pada masa kepemimpinan KH. A. Hasyim
Muzadi bisa menjadi solusi yang tepat dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir terus memperlihatkan citra buruk seiring dengan adanya berbagai aksi kekerasan dan terorisme.
118
Dari uraian visi NU di atas, baik visi kebangsaan maupun visi keagamaan, ada dua hal penting yang harus digarisbawahi dalam keterlibatan NU dalam membentuk
nilai-nilai kebangsaan. Pertama, soal loyalitas NU terhadap perjuangan kemerdekaan dan dukungan untuk tidak menjadikan agama Islam sebagai dasar berdirinya bangsa
yang majemuk ini. Kedua, sebagai sebuah komunitas, NU adalah representasi autentik karakter bangsa Indonesia yang toleran terhadap kebudayaan luar sejauh
tidak merusak tatanan budaya yang tersedia. Tentang hal yang pertama, tidak bisa dinafikan bahwa perjuangan kemerdekaan
bangsa ini tidak lepas dari peran para ulama dengan latar pesantren yang kemudian menjadi basis inti dalam komunitas NU. Karena itu, peran NU sebagai pilar penting
118
Baca: Hasyim Muzadi, Islam Rahmatan lil Alamin: Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia, DEPAG RI, 2006.
kelangsungan bangsa Indonesia sulit diragukan. NU sudah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan identitas kebangsaan yang religius tetapi tidak
terjebak dalam bingkai negara agama. Kerelaan umat Islam, di antaranya masyarakat NU, untuk tidak memaksakan dasar negara Islam menjadi starting point yang
memuluskan bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk untuk hidup bersama secara setara.
Hal kedua, karakter Islam yang berakar pada tradisi lokal dan bersikap akomodatif terhadap kebudayaan baru yang dianggap lebih baik, membuat NU sulit
dibayangkan menjadi ancaman bagi ikatan kebangsaan. Dalam interpretasi NU, Islam yang dihayati tidak harus menggeser tradisi lama tanpa terjebak pada sikap antipati
dengan nilai-nilai baru. Sikap keagamaan semacam ini seakan melahirkan sebuah varian Islam Indonesia yang memiliki ciri pada sikap moderat, toleran, dan
akomodatif pada kebudayaan lokal. Dalam memelihara masa depan kebangsaan Indonesia, NU dihadapkan pada
tantangan yang membuat mereka harus bertarung dengan komunitasnya sendiri sesama umat Islam. Menguatnya radikalisme Islam di Indonesia adalah ancaman
yang dapat mengoyak kesatuan bangsa ini. Komitmen untuk mempertahankan kemajemukan dan kesetaraan warga di hadapan negara adalah garansi yang harus
tetap dijaga. Radikalisme tidak hanya mengancam kesatuan bangsa Indonesia sebagai sebuah
bangsa, tetapi juga masa depan umat Islam secara keseluruhan. Sekali radikalisme tersebut berkembang, maka nilai ikutan yang antikemanusiaan lainnya akan menjebak
bangsa Indonesia pada friksi yang berkepanjangan. NU telah menegaskan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan organisasi ini adalah nilai-nilai Islam yang selalu menjaga
kehidupan dan perdamaian. Tantangan lainnya adalah fenomena munculnya peraturan daerah Perda syariah
di beberapa daerah pasca pelaksanaan otonomi. Bukan soal keputusan tersebut diambil oleh mayoritas legislatif daerah, melainkan masalah jaminan bahwa negara
ini tidak mungkin melegalkan satu aturan yang hanya bicara pada satu kelompok agama tertentu. Setiap masyarakat selalu diisi oleh keragaman yang memiliki nilainya
sendiri. Untuk menjadi negara yang memiliki komitmen pada kesetaraan dan keadilan, maka tidak mungkin undang-undang yang hanya mewakili kelompok
tertentu disahkan dan digunakan. Ini bukan tidak disadari oleh NU sendiri, untuk mencegah yang demikian,
melakukan berbagai upaya agar yang demikian tidak terjadi. Dengan demikian kemampuan NU untuk memelihara keseimbangan ragam pemikiran yang ada serta
komitmen pada pluralitas kebangsaan adalah mutlak diperlukan.
B. Prinsip Kemasyarakatan NU
1. Mabâdi’ Khaira Ummah Sejak didirikannya, NU menempatkan kepentingan masyarakat sebagai orientasi
gerakannya. Cita-cita ini kemudian dirumuskan dalam istilah mabâdi’ khaira ummah yang berarti prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya
tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik.
119
Pada awalnya, para ulama NU berpandangan bahwa proses pembentukan masyarakat yang terbaik adalah dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq kejujuran,
al-wafâ’ bi al-‘ahd komitmen, dan al-ta’âwun komunikatif dan kerja sama. Tiga
prinsip dasar itulah yang mendasari cita-cita tersebut. Dalam perkembangannya, pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 1992,
para ulama melakukan penyempurnaan terhadap tiga prinsip mabâdi’ khairu ummah tersebut dengan menambahkan prinsip al-istiqâmah konsisten dan al-‘adâlah
keadilan.
119
Mabadi’ khaira ummah merupakan prinsip dan nilai keteladanan yang membentuk identitas warga NU melalui upaya pemahaman nilai luhur yang bertumpu pada lima sendi: al-shidqu kejujuran, al-
amanah wa al-wafa’ bi al-ahdi amanah dan memenuhi janji, al-‘adalah keadilan, al-ta’awun kerja
sama, dan al-istiqamah konsisten. Tim Penyusun, Konsepsi Pengembangan Sumberdaya Manusia di Lingkungan Nahdlatul Ulama,
Jakarta: PBNU dan Lakpesdam NU, 1994, hlm.5
Prinsip-prinsip mabâdi’ khairu ummah tersebut secara lebih detail. Pertama, al- shidq
. Prinsip ini secara luas memiliki arti kebenaran, keterbukaan, dan kesungguhan. Kejujuran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Sehingga
dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konseptualisasi, dan implementasi. Prinsip kejujuran secara otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunis,
distorsi dan manipulasi. Setiap orang dituntut untuk bisa jujur pada dirinya sendiri, orang lain, maupun kepada Allah. Al-shidq diartikan keterbukaan maksudnya adalah
pemahaman yang terbuka kepada orang lain dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Sedangkan al-shidq bermakna
kesungguhan, maksudnya kesungguhan mendorong manusia agar bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai amanat dan tugas.
Kedua, al-amânah wa al-wafâ’ bi al-ahdi. Prinsip ini memiliki maksud dapat dipercaya, setia, dan melaksanakan komitmen yang telah dibuat.
Manusia dituntut untuk menjadi pribadi yang dapat dipercaya dengan cara menepati semua komitmen yang telah dibuatnya, baik yang
berkaitan dengan agama maupun sosial. Manusia juga dituntut untuk menjadi pribadi yang setia, patuh, dan taat kepada Allah, Rasulullah
dan penguasa yang adil. Ketiga, al-‘adâlah. Prinsip ini bermakna keadilan dalam pengertian
obyektif, proporsional dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong manusia untuk berpegang kepada kebenaran obyektif dan bertindak
proporsional. Bersikap adil secara otomatis mencita-citakan kebaikan di muka bumi. Prinsip al-‘adâlah juga memberikan implikasi terwujudnya
komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dan kebijakan yang mengacu kepada rasionalitas. Karena itu prinsip keadilan dan kebaikan
merupakan dua sisi mata uang yang harus diperjuangkan bersama- sama.
Kelima, al-ta’âwun. Prinsip ini mengandung makna tolong- menolong, setia kawan, dan gotong-royong dalam mewujudkan
kebaikan dan ketakwaan. Prinsip al-ta’âwun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi dalam hal kebaikan,
bersifat material maupun spiritual. Jadi prinsip ini tidak digunakan dalam sikap-sikap yang destruktif.
Kelima, al-istiqâmah. Prinsip ini bermakna kesinambungan dan kontinuitas. Prinsip ini mendorong manusia teguh dalam menjalankan
ketentuan Allah, Rasul-Nya, serta para pemimpin yang saleh. Al- istiqâmah
juga mengandung
pengertian kesinambungan
dan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan lain dan satu periode
dengan periode lain sehingga semuanya merupakan satu kesatuan terkait yang saling menopang.
Lima prinsip mabâdi khaira ummah di atas merupakan prinsip yang harus dilaksanakan setiap warga NU. Prinsip ini merupakan cita-cita para pendirinya agar
warga NU menjadi umat terbaik yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga NU
dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah
.
2. Fikrah Nahdliyyah Selain itu, ulama NU juga merumuskan prinsip kemasyarakatan NU antara lain:
120
1 tawassuth dan i’tidâl, yaitu sikap moderat yang adil dan tidak memihak, tidak ekstrem melakukan sesuatu; 2 tasâmuh, yaitu toleran terhadap perbedaan pandangan
keagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan; 3 tawâzun, yaitu keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah, sesama manusia, dan lingkungan hidup; 4 amar
makruf nahi munkar , yaitu kepekaan berbuat baik dan mencegah hal-hal yang dapat
merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dalam melaksanakan prinsip yang terakhir ini, NU berpedoman pada kaidah “man kâna amruhu ma’rûfan falyakun bil
ma’rûf ”, maksudnya siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara-cara
yang baik pula.
3. Ukhuwwah Nahdliyyah Karakter masyarakat NU yang berada di pedesaan umumnya memiliki sikap
kebersamaan yang menonjol antara satu sama lain. Hal ini seperti umumnya warga pedesaan yang kental dengan norma-norma adat dan budaya gotong-royong. Hanya
saja, warga NU juga sangat memperhatikan landasan agama sebagai justifikasi sikap persaudaraan dan persatuan. Sikap inilah yang dalam NU dikenal dengan ukhuwwah
120
Tim Penyusun, Konsepsi Pengembangan..., h.17
nahdliyyah . Sikap ini menegaskan pentingnya persatuan, ikatan batin, tolong
menolong, dan kesetiaan antarmanusia sehingga dapat melahirkan kebahagiaan dan kasih sayang sesama.
Konsepsi ukhuwwah nahdliyyah merujuk kepada Mukadimah ADART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU perlu mengembangkan sikap persaudaraan demi
terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan, dan perdamaian dalam hubungan antarsesama.
121
Ukhuwwah nahdliyyah dalam pengertian yang lebih jelas berarti sikap persaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain, atau satu kelompok kepada kelompok lain dalam interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai agama, tradisi, dan sejarah bangsa.
Konsep ukhuwwah nahdliyyah ini diimplementasikan dalam tiga bentuk, yaitu: pertama, ukhuwwah islamiyah, yaitu persaudaraan antarpemeluk agama Islam.
Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh ikatan kesamaan agama. Sehingga Islam pun mengatur hubungan antar sesama pemeluk Islam agar terwujud persaudaraan dan
kerukunan yang berdasarkan saling pengertian dan menghormati di lingkup umat Islam sendiri. Bentuk persaudaraan ini tentu tidak dibatasi oleh wilayah, kebangsaan,
atau ras. Seluruh umat Islam di penjuru dunia adalah saudara. Kedua, ukhuwwah wathaniyah, yaitu persaudaraan antarsesama anak bangsa.
Setiap warga negara harus memiliki rasa persaudaraan berdasarkan atas kesadaran berbangsa dan bernegara. Seluruh anak bangsa adalah saudara se-tanah air. Tata
hubungan persaudaraan ini menyangkut hal-hal yang bersifat sosial budaya. Ukhuwwah wathaniyah
merupakan spirit bagi kesejahteraan kehidupan bersama serta instrumen penting bagi proses kesadaran sebuah bangsa dalam mewujudkan
kesamaan derajat dan tanggung jawab. Ketiga, ukhuwwah insaniyah, yaitu persaudaraan sesama umat manusia. Setiap
manusia memiliki keinginan untuk hidup damai atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal. Tata hubungan dalam persaudaraan ini menyangkut hal-hal yang
121
Tim Penyusun, Konsepsi Pengembangan..., h.24
berkaitan dengan martabat kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, adil, dan damai.
C. Gerakan Civil Society NU
Sebagaimana diketahui, mayoritas warga NU berada di pedesaan dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka umumnya berprofesi sebagai petani, pedagang, nelayan, buruh, guru, dan sebagainya. Latar belakang pendidikan mereka
umumnya juga rendah. Kalangan yang berpendidikan tinggi masih terbatas jumlahnya. Karena itu, partisipasi mereka dalam pembangunan tidak bisa maksimal, bahkan rentan dimarjinalkan.
Karena itu, PBNU berupaya merumuskan kembali visinya, yaitu terciptanya masyarakat yang terjamin hak-hak hidupnya yang diwujudkan dalam bentuk penguatan masyarakat sipil civil society.
Misi ini merupakan bentuk tanggung jawab PBNU terhadap warganya, mengingat kondisi obyektif warga NU yang demikian. Tugas yang demikian besar ini memaksa PBNU sesegera mungkin melakukan gerakan untuk memberdayakan
masyarakat sipil. Gerakan civil society
122
sendiri di lingkungan NU sebenarnya bukan hal baru karena kelahiran NU sendiri dilatarbelakangi adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat sipil. Para tokoh pendiri NU kala itu berupaya untuk memberdayakan
masyarakat dengan mendirikan berbagai sekolah, pesantren, halaqah dan sebagainya. Mereka juga mendirikan organisasi semacam Nahdlatut Tujjâr untuk membantu para pedagang dan petani meningkatkan taraf hidup sosialnya.
Perubahan orientasi organisasi ke arah pemberdayaan masyarakat sipil oleh NU ditegaskan kembali pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, di mana NU diputuskan untuk kembali ke khitah 1926 dengan menarik diri dari kancah politik praktis
yang sempat menyeretnya.
123
Keputusan ini diambil dengan tujuan agar NU bisa mengayomi umat secara luas tanpa tersekat oleh fanatisme partai.
122
Menurut AS. Hikam, civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan voluntary, keswasembadaan self generating, dan keswadayaan
self supporting, kemandirian tinggi terhadap negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya sehingga bisa menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi
mandiri yang bebas dilakukan oleh masyarakat. Term Civil society secara substansial bermuara pada perlunya penguatan warga rakyat dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu
mengontrol kebijakan negara yang cenderung memosisikan warga negara sebagai subyek yang lemah. Lihat: KH. A. Hasyim Muzadi, Membangun NU..., h. 57.
123
A. Hasyim Muzadi, Mengembangkan NU...., h. 237
Keputusan tersebut merupakan tonggak awal komitmen NU untuk memainkan kembali peran NU dalam penguatan civil society
sekaligus penegasan diri dari institusi yang berorientasi politik kekuasaan menjadi institusi yang berorientasi pemberdayaan warga, dari jam’iyyah siyâsiyyah menjadi jam’iyyah dîniyyah ijtimâiyyah.
Keputusan bahwa NU kembali ke khitah dan relevansinya dengan upaya melakukan penguatan civil society oleh NU dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa basis massa NU mayoritas berada pada lapisan bawah dan masih belum sepenuhnya
terlepas dari persoalan-persoalan dasar, seperti partisipasi pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka, jaminan hak-hak dasar, peningkatan pendidikan, taraf hidup, dan seterusnya. Secara ideal NU merupakan organisasi yang paling
potensial dalam gerakan yang diarahkan bagi pembebasan rakyat dari jeratan keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Isu penguatan civil society terus menguat pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung. KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur
adalah lokomotif gerakan tersebut. Gus Dur menegaskan secara eksplisit bahwa penguatan civil society adalah agenda yang mutlak harus dilakukan agar warga NU tidak dimarjinalkan oleh kekuatan negara dan hanya dijadikan objek pembangunan
belaka oleh penguasa Orde Baru. Dalam kaitan ini, keputusan NU untuk kembali pada Khittah 26 merupakan pilihan tepat untuk melakukan perjuangan
mewujudkan konsep civil society secara efektif. Sebab, dengan menjaga jarak dengan politik dan kekuasaan, maka NU tidak terganggu dengan berbagai kepentingan kelompok yang menjauhkan NU dari upaya-upaya penguatan sipil.
Komitmen NU untuk menjaga identitasnya dalam melakukan penguatan civil society bisa dilihat pada: pertama, NU bersikap independen. NU telah banyak melakukan kerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat nonpemerintah untuk mencapai kebaikan bersama. Kedua, NU memperjuangkan kesejajaran hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip egalitarian dan saling menghormati, sehingga warga negara
memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat dalam ruang publik yang merdeka. Ketiga, NU mengembangkan demokratisasi di Indonesia dalam segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, dan ekonomi. Keempat,
NU adalah ormas moderat yang menekankan aspek toleransi dalam kehidupan bangsa. Dalam berbagai sikapnya, NU sangat terbuka terhadap berbagai perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada konsepsi fikrah nahdliyyah
yang menjadi paradigma berpikir NU dalam melihat persoalan. Kelima, NU sangat concern terhadap persoalan pluralitas bangsa, terutama masalah agama dan keyakinan.
Dalam pelaksanaannya, implementasi aspek-aspek civil society oleh NU masih menghadapi hambatan secara politik, sosial, dan budaya. Di ranah politik, masih banyak elit yang tidak menghendaki munculnya kesadaran dan gerakan rakyat untuk
menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara yang berdaulat. Begitu juga di ranah sosial maupun budaya, aspek pluralisme masih menjadi persoalan dan mendapat resistensi yang cukup tinggi. Padahal, mestinya realitas pluralitas hendaknya tidak
dipahami sebagai ancaman, justru semestinya sebagai karunia Tuhan dan kekayaan bangsa yang harus disyukuri oleh setiap anak bangsa.
Langkah menuju civil society mesti memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan, persamaan hak, solidaritas dan nonsektarianistik. Menempatkan rakyat sebagai manusia yang harus dihormati dan dihargai secara adil meniscayakan adanya
penghormatan dan pemenuhan akan hak-hak rakyat. Menjunjung tinggi kesamaan hak rakyat berarti membuang jauh segala sikap otoriter, totaliter, dan pendekatan represif militeristik.
Semangat civil society menuntut setiap warga negara untuk menghindarkan diri dari kooptasi pihak penguasa. Dengan demikian, setiap individu harus dibela dan dilindungi dari kesewenang-wenangan penguasa. Ketika kesadaran prinsip keadilan
dan kesamaan hak ditegakkan bersama, maka muncul solidaritas yang menjadi modal besar bagi terwujudnya civil society. Gerakan civil society NU pada akhirnya akan menantang semua pihak untuk membuang jauh sikap dan konsep sektarian
yang selama ini menjadi wajah bangsa Indonesia. Sikap sektarian tidak hanya terbatas pada konsep keagamaan, namun juga pada tataran politik, kultural, dan primordial.
Pada masa kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi, orientasi yang demikian terus dipertahankan sehingga menjadi identitas yang melekat pada institusi NU. Dengan begitu, peran NU lebih bisa memberikan manfaat bagi bangsa, warga nahdliyyin
khususnya. Kesimpulannya, dilihat dari kepentingan civil society di Indonesia, maka pendekatan NU di atas menjadi relevan karena
beberapa hal: pertama, NU tidak hanya membatasi diri pada penyelesaian masalah-masalah yang menyangkut kepentingan NU saja, tetapi secara lebih luas mencakup kepentingan bangsa. Kedua, NU menyadari bahwa wilayah esensi bagi sebuah civil
society yang mandiri menjadi salah satu komitmen perjuangannya. Ketiga, NU pascakhitah berniat menitikberatkan gerakannya
pada level masyarakat dan ditujukan untuk memperkuat kemandirian.
D. NU di Masa Kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi
Masa kepemimpinan NU di bawah KH. A. Hasyim Muzadi secara garis besar diperiodesasikan menjadi 2, yaitu masa jabatan periode 1999-2004
124
dan periode 2004-2009.
125
Pada Periode 1999-2004, kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi diwarnai dengan euforia berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial politik masyarakat
Indonesia. Hal ini seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan naiknya tokoh penting NU, KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur sebagai Presiden RI
ke-4 dalam sidang MPR RI tahun 1999. Di samping itu, suksesi NU 1999 adalah suksesi reformasi atas tradisi kemapanan
di NU di mana ketua umum terpilih bukan dari kalangan keluarga atau keturunan kyai besar. KH. A. Hasyim Muzadi hanya seorang ulama aktifis NU yang sekian puluh
tahun mendedikasikan diri untuk organisasi umat tersebut. Tugas berat kepemimpinannya pada periode ini adalah melanjutkan amanat
reformasi yang telah digulirkan untuk perubahan tatanan negara dan masyarakat menuju yang lebih baik. Dalam berbagai kesempatan ia mengingatkan secara terus-
menerus tentang pentingnya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN, penegakan hukum, membangun sikap kesetaraan dan toleransi kepada setiap manusia
tanpa melihat latar belakang agama, etnis, budaya, suku, bahasa, dan sebagainya. Dalam penegasannya, NU adalah bagian dari pendorong reformasi dan
mendukung upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang dinamis, demokratis dan berkeadilan sosial. NU juga mengakomodasi beragam aspirasi umat
dari Sabang sampai Merauke untuk ikut berjuang dalam kerangka Negara Kesatuan Indonesia.
126
124
KH. Hasyim Muzadi terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU yang ke-30 yang berlangsung pada 21-27 November 1999 di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
125
KH. Hasyim Muzadi dipilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode 2004 – 2009 pada Muktamar NU ke-31 pada 28 November - 2 Desember 2004, bertempat di Boyolali, Jawa Tengah.
126
KH. A. Hasyim Muzadi, Membangun NU Pasca Gus Dur, Jakarta: Grasindo, 1999, h. 23
Selain reformasi, pada periode ini, isu terorisme global juga mengemuka seiring dengan terjadinya peristiwa serangan 11 September 2001 di AS di mana negara
tersebut lantas menyatakan perang terhadap terorisme. Isu ini cukup banyak menyita perhatian NU karena posisi NU sebagai ormas Islam terbesar yang berbasis kalangan
pesantren di mana kalangan ini kerap dituduh sebagai tempat tumbuhnya embrio terorisme. Apalagi, selama periode ini banyak sekali kasus terorisme yang terjadi di
Indonesia sehingga stigma tersebut seakan menemukan kebenarannya. Karena itu, semasa kepemimpinan periode ini, PBNU sibuk menjelaskan kepada
dunia internasional bahwa Islam tidaklah identik dengan kekerasan. Islam justru agama yang membawa perdamaian. Cita-cita Islam adalah agama yang rahmatan lil
‘âlamîn . Di dalam negeri sendiri, NU mengecam cara-cara radikal dalam
menjalankan agama, serta menganjurkan agar bersikap inklusif, toleran, dan menyerukan semangat keragaman sebagai anak bangsa.
Dalam periode ini, ada 8 isu strategis yang menjadi perhatian kepengurusan NU periode ini
127
, yaitu: penataan organisasi agar struktur organisasi NU lebih berfungsi secara efektif dan
efisien; pengembangan pemikiran kritis keagamaan dalam kerangka mereaktualisasikan
dan mereinterpretasikan ajaran Islam di kalangan NU; pemberdayaan ekonomi umat agar tercipta masyarakat yang bermartabat dan
berkeadilan; supremasi hukum dan pemberdayaan politik umat dalam mewujudkan tatanan
masyarakat yang berkeadilan dan demokratis; peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di lingkungan warga NU dan
menghasilkan peserta didik yang bermutu; membangun jaringan kerja nasional dan internasional dalam era globalisasi untuk
memperkuat eksistensi jaringan NU;
127
Hasil-Hasil Muktamar XXX NU, Jakarta: PBNU, 2000, h. 45 tentang Pokok-pokok Program Kerja NU Periode 1999-2004.
peningkatan penggalian dana organisasi dan pengelolaan manajemen secara profesional; serta
membangun kesetaraan dan kesederajatan anggota masyarakat berdasarkan gender.
Adapun susunan kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU masa kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi periode 1999 – 2004
128
penulis lampirkan Lampiran I.
Karena kepemimpinannya dinilai cukup berhasil oleh kaum nahdliyyin, maka pada Muktamar NU ke-31 pada tahun 2004 di Boyolali, Jawa Tengah, KH. A.
Hasyim Muzadi dipilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU periode 2004 – 2009. Bersamaan dengan suksesi NU tersebut, diselenggarakan juga hajat nasional
bangsa Indonesia, yaitu pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena itu, NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah
suara yang sangat signifikan banyak diperebutkan oleh parpol peserta pemilu. Kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi pada periode kedua ini terasa lebih politis.
Apalagi ia kemudian ikut meramaikan bursa pemilihan dengan mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama Megawati sebagai calon presiden. Namun demikian,
di bawah kepemimpinannya, kebijakan PBNU masih konsisten untuk tidak membawa NU pada politik praktis sesuai dengan khitah 26.
Isu lain yang masih dihadapi dalam kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi pada periode ini adalah masalah terorisme global. Menyangkut isu ini, NU masih konsisten
pada sikap dan pemikirannya, yaitu menunjukkan pada dunia internasional bahwa Islam adalah agama damai dan mengecam keberagamaan yang eksklusif dan radikal.
Kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi juga banyak menyorot masalah korupsi di Indonesia yang tidak kunjung hilang meskipun reformasi telah berjalan selama
bertahun-tahun. Karena itu, bersama PP Muhammadiyah, PBNU menabuh genderang
128
Lampiran Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 011MNU-30111999 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 1999-2004 Hasil Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, Jawa
Timur. h. 185
perang terhadap korupsi dengan mengeluarkan fatwa dan tekanan baik secara politis maupun sosial terhadap pelaku korupsi.
Selain itu, beberapa isu
129
yang menjadi agenda pokok kerja NU sesuai yang diamanatkan oleh Muktamar ke-31 di Boyolali juga diupayakan realisasinya, yaitu:
penataan organisasi institutional building; Penerapan teknologi informasi untuk organisasi NU dan transformasinya kepada
warga nahdliyyin agar memiliki pengetahuan di bidang iptek; pemberdayaan ekonomi umat agar tercipta masyarakat yang bermartabat dan
berkeadilan; peningkatan kualitas pendidikan masyarakat di lingkungan warga NU;
optimalisasi pelayanan sosial, kesehatan dan ketenagakerjaan; membangun jaringan kerja nasional dan internasional yang bisa memperkuat
eksistensi NU; supremasi hukum dan pemberdayaan politik umat dalam mewujudkan tatanan
masyarakat yang berkeadilan dan demokratis; pengembangan dakwah pemikiran kritis keagamaan dalam kerangka
mereaktualisasikan ajaran Islam di kalangan NU; pengelolaan manajemen dana secara profesional; serta
membangun kesetaraan dan kesederajatan anggota masyarakat berdasarkan hak dan gender dengan asa kemaslahatan umat yang berkeadilan.
Adapun susunan kepengurusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU masa kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi periode 2004 – 2009
130
penulis lampirkan Lampiran II. []
129
Hasil-Hasil Muktamar XXX NU, Jakarta: PBNU, 2005, h. 100 tentang Program Kerja NU periode 2004-2009.
130
Lampiran Keputusan Muktamar XXXI NU Nomor: VMNU-31XII2004 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2004-2009 Hasil Muktamar XXXI NU di Boyolali, Jawa Tengah.
h. 185
BAB IV NU DAN TERORISME DI INDONESIA