Respons Nahdlatul Ulama (NU) Terhadap Aksi Terorisme Di Indonesia 2000-2005

(1)

Oleh:

ALIF ARROSYID NIM: 03.2.00.1.02.01.0005


(2)

Oleh:

ALIF ARROSYID NIM: 03.2.00.1.02.01.0005

Pembimbing Tesis


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis berjudul RESPONS NAHDLATUL ULAMA (NU) TERHADAP AKSI TERORISME DI INDONESIA 2000 – 2005 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Maret 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (MA) pada Konsentrasi Pemikiran Islam.

Jakarta, 10 Mei 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Merangkap Penguji Pembimbing Merangkap Penguji

DR. Yusuf Rahman, MA DR. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

Penguji I Penguji II


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia 2000-20005” ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 (magister) di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar sebagaimana yang berlaku di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 27 Desember 2007


(5)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,

No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987

No Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

1. alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

2. ba b be

3. ta t te

4. sa s es (dengan titik di atas)

5. jim j je

6. ha h ha (dengan titik di bawah)

7. kha kh ka dan ha

8. dal d de

9. zal z zet (dengan titik di atas)

10. ra r er

11. zai z zet

12. sin s es

13. syin sy es dan ye

14. sad s es (dengan titik di bawah)

15. dad d de (dengan titik di bawah)

16. ta t te (dengan titik di bawah)

17. za z zet (dengan titik di bawah)

18. ain ‘ koma terbalik (di atas)

19. gain g ge

20. fa f ef

21. qaf q ki

22. kaf k ka

23. lam l el

24. mim m em

25. nun n en

26. wau w we

27. ha h ha

28. hamzah apostrof


(6)

Vokal

(fathah) a

! (dammah) u

(kasrah) i

" #

Vokal Hidup

$

%

= â

"$

&'

= î

!$


(7)

Kata Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahîm

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah, Sang Pelindung. Rida dan rahmat-Nya telah memberikan kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Meski penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, setidaknya penulis berharap tesis ini bisa memberikan pencerahan dan manfaat bagi siapa pun.

Terima kasih tiada terhingga kepada kedua orang tuaku. Kasih sayang mereka tak mungkin bisa kubalas. Juga untuk kakak-kakakku: Mbak Lely dan Mas Shony, Mas Rofiq dan Ning Erna; serta adikku: Titis dan Udin, Vita, serta keponakanku yang lucu-lucu: Firda, Fahmi, Qadafi, dan Fia.

Terima kasih untuk Pak Sudarnoto yang membimbing penulisan tesis ini, para dosen pascasarjana, Mba’ Vita, serta para pejabat dan staf akademik sekolah pascasarjana UIN Jakarta.

Terima kasih buat Bp. HB. Irawan Massie, MBA, Ibu Claudia Massie, teman-teman, dan anak-anak asuh di Yayasan Taqwa Nandjar.

Terima kasih untuk keluarga besar PBNU: Kyai Hasyim Muzadi, Kyai Makruf Amin, Kyai Said Agil Siradj, Mas Baso, Mas Hery, Mas Goji, dan Pak Satiri.

Terima kasih untuk teman-temanku: Sunabi, Husni, Fath, Toyeb Nugraha, Bakrun, Pak Ndong, Amin, Ustadz Komed, Agus, Qamar, Halim, Qbex, Khoiron, Dosen Paijo, Hafidzin, Ghulam, Lyla, Iir, Ika, Ida, Alisia, dan lainnya. Bersama kalian hidup ini terasa lebih berwarna.

Terima kasih buat teman-teman Pascasarjana UIN Jakarta: Arif Hamzah, Edi, Fawaid, Safru, Umdah, Masneng, Thowil, Nok Nik, dan Encik.

Terakhir, khusus buat ade Uun. Terima kasih atas semua dorongan dan semangat yang kau berikan tanpa henti.

27 Desember 2007


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL...

LEMBAR JUDUL...i

LEMBAR PERNYATAAN...ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

LEMBAR PENGESAHAN...iv

PEDOMAN TRANSLITERASI...v

ABSTRAK...vii

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xiii

BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan...9

1. Identifikasi Masalah...9

2. Pembatasan Masalah...10

3. Perumusan Masalah...11

C. Penelitian Terdahulu ...11

D. Tujuan penelitian...15

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian...15

F. Pendekatan dan Metode Penelitian...15

1. Pendekatan Penelitian...15

2. Metode Penelitian...16

G. Teknik Penulisan...20

H. Sistematika Pembahasan...20

BAB II : Diskursus Terorisme A. Definisi dan Sejarah Terorisme...22

1. Definisi Terorisme...22

2. Sejarah Terorisme...28

B. Akar Penyebab dan Bentuk-bentuk Terorisme...34

1. Akar Penyebab Timbulnya Terorisme...34

2. Bentuk-bentuk Terorisme...46

C. Terorisme di Indonesia...50

1. Munculnya Fenomena Radikalisme Agama...50

2. Aksi Terorisme di Indonesia 2000-2005...60

3. Upaya Pemerintah dalam Menangani Masalah Terorisme...66

BAB III : Mozaik Nahdlatul Ulama (NU) A. Visi NU...70


(9)

1. Visi Kebangsaan...70

2. Visi Keagamaan...76

B. Prinsip Kemasyarakatan NU...85

1. Mabâdi’ Khaira Ummah...85

2. Fikrah Nahdliyyah...87

3. Ukhuwwah Nahdliyyah...87

C. Gerakan Civil Society NU...89

D. NU di Masa Kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi...93

BAB IV : NU dan Terorisme di Indonesia

A. Terorisme dalam Wacana NU...98

1. Terorisme dan Sebab-sebabnya...98

2. Pemahaman Terorisme dan Jihad...105

3. Pelaku dalam Konteks Munculnya Terorisme...110

4. Dampak Aksi Terorisme...121

B. Bentuk Respons NU atas Munculnya Aksi Terorisme...127

1. Nasional...129

2. Internasional...135

C. Upaya NU Menanggulangi Aksi Terorisme...142

Bab V : Penutup A. Kesimpulan...147

B. Saran-saran...150

Daftar Pustaka...152


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Ada tiga alasan mengapa penulis tertarik untuk mengangkat tema ini dalam penulisan tesis, yaitu: pertama, dalam satu dekade terakhir terorisme menjadi isu paling kontroversial sekaligus mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai negara, organisasi, maupun kalangan akademisi di seluruh dunia. Karena itu, kajian tentang terorisme diperlukan secara terus-menerus sehingga terorisme bisa dipahami dengan lebih jernih dan proporsional. Dalam hal ini, penulis akan mengkaji aksi terorisme yang terjadi di Indonesia dengan menelusuri beragam persoalan dan konteks yang melingkupinya.

Kedua, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sementara perang terhadap terorisme saat ini menjadi isu global yang menempatkan umat Islam Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan karena dicurigai berpotensi melahirkan para teroris dan menjadi bagian dari jaringan terorisme global.1 Apalagi, terbukti memang telah terjadi puluhan kasus teror di Indonesia. Karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui bagaimana sebenarnya daya tawar, posisi, peran, dan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh NU, dalam hal ini PBNU sebagai pemegang otoritas organisasi.

1

Ada kecenderungan Barat yang menempatkan umat Islam sebagai teroris. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan yang dikemukakan komunitas Barat, seperti George W. Bush yang menganggap Islam sebagai an imperialist religion, serta beberapa istilah yang dikemukakan beberapa pemimpin agama di AS, seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, Franklin Graham (putra Billy Graham). Dalam surat kabar Newsweek, 21 Oktober 2002, yang berjudul Time to Take on America’s Haters, Falwell menyatakan Muhammad was a terrorist. Dalam kesempatan lain, Robertson menyebut Muhammad a robber and a brigand. Dia juga mendeskripsikan Islam sebagai a monumental scam. Sementara itu Graham menilai Islam sebagai a very evil and wicked religion. Baca Bachtiar Effendy dan Mun’im A Sirry, Ekstremisme Islam: Bukan Sekedar Persoalan Teologis dan Penafsiran Agama,” dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.3, No.1, Januari-April 2003, (Jakarta: The Habibie Center 2003), h. 106-107.


(11)

Ketiga, masyarakat muslim Indonesia selama ini dikenal ramah, toleran, dan moderat. Muslim Indonesia tidak punya tradisi kekerasan sebagaimana yang tampak di Timur Tengah. Namun sejak muncul isu terorisme global, berbagai aksi terorisme tiba-tiba muncul dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi. Tentu hal ini sangat janggal dan mengherankan. Karena itu perlu diteliti mengapa keadaan demikian bisa terjadi.

Wacana terorisme sendiri awalnya mengemuka sejak serangan bunuh diri ke gedung WTC (World Trade Center) New York dan gedung Penthagon pada 11 September 2001. Atas kejadian tersebut, terorisme kemudian dihembuskan menjadi isu global yang merambah ke segala penjuru bumi, tidak terkecuali di Indonesia. Slogan “War Againts Terrorism” yang dicetuskan oleh Amerika Serikat (AS) kemudian memunculkan garis tegas antara siapa kawan dan siapa lawan.2 Negara atau organisasi yang enggan masuk barisan AS dan sekutunya akan dianggap musuh, begitu juga sebaliknya.

Atas nama perang melawan terorisme, AS kemudian menetapkan negara-negara yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme global sebagai musuh yang harus diperangi. Ini bisa dilihat dari beberapa statemen yang disampaikan George W. Bush yang cenderung menyudutkan beberapa negara yang secara politis berseberangan dengan AS, seperti Irak, Iran, Korea Utara, dan Kuba. Negara-negara tersebut lantas dituduh sebagai poros setan (kejahatan) dan sponsor terorisme.3 AS juga menuduh beberapa negara yang mengembangkan senjata pemusnah massal sebagai sumber ancaman atas perdamaian dunia.

Karena itu, tanpa persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS dan sekutunya kemudian menginvasi Irak dengan dalih negara tersebut mengembangkan senjata pemusnah massal, meskipun belakangan tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan. Sebelumnya, AS juga melakukan aksi militer ke Afghanistan karena

2

Baca Hery Sucipto, Terorisme, antara Luxor dan Legian”, Republika, edisi Jumat 18 Oktober 2002

3


(12)

pemimpin negara tersebut dianggap melindungi Osamah bin Laden, orang yang didakwa paling bertanggung jawab atas peristiwa serangan 11 September 2001.

Beberapa organisasi militan Islam di dunia kemudian ditetapkan AS sebagai organisasi teroris. AS juga membuat penjara khusus untuk teroris di Guantanamo, Kuba. Orang yang dituduh terkait dengan jaringan terorisme bisa ditangkap dan langsung dipenjarakan tanpa melalui proses hukum.4 Apa yang dilakukan AS jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan konvensi Jenewa. Meskipun masyarakat dunia banyak yang berteriak terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan AS, namun AS tetap bergeming dan merasa benar dengan apa yang dilakukannya.

Jelasnya, AS dan sekutunya selalu berteriak tentang terorisme namun pada saat yang sama mereka juga melakukan berbagai pelanggaran dan teror. Pada tataran ini, maka terorisme perlu kembali dipahami secara lebih utuh, “Apa sebenarnya terorisme dan siapa pelakunya?” Bahwa terorisme identik dengan kekerasan, intimidasi, ekstremitas, dan menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan, dunia menyepakatinya. Namun siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?” Inilah persoalannya. Mengidentifikasi pelaku aksi terorisme tidak mudah, apalagi menyangkut sebuah kelompok atau negara. Hal ini dibutuhkan data-data yang akurat tentunya. Sampai detik ini definisi pelaku terorisme masih bersifat subyektif dan relatif, tergantung subyek yang mendefinisikannya.

Terorisme bergerak laten dengan memanfaatkan berbagai kendaraan, seperti agama, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Apapun kendaraannya, yang pasti terorisme selalu menampilkan wataknya yang hegemonik, anarkis dan radikal. Hampir seluruh gambarannya adalah buruk dan tidak manusiawi. Ironisnya, berbagai tindakan kekerasan dan terorisme tersebut saat ini oleh Barat dikaitkan dengan Islam. Akhirnya muncul stigma bahwa terorisme adalah Islam.

Dalam konteks Indonesia, aksi terorisme dengan latar belakang agama sebenarnya tidak memiliki akar sejarah. Meskipun penduduknya memiliki beragam

4


(13)

agama dan keyakinan, namun masyarakat muslim Indonesia dikenal ramah dan toleran. Ini telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Pertarungan dunia Islam dengan Barat hanya terjadi di wilayah Timur Tengah. Pendek kata, masyarakat Indonesia tidak terlibat dalam pertarungan tersebut. Namun sejak peristiwa 11 September 2001 lalu, tiba-tiba Indonesia terseret ke dalam arus pusaran isu terorisme global. Diawali dari munculnya radikalisme agama yang cukup kuat sejak tumbangnya Orde Baru, masyarakat muslim Indonesia tampak dengan keberagamaan yang keras. Berbagai kekerasan berbau agama muncul di mana-mana. Lebih dahsyat lagi ketika mulai terjadi serentetan aksi pengeboman di berbagai wilayah Indonesia, baik dalam skala besar maupun kecil. Meski tidak sedahsyat peristiwa 11 September di AS, namun frekuensinya cukup tinggi.

Dalam amatan penulis, telah terjadi berkali-kali kasus terorisme yang muncul di Indonesia, seperti bom Kuningan, JW. Marriot, Bursa Efek Jakarta, dan Bali I-II. Belakangan diketahui—meski masih diperdebatkan keabsahannya—bahwa berbagai aksi teror tersebut dilakukan oleh organisasi Islam radikal yang bekerja secara rapi, canggih dan sistemik.5 Terlepas apakah mereka berperan sebagai pelaku utama atau tidak dalam peristiwa tersebut, yang jelas keterlibatan kelompok tersebut menunjukkan sifat dasar radikalisme yang intoleran, ortodoks dan anti demokrasi. Aksi-aksi peledakan bom tersebut merupakan tindakan perusakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan jihâd fî sabîlillâh,6 sekadar menambah bukti bahwa konsep jihad memang potensial disalahartikan. Kesalahpahaman mereka terhadap terminologi jihad begitu akut.

Bagi penulis, rentetan aksi terorisme yang terjadi secara bertubi-tubi pasca reformasi 1998 dan bersamaan dengan terseretnya Indonesia ke dalam isu terorisme

5

Untuk lebih detil mengetahui berbagai tindak terorisme di Indonesia, lihat data aksi terorisme yang dirilis Litbang Kompas sebagaimana pada tabel di bab III.

6

Kaum ekstremis Islam meyakini bahwa jihad semata-mata perintah Tuhan untuk melakukan konfrontasi fisik demi menegakkan kebenaran. Sementara kaum Islam moderat memahami jihad tidak sekedar perjuangan fisik untuk membela kebenaran, tapi juga perjuangan moral dan spiritual. Lihat Mohammad Said al-Asmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem, terj. Hery Haryanto Azumi, (Jakarta: Desantara Pustaka Utama, 2002), h. 181


(14)

global adalah sesuatu yang mengherankan sekaligus janggal. Setidaknya, ada dua kemungkinan untuk melihat fenomena ini. Pertama, murni karena munculnya kekuatan Islam garis keras. Kekuatan ini sejak lama tumbuh secara laten di Indonesia dan baru menemukan momentum tepat untuk muncul ketika pemerintah Orde Baru tumbang. Mereka melakukan gerakan perlawanan terhadap tatanan yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk negara. Gerakan tersebut umumnya tidak semata-mata melihat negara Indonesia sebagai penganut hukum kafir, lebih dari itu negara juga dianggap sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan ekonomi Barat (kapitalisme/neo liberalisme) yang menindas umat Islam sehingga harus dimusuhi.

Contoh menarik untuk penulis ungkapkan di sini adalah pernyataan Imam Samudra dalam buku otobiografi Aku Melawan Teroris:

“Dengan memohon grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Na’ûzubillâhi min zalik. Memohon grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui adanya kebenaran di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Summa na’ûzubillâhi min zâlik.”7

Tulisan di atas menggambarkan betapa Imam Samudera adalah seorang muslim yang tidak mau kompromi dengan hal-hal yang dianggap berbau kafir, yaitu segala sesuatu yang berada di luar keyakinannya. Baginya, ketentuan Tuhan sebagaimana yang tertulis pada teks Al-Quran adalah aturan yang tidak bisa diutak-atik dengan beragam penafsiran.

Dengan masih adanya pemahaman seperti itu, maka wajar jika masih terjadi kekerasan yang mengatasnamakan agama di berbagai tempat, baik yang dilakukan secara pribadi maupun kelompok. Cara memahami agama yang sangat tekstual tersebut pada akhirnya hanya mengaburkan pesan-pesan hakiki agama. Agama hanya dipahami secara literal berdasarkan teks-teks sucinya tanpa melihat esensi pesan

7


(15)

universal dan kontekstualisasi ajarannya. Padahal pesan-pesan teks tersebut sangat bias dengan spektrum historis dan sosiologis. Mereka berjalan dengan klaim kebenarannya sendiri.

Menurut Gus Dur, apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dilakukannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam tersebut –sesuai dengan ajaran kitab suci Al-Quran dan ajaran Nabi Muhammad Saw.- adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat.8

Kedua, bergesernya peta politik internasional. Pasca runtuhnya Uni Sovyet, komunisme tidak lagi menjadi ancaman serius bagi berbagai kepentingan AS. Namun demikian, AS merasa belum aman dengan berbagai kepentingannya di dunia selama dunia Islam masih tidak mau tunduk dengan politik internasionalnya. Karena itu, benturan paling keras yang muncul kemudian adalah Islam-Barat. Untuk itu mereka melaksanakan misi security global untuk bisa mengamankan wilayah-wilayah strategis di dunia. Misi ini sulit dapat terwujud tanpa adanya konflik. Karena itu mereka menciptakan konflik sebagai kendaraan untuk itu.

Isu paling strategis untuk menciptakan konflik dan menyerang kelompok Islam adalah terorisme. Isu ini dihembuskan menjadi opini dunia sehingga menjadi justifikasi bagi AS untuk melakukan aksi-aksi militer dan menguasai wilayah-wilayah strategis secara geopolitik. Afghanistan dan Irak adalah contoh paling aktual. Demikian juga di Indonesia, berbagai aksi pengeboman dengan target aset dan kepentingan Barat bisa jadi sebuah rekayasa untuk menjadi pintu masuk AS menguasai Indonesia.

8

KH. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta: Wahid Institute, 2006) hal. 302


(16)

Namun demikian, apapun itu, apakah aksi terorisme tersebut sebuah gerakan perlawanan dari munculnya kekuatan Islam atau sebuah skenario besar (grand design) yang sengaja diciptakan oleh AS, aksi terorisme telah meminta korban masyarakat sipil dan menjadi ancaman tersendiri bagi kepentingan nasional bangsa Indonesia.

Dalam konteks ini, aksi terorisme di Indonesia jelas tidak berdimensi tunggal. Artinya aksi tersebut memiliki muatan-muatan kepentingan ideologis, politik, ekonomi, budaya, dan militer. Yang akan menjadi korban dari semua itu adalah rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam.

Menyikapi yang demikian, NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang nasionalis dan pengusung nilai-nilai Islam yang intrinsik, sudah seharusnya ikut bertanggung jawab atas keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia dari dampak buruk isu terorisme. Apalagi jika dilihat dari kacamata sosio-ekonomi, warga nahdliyyin yang umumnya berada di pedesaan dan berekonomi lemah, sangat rentan terhadap kepentingan-kepentingan jaringan terorisme.

Secara ideologis, aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok anak muda Islam meniscayakan munculnya wajah Islam keras dan intoleran. Hal ini jelas bertentangan dengan karakter NU yang sejak awal kelahirannya telah memosisikan diri sebagai organisasi Islam kultural yang moderat, toleran, dan pluralis. Karena itu NU melakukan kampanye perdamaian untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya, yaitu damai, jauh dari kekerasan, dan rahmat bagi alam semesta.

Menurut Smith Alhadar, Wakil Ketua The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), posisi NU sebenarnya sangat tepat dalam upaya mengampanyekan apa yang disebut Islam rahmatan lil ‘âlamîn. NU dengan faham Ahlussunnah wal


(17)

Jamâ’ah9 (aswaja)-nya adalah potret Islam berwajah damai, moderat, dan toleran terhadap kelompok Islam lain, bahkan terhadap agama lain.

Karakter NU yang demikian menjadikan organisasi NU tampak ambigu dan tidak memiliki solidaritas terhadap sesama umat Islam ketika muncul sentimen anti Barat di kalangan umat Islam di Indonesia. Sebagai contoh, ketika AS hendak menginvasi Afghanistan, NU justru melarang umat Islam berjihad ke sana. Padahal banyak ormas lain yang lantang meneriakkan jihad sebagai bentuk solidaritas sesama umat Islam.

Dari sini agaknya NU memiliki pandangan sendiri mengenai jihad dan aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Pada wilayah mana dan dalam bentuk seperti apa peran NU dilakukan, tentu menjadi bahasan yang cukup menarik untuk dikaji.

Karena itu, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan dan respons NU terhadap aksi terorisme di Indonesia yang mengancam eksistensi NU, umat Islam, dan kepentingan nasional bangsa Indonesia?” Untuk menjawab permasalahan ini, penulis akan meneliti lebih jauh bagaimana NU menyikapi munculnya terorisme di Indonesia, dan apa langkah-langkah, strategi, dan kebijakan NU mengenai hal itu.

Permasalahan

Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan sejumlah permasalahan yang mungkin berkaitan dengan kajian ini, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Apa sebenarnya term terorisme itu?; (2) Apa batasan suatu aksi disebut aksi terorisme?; (3) Bagaimana bentuk-bentuk terorisme?; (4)

9

Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) adalah sebutan bagi kelompok muslim yang mengikuti keempat mazhab fiqh secara ketat. Kelompok tradisionalis Indonesia mengklaim diri sebagai pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah (pengikut sunnah Nabi dan para sahabat). Menurut Said Agil Siradj, aswaja bukanlah mazhab, melainkan sekedar manhaj al-fikr (aliran berfikir). Pengikut aswaja ini hanya mencari upaya jalan tengah antara berbagai aliran yang ada. Sehingga netral, tidak memihak salah satu partai yang ada. Mereka lebih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan moderat. Lihat: HS. Mastuki (ed.) Kiai menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 2-3


(18)

faktor apakah yang menyebabkan aksi terorisme bisa terjadi?; (5) Mengapa aksi terorisme diidentikkan dengan Islam?; (6) Apakah aksi terorisme berkaitan dengan doktrin jihad?; (7) Adakah kesamaan antara konsep jihad dengan terorisme?; (8) Bagaimana terorisme dalam perspektif Islam?; (9) Bagaimana dampak terorisme terhadap kehidupan umat Islam di Indonesia?; (10) Adakah kaitan antara munculnya aksi terorisme dengan gerakan radikalisme Islam di Indonesia sejak tumbangnya rezim orde baru?; (11) Apakah aksi terorisme di Indonesia terkait dengan jaringan terorisme global semacam Al-Qaedah sebagai bentuk perlawanan (jihad) terhadap hegemoni Barat an sich?; (12) Mengapa aksi terorisme tiba-tiba muncul secara bertubi-tubi di Indonesia pasca peristiwa 11 September 2001 di AS?; (13) Mengapa Indonesia terlibat dalam pusaran isu terorisme global?; (14) Adakah kemungkinan aksi terorisme di Indonesia sengaja diciptakan oleh AS sebagai upaya mewujudkan global security di bawah komando AS?; (15) Jika benar demikian, apa target yang diinginkan AS secara ekonomi, keamanan, politik, budaya, dan ideologi di Indonesia dari upaya semacam itu?; (16) Mungkinkah ada grand design untuk menghancurkan NU oleh AS, mengingat NU adalah kekuatan umat Islam terbesar di Indonesia yang bisa mengganggu kepentingan AS?; (17) Bagaimana NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia menyikapi terorisme yang muncul di Indonesia?; (18) Apakah kepentingan NU merespons aksi terorisme?; (19) Dalam bentuk apa saja respons tersebut dilakukan?; (20) Pada wilayah mana aksi terorisme mengganggu kepentingan NU?; (21) Di satu sisi NU sering mengecam kebijakan AS, namun di sisi lain NU terlihat dekat dengan Barat. Bagaimana sebenarnya posisi NU? Dan apa sebenarnya yang diinginkan NU dari kedekatan tersebut? (22) Sejauh mana pencapaian NU dalam memerangi terorisme? Kira-kira tolok ukurnya apa?


(19)

Mengingat luasnya permasalahan sebagaimana yang telah diidentifikasi di atas, maka penulis perlu memberikan batasan-batasan penelitian ini pada masalah yang menjadi fokus kajian penelitian ini untuk menghindari meluasnya penulisan. Adapun permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah:

1. Masalah cara pandang, yaitu bagaimana NU memandang persoalan munculnya aksi terorisme di Indonesia.

2. Masalah respons, yaitu bagaimana NU menyikapi munculnya aksi terorisme yang mengancam kehidupan umat Islam dan kepentingan nasional bangsa Indonesia.

Kedua permasalahan pokok di atas sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Untuk memfokuskan penelitian terorisme, penulis membatasi pada peristiwa aksi terorisme di Indonesia dari tahun 2000-2005. Hal ini karena dalam rentang waktu tersebut di Indonesia terjadi berbagai aksi terorisme berupa pengeboman dengan intensitas yang cukup tinggi.

Demikian juga dengan lembaga NU yang penulis bahas di sini. Yang dimaksud NU oleh penulis adalah Pengurus Besar NU (PBNU) selaku lembaga resmi representasi masyarakat NU.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan pokok yang bisa dirumuskan adalah “Bagaimana pandangan dan respons NU di masa kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi atas munculnya aksi terorisme di Indonesia 2000-2005?”

Penelitian Terdahulu

Sejauh ini, kajian buku atau penelitian tentang NU10 dalam kaitannya dengan isu agama, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya telah cukup banyak

10

Kajian dan penelitian lainnya adalah antara lain (Fathurin Zein, 2004); Hubungan NU dengan Politik dalam Analisis Wacana Media (M. Ali Haidar, 1994); Perilaku Politik NU, (Andree Feillard, 1999);


(20)

dilakukan oleh orang lain. Namun penelitian tentang NU dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi, yang secara khusus mengkaji tentang pandangan dan bentuk responsnya terhadap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia belum ada yang melakukan.11 Kalaupun ada yang membahasnya, ia ditulis secara tidak utuh dan hanya di wilayah yang sedikit bersinggungan dengan term terorisme, seperti tema fundamentalisme atau radikalisme agama.

Beberapa di antara kajian tersebut misalnya, kajian yang dilakukan oleh Ahmad Baso yang tertuang dalam buku NU Studies: Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Liberal.12 Dalam buku ini, Baso sebenarnya lebih menulis tentang perspektif NU terhadap tarik-menarik yang terjadi antara dua kutub, yaitu antara menjadi moderat-liberal atau menjadi Islam fundamental. Ia juga mengetengahkan pikiran tentang jihad, terorisme, benturan peradaban, dan konfrontasi AS dengan kelompok-kelompok gerakan Islam.

Demikian juga dengan apa yang ketengahkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam bukunya, Islamku Islam Anda Islam Kita,13 ia banyak menuangkan pemikirannya tentang NU dan wacana keislaman. Secara khusus ia juga menulis dalam satu bab tentang kekerasan agama dan terorisme. Namun sayangnya tulisan Gus Dur tersebut hanya kumpulan essay pendek yang mengungkap masalah terorisme tidak secara mendalam.

Adapun mengenai masalah terorisme, ada beberapa penelitian dan kajian buku yang telah membahasnya. Misalnya Terorisme dan Tata Dunia Baru yang diterbitkan

NU Vis a Vis Negara: Pencarian Bentuk, Isi dan Makna (Choirul Anam, 1985); Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Kacung Marijan, 1992); Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Mahrus Irsyam, 1984); Ulama dan Partai Politik, Upaya mengatasi Kitis (Bahtiar Effendi, 1988); The Nine Stars and Politics: A Study of Nahdlatul Ulama’s Acceptance of Asas Tunggal and It’s Withdrawal from Politics, (Eniar Martaham Sitompul, 1989); NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas (A. Gaffar Karim, 1995); Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam di Indonesia (KH. Dharwis Ellyasa, 1994).

11

Informasi mengenai hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Satiri (Kepala Perpustakaan PBNU) kepada penulis saat melakukan penelitian.

12

Ahmad Baso, NU Studies: Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Liberal (Jakarta: Erlangga, 2006).

13


(21)

oleh P3I Sekjend DPR RI.14 Dalam buku ini, isu terorisme diulas secara multiperspektif, meliputi ideologi (agama), politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, serta hubungan antarnegara di tingkat global. Namun sayangnya ulasannya tidak begitu mendalam.

Ada pula yang mencoba mendudukkan pemahaman jihad sebagai counter atas wacana terorisme. Misalnya buku karya Muhammad Said al-Asmawy15 yang mengkaji tentang apa yang dimaksud jihad dalam Islam. Dalam buku tersebut, al-Asmawy mencoba menjelaskan terminologi jihad yang mencakup kewajiban agama yang meletakkan nilai perdamaian dan nilai perlawanan dalam porsi yang seimbang. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kaum militan yang cenderung memaknai jihad sebagai perjuangan dalam bentuk konfrontasi fisik untuk tujuan kebenaran.

Penting juga untuk penulis kemukakan di sini tentang buku yang berkaitan dengan persoalan terorisme yang ditulis anak-anak muda NU seperti Zuhairi Misrawi dan Khamami Zada. Dalam bukunya, Islam Melawan terorisme, mereka mencoba melihat persoalan terorisme secara kritis. Buku tersebut memberikan penjelasan yang cukup luas mengenai akar-akar terorisme dan pandangan Islam mengenai terorisme.16

Di samping itu, ada dua penelitian tentang terorisme berupa karya skripsi yang telah dilakukan oleh mahasiswa UIN Jakarta. Pertama, karya Aang Daelani,17 mahasiswa UIN Jakarta jurusan Jinayah-Siyasah. Skripsinya yang berjudul Terorisme dalam Tinjauan Tindak Pidana Indonesia dan Pidana Islam. Dalam karyanya ini, ia menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam dalam memandang terorisme sebagai tindak pidana.

14

Poltak Partogi Nainggolan (ed). Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2002).

15

Muhammad Said al-Asmawy, Jihad Melawan Islam Ekstrem terj. Hery Haryanto Azumi, (Jakarta: Desantara Pustaka Utama, 2002).

16

Zuhairi Mizrawi dan Khamami Zada, Islam Melawan Terorisme, (Jakarta, LSIP, 2004) 17

Aang Daelani, Terorisme dalam Tinjauan Tindak Pidana Indonesia dan Pidana Islam, (Skripsi UIN Jakarta, 2000)


(22)

Kedua, karya Helmy F.,18 skripsi UIN tahun 2002 yang berjudul Terorisme dalam Hukum Pidana Islam. Berbeda dengan Aang Daelani, dalam skripsi ini Helmy tampaknya lebih memfokuskan pada kajian hukum pidana Islam dalam memandang aksi terorisme.

Menurut hemat penulis, kedua peneliti tersebut lebih banyak mengkaji masalah terorisme dari segi normatifnya saja. sementara dari sisi kajian teori masih terasa mendapatkan porsi yang cukup.

Namun begitu ada juga penelitian yang lebih memberi bobot teoritik mengenai masalah terorisme, yaitu tesis yang ditulis oleh Rohmawati, mahasiswi pascasarjana UIN Jakarta dengan judul Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia.19 Pada karyanya tersebut ia banyak mendeskripsikan paradigma terorisme dan jihad dengan mengambil beragam literatur mengenai hal tersebut. Kemudian penjelasannya tersebut ia tarik untuk mendeskripsikan pandangan para cendekiawan Indonesia mengenai terorisme yang berkembang di Indonesia.

Berbeda dengan di atas, dalam tesis ini penulis mencoba memaparkan cara pandang NU yang berbeda dalam melihat persoalan terorisme yang muncul di Indonesia. Kajian tentang terorisme di atas umumnya memfokuskan diri pada persoalan terorisme yang dilihat dari sudut pandang hukum pidana Islam. Kalaupun ada tinjauan lain, itu pun hanya pada dataran polemik pandangan tentang terorisme. Namun secara umum kesimpulan yang dihasilkan semuanya normatif. Sementara dalam penelitian ini penulis menggunakan perspektif lain dan kajian yang spesifik, yaitu menggali informasi secara mendalam mengenai pandangan dan respons NU terhadap aksi terorisme di Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan fenomenologi dalam menganalisis informasi yang penulis dapatkan, baik dari sumber primer maupun sekunder.

18

Helmy F., Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (Skripsi UIN Jakarta, 2002) 19

Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia, (Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2003).


(23)

Dengan demikian, maka penelitian yang penulis lakukan ini memiliki karakter, perspektif, metode, dan ruang kajian yang sama sekali berbeda dengan yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami wacana terorisme yang muncul di Indonesia. Sedangkan secara khusus adalah mengkaji pandangan dan peran NU dalam merespons aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

Manfaat/Signifikansi Penelitian

Manfaat atau signifikansi dari penelitian ini adalah:

Secara akademik akan memperkaya khazanah pengetahuan atas pemahaman tentang wacana terorisme yang berkembang di dunia. Kajian ini diharapkan mampu menjelaskan secara jernih dan proporsional apa yang sebenarnya terjadi dari munculnya aksi terorisme di Indonesia.

Dari segi praktis, hasil penelitian ini bisa menjadi rujukan untuk menjelaskan cara pandang dan respons NU dalam menghadapi munculnya aksi terorisme di Indonesia. Hal ini penting, mengingat belum ada penelitian khusus (dalam bentuk tesis) tentang NU dalam kaitannya dengan terorisme.

Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi, yaitu upaya memahami fenomena atau peristiwa dalam kaitannya dengan individu atau kelompok sosial dalam situasi tertentu. Pendekatan ini lebih menekankan pada pengertian interpretatif atas pemahaman manusia terhadap suatu peristiwa. Dengan demikian, peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang diteliti sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan


(24)

oleh mereka di sekitar peristiwa yang terjadi. Pendekatan ini tentu lebih menonjolkan aspek kebenaran subyektif dari subyek-subyek yang diteliti.20

Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini adalah bahwa peristiwa munculnya aksi terorisme di Indonesia 2000-2005 tidak bisa dilepaskan dari adanya fenomena-fenomena lain yang muncul mengiringinya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang cara pandang dan respons PBNU pada masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi atas munculnya aksi terorisme di Indonesia 2000-2005.

Ada beberapa pertimbangan pokok dalam memilih metode ini. Pertama, metode kualitatif lebih mudah digunakan untuk memahami persoalan yang rumit dan kompleks. Kedua, metode ini memungkinkan interaksi secara langsung antara peneliti dan responden sebagai sumber data. Ketiga, metode ini lebih dapat beradaptasi terhadap adanya informasi-informasi baru atau pola-pola nilai yang dihadapi. Keempat, metode ini dapat menampilkan data-data, informasi, dan konsep kepada tingkat abstraksi yang lebih tinggi. 21

Adapun karakteristik penelitian kualitatif antara lain berlangsung dalam latar belakang yang alamiah. Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data yang utama, analisis datanya dilakukan secara induktif.22

Penyajian hasil penelitian ini bersifat deskriptif-analitis. Penulis berusaha menggambarkan fenomena aksi terorisme secara sistematis, faktual, dan akurat kemudian dianalisis secara rinci dan kritis. Dalam konteks ini berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang cara pandang, respons, langkah-langkah, strategi, dan kebijakan PBNU pada masa kepemimpinan KH. A. Hasyim

20

Lexi J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000) h. 9 21

Lexi J. Maleong, Metode Penelitian..., h. 5 22


(25)

Muzadi menyangkut persoalan aksi terorisme di Indonesia selama tahun 2000-2005 untuk di analisis dan diinterpretasikan.

a. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis memperolehnya melalui dua cara:

(1) Studi Kepustakaan.

Pengumpulan data didapat dari berbagai hasil penelitian yang sudah ada, buku-buku, serta tulisan-tulisan lepas yang tersebar di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan internet, tentang NU dan terorisme. Penulis memilah data kepustakaan ini menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Informasi pustaka yang dikategorikan sebagai data primer di sini antara lain: Hasil-Hasil Muktamar NU ke-30 dan 31, Hasil-Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, Narasi Khidmat Nahdlatul Ulama 1999-2004, dan tulisan KH. Hasyim Muzadi: Mengembangkan NU Melalui Penyembuhan Luka Bangsa.

(2) Wawancara

Data penelitian ini juga akan diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview) yang tidak terstruktur23 dari sumber-sumber data. Peneliti menggunakan instrumen panduan wawancara yang secara khusus disusun untuk keperluan tersebut sebagai acuan agar tetap dalam tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang akan dikumpulkan adalah materi yang berkaitan dengan pendapat, pandangan, dan kritik tetang variabel yang diajukan peneliti. Data yang diperoleh dari wawancara ini penulis menetapkannya sebagai data primer.

23

Wawancara tidak terstruktur digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara ini menekankan pengecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Wawancara jenis ini biasanya dilakukan ketika pewawancara berhubungan dengan “orang penting”. Lexi J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 139


(26)

Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh NU antara lain:

(1) KH. A. Hasyim Muzadi. Ia adalah tokoh sentral NU yang secara struktural duduk sebagai Ketua Umum dalam kepengurusan PBNU periode 1998-2004 dan 2004-2009.

(2) KH. Ma’ruf Amin selaku Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah satu tokoh NU yang memiliki pengalaman sebagai Ketua Tim Penanggulangan terorisme di Indonesia yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

(3) KH. DR. Said Agil Siradj selaku salah satu Ketua PBNU. Ia adalah salah satu tokoh NU yang kapasitas intelektualnya tidak diragukan dan sering menjadi rujukan bagi banyak kalangan. Secara intens ia memberikan respons pemikiran terhadap masalah terorisme yang diartikulasikan melalui media massa atau lainnya.

(4) Ahmad Baso. Ia adalah tokoh muda NU non struktural PBNU dan peneliti di LTN NU (Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr Nahdlatul Ulama). Ia banyak meneliti dan menulis tentang NU serta isu-isu kontemporer yang terkait NU, termasuk persoalan terorisme.

(5) Hery Haryanto Azumi, seorang tokoh muda NU non struktural PBNU. Ia dikenal dekat dan menjadi bagian dari think tank Ketua Umum PBNU saat ini. Di samping itu, ia juga cukup dekat dengan kalangan Badan Intelijen Negara (BIN).

Di samping melakukan wawancara secara langsung, penulis juga akan mengutip pendapat dan pernyataan tokoh yang penulis anggap penting dari berbagai seminar, diskusi, dan forum lainnya.


(27)

Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh data yang terkumpul untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam perumusan masalah. Transkrip hasil wawancara dengan para informan serta bahan-bahan lain yang merupakan data penelitian dicek kembali kelengkapannya dan teknik penyajiannya.

Karena penelitian ini kualitatif, maka analisa datanya dikembangkan selama penelitian (berkelanjutan). Maksudnya, analisis data tidak dilakukan setelah data selesai, tetapi dilaksanakan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah data terkumpulkan. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan dapat dianalisa metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya.

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus, kemudian membuat generalisasi analisis sehingga dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini menggunakan tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data merupakan usaha menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari data sehingga ditemukan tema pokok, fokus masalah, dan pola-polanya. Proses reduksi data meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah terkumpul, menyusunnya secara sistematis, dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya.

Tahap berikutnya adalah penyajian data. Dalam tahap ini, peneliti menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Data yang telah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis tersebut diambil kesimpulan sehingga makna data bisa ditemukan. Namun, kesimpulan itu bersifat sementara saja dan masih umum. Agar kesimpulan bisa diperoleh secara final


(28)

maka data lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan tentatif tadi.

Teknik Penulisan

Teknik penulisan tesis ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) edisi terbaru yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.24 Untuk transliterasi, penulis menggunakan pedoman transliterasi sesuai dengan terbitan Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG RI) sebagaimana penulis lampirkan di depan.

Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan penelitian tesis ini dibagi dalam lima bab dengan perinciannya sebagai berikut:

Bab pertama adalah berisi tentang pendahuluan yang menguraikan pandangan umum tentang penelitian tesis ini yang terangkum dalam latar belakang masalah. Selanjutnya dipaparkan identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah. Kemudian penulis menjelaskan tujuan penulisan ini agar tergambar arah yang ingin dicapai. Kajian atau penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan berkaitan dengan penulisan tesis ini, juga penulis cantumkan sebagai acuan guna menemukan ruang kajian yang layak dibahas. Kemudian penulis memaparkan metode pendekatan yang ditempuh dalam penelitian dan sistematika pembahasannya.

Bab kedua membahas diskursus tentang terorisme. Dalam bab ini penulis jelaskan mengenai definisi, sejarah terorisme, akar penyebab, bentuk-bentuk terorisme, dan gambaran bagaimana aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.

24Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,

(Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007). Sebagai catatan, untuk penulisan footnote, penulis tidak menggunakan istilah ibid, loc.cit., atau op.cit., untuk menulis referensi buku yang sama dengan sebelumnya, melainkan dengan menuliskan nama dan penggalan judul buku dari karya tulisnya.


(29)

Bab ketiga membahas tentang Nahdlatul Ulama (NU), yaitu dengan menguraikan visi NU, mencakup visi kebangsaan dan keagamaannya. Penulis juga menguraikan tentang prinsip-prinsip kemasyarakatan NU yang meliputi Mabâdi’ Khaira Ummah, Fikrah Nahdliyyah, dan Ukhuwwah Nahdliyyah. Terakhir penulis menguraikan tentang gerakan civil society NU dan potret kepemimpinan KH. A. Hasyim Muzadi.

Bab keempat membahas tentang cara pandang dan respons yang dilakukan NU terhadap aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Dalam bab ini penulis membuat analisa tentang konteks munculnya aksi terorisme di Indonesia menurut para tokoh NU, dampaknya terhadap eksistensi NU, umat Islam, dan bangsa, sikap yang diupayakan PBNU yang berkaitan dengan hal itu.

Bab kelima merupakan penutup dari penelitian tesis ini yang terdiri dari kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan rumusan masalah yang diteliti. Di akhir bab ini, penulis juga mencantumkan beberapa saran sekaligus melampirkan daftar pustaka yang digunakan untuk keperluan penulisan tesis ini. []


(30)

BAB II

DISKURSUS TERORISME

Definisi dan Sejarah Terorisme Definisi Terorisme

Sejak peristiwa serangan 11 September 2001 ke gedung WTC New York, AS, terorisme menjadi isu serius masyarakat dunia di awal abad 21 ini. Hal ini karena aksi terorisme menimbulkan instabilitas dan ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat di seluruh dunia. Mengenai apa terorisme, siapa pelakunya, bentuk-bentuknya, faktor yang menyebabkannya, serta aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, inilah persoalan yang akan penulis bahas dalam uraian diskursus terorisme ini.

Sejauh ini belum ada definisi25 yang benar-benar akurat dan obyektif tentang terorisme, bahkan di kalangan pakar sosial-politik Barat sekalipun. Hal ini karena mendefinisikan sebuah aksi terorisme sangat bergantung pada siapa yang memiliki kepentingan. Pada satu sisi, bisa saja apa yang disebut orang/kelompok lain sebagai tindak terorisme tapi pada saat yang sama tindakan tersebut justru sebuah aksi kepahlawanan yang heroik.

Charles W. Kegley Jr. dalam buku Internasional Terrorism: Characteristics, Causes, Control, mengatakan: “There is no single definition of terrorism that can possibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.”26 (Tidak ada definisi tunggal tentang terorisme yang bisa mencakup semua sisi fenomena terorisme yang telah muncul sepanjang sejarah).

25

Sidang Umum PBB melalui dewan khusus terorisme internasional, pernah membahas isu terorisme internasional pada tahun 1972. Perdebatan tentang definisi terorisme mengalami deadlock. Akhirnya sidang memandang tidak mungkin untuk memutuskan sebuah definisi yang dapat disepakati bersama dan dapat mengakomodir berbagai persepsi yang ada. Lihat: Haitsam al-Kailani, Al-Irhâb Yuassis Daulah Namûdzaj Isrâîl, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 16

26

Charles W. Kegley Jr. International terrorism: Characteristics, Causes, and Control (Britain: Wheatsheat Books, t.t.), h.10


(31)

Semua sepakat bahwa aksi teror adalah perbuatan haram yang tidak diperbolehkan. Namun masalahnya untuk menentukan mana bentuk teror dan mana bentuk perjuangan tentu sangat sulit sebab subyek yang mendefinisikan tidak bisa dilepaskan dari kepentingannya sehingga memiliki determinasi yang kuat terhadap kategori di atas. Jadi pemaknaannya bergantung pada selera dan kepentingan yang mendefinisikannya. Dalam sosiologi pengetahuan, asumsi adanya kepentingan dalam mendefinisikan bisa didasarkan pada teori pertautan antara pengetahuan dan kepentingan, sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas, bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dengan kepentingan.27

Selain faktor subyektif dan relatif, kesulitan mendefinisikan terorisme juga disebabkan karena manusia memiliki akar-akar ketakutan dari pengalaman yang berbeda satu dengan lainnya. Tegasnya, definisi terorisme sarat dengan berbagai kepentingan serta melibatkan banyak hal sebagai variabel-variabel yang harus diperhitungkan. Namun demikian, bagi penulis, pendefinisian tetap harus dilakukan sebagai pijakan dalam memahami term terorisme yang bisa diterima oleh semua pihak sebagai pengertian secara umum (common sense).

Istilah terorisme berasal dari kata teror. Teror sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Latin “terrere” yang memiliki arti “menimbulkan ketakutan yang mendalam”.28 Term teror dan terorisme sendiri ada sedikit perbedaan. Teror merupakan aktivitas yang dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal yang bersifat spontan, tidak terorganisir, dan umumnya bersifat personal. Sedangkan terorisme cenderung dilakukan oleh kelompok atau organisasi yang bekerja secara rapi, dan didukung oleh berbagai variabel penting, seperti dana, fasilitas, dan kekuasaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sementara

27

Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, penerj. Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1990) h. 170.

28 International Encyclopedia of Terrorism

, (New Delhi: S. Chand and Company LTD, 1990) h.11.


(32)

terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan, terutama tujuan politik.29 Definisi yang hampir sama juga terdapat dalam Kamus Hukum, bahwa terorisme diartikan sebagai perbuatan jahat yang umumnya ditujukan kepada negara, yang tujuannya menakut-nakuti orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu ataupun masyarakat tertentu untuk tujuan politik.30

Dalam The New Encyclopedia Britanica, terorisme yaitu penggunaan teror secara sistematis atau kekerasan yang tidak dapat diprediksikan yang ditujukan untuk menyerang pemerintah, publik, ataupun individual demi kepentingan politis tertentu. Terorisme telah digunakan oleh berbagai organisasi politik, baik aliran kanan maupun aliran kiri, para pejuang nasionalis dan etnis tertentu, para pejuang revolusi, kekuatan militer suatu negara maupun polisi, dan bahkan oleh pemerintahan negara tertentu.31

Sedangkan dalam Webster’s International Dictionary dikatakan bahwa teror adalah rasa takut yang luar biasa, ketakutan yang mengganggu tubuh dan pikiran, tindak kekerasan yang mengerikan. (Terror is extreme fear, fear that agitates body and mind, violent dread; fright).32

Haitsam al-Kailani kemudian mendefinisikannya secara lebih luas, yaitu segala bentuk tindakan yang mengancam atau merenggut nyawa orang yang tidak berdosa, mengancam hak asasi manusia, merusak kehormatan manusia, menimbulkan ketakutan luar biasa baik kepada individu/kelompok/negara, secara terorganisir maupun tidak.33

29 Kamus Besar Bahasa Indonesia

, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2002) hal. 1185, Edisi ke-3.

30

Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1986), hal. 51. 31

Dalam kamus tersebut tertulis: The systematic use of terror or unpredictable violence against governments, publics, or individuals to affair a political objective. Terrorism has been used by political organizations with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by revolutionaries and by the armies and secret police of governments themselves. Lihat: The New Encyclopedia Britannica, Chicago, USA, Vol. II 1988 h. 650-651.

32

Lihat: Webster’s International Dictionary, edisi 1890. 33


(33)

Menurut pendapat Azyumardi Azra, istilah terorisme hampir sepenuhnya digunakan untuk tindakan yang mengacu kepada kekerasan. Kesulitan mendefinisikannya disebabkan karena di balik tindak terorisme terdapat beragam kepentingan yang saling berkelindan, seperti ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Dalam kasus ini, ia melihat ada tindakan kekerasan yang bersifat justifiable (dapat dibenarkan) dan ada yang unjustifiable (tidak dapat dibenarkan). Namun menentukan batas-batas mana yang justifiable dan mana yang unjustifiable inilah yang sangat sulit karena bergantung pada justifikasi moral pihak yang mendefinisikannya.34

T.P. Thornton mendefinisikan, terorisme adalah penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara ektranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan. Dalam pengertian ini, ia membedakan terorisme dalam dua kategori: pertama, enforcement terror, yaitu teror yang digunakan oleh penguasa atau rezim untuk menindas perlawanan yang ditujukan kepada mereka. Kedua, agitational terror, yaitu kegiatan teror yang dilakukan untuk tujuan mengganggu situasi yang mapan/stabil untuk kemudian menguasai kekuasaan atas situasi tersebut.35

Berbeda kategori di atas, Riza Sihbudi mengklasifikasikan terorisme dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat personal, yaitu aksi-aksi terorisme yang dilakukan secara terencana terhadap target-target tertentu oleh pelaku tunggal. Kedua, terorisme yang bersifat kolektif dan terencana. Biasanya, terorisme semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan organisasi yang rapi seperti Al-Qaeda. Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan perekonomian negara. Ketiga, terorisme yang dilakukan negara (state terrorism) agar rakyat atau

34

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis, dalam Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No. 4 April-Juni 1994, (Bandung: MIZAN dan MISSI, 1994) h. 83.

35


(34)

kelompok yang berseberangan dengan kepentingan negara menjadi patuh. Ketiga-tiganya mempunyai titik temu, yaitu sama-sama memiliki korban.36

Dalam prakteknya, terorisme membonceng beragam kendaraan untuk mencapai tujuannya. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya buruk dan tidak manusiawi.

Riza juga memaparkan bahwa terorisme bisa dipahami sebagaimana berikut: pertama, terorisme adalah sebuah aksi militer atau psikologis yang didesain untuk menciptakan kerusakan material dan ekonomi; kedua, terorisme adalah metode untuk memaksa perilaku orang lain. Metode ini sering dilakukan dengan cara melakukan penyerangan terhadap korbannya dengan tujuan agar korban bertindak seperti yang diinginkan oleh si teroris; ketiga, terorisme digambarkan sebagai tindakan kriminal untuk mendapatkan publikasi; keempat, terorisme adalah tindakan kriminal yang mempunyai tujuan politik; kelima, terorisme adalah tindakan kriminal yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.37

Selanjutnya Riza menjelaskan bahwa ciri apakah suatu tindak kekerasan itu masuk dalam kategori tindak terorisme atau tidak, bisa kita lacak lewat karakter tindak terorisme berikut yang mencakup unsur:

4. eksploitasi sisi ketakutan manusia dengan intimidasi, ancaman penggunaan kekerasan, penganiayaan, dan kekejaman;

5. adanya unsur kejut, dalam pengertian bahwa tindakan itu dilaksanakan tanpa terduga sama sekali oleh korban;

6. memiliki tujuan politik yang skalanya jauh lebih luas daripada korbannya sendiri; 7. sasaran umumnya adalah kelompok yang berseberangan kepentingannya dengan,

bisa masyarakat sipil atau penguasa; dan,

36

M. Riza Sihbudi, et.al., Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, (Bandung: PT. Eresco, 1993), h.16

37


(35)

8. dipersiapkan secara rapi, terorganisir, dan sistematis.38

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri tindak terorisme adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan secara sistematis, terorganisir dan mendadak oleh suatu kelompok tertentu dengan mengambil korban masyarakat sipil atau penguasa untuk tercapainya tujuan-tujuan politis.

Sedangkan mengenai pelakunya, dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 15 Desember 1997, dinyatakan bahwa apa yang disebut sebagai teroris tidak terbatas pada pelaku teror melainkan setiap partisipan, organisator, ataupun kontributor lain dalam tindakan yang dikategorikan terorisme.39

Namun demikian, adanya unsur subyektif dan relatif dalam mendefinisikan term terorisme menyebabkan banyak pihak sulit mengungkap siapa sebenarnya pelaku tindak terorisme. Bisa jadi yang dianggap teroris oleh satu pihak merupakan pahlawan bagi pihak lain. Situasi seperti ini tentu menjadi dilematis siapa sejatinya yang layak disebut teroris dan siapa yang pahlawan.

Dari semua pemahaman tentang terorisme, penulis memilih untuk menggunakan pemahaman terorisme seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra dan Riza Sihbudi, serta Konvensi PBB tentang pelaku terorisme, sebagai kerangka teori untuk menjelaskan tesis ini. Pilihan ini didasarkan karena kedua pakar tersebut adalah cendekiawan Indonesia yang bersinggungan langsung dengan persoalan terorisme yang terjadi di Indonesia. Dalam kapasitasnya sebagai pengamat politik di Indonesia, keduanya sangat berkompeten untuk menjelaskan persoalan terorisme ini.

Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau sebelum masehi. Terorisme awalnya ditandai dengan kejahatan berupa pembunuhan dan ancaman yang

38

M. Riza Sihbudi, et.al., Konflik dan Diplomasi..., h. 18 39

Lihat: “Terorisme dan Teori Konspirasi: Tinjauan Terhadap Peran PBB” dalam Global, Jurnal Politik Internasional, vol. 5, 2 Mei 2003, (Depok: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia), h. 51


(36)

bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Aksi terorisme dilakukan secara perorangan maupun oleh kelompok terhadap penguasa yang dianggap tiran. Atau, bisa juga sebaliknya, yaitu oleh penguasa terhadap kelompok atau seseorang yang dianggap melakukan pembangkangan terhadap kekuasaan yang ada.

Dalam kajian sosiologi, fenomena terorisme merupakan gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang yang sangat beragam dari banyak pihak kemudian mempengaruhi makna terorisme. Sebagaimana telah dibahas, bahwa pemaknaan dari sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya pergeseran makna terorisme dari masa ke masa. Namun tampaknya, kini istilah terorisme sudah menjadi lekat dengan sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sejauh yang sudah direkam oleh sejarah, istilah dan praktik terorisme telah muncul sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, pernah mengulas tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi, tercatat nama Kaisar Roma, Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41), melakukan aksi terorisme terhadap lawan-lawan politiknya, yaitu dengan menyiksa, membuang, membunuh, menyita harta benda, untuk menakut-nakuti kekuatan oposisi.40

Aksi teror juga dilakukan kelompok Sicarii, sekte agama yang aktif dalam perjuangan Zealot di Palestina (66-73 M) Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan pisau kecil yang disembunyikan di balik baju. Aksi ini dilakukan dengan cara membaur dengan orang-orang di pasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan terorganisir di zaman kuno. Tindakan ini menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok ini adalah agama dan didukung oleh kitab suci.41

40The New Encyclopedia Britannica

,. ..h. 652. 41


(37)

Sampai abad 18, penguasa sering menggunakan teror untuk mematahkan kekuatan masyarakat yang dinilai membangkang. Tindakan teror ini masih berkisar pada penyiksaan, pembuangan, penculikan, pembunuhan dan penyitaan harta benda. Namun istilah teror baru digunakan sebagai sesuatu yang positif dalam pemerintahan Prancis pada tahun 1793-1794. Pemerintahan ini dikenal dengan nama French Revolution’s Terrorism (FRT) pimpinan Maximilien Robespierre.42 FRT digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan Revolutionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi. Robespierre menyebutkan:

Virtue, without which terror is evil; terror, without which virtue is helpless. Terror is nothing other than justice, prompt, severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue; it is not so much a special principle as it is a consequence of the general principle of democracy applied to our country’s most urgent needs.43

Terdapat dua karakteristik utama dari FRT. Pertama, FRT dilakukan secara terorganisir dan sistematis. Karakteristik ini yang membedakan FRT dengan aksi teror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan FRT adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik. Namun demikian, di masa pemerintahan FRT ini, telah dihukum sekitar 300.000 orang, termasuk 40.000 orang yang dieksekusi mati dan mati di penjara dengan tanpa proses pengadilan sebelumnya.44

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Prancis mengilhami munculnya sentimen anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan orang-orang berkuasa.

42Modern History Sourcebook: Maximillien Robespierre: Justification of the Use of Terror, melalui http//www.fordham.edu/halsall/mod/robespierre-terror.html.

43http//www.fordham.edu/halsall/mod/robespierre-terror.html. 44http//www.fordham.edu/halsall/mod/robespierre-terror.html.


(38)

Aksi terorisme juga banyak muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia (PD) I di hampir seluruh permukaan bumi. Sejarah mencatat pada 1890-an, aksi terorisme dilakukan saat Armenia melawan pemerintah Turki yang berakhir dengan bencana pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada PD I.45 Pada saat itu, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.

Menjelang PD I hingga PD II, bersamaan dengan semangat pergerakan kemerdekaan di banyak negara, penggunaan istilah terorisme yang cenderung memiliki makna negatif mulai dilekatkan kepada pemberontakan yang dilakukan kaum anti-kolonialis. Stigma teroris memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan di negara dunia ketiga yang umumnya terjajah. Mereka dengan tegas menolak stigma tersebut karena mereka berjuang untuk kemerdekaan tanah air (freedom fighters) dari cengkeraman penjajah.

Pasca PD II, dunia tidak bisa langsung berdamai. Berbagai pergolakan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur-Barat, menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya sehingga menyebabkan timbulnya konflik Utara-Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustrasi banyak negara berkembang dalam berjuang menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang meluasnya terorisme. Terorisme telah berkembang dalam perang ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

Terorisme dalam perkembangan berikutnya menjadi semakin dialektis di mana terkadang aksi tersebut digunakan untuk melawan penguasa atau sebaliknya, yaitu

45


(39)

digunakan penguasa untuk menindas rakyatnya. Penguasa melakukan berbagai penyiksaan dan pembunuhan sehingga menimbulkan rasa takut luar biasa di kalangan rakyatnya. Seperti yang terjadi di Jerman pada masa pemerintahan totaliter Adolf Hitler, di Rusia oleh Josef Stalin, dan di Kamboja oleh Pol Pot.46

Aksi teror juga digunakan sebagai strategi perjuangan oleh gerilyawan Aljazair saat melawan Prancis dalam perang kemerdekaan, gerilyawan Vietnam melawan Amerika Serikat, pejuang Palestina melawan Israel, kaum separatis Tamil Elam di Srilanka, kelompok Sikh di India, kelompok Baader-Meinhof di Jerman, Brigade Merah di Italia, Sekigun (Tentara Merah) di Jepang, Euzkadi Ta Askatasuna (ETA) di Spanyol, dan Tentara Irlandia Utara (IRA) di Irlandia Utara. Terorisme kemudian menjadi isu yang kuat sehingga dibicarakan di forum internasional oleh PBB terkait dengan peristiwa teror yang dilakukan oleh Black September Organization yang menyerang atlet Israel saat berlangsungnya Olimpiade Munich pada tahun 1972.47

Peristiwa tersebut membuat terorisme menjadi isu global. Gerakan terorisme umumnya menjadi inspirasi bagi munculnya gerakan terorisme berikutnya. Bahkan di antara kelompok terorisme tersebut sangat mungkin terjalin kerja sama untuk mencapai tujuan masing-masing. Kerja sama tersebut bisa dalam bentuk saling menukar informasi penting, taktik perang gerilya atau teror, persenjataan, lobi-lobi kekuasaan dan sebagainya. Hal ini seperti dikemukakan oleh Marius H. Livingstone dalam bukunya International Terrorism in the Contemporary World, bahwa kelompok Baader-Meinhof beberapa kali pergi ke kamp gerilyawan Palestina di Yordania dan Lebanon pada tahun 1970-1972 untuk mendapatkan latihan penggunaan bahan peledak. Gerilyawan Palestina juga menjalin hubungan dengan kelompok Irish Republican Army (IRA) di Irlandia Utara dan Basque Fatherland and Liberty (ETA) di Spanyol.48

46

Salam Effendi, Siapa Teroris? h. 36 47

PTRI New York, Terorisme Internasional dan Situasi Afghanistan, h.1 48


(40)

Meskipun sebagian kelompok terorisme tersebut telah surut seiring berakhirnya perang dingin, tetapi ancaman terorisme tidak berhenti hingga sekarang. Malah sebaliknya, terorisme muncul dengan mengambil modus operandi yang lebih sulit dikenali. Bahkan banyak di antara mereka yang didukung perangkat teknologi masa kini dan memiliki beragam senjata pemusnah massal. Karena itu, ancaman yang ditimbulkan terasa lebih mengerikan dan berdampak hebat secara psikologis.

Peristiwa ambruknya WTC New York pada 11 September 2001 adalah bukti keandalan strategi terorisme modern. Betapa tidak, Amerika yang memiliki sistem keamanan yang didukung teknologi canggih sama sekali tidak berdaya oleh ulah teroris. Mereka tidak menyerang dengan mesin perang modern, tapi cukup memanfaatkan pesawat sipil yang berlalu lalang di dalam negeri sebagai amunisi. Dalam aksinya, para teroris tersebut membajak beberapa pesawat sipil dan menabrakkannya ke gedung WTC dan Penthagon.

Dalam wacana terorisme, aksi-aksi teror juga dilakukan oleh negara (state terrorism). Pada term ini, negara menggunakan aksi terorisme sebagai sarana untuk memaksa pihak lain menjadi tunduk. Bentuk terorisme yang dilakukan negara bisa dengan melakukan operasi represif, penganiayaan, penculikan, pengeboman, bahkan sampai pemusnahan massal (holocaus). Inilah yang disebut sebagai state terrorism. Contoh ini bisa dilihat pada kasus pembantaian Suku Kurdi dengan senjata biologis oleh rezim Saddam Husein. Demikian pula agresi militer AS ke Irak juga bisa dikategorikan sebagai bentuk aksi terorisme.

Negara juga bisa disebut sebagai pelaku terorisme jika negara mendukung dan melindungi kelompok-kelompok yang melakukan aksi terorisme. Inilah yang disebut sebagai state sponsored terrorism.49 Negara tersebut memanfaatkan kelompok-kelompok radikal yang memiliki kesamaan tujuan politik dengannya. Misalnya AS membiayai gerilyawan di beberapa negara untuk mengacaukan keamanan dan bahkan menggulingkan kekuasaan suatu negara.

49


(41)

Akar Penyebab dan Bentuk-Bentuk Terorisme 1. Akar Penyebab Timbulnya Terorisme50

Fenomena aksi terorisme yang sering terjadi pada awal abad 21 ini disebabkan banyak faktor yang berjalin kelindan. Karena itu, penting sekali penulis kemukakan di sini beberapa akar penyebab munculnya terorisme. Beberapa akar penyebab munculnya terorisme adalah:

a. Ideologi

Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar dari tindakan seseorang, sekelompok partai, organisasi, atau negara. Ideologi berfungsi memberikan konsepsi, arah, tujuan, serta memberikan alasan dan peraturan-peraturan terhadap gerakan dan didesain dari aktivitas gerakan.51

Sebagai penggerak semua elemen yang terlibat di dalamnya, ideologi berperan besar terhadap dinamika suatu masyarakat sesuai dengan tujuannya. Karena demikian banyaknya ideologi yang ada di dunia, masing-masing berusaha saling mempengaruhi agar mendapatkan eksistensinya. Inilah kemudian yang menyebabkan munculnya gesekan-gesekan antar ideologi hingga berujung kepada aksi-aksi kekerasan dan terorisme.

Pada era perang dingin, tercatat pertarungan yang sangat keras antara kapitalisme/liberalisme dengan sosialisme/komunisme di berbagai belahan negara. Salah satu kasus kekerasan dan teror yang terjadi adalah perang Vietnam beberapa dekade silam, di mana ideologi menjadi alasan sesungguhnya dari perang tersebut.

b. Pemahaman Ajaran Agama

50

Akar penyebab dari munculnya aksi kekerasan dan teror sangat beragam. Setidaknya 8 (delapan) variabel di atas adalah faktor yang selama ini banyak disebutkan oleh kalangan cendekiawan sebagai bagian dari penyebabnya. Untuk keterangan lebih lanjut, baca: Abdul Kadir Shaleh, Agama Kekerasan, (Yogyakarta, Prisma Shopie, 2003); Sulaiman Rasyid, Islam Radikal Pasca Reformasi,(Yogyakarta, Geliat makna, 2004); atau Charles W. Kegley Jr. International terrorism: Characteristics, Causes, and Control (Britain: Wheatsheat Books, t.t.).

51

S. Yunanto, et. al., Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia tenggara, (Jakarta: FES and The Ridep Institute, 2003), h. 39


(42)

Aksi terorisme dan kekerasan sering kali menjadi pilihan cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari organisasi atau kelompok radikal penganut suatu agama. Mereka umumnya menginginkan tatanan masyarakat atau negara yang sesuai dengan keyakinannya.

Tujuan tersebut didasarkan pada keengganan mereka menerima sistem hukum dan pemerintahan yang sudah ada. Bagi mereka apa yang mereka lakukan adalah sah dan sesuai dengan perintah agama. Hukum yang berlaku dianggap produk kaum kafir sehingga harus diganti. Begitu juga dalam pengelolaan negara, dianggap terlalu sekuler dan dipengaruhi oleh negara-negara barat. Untuk mengubah semua keadaan tersebut mereka menggunakan segala cara, termasuk kekerasan yang menimbulkan teror bagi negara maupun masyarakat luas. Kelompok garis keras ini biasanya memiliki sel yang tersebar di seluruh dunia.

Sebagai gambaran bagaimana pemahaman agama menjadi akar dari persoalan munculnya terorisme seperti ungkapan dari salah satu pelaku bom Bali, Imam Samudra dalam buku otobiografi Aku Melawan Teroris:

“Dengan memohon grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Na’ûzubillâhi min zâlik. Memohon grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui adanya kebenaran di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Summa na’ûzubillâhi min zâlik.”52

Karena kelompok ini selalu menggunakan dalih ajaran, maka perlu pelacakan lebih lanjut terhadap sumber ajaran untuk mencari keterkaitan antara ajaran Islam yang dianut oleh ratusan juta orang di dunia dengan ajaran yang sama yang menimbulkan sikap yang sangat radikal. Pertama, ajaran yang berhenti pada tingkat pemahaman ajaran namun menggunakan cara-cara santun dalam mewujudkannya sehingga kekerasan tidak terjadi dalam sistem tindakan. Karena tidak mengambil bentuk dalam sebuah tindakan, kekerasan ajarannya kemudian “menyerang” secara

52


(43)

wacana berupa tuduhan sesat, bid’ah, khurafat, kafir, dan sebagainya kepada sesama umat Islam. Model semacam ini juga terjadi pada agama lainnya.

Kedua, ajaran Islam garis keras yang mengartikulasikan diri ke dalam pemahaman doktrin sekaligus dalam bentuk sistem tindakan. Model yang demikian memiliki bentuk: (1) murni sentimen ajaran. Kelompok ini berusaha mewujudkan pemurnian ajaran Islam dalam bentuk penetapan syariat dengan cara kekerasan, seperti menghancurkan tempat-tempat hiburan yang dianggap melanggar aturan ajaran Islam, versi ideologi mereka. Ini juga bisa digolongkan tindak terorisme, hanya saja bersifat lokal dan sederhana. Secara psikologis, mereka memiliki kejengkelan yang sama dengan teroris global. (2) Sebagian kelompok garis keras tersebut mengambil jalan yang ekstrem, yaitu aksi terorisme. Kelompok ini memiliki kepentingan yang lebih besar dari yang pertama. Mereka mengorganisasikan diri dengan baik dan memiliki strategi dan perencanaan yang matang dalam melakukan aksinya. Jumlahnya tidak banyak namun gerakannya yang radikal berimplikasi sangat luas.

Artikulasi ajaran Islam dalam bentuk sistem tindakan yang disebut terakhir sering kali dipahami secara tidak proporsional sebagai bentuk jihad53. Karenanya, penting untuk penulis tambahkan di sini pembahasan mengenai jihad.

Jihad adalah perintah Al-Quran sebagai jalan terbaik bagi umat Islam untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat.54 Secara terminologi, kata jihad berasal dari kata jâhada yang berarti mengupayakan tercapainya sesuatu, berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang keras, usaha untuk memerlukan kegiatan dan kerja keras.55 Dalam Bahasa Arab, kata ini memiliki derivasi kata jâhada – yujâhidu –

53

Dalam pandangan penulis, pandangan para intelektual barat tentang jihad dalam Islam masih terjadi kesalahpahaman. A.J. Wensinck dalam Encyclopaedia of Islam misalnya, ia memaknai kata jihad dengan arti perang. Demikian juga F.A. Klein, ia mengartikan jihad sebagai perang melawan kaum kafir dengan tujuan memaksa mereka untuk memeluk agama Islam, menindas dan membinasakan mereka jika mereka menolak menjadi orang Islam, serta memenangkan Islam di atas semua agama.

54

Lihat: QS. Al-Shaf [61]:10-12. 55

Pengertian jihad secara bahasa jelas tidak memiliki makna perang, lebih-lebih jika dianggap sebagai perang untuk menyiarkan Islam. ini tak dikenal sama sekali oleh Kamus Bahasa Arab bahkan di dalam Al-Quran sendiri. Muhammad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: t.p., t.t.), h. 234


(44)

jihâdan - wamujâhadan. Di dalam Al-Quran kata jihad disebutkan sebanyak 41 kali. 8 kali di antaranya disebut dalam ayat Makiyah dan 33 kali disebut dalam ayat Madaniyah.56 Dilihat dari pemaknaannya pada semua ayat tersebut, secara garis besar setidaknya ada tiga macam makna secara umum mengenai jihad, yaitu (1) berjuang melawan musuh yang kelihatan; (2) berjuang melawan setan; dan (3) berjuang melawan nafsu.

Dengan demikian, jihad dalam Islam tidak selalu bermakna fisik (perang) namun juga nonfisik. Secara fisik, jihad pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk perang dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh yang mengancam kehidupan umat Islam. Namun pada saat yang sama, Rasulullah juga menegaskan bahwa umat Islam harus melakukan jihad akbar, yaitu memerangi hawa nafsu dalam diri sendiri. Pemaknaan terhadap perang melawan hawa nafsu sendiri sangat luas, mencakup masalah konsep diri, moralitas, dan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan kehidupan sosial yang bermartabat, damai, dan penuh kasih sayang. Jihad yang demikian tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan.

Sementara jihad yang dalam pengertian konfrontasi fisik bukanlah menyerang lebih dulu, melainkan mempertahankan dari semua serangan musuh. Jadi tidak ada kewajiban di dalam Islam menyerang musuh selama mereka tidak merugikan umat Islam. Bahkan hukumnya wajib bagi orang Islam untuk melindungi bagi orang-orang kafir yang ada di sekitarnya dari segala hal yang berpotensi mencelakakan mereka, dengan satu syarat mereka juga baik dan menghormati kedaulatan Islam57.

Jelasnya, dalam masalah jihad damai ini Nabi mengatakannya sebagai yang paling agung. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. kembali

56

M. Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Quran al-Karîm, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby) t.t.), h. 183

57

Sebagian ulama menjelaskan, arti kata jihad sebagai bentuk infinitif dari kata jâhada, artinya menggunakan atau mengeluarkan tenaga, daya, usaha atau kekuatan untuk melawan suatu obyek yang tercela. Obyek itu ada tiga macam, (1) musuh yang kelihatan, (2) setan, dan (3) nafsu. Semua obyek itu tercakup dalam QS. Al-Hajj [22]:78.


(1)

Wirajuda, Hassan, Menlu RI, Diplomasi Total di Era Informasi. Disampaikan sebagai “keynote Speech” pada Seminar Public Relations, Jakarta: Hotel Mandarin Oriental, 20 februari 2003.

HASIL-HASIL MUKTAMAR NU

Hasil-hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, 25-28 Juli 2002 di Jakarta.

Hasil-Hasil Muktamar XXX NU, (Jakarta: PBNU, 2000), tentang Pokok-pokok Program Kerja NU periode 1999-2004.

Hasil-Hasil Muktamar XXX NU, (Jakarta: PBNU, 2005), tentang Program Kerja NU periode 2004-2009.

Lampiran Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 011/MNU-30/11/1999 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 1999-2004 Hasil Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Lampiran Keputusan Muktamar XXXI NU Nomor: V/MNU-31/XII/2004 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2004-2009 Hasil Muktamar XXXI NU di Boyolali, Jawa Tengah.

WAWANCARA

Wawancara dengan KH. A. Hasyim Muzadi, 2 Desember 2007 Wawancara dengan KH. Makruf Amin, 26 November 2007

Wawancara dengan Prof. DR. Said Agil Siradj, MA, 22 November 2007 Wawancara dengan Hery Haryanto Azumi, 3 November 2007

Wawancara dengan Ahmad Baso, 2 September 2007


(2)

SUSUNAN PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA (PBNU) PERIODE 1999 – 2004190

SYURIYAH

1. Rais ‘Aam : KH. Ahmad Sahal Mahfudz 2. Wakil Rais ‘Aam : KH. Endin Fachruddin Masthuro 3. Rais : KH. A. Musthafa Bisri

4. Rais : KH. Abd. Muchit Muzadi

5. Rais : KH. M. Imron Hamzah

6. Rais : Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj, MA 7. Rais : KH. M. Irfan Zidny, MA

8. Rais : Prof. Dr. KH. Chotibul Umam 9. Rais : KH. Muhammad Anis Fuad Hasyim 10.Rais : KH. A. Hafidz Utsman

11.Rais : KH. M. Abdillah al-Jufri

12.Rais : KH. Tuan Guru Nuruddin Husni Kallah, MA

13.Katib ‘Aam : Prof. Dr. KH. Agil Husin al-Munawar, MA 14.Wakil Katib : Drs. H. Masdar F. Mas’udi, MA

15.Wakil Katib : DR. KH. Manarul Hidayat 16.Wakil Katib : HM. Fachri Thaha Ma’ruf, Lc

190

Lampiran Keputusan Muktamar XXX NU Nomor: 011/MNU-30/11/1999 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 1999-2004 Hasil Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.


(3)

TANFIDZIYAH

1. Ketua Umum : KH. A. Hasyim Muzadi 2. Ketua : Ir. H. Kemas Madani Idrus 3. Ketua : Drs. KH. Abdul Wahid Zaini, SH 4. Ketua : HM. Rozy Munir, SE, MSc 5. Ketua : Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni

6. Ketua : Prof. Drs. H. Cecep Syarifuddin, MEd 7. Ketua : HM. Fajrul Falakh, SH, MA, MSc 8. Ketua : H. Ahmad Bagdja

9. Ketua : Ir. H. Sholahuddin Wahid 10.Ketua : HM. Rusli, MBA

11.Ketua : Prof. Dr. H. Ahmad Rifai Siregar 12.Ketua : DR. H. Andi Djamaro Dulung, Msi

13.Sekretaris jendral : H. Muhyiddin Arubusman 14.Wakil Sekjend : Drs. H. Abdul Aziz, MA 15.Wakil Sekjend : Drs. H. Masduki Badlawi 16.Wakil Sekjend : Drs. H. Hilmy Muhammadiyah 17.Wakil Sekjend : Drs. H. Taufiq R. Abdullah

18.Bendahara : H. Abdullah Machrus 19.Wakil Bendahara : Drs. Ronin Hidayat 20.Wakil Bendahara : H. Fauzi Noor, BA 21.Wakil Bendahara : H. Masnuh


(4)

Lampiran II

SUSUNAN PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA (PBNU) PERIODE 2004 – 2009191

SYURIYAH

1. Rais ‘Aam : KH. Ahmad Sahal Mahfudz 2. Wakil Rais Am : Drs. KH. M. Tholhah Hasan

3. Rais : KH. Ma’ruf Amin

4. Rais : KH. Ahmad Idris Marzuki 5. Rais : Drs. KH. A. Hafidz Utsman 6. Rais : DR. KH. Maghfur Utsman

7. Rais : DR. Muhammad Masyhuri Naim, MA

8. Rais : Prof. Dr. KH. Said Agil H. al-Munawwar,MA 9. Rais : Prof. DR. KH. Khotibul Umam

10.Rais : Drs. KH. Adib Rofi’uddin Izza 11.Rais : Prof. DR. KH. Abdul Mu’iz Kabri

12.Rais : KH. Habib Muhammad Abdillah al-Jufri 13.Rais : Dr. KH. Artani Hasbi

14.Rais : Drs. KH. Saifuddin Amsir

15.Katib ‘Aam : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA 16.Wakil Katib : Drs. KH. Malik Madani, MA 17.Wakil Katib : DR. KH. Anwar Ibrahim 18.Wakil Katib : KH. Ahmad Sadid Jauhari 19.Wakil Katib : Drs. H. Masrur Ainun Najih

191

Lampiran Keputusan Muktamar XXXI NU Nomor: V/MNU-31/XII/2004 tentang Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2004-2009 Hasil Muktamar XXXI NU di Boyolali, Jawa Tengah. Ibid, h. 185


(5)

TANFIDZIYAH

1. Ketua Umum : Drs. KH. A. Hasyim Muzadi 2. Ketua : Drs. KH. Masdar F. Mas’udi, MA 3. Ketua : Drs. H. Ahmad Bagdja

4. Ketua : H.M. Rozi Munir, SE, MSc

5. Ketua : Prof. DR. KH. Said Agil Siradj, MA 6. Ketua : Prof. Drs. H. M. Ridwan Lubis 7. Ketua : HM. Fajrul Falakh, SH, MA, MSc 8. Ketua : DR. H. Andi Djamaro Dulung, MSi 9. Ketua : Ir. H. Musthofa Zuhad Mughni 10.Ketua : Prof. DR. Masykuri Abdillah 11.Ketua : Drs. H. Abdul Aziz Ahmad, MA 12.Ketua : Drs. H. Abbas Abdul Mu’in, MA 13.Ketua : Drs. KH. Abdyul Wahid Aziz Bisri, Lc

14.Sekretaris jendral : DR. Endang Turmudzi, MA 15.Wakil Sekjend : Drs. H. Taufiq R. Abdullah 16.Wakil Sekjend : Drs. Syaiful Bahri Anshori 17.Wakil Sekjend : Ir. H.M. Iqbal Sullam 18.Wakil Sekjend : Drs. H. Anas Thohir, MBA 19.Bendahara : H. Abdullah Machrus 20.Wakil Bendahara : Drs. H. Sirojul Munir, MSc 21.Wakil Bendahara : Ir. H. Bambang Adyaksa 22.Wakil Bendahara : Drs. H. Ronin Hidayat


(6)

Lampiran IV

DAFTAR PANDUAN WAWANCARA

1. Pengertian terorisme dan batasannya?

2. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya aksi terorisme? 3. Kaitan Terorisme dengan doktrin jihad?

4. Terorisme dalam perspektif Islam?

5. Kaitan aksi terorisme dengan munculnya gerakan radikalisme Islam di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru?

6. Sikap NU terhadap gerakan radikalisme Islam?

7. Aksi terorisme di Indonesia terkait dengan jaringan terorisme global? Seperti apa petanya?

8. Aksi terorisme di Indonesia adalah bentuk perlawanan (jihad) terhadap hegemoni Barat an sich?

9. Hal-hal yang membuat Indonesia terlibat dalam pusaran isu terorisme global? 10.Kemungkinan aksi terorisme di Indonesia sengaja diciptakan? Oleh siapa?

Dengan tujuan apa? Targetnya apa?

11.Kemungkinan adanya grand design untuk menghancurkan NU? 12.Kepentingan NU merespon aksi terorisme?

13.Posisi NU dalam masalah aksi terorisme di Indonesia? 14.NU organisasi yang ambigu dan oportunis?

15.Dampak aksi terorisme di Indonesia terhadap masyarakat NU?

16.Langkah-langkah nyata NU dalam merespon aksi terorisme di Indonesia? (Kebijakan, fatwa, strategi, dialog, kampanye, lobi, dan lain-lain).

17.Cara NU mengimplementasikan visi dan misinya? 18.Pencapaian NU dalam memerangi terorisme?

19.Peran NU di dunia internasional kaitannya dengan isu terorisme? 20.Reposisi NU sebagai kekuatan bangsa?