BAB IV PERANAN ALAT BUKTI DALAM SISTEM PEMBUKTIAN
PERKARA PIDANA LINGKUNGAN
A. Pidana Lingkungan
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH telah disahkan dan diundangkan pada 3 Oktober
2009 menggantikan UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini banyak memperkenalkan ketentuan baru diantaranya menyangkut
penegakan hukum pidana lingkungan hidup. Dalam ketentuan pidananya, UUPPLH mencantumkan ancaman hukuman
penjara dan denda bagi pejabat yang mengeluarkan perizinan tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak menjalankan fungsi pengawasan dalam pengelolaan
lingkungan. Ketentuan ini sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya. Pertanyaanya kemudian akan efektifkah ancaman hukuman ini?
Pidana Lingkungan UUPPLH memuat ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV sejumlah 23 pasal pasal 97 – 120. Jumlah ini berbeda jauh dengan UU
No.23 tahun 1997 yang hanya memuat 7 pasal ketentuan pidana pasal 42-48. UUPPLH memperkenalkan ancaman pidana minimum di samping maksimum,
perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Juga yang
terbilang progresif UUPPLH mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi pejabat
Universitas Sumatera Utara
pemberi izin dan pejabat yang berwenang mengawasi pengelolaan lingkungan yang tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya.
Namun demikian UU ini tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
UUPPLH juga tidak mengelompokkan jenis pidana lingkungan hidup. Semua perbuatan pidana digolongkan sebagai kejahatan sebagaimana disebutkan
Pasal 97. UUPPLH juga tidak secara tegas membagi pidana lingkungan dalam perbuatan perusakan atau pencemaran sebagaimana dimuat dalam UU Nomor23
tahun 1997. Secara rinci UUPPLH menyebutkan setidaknya 19 bentuk perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi hukuman pidana.
Hal yang menarik, UUPPLH mencantumkan secara tegas ancaman hukuman pidana bagi pejabat pusat maupun daerah. Ancaman pidana tersebut
berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan pejabat tersebut berkaitan dengan perizinan dan pengawasan pengelolaan lingkungan hidup.
Setidaknya ada tiga perbuatan pejabat yang diancam pidana penjara; Pertama, menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-
UPL diancam hukuman penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah. Kedua, menerbitkan izin usaha
atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, ancaman hukumannya
Universitas Sumatera Utara
sama dengan perbuatan sebelumnya; Ketiga, dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya
nyawa manusia, diancam penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Ketiga perbuatan tersebut
disebutkan dalam pasal 111 dan 112 UUPPLH. Salah satu sebab utama kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah
lemahnya aspek pencegahan dari pejabat atau instansi berwenang. Pejabat atau instansi terkait khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup memiliki
tugas preventif berupa pengawasan terhadap usaha atau kegiatan yang bisa berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan. Banjir yang yang melanda
Jakarta tentunya bukanlah sebab, tetapi adalah akibat dari banyak faktor mulai dari daerah hulu sampai ke daerah hilir aliran sungai. Patut diduga maraknya
pembangunan vila di kawasan konservasi Gunung Halimun adalah salah satu sebab yang berkontribusi terjadinya banjir kiriman ke Jakarta. Ironisnya vila-vila
tersebut ternyata banyak dimiliki oleh para tokoh dan pejabat publik di Jakarta. Pertanyaannya kemudian bagaimana bisa di kawasan taman nasional dapat berdiri
vila-vila tempat peristirahatan kelompok orang berduit dan para pejabat publik? Banyak jawaban negatif dari pertanyaan tersebut tapi satu yang jelas adalah
bahwa pembangunan vila tersebut tidak hanya karena lemahnya aspek pengawasan pejabat dan instansi terkait, tetapi lebih dari itu patut diduga adanya
unsur korupsi, kolusi dan nepotisme dalam prosesnya. Tidak mungkin kegiatan
Universitas Sumatera Utara
yang kasat mata tersebut lepas dari pantauan instansi yang berwenang, sepertinya mereka tutup mata dan pura-pura tidak tahu karena berbagai faktor. Faktor
pemilik adalah orang berduit dan pejabat publik tentunya juga berkontribusi dalam hal ini.
Kalaupun pidana bagi pejabat berwenang perlu dipertimbangkan penerapannya karena adanya asas UU tidak berlaku surut dan masih perlu dikaji
apakah unsur-unsur perbuatan pidananya memenuhi, tetapi para pihak yang bertanggungjawab tetap bisa dimintakan pertanggungjawaban. Kalaulah indikasi
Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN terdengar terlalu keras, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
dapat diterapkan. Pasal 33 ayat 3 menegaskan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Ancaman hukumannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda
paling banyak seratus juta rupiah. Kalaupun penegak hukum masih enggan menegakkan aturan pidana,
sekurang-kurangnya pelanggaran administrasi dapat dikejar. Tidak cukup hanya dengan kerelaan para pemilik yang katanya akan segera membongkar vila-vila
tersebut. Tetapi tetap harus ada pelajaran dan sanksi tegas yang harus dijatuhkan kepada mereka yang bertanggungjawab.
Persoalannya kemudian adalah komitmen dan konsistensi penegak hukum. Gagalnya penerapan hukum lingkungan selama ini lebih dominan karena faktor
satu ini.
Universitas Sumatera Utara
B. Instrumen Hukum Pidana Lingkungan