1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan
biologisnya termasuk aktifitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan perkawinan. Aturan perkawinan
menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk
memenuhi petunjuk agama sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk
agama.
1
Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian
masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari
keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet.III, Jakarta: Kencana, 2008, h.22.
2
tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan perkawiann antara suami dan istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang
sesama warganya.
2
Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah
tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat Islam.
3
Dalam bentuknya yang kecil, hidup berkomunitas itu dimulai dengan adanya keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Karena fungsi keluarga yang sedemikian itu, sangatlah wajar jika keluarga merupakan gejala kehidupan umat
manusia yang terpenting dan terbentuk oleh paling tidak seorang laki-laki, seorang perempuan beserta anak-anaknya.
4
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti
2
Ibid., h.31.
3
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah Jakarta: Penamadani, 2004, h.61.
4
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, h.1.
3
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan
bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
5
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga
seperti inilah yang merupakan bangunan umat yang dicita-citakan oleh Islam.
6
Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada saja rumah tangga yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan.
Ketegangan suami istri biasanya timbul dari hal kecil seperti perasaan kurang dihargai bagi istri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila
dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi bom atom yang sewaktu-waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.
5
Ghozali, Fiqh Munakahat, h.10.
6
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan Jakarta: Bulan Bintang, 1974 h.17.
4
Perceraian merupakan alternatif terakhir pintu darurat yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan rumah tangga tidak dapat dipertahankan
keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua
belah pihak, baik melalui hakam arbitrator dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh al-
Qur‟an dan al-Hadits.
7
Suatu gugatan
perceraian bisa
mengundang berbagai
macam permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah lain
sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah pembagian harta bersama dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula
permasalahan tentang siapa yang lebih berhak melakukan Hadhanah pemeliharaan terhadap anak.
8
Anak yang lahir dari perkawinan itu, tentu memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orang tuanya, terutama
menyangkut hak anak untuk mendapatkan makan dan minum serta pakaian dan tempat tinggal di samping hak-hak pemeliharaan dan pendidikan.
9
Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz belum mengerti kemashlahatan dirinya, maka
istrinya yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.73.
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah Jakarta: Prenada Media, 2004, h.189.
9
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.rev.II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h.26.
5
mengerti akan kemashlahatan dirinya.
10
Dalam waktu itu si anak hendaknya tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain.
Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.
11
Ditegaskan juga dalam pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal terjadinya perceraian:
“pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Pengadilan Agama adalah Institusi yang
akan menerapkan hukum materil dari Kompilasi Hukum Islam ini, terutama masalah yang berkaitan dengan Hadhanah itu sendiri. Sebab, di Indonesia tidak
ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah pemeliharaan anak, yang ada hanya Undang-Undang yang mengatur masalah kesejahteraan anak,
pengadilan anak, larangan mengeksploitasi anak dan perlindungan terhadap anak. Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan
anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun dengan putusan pengadilan.
12
Seyogyanya, Pasal 105 huruf a KHI tersebut, diimplementasikan dalam putusan di Pengadilan Agama. Letak masalahnya
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006, h.426.
11
Ibid., h.427.
12
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 1974 sampai KHI, cet.II, Jakarta: Kencana,
2004, h.295.
6
adalah bagaimana jika ada sesuatu hal yang menyebabkan Pengadilan Agama memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak berpindah kepada ayahnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkajinya dalam bentuk skripsi dengan judul
“IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH Analisis Putusan No.666 Pdt.G 2009 PAJB
”.
Hal yang memotifasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban
dan penjelasan mengenai status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yang dipelihara oleh ayahnya, yaitu dengan menganalisis putusan yang ada.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah