Ideologi Pemahaman Ajaran Agama

Akar Penyebab dan Bentuk-Bentuk Terorisme

1. Akar Penyebab Timbulnya Terorisme

50 Fenomena aksi terorisme yang sering terjadi pada awal abad 21 ini disebabkan banyak faktor yang berjalin kelindan. Karena itu, penting sekali penulis kemukakan di sini beberapa akar penyebab munculnya terorisme. Beberapa akar penyebab munculnya terorisme adalah:

a. Ideologi

Ideologi adalah seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar dari tindakan seseorang, sekelompok partai, organisasi, atau negara. Ideologi berfungsi memberikan konsepsi, arah, tujuan, serta memberikan alasan dan peraturan-peraturan terhadap gerakan dan didesain dari aktivitas gerakan. 51 Sebagai penggerak semua elemen yang terlibat di dalamnya, ideologi berperan besar terhadap dinamika suatu masyarakat sesuai dengan tujuannya. Karena demikian banyaknya ideologi yang ada di dunia, masing-masing berusaha saling mempengaruhi agar mendapatkan eksistensinya. Inilah kemudian yang menyebabkan munculnya gesekan-gesekan antar ideologi hingga berujung kepada aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Pada era perang dingin, tercatat pertarungan yang sangat keras antara kapitalismeliberalisme dengan sosialismekomunisme di berbagai belahan negara. Salah satu kasus kekerasan dan teror yang terjadi adalah perang Vietnam beberapa dekade silam, di mana ideologi menjadi alasan sesungguhnya dari perang tersebut.

b. Pemahaman Ajaran Agama

50 Akar penyebab dari munculnya aksi kekerasan dan teror sangat beragam. Setidaknya 8 delapan variabel di atas adalah faktor yang selama ini banyak disebutkan oleh kalangan cendekiawan sebagai bagian dari penyebabnya. Untuk keterangan lebih lanjut, baca: Abdul Kadir Shaleh, Agama Kekerasan , Yogyakarta, Prisma Shopie, 2003; Sulaiman Rasyid, Islam Radikal Pasca Reformasi, Yogyakarta, Geliat makna, 2004; atau Charles W. Kegley Jr. International terrorism: Characteristics, Causes, and Control Britain: Wheatsheat Books, t.t.. 51 S. Yunanto, et. al., Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia tenggara, Jakarta: FES and The Ridep Institute, 2003, h. 39 Aksi terorisme dan kekerasan sering kali menjadi pilihan cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari organisasi atau kelompok radikal penganut suatu agama. Mereka umumnya menginginkan tatanan masyarakat atau negara yang sesuai dengan keyakinannya. Tujuan tersebut didasarkan pada keengganan mereka menerima sistem hukum dan pemerintahan yang sudah ada. Bagi mereka apa yang mereka lakukan adalah sah dan sesuai dengan perintah agama. Hukum yang berlaku dianggap produk kaum kafir sehingga harus diganti. Begitu juga dalam pengelolaan negara, dianggap terlalu sekuler dan dipengaruhi oleh negara-negara barat. Untuk mengubah semua keadaan tersebut mereka menggunakan segala cara, termasuk kekerasan yang menimbulkan teror bagi negara maupun masyarakat luas. Kelompok garis keras ini biasanya memiliki sel yang tersebar di seluruh dunia. Sebagai gambaran bagaimana pemahaman agama menjadi akar dari persoalan munculnya terorisme seperti ungkapan dari salah satu pelaku bom Bali, Imam Samudra dalam buku otobiografi Aku Melawan Teroris: “Dengan memohon grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Na’ûzubillâhi min zâlik. Memohon grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui adanya kebenaran di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Summa na’ûzubillâhi min zâlik .” 52 Karena kelompok ini selalu menggunakan dalih ajaran, maka perlu pelacakan lebih lanjut terhadap sumber ajaran untuk mencari keterkaitan antara ajaran Islam yang dianut oleh ratusan juta orang di dunia dengan ajaran yang sama yang menimbulkan sikap yang sangat radikal. Pertama, ajaran yang berhenti pada tingkat pemahaman ajaran namun menggunakan cara-cara santun dalam mewujudkannya sehingga kekerasan tidak terjadi dalam sistem tindakan. Karena tidak mengambil bentuk dalam sebuah tindakan, kekerasan ajarannya kemudian “menyerang” secara 52 Dikutip dari buku Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004, hal. 199 wacana berupa tuduhan sesat, bid’ah, khurafat, kafir, dan sebagainya kepada sesama umat Islam. Model semacam ini juga terjadi pada agama lainnya. Kedua , ajaran Islam garis keras yang mengartikulasikan diri ke dalam pemahaman doktrin sekaligus dalam bentuk sistem tindakan. Model yang demikian memiliki bentuk: 1 murni sentimen ajaran. Kelompok ini berusaha mewujudkan pemurnian ajaran Islam dalam bentuk penetapan syariat dengan cara kekerasan, seperti menghancurkan tempat-tempat hiburan yang dianggap melanggar aturan ajaran Islam, versi ideologi mereka. Ini juga bisa digolongkan tindak terorisme, hanya saja bersifat lokal dan sederhana. Secara psikologis, mereka memiliki kejengkelan yang sama dengan teroris global. 2 Sebagian kelompok garis keras tersebut mengambil jalan yang ekstrem, yaitu aksi terorisme. Kelompok ini memiliki kepentingan yang lebih besar dari yang pertama. Mereka mengorganisasikan diri dengan baik dan memiliki strategi dan perencanaan yang matang dalam melakukan aksinya. Jumlahnya tidak banyak namun gerakannya yang radikal berimplikasi sangat luas. Artikulasi ajaran Islam dalam bentuk sistem tindakan yang disebut terakhir sering kali dipahami secara tidak proporsional sebagai bentuk jihad 53 . Karenanya, penting untuk penulis tambahkan di sini pembahasan mengenai jihad. Jihad adalah perintah Al-Quran sebagai jalan terbaik bagi umat Islam untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat. 54 Secara terminologi, kata jihad berasal dari kata jâhada yang berarti mengupayakan tercapainya sesuatu, berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang keras, usaha untuk memerlukan kegiatan dan kerja keras. 55 Dalam Bahasa Arab, kata ini memiliki derivasi kata jâhada – yujâhidu – 53 Dalam pandangan penulis, pandangan para intelektual barat tentang jihad dalam Islam masih terjadi kesalahpahaman. A.J. Wensinck dalam Encyclopaedia of Islam misalnya, ia memaknai kata jihad dengan arti perang. Demikian juga F.A. Klein, ia mengartikan jihad sebagai perang melawan kaum kafir dengan tujuan memaksa mereka untuk memeluk agama Islam, menindas dan membinasakan mereka jika mereka menolak menjadi orang Islam, serta memenangkan Islam di atas semua agama. 54 Lihat: QS. Al-Shaf [61]:10-12. 55 Pengertian jihad secara bahasa jelas tidak memiliki makna perang, lebih-lebih jika dianggap sebagai perang untuk menyiarkan Islam. ini tak dikenal sama sekali oleh Kamus Bahasa Arab bahkan di dalam Al-Quran sendiri. Muhammad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: t.p., t.t., h. 234 jihâdan - wamujâhadan. Di dalam Al-Quran kata jihad disebutkan sebanyak 41 kali. 8 kali di antaranya disebut dalam ayat Makiyah dan 33 kali disebut dalam ayat Madaniyah. 56 Dilihat dari pemaknaannya pada semua ayat tersebut, secara garis besar setidaknya ada tiga macam makna secara umum mengenai jihad, yaitu 1 berjuang melawan musuh yang kelihatan; 2 berjuang melawan setan; dan 3 berjuang melawan nafsu. Dengan demikian, jihad dalam Islam tidak selalu bermakna fisik perang namun juga nonfisik. Secara fisik, jihad pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk perang dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh- musuh yang mengancam kehidupan umat Islam. Namun pada saat yang sama, Rasulullah juga menegaskan bahwa umat Islam harus melakukan jihad akbar, yaitu memerangi hawa nafsu dalam diri sendiri. Pemaknaan terhadap perang melawan hawa nafsu sendiri sangat luas, mencakup masalah konsep diri, moralitas, dan upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan kehidupan sosial yang bermartabat, damai, dan penuh kasih sayang. Jihad yang demikian tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan. Sementara jihad yang dalam pengertian konfrontasi fisik bukanlah menyerang lebih dulu, melainkan mempertahankan dari semua serangan musuh. Jadi tidak ada kewajiban di dalam Islam menyerang musuh selama mereka tidak merugikan umat Islam. Bahkan hukumnya wajib bagi orang Islam untuk melindungi bagi orang-orang kafir yang ada di sekitarnya dari segala hal yang berpotensi mencelakakan mereka, dengan satu syarat mereka juga baik dan menghormati kedaulatan Islam 57 . Jelasnya, dalam masalah jihad damai ini Nabi mengatakannya sebagai yang paling agung. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. kembali 56 M. Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Quran al-Karîm, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby t.t., h. 183 57 Sebagian ulama menjelaskan, arti kata jihad sebagai bentuk infinitif dari kata jâhada, artinya menggunakan atau mengeluarkan tenaga, daya, usaha atau kekuatan untuk melawan suatu obyek yang tercela. Obyek itu ada tiga macam, 1 musuh yang kelihatan, 2 setan, dan 3 nafsu. Semua obyek itu tercakup dalam QS. Al-Hajj [22]:78. dari peperangan, beliau berkata kepada para sahabatnya bahwa mereka telah kembali dari jihad kecil Perang Badar dan akan menuju jihad yang lebih besar. Kemudian para sahabat bertanya kepada Nabi Saw. Tentang yang dimaksud dengan jihad akbar. Nabi kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud jihad besar adalah memerangi hati dan hawa nafsu. Jadi, jihad yang lebih besar merupakan bentuk perang terhadap segala perilaku keji yang bersumber dari dalam diri sendiri. Jihad ini bertujuan untuk menyucikan diri dari segala penyakit hati, seperti serakah, sombong, nifaq, syirik, dan sebagainya. Muhammad Said al-Buti, guru besar teologi di Universitas Damaskus, menekankan bahwa esensi jihad sama sekali tidak terkait dengan perang. Ia menguatkan pendapatnya dengan mengutip Hadits Rasulullah yang mengklarifikasi fakta ini dengan sabdanya, “Jihad yang paling istimewa adalah apabila seseorang menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” Ia juga menegaskan, bahwa bentuk jihad yang paling penting adalah melawan kemauanmu sendiri semata- mata karena berharap ridha Tuhan. 58 Kaum sufi bahkan memandang jihad hanya sebagai perang batin jihâd al-nafsi, yaitu perjuangan melawan nafsu rendah kemanusiaan yang bersemayam di dalam diri manusia. Para sufi meyakini bahwa setan mengorganisir jasmani dan dunia untuk mengganggu manusia. Abu Hamid al-Ghazali 1059-1111 mengibaratkan tubuh seperti sebuah kota yang diperintah oleh jiwa dan dikepung oleh nafsu rendah. Dibutuhkan kesadaran tinggi untuk tidak mengikatkan diri pada dunia sebagai fondasi membangun jalan menuju jihad besar. Sebab jihad besar adalah bagian terpenting dari proses pendakian spiritual. 59 Namun demikian, ada juga tokoh besar seperti Hasan al-Banna 1906-1949 yang tidak sependapat bahwa jihad spiritual memerangi hawa nafsu jihâd al-akbar lebih utama daripada jihad konfrontasi fisik melawan musuh-musuh Islam jihâd al-asgar. 58 Said al-Buti dalam artikel tentang “Jihad and Terrorism ”, lihat www.islamicmove.org.id arts.ttp 59 John Renard, “al-Jihad al-Akbar”, dalam Muslim World 78, t.p. 1988, h. 225-242 Pandangan yang demikian didasarkan pada asumsi bahwa hadits yang membicarakan masalah tersebut tidak otentik. 60 Menurutnya, pemahaman jihad spiritual lebih utama merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk melemahkan perjuangan kaum muslimin yang tertindas di banyak negara, seperti Palestina, Bosnia, dan Cechnya. Dampak nyata dari pemahaman ini adalah langgengnya penjajahan atas dunia muslim, terusirnya rakyat Palestina dari tanah airnya, kemiskinan, pembodohan sistemik, dan tercerai berai tanpa persatuan. Sependapat dengan al-Banna, Sayyid Quthb melihat bahwa jihad merupakan perjuangan politik progresif-revolusioner 61 yang didesain untuk membawa kejayaan Islam sehingga yang menyediakan jalan bagi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah tanpa diganggu oleh kepentingan-kepentingan kafir yang memusuhi Islam. Sebagai konsekuensi dari pandangannya tersebut, Sayyid Quthb menolak tegas pemahaman bahwa jihad hanya dilakukan untuk mempertahankan diri atau hanya dilakukan di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Baginya, ada keterkaitan yang sangat erat antara jihad yang demikian dengan pelaksanaan hukum Tuhan di bumi. 62 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa pengertian jihad adalah upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan baik saat berperang melawan hawa nafsu maupun menghadapi musuh. Tegasnya, jihad memiliki dua dimensi, yaitu dimensi eksternal yang menuntut perjuangan fisik dan dimensi internal yang menuntut perjuangan batin atau ruhani. Dengan demikian, perjuangan untuk dekat kepada Allah bukan semata-mata hanya dengan pedang, melainkan juga dengan menaklukkan hawa nafsu.

c. Rasa Frustrasi