rasa bangga, dan ikut seperasaan seperti rasa puas, rasa senang, rasa bangga, dan ikut seperasaan dengan orang-orang yang dipimpinnya pada waktu
mengalami kesulitan, kegagalan, dan lain-lain. 3.
Mendamaikan, harmonizing: tindakan mempertemukan dan mendamaikan pendapat-pendapat yang berbeda dan merukunkan orang-orang yang
bersitegang satu sama lain. 4.
Mengalah, compromizing: kemauan untuk mengubah dan menyesuaikan pendapat dan perasaan orang-orang yang dipimpinnya.
5. Memperlancar,
gatekeeping: kesediaan
membantu mempermudah
keikutsertaan para anggota dalam kelompok, sehingga semua rela menyumbangkan dan mengungkapkan gagasan-gagasan.
6. Memasang aturan permainan setting standars: tindakan menyampaikan
aturan atau tata tertib yang membantu kehidupan kelompok.
2.1.4 Gaya Kepemimpinan
Banyak tokoh telah melakukan pengkajian secara mendalam tentang perilaku kepemimpinan dengan berbagai pendekatan dan objek kajian yang
menjadi pusat perhatian mereka sebagai keinginan penungkapan efektivitas kepemimpinan terhadap perputaran roda ogranisasi.
Sebenarnya gaya kepemimpinan ini pada gilirannya ternyata merupakan dasar dalam membeda-bedakan atau megklasifikasikan tipe kepemimpinan yang
secara makro, gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu: a.
Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien, agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal
Universitas Sumatera Utara
b. Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan hubungan kerja
sama c.
Gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan hasil yang dapat dicapai dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
Di sini pemimpin menaruh perhatian yang besar dan memiliki keinginan yang kuat, agar setiap anggota berprestasi sebesar-besarnya. Sebenarnya masih
ada satu gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan citra dirinya sebagai sosok pemimpin agar ia dapat dipandang penuh dengan wibawa, kharisma dan
prestasi. Gaya yang demikian dalam praktiknya hanya dengan nuansa” politik pencitraan” ketimbang dengan prestasi kerja dalam mencapai tujuan organisasi
Sutarto, 2001.
2.1.4.1 Gaya Kepemimpinan Klasik
Mengutip pendapat dari Mesiono 2010, ada lima gaya kepemimpinan yang diakui keberadaannya sejak dahulu adalah :
1. Tipe yang Otokratik Seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois.
Egoisnya yang sangat besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang dibenarkannya sehingga sesuai dengan apa yang secara subjektif
diinterpretasikan sebagai kenyataan. Berdasarkan nilai yang demikian, seorang pemimpin yang otoriter akan
menunjukkan berbagai sikap yang menunjukkan „ke-akuannya” antara lain sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Cenderung mengganggap organisasi sebagai milik pribadi yang dapat
diperlakukannya dengan sekehendak hati, karena bagi nya tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadi.
b. Kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain
dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
c. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa
mengkaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahan.
d. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan
dengan cara memberitahukan kepada para bawahan tersebut bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu diharapkan bahkan
dituntut untuk melaksanakan nya saja. 2. Tipe yang Paternalistik
Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih besifat tradisional. Popularitas pemimpin yang
paternalistik ditandai oleh beberapa faktor yaitu: a.
Kuatnya ikatan primordial, b.
Kehidupan masyarakat yang komunalistik, c.
Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, d.
Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masyrakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternatistik mengutamakan kebersamaan. Berdasarkan nilai
kebersamaan itu seorang pemimpin yang paternalistik berusaha memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja yang terdapat dalam organisasi seadil dan
serata mungkin. Dalam organisasi demikian tidak terdapat penonjolan orang atau kelompok tertentu. Berikut beberapa ciri-ciri pemimpin yang memiliki tipe
kepemimpinan paternalistik yaitu: a.
Sikap kebapakan dalam diri pemimpin paternalistik terhadap bawahannya lebih bersifat informal dan hubungan yang lebih bersifat informal tersebut
dilandasi oleh pandangan bahwa para bawahan belum mencapai tingkat kedewasaan, sehingga mereka tidak dibiarkan untuk berindak dan berfikir
sendiri. b.
Over protective atau terlalu melindungi terhadap para bawahan akibat pandangan bahwa para bawahan itu belum dewasa.
c. Terjadi pemusatan pengambilan keputusan dalam diri pemimpin yang
bersangkutan, sedangkan para bawahan hanya tinggal melakukan saja. Hal ini disebabkan karena pemimpin paternalistik bersikap maha tahu akan
segala sesuatu mengenai seluk beluk organisasional. Dan akibatnya tidak ada pemanfaatan sumber informasi, ide dan saran dari para bawahan.
3. Tipe yang Kharismatik Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang pemimpin yang
dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi. Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
lain, seorang pemimpin yang kharismatik memiliki daya tarik tersendiri yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang kadang-kadang
jumlahnya sangat besar. Terdapat empat dimensi dalam gaya kepemimpinan kharismatik yang disebut sebagai “the Four I’s”, yaitu:
a. Dimensi yang pertama disebut sebagai idealized influence pengaruh
ideal. Dimensi ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus
mempercayainya. b.
Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation motivasi inspirasi. Pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang
jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu mengubah spirit tim dalam
organisasi melalui penumbuhan entuasiasme dan optimisme. c.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation stimulasi intelektual. Pemimpin harus mampu menumbuhkan ide-ide baru,
memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk
mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas- tugas organisasi.
d. Dimensi yang keempat disebut sebagai individualized consideration
konsiderasi individu. Seorang pemimpin yang mau medengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Universitas Sumatera Utara
4. Tipe yang laissez faire Gaya laissez-faire adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar
bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan kepada bawahan.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin tipe laissez faire dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannnya biasanya bertolak dari
filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan organisasi, taat
kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas-tugas yang harus diembannya.
Dengan sikap organisasional demikian, tidak alasan kuat untuk memperlakukan para bawahan sebagai orang-orang yang tidak dewasa, tidak bertanggung jawab
dan tidak setia, dan sebagaianya. Kepemimpinan gaya laissez-faire antara lain berciri:
a. Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu, dengan
partisipasi dari pemimpin. b.
Pendelegasian wewenang terjadi secara ektensif. c.
Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas operasional, kecuali dalamhal-hal
tertentu yang nyata-nyata nye menuntut keterlibatannya secara langsung. d.
Status quo organisasional tidak terganggu.
Universitas Sumatera Utara
e. Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan nertindak yang
inovatif dan kreatif diserahkan kepada para anggota yang bersangkutan sendiri.
f. Sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan
prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.
Penerapan gaya kepemimpinan bebas Laissez-Faire dapat mendatangkan keuntungan antara lain para anggota atau bawahan akan dapat mengembangkan
kemampuan dirinya. Tetapi kepemimpinan jenis ini membawa kerugian bagi organisasi antara lain berupa kekacuan karena setiap pegawai bekerja menurut
selera masing-masing. 5. Tipe yang Demokratik
Gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara
berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Kepemimpinan gaya demokratis memiliki karateristik antara lain:
a. Gaya kepemimpinan yang demokratis memandang manusia sebagai mahluk
yang mulia dan derajatnya sama. b.
Pemimpin yang demokratik cenderung mementingkan kepentingan organisasi atau kepentingan golongan dibandingkan kepentingan pribadinya.
c. Sangat mengutamakan kerjasama dalam organisasi untuk mencapai tujuan
bersama.
Universitas Sumatera Utara
d. Menerima saran, pendapat, dan kritik bawahannya untuk pengembangan dan
kemajuan organisasi. e.
Berusaha mengembangan bawahan menjadi pegawai yang lebih berhasil dari sebelumnya.
f. Pemimpin yang demokratik selalu berusaha untuk mengembangan kapasitanya
menjadi pemimpin yang lebih baik untuk kemajuan organisasi. Penerapan gaya kepemimpinan demokratis dapat mendatangkan
keuntungan antara lain berupa keputusan serta tindakan yang lebih obyektif, tumbuhnya rasa ikut memiliki serta terbinanya moral yang tinggi. Sedang
kelemahan gaya kepemimpinan ini adalah keputusan serta tindakan kadang- kadang lamban, rasa tanggung jawab kurang, keputusan yang dibuat bukan
merupakan keputusan terbaik.
2.1.4.2 Kepemimpinan Situasional Situasional Leadership
Efektivitas kepemimpinan situasional tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan
tingkat kematangan jiwa kedewasaan para bawahan yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini ialah perilaku seorang pemimpin
yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan Siagian, 2003
Sedangkan menurut Hasibuan 2000, Gaya kepemimpinan situasional yaitu:
1. Kepemimpinan Otoriter direktif
Universitas Sumatera Utara
Kepemimpinan otoriter adalah jika kekuasaan atau wewenang, sebagian besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau kalau pimpinan itu menganut
sistem sentralisasi wewenang. Pengambilan keputusan dan kebijakannya hanya ditetapkan sendiri oleh pemimpin, bawahan tidak diikutsertakan untuk
memberikan saran, ide, dan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin menganggap dirinya orang yang paling berkuasa, paling pintar
dan paling cakap. Pengarahan bawahan dilakukan dengan memberikan instuksiperintah, ancaman hukuman serta pengawasan dilakukan secara ketat.
Orientasi kepemimpinannya difokuskan hanya untuk peningkatan produktivitas kerja karyawan dengan kurang memperhatikan perasaan dan kesejahteraan
bawahan. Pimpinan menganutsistem manajemen tertutup closed managemen kurang menginformasikan keadaan perusahaan pada bawahannya. Pengkaderan
kurang mendapat perhatiannya. 2.
Kepemimpinan partisipatif Kepemimpinan partisipatif adalah apabila dalam kepemimpinannya
dilakukan dengan cara persuasif, menciptakan kerja sama yang serasi, menumbuhkan layalitas, dan partisipasi para bawahan. Pemimpin memotivasi
bawahan agar merasa ikut memiliki perusahaan. Falsafah pemimpin ialah “pimpinan dia adalah untuk bawahan”.
Bawahan harus berpartisipasi memberikan saran, ide, dan pertimbangan –
pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan tetap dilakukan pimpinan dengan mempertimbangkan saran atau ide yang diberikan bawahannya.
Universitas Sumatera Utara
Pimpinan menganut sistem manajemen terbuka open manajement dan desentralisasi wewenang.
Pimpinan dengan gaya partisipatif akan mendorong kemampuan bawahan mengambil keputusan. Dengan demikian, pimpinan akan selalu membina
bawahan untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar. 3.
Kepemimpinan Delegatif Kepemimpinan delegatif apabila seorang pemimpin mendelegasikan
wewenang kepada bawahan dengan agak lengkap. Dengan demikian, bawahan dapat mengambil Pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan
pekerjaan kepada bawahan dalam arti pimpinan menginginkan, agar para bawahan mengendalikan mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pimpinan
tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan pekerjaan itu dan hanya sedikit melakukan kontak dengan bawahannyakeputusan dan kebijaksanaan
dengan bebas atau leluasa dalam melaksakan pekerjaanya.. Dalam hal ini ituntut memiliki kematangan dalam pekerjaan kemampuan dan kematangan psikologi
kemauan.
2.1.5 Efektivitas kepemimpinan