mengingat kecenderungan demokrasi terpimpin yang dekat dengan otoriterisme tidak sesuai dengan perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini.
Penggunaan Trisakti sebagai jalan ideologis pemerintahan kedepan menghadapkan Nawacita dengan kontradiksi-kontradiksi apabila dibenturkan
dengan realitas ekonomi global. Kendati disadari terdapat kesalahan orientasi perekonomian nasional saat ini, harus ditemukan sebuah “jalan damai” dengan
tatanan ekonomi global yang liberal, karena hal yang patut dipahami adalah kemandirian ekonomi negara mengandalkan rakyat sebagai tenaga penggerak
utama perekonomian. Sehingga kepentingan rakyat, harus menjadi prioritas utama dalam setiap praktik perekonomian nasional.
3.2.3. Kekuatan dan Pembangunan Bangsa sekaligus Character Building
Trisakti merupakan upaya pembentukan karakter bangsa yang penuh harga
diri dan menghormati kedaulatan negara lain. Pembentukan karakter bangsa ini diperlukan mengingat penjajahan kolonial Belanda maupun Jepang berdampak
kepada menghilangnya karakter bangsa Indonesia yang asli. Kondisi zaman penjajahan baik itu Belanda maupun Jepang, berakibat pada
dominasi kebudayaan Negara penjajah atas Indonesia. Konsekuensinya adalah tindak-tanduk rakyat Indonesia dipaksa disesuaikan dengan kepentingan
imperialistik negara penjajahan. Hal ini juga yang menyebabkan melekatnya label “bangsa kuli” kepada bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh kebudayaan kapitalisme-imperialisme dan kolonialisme tersebut yang dikatakan Soekarno sebagai objek yang harus dihilangkan dalam konsepsi
Trisakti berkepribadian di lapangan kebudayaan. Penghapusan ketiga budaya tersebut akan mampu mendorong munculnya kebudayaan dan menampilkan
kepribadian bangsa Indonesia yang sebenarnya
102
. Berkepribadian dibidang kebudayaan dalam konsep Trisakti menjadi tolak
ukur sebuah bangsa terhadap pengaruh perkembangan zaman. Globalisasi yang juga menyentuh aspek kebudayaan dapat dilihat dari maraknya individualisme,
pragmatisme dan perilaku konsumtif secara berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia. Perilaku konsumtif masyarakat Indonesia dalam hal ini layak mendapat
perhatian lebih. Peningkatan tingkat konsumsi perkapita Indonesia pasca krisis disatu sisi memang memberikan sinyal positif, hal ini dapat dilihat dari
perkembangan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Tabel 2. Tingkat Konsumsi Masyarkat Indonesia sesudah Krisis 1998
103
Tahun Konsumsi
Rp. Milyar Pendapatan Nasional
Rp. Milyar 1999
838.097,2 943.030,7
2000 856.798,3
1.265.939,5 2001
1.039.655,0 1.507.589,6
2002 1.231.964,5
1.644.411,6 2003
1.372.078,0 1.778.660,0
2004 1.532.388,3
2.046.297,0 2005
1.785.596,4 2.446.847,2
102
Paharizal. Op. Cit. Hal. 144.
103
M. Fikri, dkk. 2014. “Analisis Konsumsi Masyarakat Indonesia sebelum dan setelah Krisis Ekonomi”.
Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Derah, Vol. 1, No.3, Januari-Maret 2014. Hal. 168.
Universitas Sumatera Utara
2006 2.092.655,7
2.931.844,3 2007
2.510.503,8 3.478.675,0
2008 2.999.956,9
4.458.277,8 2009
3.290.843,3 4.912.624,9
2010 3.641.996,5
5.695.451,9
Tingginya tingkat konsumsi ini ternyata tidak mencerminkan pemerataan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari angka koefisien Gini
Indonesia yang pada akhir tahun 2014 menunjukkan angka 0,42
104
. Tingginya pola konsumerisme ini mengindikasikan gejalan gaya hidup masyarakat Indonesia
yang berubah dan terbawa arus konsumerisme pasar bebas. Budaya konsumerisme ini bertentangan dengan jati diri serta karakter rakyat Indonesia yang sejatinya
mengutamakan kolektifitas serta gotong royong. Gagasan berkebudayaan dalam Trisakti lainnya, yaitu tidak tolerannya
Soekarno terhadap budaya Belanda dan budaya asing yang dinilai dapat membuat bangsa Indonesia tidak mandiri dan bermental penjiplak seharusnya di definisikan
ulang saat ini. Penolakan Soekarno terhadap „musik-musik imperialis‟ yang
disebutnya “kambing kebelet kawin” dan Ngak Ngik Ngok serta bentuk-bentuk kebudayaan lain yang dinilainya mengejar estetika belaka tentu tidak sesuai
dengan konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat saat ini. Gagasan “Revolusi Mental” Jokowi-JK dalam hal ini memang tidak lagi
menolak kebudayaan asing dan mengidentifikasinya kedalam budaya kolonial,
104
http:www.republika.co.idberitakoranpareto150102nhjny6-tantangan-kemiskinan-pada-2015 diakses
pada tanggal 11 Januari 2015 pada pukul 09.10 WIB.
Universitas Sumatera Utara
imperialis, maupun feodalis. Gagasan “Revolusi Mental” Jokowi-JK diarahkan kepada pembenahan moralitas publik seperti kedisiplinan dan toleransi yang
bertujuan mengangkat kualitas dan daya saing rakyat Indonesia dalam ranah global.
Globalisasi dan perkembangan teknologi yang memungkinkan keluar- masuknya kebudayaan dan informasi dalam waktu singkat menjadi tidak
terhindarkan saat ini. Kemajuan teknologi dan perkembangan berbagai disiplin ilmu kebudayaan dari negara-negara maju saat ini yang belum mampu diproduksi
oleh Indonesia dapat dijadikan contoh untuk membangun negara ini. Perbedaan- perbedaan yang ada antara kebudayaan yang masuk dapat disikapi dengan
menyaring hal tersebut berdasarkan dampak yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk menghadapi kondisi ini, berkepribadian dalam kebudayaan tentunya tidak
dengan menutup diri dan menolak mentah-mentah tanpa melihat dampak positif yang dapat diraup dari globalisasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Pikiran-pikiran Soekarno yang dituangkannya dalam Trisakti merupakan
upaya untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdasar pada 3 bidang
yang harus dibenahi yakni politik, ekonomi dan kebudayaan. Nawacita dilihat
relevansinya dengan Trisakti sebagai sebuah gagasan memiliki identifikasi masalah yang sama yakni adanya carut-marutnya peran negara imbas dari
orientasi politik, ekonomi, dan budayanya. Tetapi ketika dilihat dalam pembahasan yang komprehensif, hal ini tidak menyentuh secara mendasar
persoalan yang dihadapi, yakni orientasi ekonomi politik indonesia yang mengarah ke nekolim.
2. Pada bidang politik terdapat perbedaan penekanan terhadap masalah yang
dihadapi oleh Indonesia. Kedaulatan politik dalam Trisakti terfokus pada masalah intervensi asing terhadap kedaulatan Indonesia, sementara penegakan
kedaulatan politik yang digagas dalam Nawacita lebih mengutamakan pembangunan politik dalam negeri. Perbedaan penekanan ini didasari oleh
kondisi sosio-politik yang berbeda antara konsep Trisakti dengan Nawacita. Kendati terdapat perbedaan identifikasi masalah, hal ini tetap relevan karena
Nawacita tetap berpegang pada konsep Trisakti Soekarno, dilihat dari dipertahankannya gagasan politik luar negeri bebas-aktif serta penegasan
Universitas Sumatera Utara