Hadhanah Menurut Fuqaha Hadhanah Menurut Hukum Positif

25 Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut kepada salah seorang di antara keduanya”. 17 Dengan demikian, bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak. 18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif

1. Hadhanah Menurut Fuqaha

Para Ulama Fiqh mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. 19 Sedangkan para imam madzhab berikhtilaf 20 dalam mengartikan Hadhanah: 17 Muhammad Abid as-Sindi, Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h.1107. 18 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.252 19 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 215 20 Ikhtilaf ialah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam fuqaha dalam menetapkan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat ushuliyyah pokok-pokok hukum Islam, disebabkan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, h.48. 26 M adzhab Syafi’i, mengatakan Hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak mampu untuk mengurus diri mereka sendiri. Madzhab Hambali, mengatakan Hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau orang gila atau orang cacat atau orang tidak sadar. Madzhab Hanafi, mengatakan Hadhanah untuk mendidik anak-anak yang sepatutnya mendapat hak penjagaan. Madzhab Maliki, berpendapat Hadhanah sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan hak-hak kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka. 21

2. Hadhanah Menurut Hukum Positif

Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, masalah Hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan. 22 Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 21 Mohd Norman Shah, Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, ” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h.30. 22 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.298 27 Perkawinan dinyatakan: apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya. b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri. 23 Menyangkut hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam Bab X mulai pasal 45-49, 24 Pasal 45 1 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya 2 Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 1 Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. 23 Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, h.338 24 Ibid., h.339 28 2 Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 1 Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2 Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 1 Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. 2 Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut. Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas segala-galanya. Semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya. 25 25 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.301 29

C. Syarat dan Hak Hadhanah