Rasa Frustrasi Ketidakadilan PENDAHULUAN

Pandangan yang demikian didasarkan pada asumsi bahwa hadits yang membicarakan masalah tersebut tidak otentik. 60 Menurutnya, pemahaman jihad spiritual lebih utama merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan kaum muslimin yang tertindas di banyak negara, seperti Palestina, Bosnia, dan Cechnya. Dampak nyata dari pemahaman ini adalah langgengnya penjajahan atas dunia muslim, terusirnya rakyat Palestina dari tanah airnya, kemiskinan, pembodohan sistemik, dan tercerai berai tanpa persatuan. Sependapat dengan al-Banna, Sayyid Quthb melihat bahwa jihad merupakan perjuangan politik progresif-revolusioner 61 yang didesain untuk membawa kejayaan Islam sehingga yang menyediakan jalan bagi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah tanpa diganggu oleh kepentingan-kepentingan kafir yang memusuhi Islam. Sebagai konsekuensi dari pandangannya tersebut, Sayyid Quthb menolak tegas pemahaman bahwa jihad hanya dilakukan untuk mempertahankan diri atau hanya dilakukan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Baginya, ada keterkaitan yang sangat erat antara jihad yang demikian dengan pelaksanaan hukum Tuhan di bumi. 62 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa pengertian jihad adalah upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan baik saat berperang melawan hawa nafsu maupun menghadapi musuh. Tegasnya, jihad memiliki dua dimensi, yaitu dimensi eksternal yang menuntut perjuangan fisik dan dimensi internal yang menuntut perjuangan batin atau ruhani. Dengan demikian, perjuangan untuk dekat kepada Allah bukan semata-mata hanya dengan pedang, melainkan juga dengan menaklukkan hawa nafsu.

c. Rasa Frustrasi

60 Kailani, Al, Haitsam, Al-Irhâb Yuassis Daulah Namûdzaj Isrâîl, Kairo: Dar al-Syuruq, 1997, h. 78 61 Sayyid Quthb, Ma’âlim fi al-Tarîq, Beirut: Dar al-Syuruq, 1983, h. 64-65 62 Sayyid Quthb, Ma’âlim..., h. 66 Perasaan frustrasi ini kerap muncul pada masyarakat yang kalah. Yaitu masyarakat yang termarjinalkan dalam segala aspeknya sehingga tidak kuasa untuk mengubah keadaan. Mereka tidak berdaya secara ideologis, politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Mereka melakukan kompensasi sebagai pelampiasan atas keinginannya yang terpenjara. Secara psikologis, mereka begitu mudah untuk meluapkan segala emosinya menjadi malapetaka bersama. Masyarakat ini umumnya terdapat dalam negara-negara terbelakang yang tidak memiliki kekuatan untuk ikut menentukan percaturan dunia. Penguasaan negara- negara maju atas ilmu pengetahuan, teknologi, kekuatan ekonomi dan militer banyak mempengaruhi tatanan global yang menyebabkan negara terbelakang tidak berdaya. AS dan negara Barat pada umumnya yang merupakan representasi negara maju, sama sekali tidak memberikan rangsangan positif bagi masyarakat negara terbelakang untuk berkembang. Alih-alih berharap kebijakan simpatiknya, mereka –khususnya AS- malah sering mendikte badan-badan dunia, seperti PBB, IMF, World Bank, dan sebagainya untuk memaksakan kehendaknya. Karenanya, muncul resolusi-resolusi PBB yang menguntungkan AS. Atau pakta-pakta perjanjian dan ekonomi militer yang justru melanggengkan hegemoni mereka di atas negara-negara terbelakang. Inilah yang kemudian menyulut gerakan perlawanan secara keras terhadap kepentingan mereka. 63

d. Ketidakadilan

Aksi terorisme juga bisa muncul akibat perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh suatu pemerintah negara atau kelompok tertentu. Perlakuan tidak adil tersebut bisa dalam bentuk kebijakan, aturan, hukum, atau pembangunan. Perlakuan tidak adil pada awalnya menimbulkan rasa kecewa. Jika hal itu berlangsung lama maka akan terjadi endapan kekecewaan yang kian lama kian menebal. Bagai api dalam sekam, 63 Habib, Hasnan, “Terorisme Internasional” dalam Kapita Selekta: strategi dan Hubungan Internasional, Jakarta: Center for Strategic dan Internasional Studies CSIS, 1997. h. 231 jika tidak segera ada perubahan, maka jika ada perlakuan tidak adil sedikit saja akan memicu kobaran perlawanan dalam bentuk aksi-aksi kekerasan dan teror. Pelaku teror karena sebab ini adalah kelompok yang merasa sakit hati dan marjinal. Aksi kekerasan dan teror adalah cara yang terbaik untuk menunjukkan protes atau bahkan melakukan perlawanan atas situasi tersebut. Dalam kasus Indonesia, ada beberapa kelompok masyarakat di daerah yang merasa tidak puas dengan berbagai kebijakan pemerintah RI. Karena itu, mereka berusaha memisahkan diri dan melakukan perlawanan secara gerilya dan teror. Gerakan separatisme dipicu oleh rasa ketidakadilan yang diterima oleh mereka dari pemerintah Indonesia karena kekayaan alam yang melimpah tidak banyak mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Mereka tidak berdaya dengan birokrasi dan kebijakan pemerintah yang mereka anggap sama sekali tidak berpihak kepada mereka. Karena situasi yang demikian maka timbullah keinginan untuk lepas dari NKRI. Sadar dengan kekuatan yang dimilikinya, mereka melakukan perlawanan dalam bentuk gerilya dan aksi teror hingga saat ini. Dalam konteks global, ketidakadilan ini di juga dicontohkan oleh AS sebagai negara adidaya yang memiliki kekuatan super untuk mengatur dunia. Kebijakan luar negeri AS selama ini sangat menyakiti hati umat Islam di dunia. Sebagai contoh, perlakuan AS yang diskriminatif terhadap Afghanistan atau Irak bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap perilaku Israel yang secara kasat mata berbuat semena- mena terhadap rakyat Palestina. 64 Kekecewaan umat Islam tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok radikal yang berusaha melawan AS dan sekutunya atas perlakuan tidak adilnya terhadap dunia Islam.

e. Kemiskinan