Pengertian Hadhanah Dasar Hukum Hadhanah.

18

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Hadhanah ةناضح jamaknya ahdhan ناضحا atau hudhun نضح, terambil dari kata hidhn نضح yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang. 1 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. 2 Burung dikatakan هضْيب رئاَّلا نضح manakala burung itu mengerami telornya karena dia mengumpulkan mengepit telornya itu ke dalam dirinya di bawah himpitan sayapnya. Demikian pula sebutan Hadhanah diberikan kepada seorang perempuan ibu manakala mendekap mengemban anaknya di bawah ketiak, dada serta pinggulnya. 3 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, Hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang 1 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99 2 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, jil.II, Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 19841985, h.206. 3 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99 19 membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup. 4 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menjaga atau mengasuh bayi anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu. 5

2. Dasar Hukum Hadhanah.

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya adalah mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri. Firman Allah SWT Surat al-Baqarah 2 ayat 233:                                                       4 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997, h.37. 5 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992, h. 269. 20                    Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti warisan yang menjadi hak anak dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu. 21 Betapapun, ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaan anak. 6 Dalam Surat At-Tahrim 66 ayat 6:                        Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ”. Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan oleh Allah SWT memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. 7 Ayat enam di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria ayah tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan lelaki ibu dan ayah sebagaimana ayat-ayat yang serupa misalnya ayat-ayat yang memerintahkan berpuasa yang juga tertuju pada lelaki dan perempuan. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur’an, cet.XI, Jakarta: Lentera Hati, 2007, h.505. 7 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, h.208 22 pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan suatu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis. 8 Jumhur ulama berpendapat bahwa hak mengasuh anak kecil diserahkan kepada ibu, jika suami menceraikannya berdasarkan hadits dari Abu Ayub al- Anshari, Nabi SAW bersabda: 9 Artinya: ”Dari Abu Abdurrahman al-Hubuliy, dari Abu Ayyub berkata: aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda: „Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT akan memisahkan antara dirinya dan para kekasihnya pada hari kiama t”Hadits Hasan Riwayat at- Tirmidzi 1283. 10 Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain berhati- hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al- Qur’an, Cet.VIII, h.327 9 Abu Isya Muhammad, al- Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III, Beirut: Dar al-Fikr, 1974, h.580. 10 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, h.112. 23 anaknya mengingatkan ancaman Rasulullah SAW dalam hadits di atas. 11 Di dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah SAW: Artinya: ” Dari Abdullah ibnu Amr bahwa ada seorang wanita berkata: „Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya, payudaraku yang menjadi tempat minumnya dan pangkuanku menjadi pelindungnya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia bermaksud mengambilnya dariku. Maka Rasulullah SAW, bersabda kepadanya „kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah ’dengan orang lain”. Riwayat Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim 13 Hadits tersebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain. 11 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009, h.179. 12 Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952, h. 529. 13 Al-Hafizh Ibnu Hajar al- „Asqalani, Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad, dkk, Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2007, h.56. 24 Apabila ibunya menikah, maka praktis hak Hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak kandungnya sendiri. 14 Ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan baginya mempunyai seorang anak dari istri itu, maka sang istrilah yang lebih berhak merawat si anak tersebut sampai melewati umur 7 tahun. Kemudian anak tersebut diperintahkan untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Maka mana yang dia pilih di antara keduanya, maka hendaknya diserahkan si anak kepadanya. 15 Artinya: “Dari Ziyad ibnu Sa’d . Abu Muhammad mengatakan, “aku menduganya Hilal ibnu Abi Maimun dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW, menyuruh memilih pada anak kecil antara ikut bapaknya dan ikut ibunya. Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi hadist 1357 16 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.III, Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998, h.251. 15 Musthafa Daib al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma, Semarang: Toha Putra, 1993, h.102. 16 Abu Isya Muhammad, al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, h.638 25 Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut kepada salah seorang di antara keduanya”. 17 Dengan demikian, bagi anak yang sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak. 18

B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif