Kondisi Sistem Peradilan Pidana Faktual

Email merupakan alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri namun membutuhkan alat bukti lainnya. Misalnya alat bukti keterangan saksi yang mengetahui pembuatan email itu atau keterangan saksi ahli yang menerangkan keaslian email sebagai suatu alat bukti. Oleh karena itu apabila ada perkara pidana dengan bukti berupa email, akan dinilai sangat kurang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan pada tersangka. Namun bukan berarti pelaku yang melakukan tindak pidana ini penghinaan misalnya bisa bebas seenaknya. Aparat kepolisian harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk menemukan bukti-bukti kuat yang mendukung terjadinya peristiwa pidana. Bisa dengan memperoleh saksi-saksi yang mengetahui peristiwa email itu providerpenyelenggara sistem elektronik atau pun dengan pengujian keaslian email yang ditulis oleh tersangka.

2. Kondisi Sistem Peradilan Pidana Faktual

Secara makro kondisi penegakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup saat ini belum sesuai harapan masyarakat. Berbagai kasus pencemaran air akibat pembuangan limbah beracun secara illegal, perusakan kawasan hutan, perusakan terumbu karang, abrasi pantai akibat penambangan pasir, pembalakan liar dan pembakaran kawasan hutan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup semakin merajalela dan bahkan menjurus kearah kejahatan transnasional yang terorganisir. Penyebab dari kasus-kasus tersebut Universitas Sumatera Utara sebagian bersumber dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak memihak kepentingan lingkungan, mafia hukum, sarana hukum pidana belum diaplikasikan secara maksimal, tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan pada tahap aplikasi, belum adanya kesamaan persepsi diantara penegakan hukum tentang kejahatan lingkungan, rendahnya kesadaran hukum pengusaha terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup, tidak netralnya lembaga peradilan, tidak adanya sinkronisasi secara vertikal maupun horinzontal dalam general environmental law dan sectoral environmental law, dan belum adanya sinkronisasi, keserempakan dan keselarasan dalam sistem peradilan pidana. Belum berhasilnya penegakan hukum pidana lingkungan juga dapat dilihat dari data PROPER Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Data yang ada menunjukan bahwa dari 516 perusahaan yang ikut dalam PROPER peringkat kinerja perusahaan hanya 1 satu yang memperoleh peringkat emas, 128 diantaranya berpredikat hitam terdiri dari 43 Perusahaan berperingkat hitam 8,33, 39 merah minus 7,56 , 46 Merah 8,91 161 Biru Minus 31,20 , 180 Biru 34,88 , 46 Hijau 8,91 , 1 Emas 0,19 . 111 111 Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, Namun sayangnya kegiatan PROPER tersebut tidak ditindaklanjuti, padahal hasil akhir dari penilaian dapat dijadikan petunjuk awalacuan untuk melihat berapa perusahaan yang taat yang diberi penghargaan, dan berapa banyak perusahaan yang tidak taat yang digolongkan sebagai perusahaan merah dan hitam yang telah melakukan tindak pidana lingkungan Pidato Guru Besar: Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup, disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka UNS Tanggal 14 Desember 2009 Universitas Sumatera Utara hidup. Informasi ini sangat membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemberian sanksi pidana kepada perusahaan yang mendapat predikat merah dan hitam karena fakta menunjukkan mereka telah melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup Selanjutnya dilihat dari data rekapitulasi penanganan kasus lingkungan pada tingkat nasional dan regional, penegakan hukum lingkungan dengan menggunakan sarana hukum pidana belum berhasil, karena dari 117 kasus di seluruh Indonesia 33 kasus pidana, baru 6 kasus yang dapat diputus. Sedikitnya jumlah kasus pidana lingkungan yang berhasil diselesaikan, dan hanya satu perusahaan yang mendapat peringkat emas sebagaimana dikemukakan diatas menunjukan penegakan hukum pidana lingkungan belum berhasil. Dari identifikasi permasalahan tersebut diatas sangat dibutuhhkan satu konsep mengenai penegakan hukum lingkungan yang handal, konsisten dan tegas serta terintegrasi dalam satu sistem peradilan yang terpadu, yang mampu mencegah dan mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang muncul. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana lingkungan, dampak yang ditimbulkan, dan berbagai regulasi baik pada tingkat global maupun nasional, yang membawa kepada satu kesimpulan bahwa penegakan hukum pidana di bidang lingkungan saat ini belum mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah ketiadaan sinkronisasi, koordinasi, keserempakan dan keselarasan secara kultural, struktural dan substansial dalam sistem peradilan pidana. Menurut Lawrence M. Friedman Universitas Sumatera Utara Sistem Hukum mencakup bidang yang sangat luas, yang meliputi substansi, struktur dan kultur. Apabila dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana, maka menurut Muladi ketiga komponen tersebut yaitu substansi, struktur dan kultur harus terintegrasi, artinya harus ada sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam: 1. Sinkronisasi struktural structural syncronization yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum; 2. Sinkronisasi substansial substansial syncronization yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif 3. Sinkronisasi kultural cultural syncronization yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Selanjutnya Muladi mengatakan sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini hanya dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Sistem peradilan pidana adalah mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Selanjutnya menurut Mardjono Reksodiputro sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian Universitas Sumatera Utara kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Komponen-komponen inilah yang terlibat dan bekerjasama dalam menanggulangi kejahatan dan pelanggaran lingkungan, dan sekaligus bertanggung jawab atas ketidakberhasilannya dalam menanggulangi kejahatan lingkungan. Keempat komponen inilah yang harus mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Menurut Marjono Reksodiputro tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut 1. Mencegah masyarakat untuk menjadi korban kejahatan; 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya Keempat komponen tersebut diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama “integreted criminal justice system” saling berhubungan dalam suatu sistem yang disebut “sistem Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Antara sub sistem yang satu dengan lainnya harus ada keterkaitan seperti bejana berhubungan, karena bila terjadi konflik dalam satu sub- sistem akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya. Benarkah ketidakberhasilan penegakan hukum pidana di bidang lingkungan saat ini disebabkan tidak adanya sinkronisasi, keserempakan dan keselarasan baik dalam Universitas Sumatera Utara aspek struktural, kultural dan subtansi pada sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan? Pertanyaan ini disampaikan karena kondisi faktual menunjukkan banyak kasus-kasus lingkungan yang dampaknya besar yang ada disekitar kita tidak pernah tersentuh oleh hukum. Mengapa ini terjadi? Karena pada tingkat penyelidikan dan penyidikan baik yang dilakukan oleh Polri maupun PPNS tidak pernah berhasil diajukan ke pengadilan. Oleh sebab itu perlu dilihat dan dikaji penyebabnya baik dari aspek struktur, kultur maupun substansi yang pada akhirnya mengganggu keberhasilan dan kinerja dari sistem peradilan pidana. Menurut Lawrence M. Friedman struktur adalah kerangka atau bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan sistem. Bagaimana struktur pada lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan? Apakah sudah terjalin adanya keserempakan dan keserasian diantara keempat lembaga tersebut secara terpadu? Atau sebaliknya. Karena itu sangat perlu dikritisi kondisi faktual masing-masing struktur. Pertama, Polisi adalah garda terdepan atau ujung tombak bagi pengungkapan kasus di bidang lingkungan. Artinya berhasil tidaknya, terungkap tidaknya kasus-kasus di bidang lingkungan semua tergantung dari kejelian, kemahiran, kemampuan, dan komitmen dari penyidik. Dalam sistem peradilan pidana subsistem polisi mempunyai tugas penegakan yang bersifat preventif dan represif. Tugas preventif dilakukan oleh polisi dengan dukungan dan partisipasi Universitas Sumatera Utara aktif masyarakat. Apabila upaya pencegahan tidak berhasil, polisi melakukan upaya-upaya yang bersifat represif. Bila melihat data rekapitulasi penanganan kasus sebagaimana disebutkan diatas, maka sub sistem polisi mempunyai andil besar terhadap buruknya proses penegakan. Penyebabnya antara lain, dari aspek struktur, polisi belum mempunyai satu kebijakan khusus dalam menangani kasus pidana lingkungan yang bersifat nasional, demikian juga belum nampak adanya divisi khusus yang dipersiap¬kan polri dengan sumber daya manusia yang memadai untuk menangani masalah lingkungan, seperti halnya divisi penanganan korupsi, narkotika, pencucuian uang dan lain-lain. Selain itu dengan lahirnya UU Lingkungan yang baru yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat tumpang tindah kewenangan, dimana Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS di bidang lingkungan hidup tidak lagi sebatas koordinasi, tetapi juga berwenang melakukan penuntutan hukum. Dengan demikian hasil penangkapan, penahanan dan penyidikannya disampaikan ke jaksa penuntut umum yang dikoordinasikan dengan polisi. Ketentuan ini muncul sebagai protes atas buruknya kinerja polisi dalam mengungkap kasus lingkungan selama ini. Bila ketentuan ini tidak saling dipahami maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan, dan rebutan lahan penyidikan, yang pada akhirnya menimbulkan perseteruan antara polisi dan PPNS. Ketentuan ini nampaknya sulit diimplementasikan mengingat sumber daya manusia PPNS secara kualitas maupun kuantitas belum mencukupi, disamping perlu disiapkan sarana pendukung yang memadai, yang dibutuhkan dalam proses Universitas Sumatera Utara penyelidikan dan penyidikan seperti yang dimiliki institusi Polri. Secara kualitas PPNS saat ini jauh dari harapan. Hanya sekitar 10 dari jumlah PPNS yang telah mendapat bekal ilmu dibidang lingkungan. Itupun hanya tersebar di pusat dan di daerah tingkat I. Sedangkan didaerah tingkat II masih sangat memprihatinkan. Sehubungan dengan besarnya kewenangan yang diberikan kepada PPNS oleh undang-undang lingkungan yang baru dalam implementasinya akan mengalami hambatan mengingat selama ini kelembagaan lingkungan hidup tidak diberi wewenang yang kuat bahkan di daerah nomenklaturnya berbeda-beda. Ada yang statusnya Bagian, Kantor, Dinas yang masuk pada Eselon III bahkan ada juga yang digabung dengan dinas tertentu. Akibatnya di beberapa tempat instrumen hukum kebijakan lingkungan hidup yang bersifat langsung bukan menjadi kewenangan institusi lingkungan hidup di daerah. Dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan di daerah ini pun upaya untuk mengantisipasi berbagai akibat penerapan kebijakan otonomi daerah di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, Kementerian Negara Lingkungan Hidup hanya sebatas berkonsultasi dengan sektor terkait, dan para mitra lingkungan guna mensenergikan kapasitas kelembagaannya di tingkat daerah. Oleh karena itu kedepan mengingat PPNS oleh undang-undang lingkungan yang baru diberi kewenangan yang laur biasa mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, melakukan penangkapan, penahanan dan penuntutan hukum maka; 1. Kelembagaan lingkungan hidup khususnya yang ada di Daerah Tingkat II kapasitas, nama dan eselonnya harus ditingkatkan menjadi setidak-tidaknya Universitas Sumatera Utara Badan atau Dinas Lingkungan Hidup sehingga secara kelembagaan mempunyai kedudukan dan kewenangan yang lebih kuat dan mempunyai posisi tawar dalam menangani kasus-kasus lingkungan hidup. 2. Memperjelas cakupan kewenangan lembaga-lembaga pengelola lingkungan di daerah karena persoalan lingkungan hidup umumnya terjadi di daerah. 3. Pengembangan kapasitas sumber daya manusia, mengingat kewenangan PPNS tidak sebatas koordinasi, tetapi dapat melaku¬kan penuntutan hukum, maka konsekwensinya profesionalitas PPNS harus ditingkatkan 4. Mendorong tumbuhnya dukungan pihak legislatif dan eksekutif. Dukungan ini penting karena lembaga pengelola lingkungan tidak dapat bekerja optimal kalau tidak mendapat dukungan politik. 5. Mendorong penaatan terhadap hukum lingkungan melalui sosialisasi tentang lingkungan dan HAM. Kedua, Kejaksaan adalah instansi terdepan dalam mengungkap kasus- kasus kejahatan, baik kejahatan dibidang ekonomi, politik, lingkungan dan kejahatan umum. Sebagai instansi terdepan, ia mempunyai tugas yang amat berat, karena terungkap tidaknya suatu kasus sangat tergantung dengan kemahiran, kecermatan jaksa dalam membuat tuntutan. Contoh, apakah proses pengungkapan kasus akan dilanjutkan apa tidak sangat tergantung pada lembaga kejaksaan. Tapi tampaknya lembaga ini sangat lamban bahkan tidak siap untuk menangani kasus- kasus lingkungan hidup, yang memang membutuhkan, pengetahuan khusus mengenai lingkungan dan inter disipliner. Terbukti dengan lambatnya pemberkasan dan bahkan kegagalan didalam membuat pemberkasan dalam Universitas Sumatera Utara menangani kasus-kasus lingkungan yang seringkali melibatkan pengusaha- pengusaha kelas kakap. Ketidakmampuan dan kelambanan lembaga ini disebabkan karena UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah memberikan ruang yang teramat luas akan intervensi pemerintahpenguasa terhadap lembaga kejaksaan. Yaitu menempatkan kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang hanya menjadi salah satu komponen eksekutif. Hal ini dapat dimaklumi karena secara struktur ketatanegaraan kejaksaan adalah bagian dari pemerintah, dialah yang mewakili pemerintah dalam mengajukan kasus ke pengadilan sebagai penuntut terhadap tindakan melawan hukum, sehingga wajar apabila lembaga tersebut dipersepsikan sebagai alat pemerintah. Sebagai lembaga yang berdiri pada dua kepentingan, disatu sisi ia bertindak sebagai advokat pemerintah, tapi disisi lain karena jaksa mempunyai latar belakang pendidikan hukum maka sebagai orang hukum ia harus berpihak pada keadilan. Memang terjadi tarikan ambivalen dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu memang diperlukan indepedensi dalam menjalankan politik penuntutan hukum, benar-benar mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun. Selain itu kegagalan para jaksa juga disebabkan kualitas SDM nya belum memadai. Untuk menangani kasus lingkungan diperlukan jaksa plus artinya pengetahuan dibidang lingkungan harus mumpuni, demikian juga ilmu yang berhubungan dengan lingkungan harus dikuasai, secara formal jaksa yang menangani lingkungan harus sudah menadapat pendidikan khusus tentang lingkungan, sehingga mampu melakukan pembuktian. Apabila hal-hal tersebut tidak dikuasai niscaya kegagalan yang ditemui. Selain itu para jaksa pada Universitas Sumatera Utara umumnya masih terbelenggu dengan paradigma positivistik, dimana wawasan pengetahuannya hanya sebatas hukum yang tertulis saja atau sangat positivistik. Artinya bila dalam melaksanakan tugas ia menemui kasus dimana perbuatannya tidak diatur dalam peraturan tertulis, sedangkan menurut hukum yang hidup sangat dibenci dan melukai hati rakyat, maka ia akan membebaskan kasus tersebut dengan alasan hukumnya tidak ada. Inilah permasalahan yang sering dihadapi oleh para aparat penegak hukum. Seyogyanya aparat penegak hukum harus melihat semangat yang tersirat dalam Pasal 16 UU No. 4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang berbunyi, pengadilan atau aparat penegak hukum tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Berdasarkan Laporan Tahunan Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Tahun 2011, dapat dirinci penanganan perkara yang menerapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai berikut: N o Nama TersangkaTer dakwa Pasal Yang Dilanggar Penyelesaian Penanganan Perkara Keterangan 1 2 3 4 5 1. TONY KASIM Pasal 106 Subs 107 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hasil Penyidikan belum lengkap P-18 Nomor: B- 3390 tanggal 5 Desember 2011 Perkara dari Baharkam Polri Pol air Universitas Sumatera Utara Lingkungan Hidup 2. JHONY VIRGO Pasal 100 dan pasal 103 dan pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pelaksanaan putusan sela untuk memperbaiki dakwaan dan berkas perkara • Perkara dari KLH • Perkara dikembalikan dari Perngadilan Tinggi Sumatera Utara ke Kejaksaan Agung RI untuk diperbaiki Universitas Sumatera Utara 1 2 3 4 5 3. EKO SUPRIYADI Bin DADANG Pasal 43 ayat 1 subs pasal 43 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Persidangan- pemeriksaan saksi-saksi • Perkara dari Bareskrim Tipidter Mabes Polri • Disidangkan di PN Jakarta Utara 4. WILSON SETIA DHARMA. Pasal 43 ayat 1 subs pasal 43 ayat 2 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo pasal 55 ayat 1 ke- 1 KUHP. P-21 Nomor: B- 3457E.4Euh.11 22011 tanggal 13 Desember 2011 • Perkara dari Bareskrim Tipidter Mabes Polri 5. ANDRIYANI ERNALIA Pasal 102, pasal 103, pasal 104 jo pasal 116 UU RI No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Penerimaan berkas perkara tahap I tanggal 12 Desember 2011 • Perkara dari Penyidik PPNS KLH Universitas Sumatera Utara 6. JULIUS BURIAN dan KARMA IMPAN Als. KIMPAN Pasal 98, pasal 109, pasal 115 jo pasal 36 ayat 1 jo pasal 116 UURI No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerimaan berkas perkara tahap I tanggal 12 Desember 2011 • Perkara dari Penyidik PPNS KLH 7. SULAEMAN SAPUTRA Pasal 100, dan pasal 103, subs 104 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengembalian P- 18 dari Penyidik Perkara dari Penyidik PPNS KLH Universitas Sumatera Utara 1 2 3 4 5 8. PT DAYA MEKAR TEKSTINDO Pasal 100, dan pasal 103, subs 104 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengembalian P- 18 dari Penyidik Nomor: B- 3480E.4Euh.11 22011 tgl. 14 Desember 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH 9. AGUS SANTOSO TAMUN Pasal 100, pasal 102, jo pasal 59 ayat 1 dan 4 dan pasal 103 jo pasal 59 UU RI No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup P-21 Nomor: Perkara dari Penyidik Bareskrim Tipidter Mabes Polri 1 0. OOI AH AUN RAYMOND Pasal 102, pasal 103, pasal 104, jo pasal 116 UU RI tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan P-16 Nomor: PRINT- 430E.4Euh.111 2011 Tanggal 9 November 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH Universitas Sumatera Utara 1 1. USMAN al. ATUNG Pasal 161 dan Pasal 159 UU Nomor 4 Tahun 2009 P-21 Perkara dari Penyidik Bareskrim Tipidter Mabes Polri 1 2 MASTUR al. ASUN dkk Pasal 98, 108 jo. Pasal 69 ayat 1 huruf h jo. Pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. P-18 Nomor: B- 3495E.4Euh.11 22011 tgl 15 Desember 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH Universitas Sumatera Utara 1 2 3 4 5 1 3 WISNU WIGUNA dkk Pasal 98 ayat 1, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104 jo. Pasal 116 dan 117 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. P-17 Nomor: B- 3320E.4Euh.11 12011 tanggal 25 November 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH 1 4. ODANG WAHYUDI dkk Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104 jo. Pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. P-17 Nomor: B- 3450E.4Euh.11 22011 tanggal 13 Desember 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH 1 5. H. DEDE SUPARDI Pasal 102, Pasal 104 jo. Pasal 60 Jo Pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan P-16 Nomor: PRINT- 444E.4Euh.111 2011 tanggal 24 November 2011 Perkara dari Penyidik Bareskrim Mabes Polri Universitas Sumatera Utara Pengelolaan Lingkungan Hidup. 1 6. BOY YOE LOY dkk Pasal 98 Pasal 109, Pasal 115 jo. Pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. P-18 Nomor: B- 3479E.4Euh.11 22011 tanggal 14 Desember 2011 Perkara dari Penyidik PPNS KLH 1 7. JHON dkk Pasal 53 jo. 23 dan Pasal 54 jo. Pasal 28 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU Nomor 32 Tahun 2009 P-18 No. 3376E.4Euh.11 22011 tgl. 2 Desember 2011 Perkara dari Penyidik Bareskrim Polri Dari 17 tujuh belas berkas perkara yang ditangani selama tahun 2011, hingga saat ini belum ada berkas perkara yang menerapkan foto dan rekaman video sebagai alat bukti, namun hasil wawancara dengan Jaksa Peneliti dikatakan bahwa akan member petunjuk kepada Penyidik agar foto dan rekaman video dijadikan sebagai alat bukti. Dalam rangka iusconstituendum perlu dirumuskan satu kebijakan oleh Mahkamah Agung mengenai penanganan kejahatan lingkungan hidup antara lain; Universitas Sumatera Utara Para hakim harus memberi sanksi yang berat kepada pelaku kejahatan lingkungan; Memberi sanksi tegas kepada hakim yang memutus perkara kejahatan lingkungan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat; Proses peradilan perkara lingkungan hidup berada di bawah pengawasan MA. Demikian juga Jaksa Agung mewajibkan para jaksa untuk menangani dua kasus lingkungan dalam satu tahun. Disamping itu perlu dibentuk satu sistem peradilan lingkungan dimana semua kekuatan atau institusi yang terlibat dalam memberantas kejahatan lingkungan hanya merupakan sekrup-sekrup dari mesin besar perlindungan lingkungan. Dengan demikian jaksa, polisi, hakim sama-sama berdiri di atas satu panggung yang sama dan kokoh, dengan satu harapan efek dari friksi-friksi yang terjadi di antara sesama sekrup mesin anti kejahatan lingkungan dapat ditekan serendah mungkin, mereka harus senantiasa bergandengan tangan dan bekerja sama untuk memberantas kejahatan lingkungan hidup. Kultur, menurut Lawrence Friedman, budaya adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikirannya serta harapannya. Dari aspek budaya aparat penegak hukum khususnya polisi dan jaksa mempunyai persepsi yang berbeda dengan masyarakat akademis. Masyarakat akademis menganggap bahwa kejahatan lingkungan merupakan kejahatan luar biasa karena pelakunya tidak hanya mampu menghacurkan kehidupan manusia tapi juga harta benda, lingkungan hidup dan kesejahteraan manusia di dunia, oleh karena itu perlu ditanggulangi secara luar biasa. Sementara aparat kepolisian melihat, menanggapi kasus lingkungan sebagai kasus biasa, bahkan terkesan sebagai delik aduan, karena tanpa adanya aduan dari masyarakat maka kepolisian Universitas Sumatera Utara tidak mungkin bertindak, padahal tindak pidana atau kejahatan lingkungan merupakan tindak pidana biasa. Artinya tanpa adanya pengaduan dari masyarakat polisi harus bertindak, proaktif seperti menangani kasus korupsi, narkotika dan kejahatan lainnya. Yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, penahanan dan penuntutan. Tugas utama peradilan adalah memberikan keadilan kepada masyarakat tanpa pandang bulu, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya murah. Sedang pengadilan merupakan salah satu pilar utama bagi suatu negara. Lembaga ini menjadi instrumen vital sekaligus refleksi bagi banyak hal, seperti penegakan hukum, pembangunan ekonomi, martabat dan moral bangsa, ketertiban dan sebagainya. Undang-undang atau berbagai kaedah hukum boleh tidak bagus tetapi penegakan hukumnya haruslah prima, primanya penegakan hukum itu ditampilkan dalam berbagai putusan tepat dari institusi pengadilan. Artinya para hakim di pengadilan dengan tepat dan ektra bijak menjatuhkan putusan yang kemudian menjadi cermin bagi tegaknya hukum, munculnya law and order. Masalahnya untuk menghasilkan putusan pengadilan yang bagus, tidak bisa tidak hakim harus memiliki kreteria yang lengkap. Harus cerdas, sebab dengan kecerdasan hakim dapat melihat suatu perkara dengan jernih dan tepat, hakim harus mengusai bidangnya, punya kejujuran, hati nurani, bermoral tinggi, manusiawi, welas asih yang kuat. Tanpa kriteria ini sulit diharapkan hakim dapat menjatuhkan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hakim seharusnya memahami betul apa yang dikemukakan pujangga besar William Shakes Peare, I stand here for law saya berdiri disini demi hukum. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi harapan terciptanya pengadilan yang murah, cepat, bersih yang sesuai dengan nurani dan rasa keadilan masyarakat sepertinya jauh panggang dari api. Sebab dilihat dari aspek kultur atau budaya masyarakat masih permitif terhadap adanya mafia hukum. Mafia hukum merupakan hal yang wajar, masyarakat suka melakukan jalan pintas, dengan menghalalkan berbagai cara. Dalam penyelesaian suatu perkara adanya lobi, konspirasi antara pengusaha dengan aparat penegak hukum dengan memberi sejumlah dana agar kasusnya tidak dilanjutkan atau hukumannya diringankan bila perlu dibebaskan merupakan fenomena yang biasa terjadi dan masyarakat memang yang menghendaki dan sudah membudaya. Mafia hukum tampaknya sebagai sesuatu yang ada nyata kita rasakan tapi wujudnya tidak tampak, sehingga sulit untuk dibuktikan karena pihak-pihak terkait saling menyembunyikan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan pada proses penegakan hukum pidana di bidang lingkungan sudah sangat lengkap terdiri dari UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup general environmental law dan UU sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, PP tentang Pengendalian dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, PP tentang Ijin Pembuangan Limbah, UU tentang Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan lain-lain sektoral environmental law. Namun demikian peraturan perundang-undangan tersebut belum mencukupi untuk memaksa para Universitas Sumatera Utara penentu kebijakan untuk tunduk dan mematuhi kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup. Kebijakan di bidang lingkungan hidup hanya dilihat dengan sebelah mata. Dalam pertarungan antar sektor seringkali kepentingan lingkungan hidup dikalahkan oleh sektor-sektor yang lain seperti pertambangan, energi, kehutanan, investasi, dan lain-lain. Penyebabnya isu lingkungan hidup tidak menonjol di kalangan masyarakat luas, gerakan lingkungan hidup seringkali berbenturan secara tidak seimbang dengan kepentingan pengusaha yang sangat diperlukan keberhasilannya dalam menyerap tenaga kerja agar pengangguran dapat dikurangi. Fakta menunjukan pengusung ide-ide lingkungan hidup harus menghadapi tantangan yang sangat tidak seimbang dari penguasa politik, penguasa dunia usaha dan dari masyarakat sendiri. Kalahnya kepentingan lingkungan hidup dalam pertarungan yang tidak seimbang melawan kepentingan-kepentingan lain tersebut terjadi tidak hanya di forum-forum teknis eksekutif, tetapi juga di forum-forum politik, di lingkungan lembaga legislatif. Oleh karena itu di samping ada UU lingkungan hidup yang tentu saja berpihak pada lingkungan, banyak pula produk undang-undang di bidang lain yang justru tidak ramah lingkungan. Hal demikian tentu harus diterima sebagai kenyataan yang ada di lembaga perwakilan rakyat yang menjadi muara dari semua jenis kepentingan yang hidup dan saling bertarung dalam masyarakat. Karena itu muncul pemikiran untuk menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup tingkat Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain Universitas Sumatera Utara berkembang ide untuk mengadopsi norma-norma dalam hukum lingkungan ke dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar sehingga kedudukannya lebih kuat. Dengan di cantumkan dalam Undang-Undang Dasar setiap produk undang- undang yang dibuat oleh lembaga parlemen dapat dikontrol karena harus tunduk pada norma konstitusi. Forum parlemen yang biasanya harus mengkompromikan pelbagai kepentingan yang saling bertentangan sebagaimana tercermin dalam kehidupan msyarakat yang diwakili oleh para wakil rakyat itu harus menundukkan diri pada konstitusi sebagai hukum tertinggi.

C. Faktor Penyebab Terjadinya Perluasan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Lingkungan