Kajian Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana

(1)

KAJIAN ALAT BUKTI DALAM UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009

TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP DALAM SISTEM

PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

TESIS

Oleh

ADI TYOGUNAWAN

087005124/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

Di bidang pengendalian pencemaran, penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan menjadi salah satu kegiatannya.

Rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana perluasan alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengapa terjadi perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan dan bagaimana peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan

Dalam melakukan penelitiannya, penulis menggunakan metode yuridis normatif yang menggambarkan prinsip-prinsip hukum dalam pembuktian pidana lingkungan hidup dan KUHAP serta peraturan lainnya yang mendukung.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa oleh karena fakta sejarah yang berkembang, modus-modus kejahatan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan maka alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP belum mewadahi mengenai berbagai pendukung alat bukti yang ada. Oleh karenanya diperlukan perluasan alat bukti. Namun demikian alat bukti tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahuinya atau keterangan ahli yang menerangkan keaslian suatu alat bukti dimaksud. Kemudian dari itu, perluasan alat bukti dimaksud muncul oleh karena adanya modus-modus kejahatan lingkungan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah (perkembangan kemajuan di bidang teknologi dan informasi) guna mengelabui proses penyidikan dan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan sangat penting, mengingat dalam suatu perkara tindak pidana lingkungan diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Penulis menyarankan agar seharusnya dalam pengimplementasian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 96 huruf (f) mengatur mengenai alat bukti lain disertai alat bukti lainnya, misalnya keterangan ahli kemudian agar para penegak hukum seharusnya selalu mengantisipasi modus-modus kejahatan lingkungan yang dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan perkara tindak pidana lingkungan dan peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan harus diperhatikan dengan prinsip kehatian-hatian, sehingga putusan pengadilan yang dihasilkan tidak sewenang-wenang. Hingga akhirnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Kata Kunci: Kajian, UU Nomor 32 Tahun 2009, Sistem Pembuktian Perkara Pidana


(3)

ABSTRACT

The quality deterioration of environment has threatened the continuity of life of humans and other living things. For it is necessary for the protection and management of the environment seriously and consistently by all stakeholders.

In the field of pollution control, enforcement of criminal and administrative law becomes one of the activities.

The research questions in this study were how the addition of the evidence in Act Number 32 Year 2009 on the Protection and Environment Management, what backgrounds the addition of evidence and how the role of evidence in the

system of proving an environment case.

In conducting this research, the author used a normative legal research method that describes the principles of law in proving environment case as well as Law of Procedure and other supporting regulations.

From this study it can be concluded that due to a growing historical facts, modes of crimes carried out in various ways and actions are always changing in order to trick the investigation process the evidence set out in article 184 of the Criminal Code which have not accommodated a variety of supporting evidence available. Therefore expansion of the evidence is necessary. However, that evidence can not stand alone and requires other evidences. For example evidence which witnesses know or expert testimony which explains the authenticity of the evidence in question. Next, the expansion of the evidence emerged because of the modes of environmental crimes carried out in various ways and actions (the development and advances in technology and information) in order to trick the process of investigation and evidence in proving a criminal case in the system environment is very important, that in a criminal environment case at least two valid evidences are required.

The author suggested that it is time to implement evidence in Aricle 96 letter (f) of Act Number 32 Year 2009 on the Protection and Management of the Environment, such as expert witness testimony and then to law enforcement officials should always anticipate the kinds of environmental crimes committed in various ways and actions are always changing in order to trick the criminal case investigation process and the role of environmental evidence must be paid attention so that verdict of court is not arbitrary.. As a consequence, environmental protection and management runs as mandated by Act Number 32 Year 2009.

Keywords : Analysis, Act Number 32 Year 2009 on Protection and Management of Environment, The System of Proving The Environmental Case


(4)

KATA PENGANTAR

Tiada kata pembuka paling pantas dikemukakan selain kata puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat beriring salam keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, tabi’in dan pengikutnya hingga hari penghisaban

Tesis ini diberi judul Kajian Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana

mengupas tentang perluasan alat bukti berikut latar belakang adanya perluasan alat bukti termasuk juga peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana bidang lingkungan hidup.

Penulis menyadari bahwa, uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan menyeluruh, tetap disadari bahwa masih mengandung kekurangan, kelemahan dan ketidaksempurnaan, baik dalam untaian kata dan kalimatnya maupun substansi yang menjadi topik bahasan. Oleh karena itulah diharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak sehingga segala kekurangan dan ketidaksempurnaan dimaksud dapat diatasi dan diminimalisir. Atas sumbangsih kritik dan saran yang membangun tersebut penulis ucapkan terima kasih.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan secara langsung maupun tidak langsung terhadap


(5)

keberhasilan penulis menyelesaikan tugas penulisan tesis dan studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Beberapa pribadi perlu kiranya dikemukakan secara khusus dengan tidak mengurangi penghargaan kepada banyak pihak, mereka itu adalah:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K)

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH,MH yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam menyelesaikan studi

4. Komisi pembimbing Bapak Prof. Syamsul Arifin, SH, MH, Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. M.S dan Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH yang telah banyak memberikan arahan dan perhatian serta banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Ucapan tarima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh guru besar dan dosen pada Sekolah Pascasarjana khususnya dan Universitas Sumatera Utara pada umumnya.

5. Kepada Almarhum ayahanda yang selama hayatnya tegar dan tabah dalam menjalankan kehidupan

6. Kepada ibunda tercinta yang selama ini selalu memberi motivasi dan do’a kepada Penulis.


(6)

7. Kepada istri dan ananda tercinta Rizky Rayhan Prasetyo dan Raisa Aliya Fazilatiwi yang selalu memberikan pengertian, kasih sayang dan ketabahan yang luar biasa kepada penulis

8. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum dan rekan-rekan sejawat pada Kejaksaan Negeri Langsa yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan dan pengadaan data-data yang dibutuhkan penulis dalam pembahasan tesis ini.

9. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi membantu penulis dalam menjalani pendidikan maupun dalam penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan tersebut dengan berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi diri penulis khususnya dan khalayak pembaca umumnya.

Medan, Agustus 2011

Adi Tyogunawan 087005124


(7)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Adi Tyogunawan

Tempat/Tgl. Lahir : Binjai, 4 Oktober 1973

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Karya Amal Kelurahan Pangkalan Masyhur Medan

PENDIDIKAN FORMAL

a. Sekolah Dasar Tamansiswa Binjai, Tahun 1986

b. Sekolah Menengah Pertama Tamansiswa Binjai, Tahun 1989 c. Sekolah Menengah Atas Tamansiswa Binjai, Tahun 1992 d. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya Medan, Tahun 1998

e. Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2011


(8)

ABSTRAK

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

Di bidang pengendalian pencemaran, penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan menjadi salah satu kegiatannya.

Rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana perluasan alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengapa terjadi perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan dan bagaimana peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan

Dalam melakukan penelitiannya, penulis menggunakan metode yuridis normatif yang menggambarkan prinsip-prinsip hukum dalam pembuktian pidana lingkungan hidup dan KUHAP serta peraturan lainnya yang mendukung.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa oleh karena fakta sejarah yang berkembang, modus-modus kejahatan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan maka alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP belum mewadahi mengenai berbagai pendukung alat bukti yang ada. Oleh karenanya diperlukan perluasan alat bukti. Namun demikian alat bukti tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahuinya atau keterangan ahli yang menerangkan keaslian suatu alat bukti dimaksud. Kemudian dari itu, perluasan alat bukti dimaksud muncul oleh karena adanya modus-modus kejahatan lingkungan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah (perkembangan kemajuan di bidang teknologi dan informasi) guna mengelabui proses penyidikan dan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan sangat penting, mengingat dalam suatu perkara tindak pidana lingkungan diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Penulis menyarankan agar seharusnya dalam pengimplementasian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 96 huruf (f) mengatur mengenai alat bukti lain disertai alat bukti lainnya, misalnya keterangan ahli kemudian agar para penegak hukum seharusnya selalu mengantisipasi modus-modus kejahatan lingkungan yang dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan perkara tindak pidana lingkungan dan peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan harus diperhatikan dengan prinsip kehatian-hatian, sehingga putusan pengadilan yang dihasilkan tidak sewenang-wenang. Hingga akhirnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

Kata Kunci: Kajian, UU Nomor 32 Tahun 2009, Sistem Pembuktian Perkara Pidana


(9)

ABSTRACT

The quality deterioration of environment has threatened the continuity of life of humans and other living things. For it is necessary for the protection and management of the environment seriously and consistently by all stakeholders.

In the field of pollution control, enforcement of criminal and administrative law becomes one of the activities.

The research questions in this study were how the addition of the evidence in Act Number 32 Year 2009 on the Protection and Environment Management, what backgrounds the addition of evidence and how the role of evidence in the

system of proving an environment case.

In conducting this research, the author used a normative legal research method that describes the principles of law in proving environment case as well as Law of Procedure and other supporting regulations.

From this study it can be concluded that due to a growing historical facts, modes of crimes carried out in various ways and actions are always changing in order to trick the investigation process the evidence set out in article 184 of the Criminal Code which have not accommodated a variety of supporting evidence available. Therefore expansion of the evidence is necessary. However, that evidence can not stand alone and requires other evidences. For example evidence which witnesses know or expert testimony which explains the authenticity of the evidence in question. Next, the expansion of the evidence emerged because of the modes of environmental crimes carried out in various ways and actions (the development and advances in technology and information) in order to trick the process of investigation and evidence in proving a criminal case in the system environment is very important, that in a criminal environment case at least two valid evidences are required.

The author suggested that it is time to implement evidence in Aricle 96 letter (f) of Act Number 32 Year 2009 on the Protection and Management of the Environment, such as expert witness testimony and then to law enforcement officials should always anticipate the kinds of environmental crimes committed in various ways and actions are always changing in order to trick the criminal case investigation process and the role of environmental evidence must be paid attention so that verdict of court is not arbitrary.. As a consequence, environmental protection and management runs as mandated by Act Number 32 Year 2009.

Keywords : Analysis, Act Number 32 Year 2009 on Protection and Management of Environment, The System of Proving The Environmental Case


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Adapun ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi.

Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya


(11)

kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan.

Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai dalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Secara substansi berbicara mengenai ruang wilayah atau daerah tidak bisa terlepas dari lingkungan hidup, karena lingkungan hidup adalah kesatuan ruang


(12)

dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya1

Lingkungan hidup dalam pengertian ekosistem tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara (nasional) maupun wilayah administratif dan daerah Provinsi, Kabupaten maupun Kota yang bersifat otonomi. Dalam penataan ruang daerah secara otonomi tetap tidak boleh mengabaikan adanya prinsip-prinsip tersebut karena mengikat secara undang-undang.

Manusia dan lingkungan pada hakekatnya adalah satu bangunan yang seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif, sedang manusialah yang aktif, sehingga kualitas lingkungan amat bergantung pada kualitas manusia.

Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di

1 Pengertian, Pasal 1 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: 1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain


(13)

dalam konstitusi. Secara berturut-turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28H ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis) Pasal 33 ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. (huruf tebal dicetak oleh Penulis)

Pasal tersebut di atas sesuai dengan UUD 1945 yang telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian nasional.

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Ketentuan ini dapat juga disandingkan dengan Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan, “everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well- being of himself and


(14)

The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health”.

Artinya, kebutuhan hidup warga negara Indonesia juga harus terpenuhi sesuai dengan ukuran yang memadai baik terhadap kesehatannya maupun hal-hal lain yang terkait dengan penyokong kehidupan seseorang. Secara lebih luas, norma ini diperkuat pemaknaannya dengan termaktubnya salah satu tujuan negara sebagai cita negara (staatsidee) pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Sebagai perbandingan interpretasi frasa, Mahkamah Agung India dalam menafsirkan Pasal 21 Konstitusi India mengenai “hak untuk hidup” (right to life) dan “kemerdekaan pribadi” (personal liberty) menggunakan doktrin Public Trust

yang erat kaitannya dengan aspek lingkungan hidup dan ekologi. Dalam putusannya disebutkan bahwa:2

“The major ecological tenet is that world is finite. The earth can support and bear such quantity of pollution. When the pollutants exceed such quantity, the earth cannot bear. Hence the industries are not entitled to pollute the environment and cause danger to the people to live in the surroundings of the industries.”

2

R.K. Khitoliya, Environment Protection and the Law, A.P.H. Publishing Corporation, New Delhi, 2002, hal. 27-29.


(15)

Dengan demikian, hak untuk hidup dan kemerdekaan pribadi dalam Konstitusi India ditafsirkan juga meliputi ‘right to a wholesome environment’.3

Selanjutnya, walaupun hak untuk hidup dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dapat berdiri sendiri, namun adakalanya hak tersebut sangat berkaitan erat dengan norma konstitusi lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan, yaitu norma “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan”.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi kebijaksanaan pembangunan, artinya:

Dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan sumber daya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang desktruktif (merusak) yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat.4

Pembangunan bertemakan sustainable development sudah dilakukan di banyak negara yang telah menghasilkan berbagai kemajuan di berbagai bidang, baik bidang teknologi, produksi, manajemen ekonomi, pendidikan dan informasi yang kesemuanya itu telah meningkatkan kualitas hidup manusia.

3 Lihat misalnya Putusan Mahkamah Agung India pada perkara M.C. Mehta Vs. Kamal Nath, Ganga Pollution Tanneries, dan Rural Litigation Entitlement Kendra Dehradun Vs. State of U.P.

4

Alvi Syahrin, 1999, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan Status Hukumnya), Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 27. Perhatikan juga, Koesnadi Hardjasoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Edisi ke-7, Cetakan ke-14, Yogyakarta, hal 18-19.


(16)

Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasawarsa akhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung daripada apa yang dipandang sebagai “environmental concern”.5

Menurut Siti Sundari Rangkuti, bahwa “hukum lingkungan sebagai hukum yang fungsional yang merupakan potongan melintang bidang-bidang hukum klasik sepanjang berkaitan dan/atau relevan dengan masalah lingkungan hidup”.6 Artinya, hukum lingkungan mencakup aturan-aturan hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana dan hukum internasional sepanjang aturan-aturan itu mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup. Pencakupan beberapa bidang hukum ke dalam hukum lingkungan berdasarkan pemikiran para pakar ekologi, bahwa “masalah lingkungan harus dilihat dan diselesaikan berdasarkan pendekatan menyeluruh dan terpadu”.7

Rasa peduli terhadap lingkungan di dunia ini telah lama dirasakan, namun secara hukum baru dimulai dengan adanya konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm pada bulan Juni 1972. Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konferensi mengesahkan hasil-hasilnya yang berupa:8

(a) Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut StockholmDeclaration.

5

Koesnadi Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, hal. 39

6

Siti Sundari Rangkuti, 1996, Alvi Syahrin, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 1.

7

Takdir Rahmadi, Munadjat Danusaputro, 1981, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Binacipta, Bandung, hal. 36.

8


(17)

(b) Rencana aksi lingkungan hidup manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia.

(c) Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang

pelaksanaan rencana aksi tersebut diatas, terdiri dari:

(i) Dewan pengurus (Governing Council) program lingkungan hidup (UN

Environment Programme - UNEP);

(ii)Sekretariat yang dikepalai oleh direktur eksekutif;

(iii)Dana lingkungan hidup;

(iv)Badan koordinasi lingkungan hidup

Dalam suatu resolusi khusus, Konferensi yangmenetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidupsedunia”.9

Meskipun bangsa Indonesia telah sadar perlunya pengelolaan lingkungan hidup bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia, namun secara nyata baru dilakukan pada tahun delapan puluhan. Pada tanggal 25 Februari 1982 Rencana Undang-Undang Lingkungan Hidup disahkan, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup (Lembaran Negara RI Nomor 12) selanjutnya disingkat dengan UULH. Pada tanggal 19 September 1997 UULH dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (Lembaran Negara tahun 1997 Nomor 68 dan tambahan lembaran Negara No 3699) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPLH) dengan alasan antara lain UULH perlu disempurnakan.

9


(18)

Dan pada tahun 2009 bulan Oktober lahirlah Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPPLH) dengan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Adanya pergantian UUPLH dengan UUPPLH, secara filosofis UUPPLH memandang dan menghargai bahwa arti penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara.10

Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh Rene Cassin dalam perkembangannya memasukkan juga hak atas lingkungan yang sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment). Hal ini dilatarbelakangi adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri) yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat.

Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam instrumen hak asasi manusia, International Covenant on Economic, Social

and Culture Right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas

lingkungan hidup yang sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio sebagai non binding principle. Dalam berbagai konstitusi ditingkat nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik telah diakui seperti halnya Konstitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador, Hungary, Peru, Portugal dan Philippines.11

10

Penjelasan Umum butir 1 UUPPLH

11

Kajian Polluter Pays Principle, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara, 2010, hal. 14


(19)

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah UULH yang diganti dengan UUPLH. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Di salah satu pasal pada Deklarasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,”setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik.

UUPPLH, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan ke depan semakin kompleks dan syarat dengan kepentingan investasi. Persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Reformasi yang ingin dibangun pada UUPPLH, adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru di daerah dengan membabat habis sumber daya alam kita, baik berupa hutan, tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Semua itu tidak memperhatikan lingkungan dan dianggap lingkungan itu tidak penting.


(20)

Secara garis besar, UUPPLH yang disahkan melalui rapat paripurna DPR RI pada tanggal 8 September 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal ini, meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Sebenarnya, dalam UUPPLH ada beberapa hal baru yang ditambahkan dan lebih banyak substansi dari UUPLH.

Beberapa ketentuan baru yang terdapat dalam UUPPLH antara lain kewajiban penyusunan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan daerah ekoregion (kesamaan ciri wilayah geografis) serta penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) baik di tingkat pusat maupun daerah. UU-PPLH juga mengamanatkan kepada penyusun peraturan dan pemerintah untuk menyertakan aspek lingkungan hidup sebagai basis penyusunan peraturan perundangan dan anggaran. Baik Pemerintah maupun pelaku usaha wajib menyertakan aspek lingkungan dalam kebijakan maupun ekonomi.

Beberapa aspek yang mendapat penguatan tersebut antara lain fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pengelolaan perijinan, serta kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Negara Lingkungan Hidup (PPNS-KLH).

Penguatan fungsi AMDAL meliputi peningkatan akuntabilitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan. Izin lingkungan merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan. Bahkan, Ijin Usaha/Ijin Kegiatan


(21)

tersebut bisa batal demi hukum, bila izin lingkungan dicabut. Sedangakan semua izin pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh pejabat berwenang wajib diintegrasikan dalam izin lingkungan dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan UU tersebut.

Penguatan fungsi penegakan hukum, terdapat pada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yaitu melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup. Sedangkan sanksi pidana diperluas, tidak hanya kepada pelaku kejahatan, tetapi juga pejabat terkait. Dalam UUPPLH diterapkan sanksi pidana seperti yang tercantum dalam pasal 98 - 115 berupa ancaman pidana kurungan minimal 1 tahun dan paling lama 15 tahun. Sedangkan denda minimal 500 juta dan maksimum 15 milyar. Dalam hal sistem hukum, pejabat pengawas berwenang untuk menghentikan pelenggaran seketika di lapangan.

Peran masyarakat diberikan lebih luas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta pengawasan pelaksanaannya. Hal ini terlihat dari keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL maupun penilaiannya seperti yang tercantum dalam pasal 26 dan 30. Selain itu, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan atas pencemaran/perusakan lingkungan hidup serta gugatan atas kesalahan yang dilakukan pejabat berwenang.

Penegakan hukum lingkungan sebagai suatu tindakan dan/atau proses paksaan untuk mentaati hukum yang didasarkan kepada ketentuan, peraturan perundang-undangan dan/atau persyaratan-persyaratan lingkungan. UUPPLH


(22)

telah menegaskan 3 (tiga) langkah penegakan hukum secara sistematis, yaitu mulai dengan (i) penegakan hukum administratif, (ii) penegakan hukum perdata, dan (iii) penegakan hukum pidana dengan melakukan penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.

Hal lain yang baru diatur dalam UUPPLH adalah perihal penegakan hukum pidana.12 Pada UUPLH, penegakan hukum pidana (hukum acara pidana) hanya berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP), khususnya perihal alat bukti yang secara terbatas (limitative) sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.13 Dalam UUPPLH perihal pembuktian diatur secara khusus.14

a. keterangan saksi;

Kekhususan perihal pembuktian sebagaimana disebutkan dalam Bagian Kedua tentang Pembuktian Pasal 96 menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:

b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa; dan/atau

f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan

perundang-12

Penjelasan UURI Nomor 32 Tahun 2009 “Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan... perluasan alat bukti...”

13

Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenal adanya 5 (lima) jenis alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

14

Pasal 96 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa dan/atau alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.


(23)

undangan.

Pada penjelasan Pasal 96 huruf f, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Daud Silalahi menyatakan bahwa15

“salah satu tantangan yang dihadapi sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia adalah masalah pembuktian karena mempersoalkan berbagai kepentingan dan telah merupakan salah satu masalah pokok dan mendasar dalam pelaksanaan hukum lingkungan yang baru. Masalah ini terkait dengan sifat teknis yang rumit, ragam disiplin ilmu yang terlibat dan syarat-syarat sahnya alat bukti dan kesaksian ahli serta peranan laboratorium.”

:

Menurut Lilik Mulyadi, dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada

15

Perhatikan juga, Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, dalam Cahyono, ”Penerapan Sanksi Pidana Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan Hidup”, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXV No. 294, Mei 2010, hal. 64.


(24)

khususnya maka aspek ‘pembuktian’ memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim16

Selanjutnya dikatakannya bahwa:

“Jika dikaji secara umum, ‘pembuktian’ berasal dari kata ‘bukti’ yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.”17

Tujuan hukum acara pidana dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dideskripsikan sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menetukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukakan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”18

Dalam Hukum Acara Pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) bahwa alat bukti yang sah ialah:

16

Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, hal. 49-50.

17

Pendapat Soedirjo seperti dikutip Lilik Mulyadi dalam bukunya, 1985, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Penerbit CV Akademikia Pressindo, Jakarta, hal. 47.

18

Departeman Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit: Depkeh RI, Jakarta, 1982, hal. 1.


(25)

a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

Alvi Syahrin mengatakan bahwa:

”Penegakan hukum lingkungan kepidanaan didasarkan kepada asas legalitas, baik aspek materiel maupun aspek formilnya. Kegiatan penegakan hukum lingkungan kepidanaan hanya sah bila substansi materiilnya didasarkan pada pasal-pasal pidana lingkungan hidup yang sebagian besar bertebaran di luar KUHP, dan kegiatan penegakan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta berpedoman kepada Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.”19

Asas legalitas ini dapat terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dalam pembuktian perkara pidana lingkungan hidup telah ditambah alat bukti lain selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Alat bukti lain selain yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 berupa alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan

19

Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Sofmedia, hal. 8.


(26)

secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Bukti dan alat bukti tidaklah sama. Bukti bukan alat bukti, namun alat bukti pasti merupakan bukti. Adanya alat bukti selain yang diatur dalam KUHAP inilah yang dijadikan dasar pemikiran untuk melakukan kajian dalam melakukan penelitian, disamping menguraikan tentang alat-alat bukti sebagaimana tertera dalam Pasal 184 KUHAP. Adanya ketidakharmonisan aturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya perihal alat bukti yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini.

Pentingnya penelitian ini juga dilatarbelakangi Pasal 183 KUHAP yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.


(27)

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana perluasan alat bukti yang terdapat dalam UUPPLH?

2. Mengapa terjadi perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan?

3. Bagaimana peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam penelitian ini, maka tujuan yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perluasan alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perluasan alat bukti.

3. Untuk mengetahui peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait, diharapkan memberikan manfaat


(28)

yang berguna secara teoritis dan praktis. Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum pembuktian khususnya pemahaman tentang alat bukti secara umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dan khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan harmonisasi berbagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang alat bukti, yang secara khusus mengenai tindak pidana lingkungan di Indonesia;

2. Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum dari tingkat penyidikan (Penyidik Polri dan PPNS), penuntutan (Penuntut Umum), persidangan (Hakim), dan Advokat/Pengacara/Penasihat Hukum, serta aparat penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) dalam menangani perkara tindak pidana lingkungan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Hamrat Hamid, sebagai berikut:

”Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam praktek di lapangan bermula dari kegiatan pengumpulan bahan keterangan (penyelidikan), dilanjutkan dengan kegiatan penyidikan, Penuntutan,


(29)

Putusan Hakim dan eksekusi putusan hakim, harus pula memperhatikan sifat-sifat khas dan kompleksitas dari suatu kasus lingkungan hidup. Karena itu, sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup, maka penegakan hukum lingkungan kepidanaan juga dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan aparat sektoral, terutama yang berwenang dalam bidang penerbitan izin, pengawasan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan administratif.”20

E. Keaslian Penelitian

Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan pada beberapa judul penelitian/tesis, antara lain berjudul ”Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucuian Uang”, ”Analisis Yuridis Sistem Pemidanaan Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)”, ”Proses Pembuktian Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Studi Kasus Pencemaran Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang)”. Judul penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak memiliki kesamaan substansi maupun permasalahan yang sama dengan judul yang diteliti oleh peneliti mengenai ”Kajian Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”. Judul yang dipilih peneliti memiliki perbedaan yang mendasar yakni memfokuskan pada masalah

20

Pendapat Hamrat Hamid seperti dikutip Alvi Syahrin dalam bukunya, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Sofmedia, hal. 8.


(30)

”Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”.

Oleh karena itu, berdasarkan pemeriksaan judul-judul penelitian yang ada baik di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan yang berada di luar kampus Universtas Sumatera Utara serta di institusi lain mengenai judul ”Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana Lingkungan”, ternyata belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam topik dan permasalahan yang sama. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa penelitian ini asli, murni, dan belum pernah diteliti oleh peneliti terdahulu sehingga peneliti dapat mempertanggungjawabkan hasil penelitian ini di sidang terbuka untuk umum.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan bagian penting dalam penelitian ini, yang dipergunakan sebagai pijakan ataupun pedoman dalam menata bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini. Kerangka teori ini merupakan pisau analisis untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dirumuskan.


(31)

Penelitian hukum dalam rangka penulisan tesis ini penekanannya lebih kepada pembahasan mengenai alat bukti dalam rangka pembuktian perkara pidana lingkungan. Pada prinsipnya, teori hukum yang digunakan akan selalu dipengaruhi oleh hukum positif yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya, rasionalistik yang ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural. Dan dalam upaya mencari keadilan

(searching for justice) bisa gagal karena terbentur dengan pelanggaran prosedural

sehingga upaya itu dianggap lebih penting dari keadilan itu sendiri. Pemikiran di luar peraturan hukum dianggap sebagai out of legal thought (illegal). Dasar pemikiran di atas mencerminkan Teori Hukum Modern dengan prosedural hukum yang berlaku melekat di dalamnya sehingga keadilan dianggap telah diberikan dengan membuat hukum positif itu sendiri.

Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)21

21

M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta hal. 277

, adalah suatu teori antara sistem pembuktian rnenurut undang-undang secara positif dengan sistern pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif "menggabungkan" ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian


(32)

menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu terwujudlah suatu "sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif'. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakirn yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah rnenurut undang-undang.

Berdasar rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-rnata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu "dibarengi" dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk rnenentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif. terdapat dua komponen:

a. pernbuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang

b. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan bukti yang sah menurut undang-undang

Dengan demikian, sistern ini rnemadukan unsur "objektif' dan "subjektif' dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dorninan di antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada,


(33)

tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya. ditinjau dari segi cara dan dengan alat-alat bukti yang sah rnenurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim "tidak yakin" akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pernbuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus "saling mendukung". Sepintas lalu pembuktian menurut undang-undang secara negatif, rnenempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Umpamanya. walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah, pembuktian itu dapat "dianulir" atau "ditiadakan" oleh keyakinan hakim. Apalagi jika pada diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim "tidak yakin" akan kesalahan terdakwa. Terbukti memang cukup terbukti secara sah. Namun sekalipun terbukti secara sah. hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu, terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum. Barangkali di sinilah letak kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak saling dominan. tapi dalam plaktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan dapat


(34)

melemparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, garnpang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.

Akan tetapi, kita sadar. Di manakah dijumpai di dunia ini suatu sistem yang sempurna tanpa cacat. Bagaimanapun baik atau buruknya suatu sistem, semuanya tergantung kepada manusia yang berada di belakang sistem yang bersangkutan.

Teori sistem pembuktian sebagaimana telah diuraikan di atas selanjutnya akan diperbandingkan dengan sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menjawab sistem pembuktian mana di antara salah satu sistem tersebut yang diatur dalam KUHAP22

Pembuktian merupakan suatu proses yang dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang diajukan ke pengadilan adalah benar atau tidak seperti yang dinyatakan

.

23

.

2. Kerangka Konsep

22

M. Yahya Harahap, Ibid, hal. 280.

23

Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit PT. Sofmedia, hal. 13.


(35)

Berdasarkan kerangka teori sebagaimana telah diuraikan di atas, maka perlu diuraikan definisi secara operasional untuk menghindari adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini.

1. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa24

2. Evidence is something (including testimony, documents and tangible objects)

that tends or disprove the existence of an alleged fact the bloody glove is the key piece of evidence for the prosecution

.

25

3. Evidence is the collective mass of things, esp. testimony and exhibits

presented before a tribunal in a given dispute the evidence will show that the defendant breached the contract

.

26

4. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya

.

27

24

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit CV. Mandar Maju, hal. 11.

.

25

Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, hal. 576.

26

Bryan A. Garner, 1999, Ibid, hal. 576

27


(36)

5. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya28

6. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi

.

29

7. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya

.

30

8. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik

.

31

9. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat

.

32

28

Pasal 1 butir 2 UU No. 11 Tahun 2008.

.

29

Pasal 1 butir 3 UU No. 11 Tahun 2008

30

Pasal 1 butir 4 UU No. 11 Tahun 2008

31

Pasal 1 butir 5 UU No. 11 Tahun 2008

32


(37)

10. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka33

11. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang

.

34

12. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik

.

35

13. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik

.

36

14. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik

.

37

15. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi

.

38

33

Pasal 1 butir 7 UU No. 11 Tahun 2008

.

34

Pasal 1 butir 8 UU No. 11 Tahun 2008

35

Pasal 1 butir 9 UU No. 11 Tahun 2008

36

Pasal 1 butir 10 UU No. 11 Tahun 2008

37

Pasal 1 butir 11 UU No. 11 Tahun 2008

38


(38)

16. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik39

17. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan

.

40

18. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan

.

41

19. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya

.

42

20. Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya

.

43

21. Evidence is the body of law regulating the burden of proof, admissibility,

relevance, and the weihgt, and sufficiency of what should be admitted into the record of a legal proceeding (under the rules of evidence, the witness’s

statement is inadmissible hearsay that is not subject to any exception)44.

G. Metode Penelitian

39

Pasal 1 butir 13 UU No. 11 Tahun 2008

40

Pasal 1 butir 14 UU No. 11 Tahun 2008

41

Pasal 1 butir 15 UU No. 11 Tahun 2008

42

Pasal 1 butir 16 UU No. 11 Tahun 2008

43

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Loc. Cit.

44


(39)

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah45. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya46

1. Jenis Penelitian

. Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan serangkaian kegiatan yang didalamnya merupakan proses sejak dari pengumpulan data, pengolahan data, analisis data sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan. Metode penelitian ini menjelaskan jenis penelitian, sifat penelitian yang dilakukan, sumber data yang diperoleh, teknik pengumpulan data, dan pengolahannya.

Berdasarkan perumusan masalah, maka pengumpulan data ditujukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif) sebagai dasar hukum, oleh sebab itu penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan bahan-bahan hukum untuk diolah dan dianalisa berupa ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan alat bukti dan sistem pembuktian perkara pidana, khususnya pembuktian perkara pidana lingkungan.

45

Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Peneltian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.

46

Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, hal. 6.


(40)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dalam penelitian ini akan dikumpulkan fakta-fakta dan gejala untuk selanjutnya dipaparkan berbagai permasalahan yang ada berkaitan dengan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan data-data sekunder untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran secara konseptual yang ada kaitannya dengan objek yang sedang diteliti.

Adapun sumber-sumber bahan hukum dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta Penjelasannya, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


(41)

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari majalah Varia Peradilan, berbagai artikel dari internet seperti hukumonline.com, mahkamahagung.go.id, mahkamahkonstitusi.go.id;

c. Bahan hukum tersier, terdiri dari berbagai kamus, antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia On Line, Black’s Law Dictionary;

4. Tehnik Pengumpulan Data

Menurut Bambang Sunggono47

”Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut adakan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.”

:

Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research (studi pustaka) dimana alat pengumpulan

47

Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, hal. 195-196.


(42)

datanya adalah studi dokumentasi yang dilakukan dengan cara memilih data-data yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data-data yang telah dipilih kemudian dipilah-pilah dengan cara mengkaitkannya dengan permasalahan yang sedang diteliti untuk selanjutnya dianalisa sehingga mendapatkan kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat terjawab.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori pembuktian, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan tentang hukum acara pidana, undang-undang tentang transaksi elektronik yang berkaitan dengan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dibuat sistematika pasal-pasal yang relevan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data dipilih dan dipilah untuk diolah, selanjutnya dianalisis secara deskriptif sehingga disamping akan menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, tetapi juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.


(43)

BAB II

PERLUASAN ALAT BUKTI

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

A. Arti Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa48

Sejalan dengan pengertian di atas, Andi Hamzah juga memberikan batasan hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu:

.

49

sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah.

Bambang Waluyo memberikan batasan bahwa alat bukti adalah: 50

suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan

48

Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, hal. 11

49

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 99.

50

Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3.


(44)

maupun guna menolak dakwaan, tuntutan dan gugatan. Sedangkan jenis-jenis alat bukti sangat bergantung kepada hukum acara yang dipergunakan, misalnya apakah hukum acara pidana, acara perdata atau acara tata usaha negara.


(45)

B. Alat Bukti Dalam UUPPLH

Ada 6 (enam) jenis alat bukti yang terdapat dalam UUPPLH. Pasal 96 menyebutkan bahwa alat bukti tersebut adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan/atau alat bukti lain termasuk yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dari kelima alat bukti sebagaimana dikenal dalam KUHAP, UUPPLH telah memperkenalkan alat bukti lain sebagai perluasan alat bukti yang telah diatur dalam KUHAP, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Dalam praktik, muncul berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video

conference (teleconference), system layanan pesan singkat/SMS, hasil rekaman

kamera tersembunyi (cctv), informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpanan data.51

51

Efa Laela Fakhriah, 2009, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, PT. Alumni Bandung, hal. 114.


(46)

Informasi yang diucapkan secara elektronik dalam UUPPLH dapat berupa

video conference (teleconference), atau pun video rekaman dapat dijadikan alat

bukti dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini berkaitan dengan rekaman video yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap aktifitas pengolahan air limbah oleh suatu kegiatan dan atau usaha. Rekaman ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan air limbah suatu kegiatan dan atau usaha.52

Mengenai alat bukti, George Whitecross Paton menyebutkan bahwa:

Rekaman ini selanjutnya dapat dijadikan dalam bentuk foto dan rekaman suara yang selanjutnya akan dimanfaatkan dalam proses penyidikan oleh PPNSLH ketika permasalahan ini dilaporkan ke instansi pengelola lingkungan hidup bahwa diduga telah terjadi pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha dan atau kegiatan. Rekaman video dimaksud akan diperkuat keabsahannya dengan keterangan yang melakukan perekaman dan saksi-saksi yang ikut dalam proses perekaman tersebut.

53

Evidence may be either oral (words spoken by a witness in court), documentary (the production of admissible document), or material (the production of a physical rest other than a document). A witness’s description of a murder which he witnessed is oral evidence; a blackmailing letter which the victim sent to the prisoner is documentary evidence; the knife with which the murder was committed is material evidence.

)

52

Hasil wawancara dengan salah seorang staf BLH Provinsi Sumatera Utara, Agustus 2011.

53

Paton. G.W., A text book of Jurisprudence, second edition, Oxford At The Clarendon Press, London, 1955, No. 481. Perhatikan juga Efa Laela Fakhriah, 2009, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, P.T. Alumni Bandung, hal. 15.


(47)

Jadi menurut Paton, alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau

material.

Dalam praktek penerapan bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Menurut Ridwan54

Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang pembuatannya dilakukan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik

Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Alvi Syahrin mengatakan55

54

Hakim PN Cianjur, Varia Peradilan No. 296 Juli 2010

55

Syahrin, Alvi, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia, hal. 13 – 14.


(48)

Suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:

a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.

c. Necessity, yakni alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk

membuktikan suatu fakta.

d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta


(49)

C. Perluasan Alat Bukti Dalam UUPPLH 1. Latar Belakang Perluasan Alat Bukti

Fakta sejarah yang berkembang, dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, modus-modus kejahatan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan. Alat bukti yang diatur pada pasal 184 KUHAP belum mewadahi mengenai berbagai pendukung alat bukti semisal contoh melalui data elektronik. Dalam

berbagai contoh kasus, bentuk data elektronik seperti print out dan call data

record, tidak bisa dikategorikan sebagai salah satu alat bukti. Sehingga pada Pasal

96 huruf (f) UUPPLH mengatur mengenai alat bukti lain yang meliputi informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan statu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau

dibaca56

56

Berkaitan dengan wewenang PPNS-LH berdasarkan Pasal 94 ayat (2) UUPPLH huruf i yaitu memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat


(50)

rekaman audio visual, maka foto sebagai hasil dari pemotretan dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Menurut Syamsul Arifin:57

Menurut Munir Fuady:

…UUPPLH telah menambah alat bukti lain sebagai perluasan alat bukti yang terdapat dalam KUHAP. Perluasan alat bukti ini dapat dimaklumi dengan meningkatnya aktifitas elektronik, apalagi dihubungkan dengan delik pidana lingkungan yaitu Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang pembuktian terjadinya dapat dipergunakan melalui alat tersebut. Contoh: untuk membuktikan terjadinya pencemaran lingkungan hidup salah satu unsur dan indikatornya melampaui Baku Mutu Lingkungan hidup yang ditetapkan, berarti harus dibuktikan ukuran batas atau kadar makhluk hidup yang ditenggang keberadaannya hingga sebagai zat pencemar yang mengakibatkan dilampaui baku mutu lingkungan hidup (baku mutu udara ambient, baku mutu air dsbnya), sehingga harus dibuktikan jarak antara yang ditetapkan dan dilampaui untuk itu perlu kajian dan sebagai alat sarana yang dapat dipergunakan adalah elektronik.

58

…bantuan dari alat bukti berupa saksi ahli dalam menafsirkan makna dari pembuktian dengan memakai alat bukti elektronik tersebut juga sering

57

Arifin, Syamsul, 2011, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, P.T. Sofmedia, hal. 189.

58

Fuady, Munir, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT. Citra Aditya Bakti, hal. 169.


(51)

dipergunakan di pengadilan sehingga dapat membuat duduk perkara dan pembuktian menjadi semakin jelas bagi hakim. Dengan demikian, diharapkan hakim dapat memutus perkara tersebut secara lebih adil dan lebih benar.

Dengan perkembangan kejahatan di bidang telematika, tampaknya masyarakat hukum Indonesia sudah merasakan bahwa kriminalitas terhadap cyber

crime tidak dapat ditunda-tunda lagi. Artinya, tidak mungkin hanya

mengandalkan pembuktian perkara pidana dalam hal ini perkara pidana lingkungan dalam delik-delik tradisional dengan menggunakan alat-alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa; dianggap sudah tidak memadai lagi, sehingga perlu dicantumkan alat-alat bukti baru (perluasan alat bukti) dalam peraturan perundang-undangan.59

Menurut Munir Fuady,60

“Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antarsesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu.

59

Muladi, Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana, dimuat dalam Yan Juanda, Sumarni Alam, Tongam R Silaban, Hukum Telematika (Tinjauan dari Berbagai Aspek), Seri Hukum, Program Pasca Sarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2004, hal. 2004.

60

Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 151.


(52)

Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana kekuatan pembuktian dari suatu tanda tangan digital/elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan dalam praktik sehari-hari."

Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan,61

“…posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromistis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.”

2. Pembuktian Dengan Perluasan Alat Bukti

Hukum pembuktian merupakan salah satu bidang hukum publik yang bersifat memaksa sehingga tidak mudah bagi hakim untuk berkelit atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang ada.62 Ketentuan hukum pembuktian yang berlaku adalah sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hukum pembuktian sebagaimana dalam KUHAP masih menerapkan konsep-konsep pembuktian konvensional, yang sangat mengandalkan pembuktian berdasarkan bukti surat (paper based). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Munir Fuady,63

“hukum pembuktian di Indonesia yang menyangkut pembuktian secara elektronik, baik di bidang perdata sebagaimana terdapat dalam HIR maupun di bidang pidana sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), belum banyak berkembang dan

61

Ibid.

62

Munir Fuady, Op. cit., hal. 168.

63


(53)

belurn banyak beranjak dari konsep-konsep pembuktian konvensional, yang sangat mengandalkan pembuktian berdasarkan bukti surat (paper

based). Di lain pihak, praktik perkembangan transaksi melalui sistem

digital/elektronik dalam kenyataannya sangat mendapat kemajuannya dan sangat pesat berkembang.

Dalarn ilmu hukum pembuktian, sering dibedakan antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif. 64

Suatu alat bukti yang akan diajukan ke pengadilan merupakan alat bukti yang harus relevan dengan yang akan dibuktikan. Alat bukti yang tidak relevan akan membawa resiko dalam proses pencarian keadilan, diantaranya: akan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu sehingga membuang-buang waktu, penilaian terhadap masalah yang diajukan menjadi tidak proporsional karena membesar-besarkan masalah yang kecil atau mengecilkan masalah yang sebenarnya besar, yang hal ini akan menyebabkan proses peradilan menjadi tidak sesuai lagi dengan asas peradilan yang dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak.

65

Pembuktian dengan perluasan alat bukti sebagai dampak perkembangan

64

Munir Fuady, Op. cit., hal. 185.

Yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah alat bukti yang mempunyai peranan langsung dalam membuktikan fakta yang dipersengketakan, seperti senjata, peluru, pakaian, kontrak, yang berhubungan dengan fakta yang akan dibuktikan. Jadi, alat bukti tersebut merupakan alat bukti riil (real, tangible). Sementara itu, yang dimaksud dengan alat bukti demonstratif adalah alat bukti yang tidak secara langsung nrembuktikan adanya fakta tertentu, tetapi alat bukti ini dipergunakan untuk membuat fakta tersebut menjadi lebih jelas dan lebih dapat dimengerli. Namun, dalam literatur sering antara alat bukti riil dan alat bukti demonstratif disatukan dalam istilah"alat bukti demonstratif".

65

Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia, hal 14-15.


(54)

masyarakat dan teknologi harus terhindar dari adanya manipulasi dari penggunaannya. Hal ini menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut. Sebagaimana dikatakan Munir Fuady,66

“…kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut. Bahkan, mengikuti teori klasik dalam hukum pembuktian yang disebut dengan "hukum alat bukti terbaik" (best evidence rule), suatu alat bukti digital sulit diterima dalarn pembuktian.”

Bantuan dari alat bukti berupa saksi ahli dalam menafsirkan makna dari pembuktian dengan memakai alat bukti elektronik tersebut juga sering dipergunakan di pengadilan sehingga dapat membuat duduk perkara dan pembuktian menjadi semakin jelas bagi hakim. Dengan demikian, diharapkan hakim dapat memutus perkara tersebut secara lebih adil dan lebih benar.67

Saksi ahli dalam menafsirkan makna dari pembuktian dengan memakai alat bukti elektronik tidak sama dengan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 96 huruf b UUPPLH. Peran ahli di sini

66

Munir Fuady, Loc. Cit.

The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/photograph atau rekaman harus dilakukan dengan membawa ke pengadilan dokumen/photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuaii jika dokumen/photograph atau rekarnan tersebut memang tidak ada, dan ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, fotokopi (bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga dengan bukti digital, seperti e-mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak ada aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius dalam bidang hukum pembuktian.

67


(1)

yang dihasilkan tidak sewenang-wenang. Hingga akhirnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arifin, Syamsul, 2011, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, P.T. Sofmedia.

Daniel H. Hennings, 1977, Environmantel Policy and Administration, Elsevier Nort Holland, Second Printing.

Danusaputro, Munajat ST. 1980. Hukum Lingkungan Buku I Umum. Bandung: Bina Cipta.

Departeman Kehakiman RI, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit: Depkeh RI, Jakarta.

Departeman Kehakiman RI, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit: Depkeh RI, Jakarta.

Dewitt, David. Et.all (ed), 1993, Building a New Global Order: Emerging Trends in International Security, Oxford Univ. Press, New York

Environmental Policy in the Netherlands, 1995, VNONCW, Revised Editon. Gilvin, Alan 1997, Dictionary Environment and Sustainable Development, John

Wiley & Sons.

Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan. Cet. I, Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntan, Sinar Grafika, Jakarta

---, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Helm, Dieter, 2000, Environmental Policy, Objectives, Instruments, and Implementation, Oxford University Press


(3)

Hernandez, G. Carolina & Gill Wilkins (ed), 2000, Population, Food, Energy and The Environment: Challenges to Asia – Europe Cooperation, Council for Asia – Europe Cooperation / CAEC, Philippines,

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Press, Cet 1

Konz, Reider, Environmental & Multilateral Diplomacy Series: Trade, Environment & Sustainable Development: Views from Sub-Saharan Africa & Latin America, 2000, The UNU Press & ICTSD, Geneva. Laela Fakhriah, Efa, 2009, Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perdata, Edisi

Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Lawrence E. Susskind, Ravi K. Jain, Andrew O. Martyniuk, 2001, Better Environmental Policy Studies, Island Press

Lilik Mulyadi, 1985, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Penerbit CV, Akademikia Pressindo, Jakarta.

Marpaung, Leden, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevalensinya, Sinar Grafika, Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam, Liberty, Yogyakarta.

Mulyadi, Lilik, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ramdhan, Hikmat Yusran, Dudung Darusman, 2003, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Otonomi daerah, Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi, Alqaprint Jatinangor

Rangkuti, Siti Sundari, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Air Langga University Press, cet. Kedua

Soemarwoto, Otto, 1988, Analisa Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Suhono Harso Supangkat, 2000, Teknologi Informasi dan Ekonomi Digital: Persiapan Regulasi di Indonesia, Jurussan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung

Syahrin, Alvi, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Sofmedia, Jakarta


(4)

---, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Sofmedia, Jakarta

2. Dokumen dan Peraturan Perundang-undangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 133/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka dan untuk umum pada hari Rabu tanggal 25 Nopember 2009 dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang diajukan oleh 2 (dua) orang Pimpinan KPK Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Surat Jampidum Nomor: B-1179/E/EJP/07/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal Pola penanganan perkara tindak pidana informasi dan transaksi elektronik.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta penjelasannya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta penjelasannya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

3. Surat Kabar/Majalah

Varia Peradilan No. 294, Mei 2010.

Varia Peradilan No. 296 Juli 2010

4. Makalah/Diktat

Hukum Pembuktian, Adnan Pasliadja, Diklat Pendidikan Pembentukan Jaksa Tahun 2003


(5)

5. Internet

Maret 2011)

2011 jam 22.30 WIB)


(6)