87
saham tersebut mempunyai fluktuasi return yang lebih kecil dari pasar secara keseluruhan. Saham dengan beta yang lebih kecil dari satu cenderung bergerak
lebih lambat dari pergerakan pasar. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 6 saham berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 5 α = 5.
Keenam saham tersebut adalah AALI, BDMN, BNGA, BUMI, MEDC dan TINS. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa beta saham-saham tersebut
signifikan pada tingkat signifikansi kepercayaan 5. Saham yang berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 1 α = 1 ada 13 saham, antara lain ASII,
BRPT, CTRA, ELTY, GGRM, GJTL, INDF, INKP, INTP, KIJA, LSIP, SMCB dan SMRA. Dua saham yang berada pada tingkat signifikansi lebih dari 10
yaitu CMNP dan TKIM. Pada tabel diatas terdapat hanya 2 saham yang memiliki konstanta yang bernilai positif, yang berarti bahwa pada kedua saham tersebut
return akrual lebih besar dari return ekspektasi. Sisanya sebanyak 19 saham konstantanya bernilai negatif yang berarti bahwa pada kesembilanbelas saham
tersebut pada periode bearish return aktual lebih kecil dari return ekspektasi.
4.4.3 Uji Beda Beta Bullish dan Beta Bearish
Tabel 4.11 Hasil Uji Independent sample T-test
Beta Mean
T hitung Bullish
0,464790 1,391
Bearish -6,04348
Sumber: data yang diolah, Lampiran 7 Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa rata-rata beta untuk periode bullish adalah
0,36 dan rata-rata untuk periode bearish -0,09. Selisihnya adalah 6,50827 yang berarti bahwa beta pada periode bullish lebih besar daripada beta pada periode
88
bearish. Nilai t hitung adalah 1,391 dengan nilai t tabel dengan df 40 pada tingkat signifikansi 10 senilai 1,303, maka berdasarkan hipotesis awal yang menyatakan
jika: •
t-hitung t-tabel = Berbeda secara signifikan H0 diterima
• t-hitung t-tabel
= Tidak berbeda secara signifikan H1 ditolak dapat ditarik kesimpulan menerima H0 yang menyatakan bahwa terdapat
perbedaan beta pada periode bullish dan periode bearish.
4.4.4 Pembahasan
Beta merupakan ukuran risiko yang berasal dari hubungan antara tingkat return saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari beberapa faktor yang secara
langsung mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut, faktor-faktor yang diidentifikasi mempengaruhi nilai beta menurut Suad Husnan 1994 adalah:
1. Cyclicality
Faktor ini menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan dipengaruhi oleh
konjungtur
perekonomian. Perusahaan yang sangat peka terhadap perubahan kondisi perekonomian merupakan perusahaan yang mempunyai beta tinggi, begitu
sebaliknya. 2.
Operating Leverage Menunjukkan proporsi biaya perusahaan yang merupakan biaya tetap.
Perusahaan yang mempunyai operating leverage yang tinggi akan cenderung mempunyai beta yang tinggi, begitu sebaliknya.
3. Financial leverage
89
Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang yang dipergunakan
oleh perusahaan, pemilik modal sendiri akan menanggung risiko yang semakin besar. Karena itu semakin tinggi financial leverage, semakin tinggi beta equity.
Dalam pasar finansial, beta adalah konsep yang sangat umum. Kegunaannya mulai dari menilai seberapa berisiko suatu saham, mengevaluasi
apakah saham tersebut bagus atau tidak, sampai pada memprediksi berapa return yang akan dihasilkan oleh instrumen tersebut pada masa yang akan datang.
Mempertimbangkan kondisi pasar adalah penting untuk mendapatkan hasil pengukuran beta yang lebih akurat. H.M Jogiyanto 1998a, 1998b menyatakan
bahwa pada pasar modal indonesia terjadi aktivitas perdagangan yang tidak sinkron sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap perhitungan nilai beta
pada pasar yang ada. Kondisi pasar didalam pasar modal ada 2 yaitu, kondisi ketika pasar sedang naik bullish atau ketika pasar sedang turun bearish. Salah
satu indikator pasar yang sedang bullish adalah naiknya IHSG secara kontiniu, begitu sebaliknya dengan pasar yang sedang bearish.
Dalam pemilihan periode bullish dan periode bearish, penelitian ini menggunakan metode yang digunakan oleh Reza Ghazarma, dkk 2013 yaitu
dengan menggunakan median dari return pasar yang dalam penelitian ini diwakili oleh IHSG. Dengan menggunakan data historis saham yang terdaftar di BEI dari
tahun 2003 hingga 2012 dan termasuk dalam saham-saham yang likuid, penelitian ini menggunakan metode single index model untuk penghitungan beta dan uji
beda independent sample t –test untuk menguji perbedaan beta di dua kondisi
90
pasar yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis uji beda independent sample t –test yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini
adalah konsisten dengan penelitian Uung Kusneri 2002 dan Parvez Ahmed dan Larry J. Lockwood 1998, dalam penelitiannya menyatakan bahwa beta periode
bullish dan beta periode bearish adalah berbeda secara signifikan. Dan beta periode bullish lebih besar daripada beta kondisi bearish. Hal ini dibuktikan
dengan rata-rata beta pada periode bullish yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata beta pada periode bearish.
Bila dibandingkan dengan penelitian Uung Kusneri 2002 menggunakan data saham dan IHSG bulanan yang diterbitkan oleh Bursa Efek Jakarta dari
tahun 1994 hingga tahun 2000, nilai beta pada penelitian tersebut baik periode bullish maupun periode bearish rata-rata lebih besar dari 1
β1. Pada periode bullish dari 24 saham, hanya 7 saham yang nilai beta nya kurang dari 1 dan 7
saham nilai beta nya lebih besar dari 1, sisanya sebanyak 9 saham nilai beta nya lebih besar dari 2. Pada periode bearish dari 24 saham, 7 saham nilai beta nya
kurang dari satu dan selebihnya nilai beta saham tersebut lebih dari 1. Jika kembali mengacu pada teori Husnan 1994 yang menyatakan bahwa saham
dengan beta lebih besar dari 1 disebut sebagai saham yang agresif dan saham yang mempunyai beta kurang dari satu disebut sebagai saham yang defensif , maka
dapat dikatakan bahwa saham-saham pada tahun 1994 hingga tahun 2000 pada penelitian Uung Kusneri 2002 adalah saham-saham yang agresif karena nilai
beta nya rata-rata lebih besar dari 1 dan saham-saham yang menjadi objek pada penelitian ini dari tahun 2002 hingga tahun 2013 dalam penelitian ini adalah
91
saham yang defensif karena nilai beta nya rata-rata kurang dari 1. Karena beta pada setiap saham adalah kecil, maka tingkat risikonya juga rendah diikuti juga
dengan return yang rendah. Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi besar
kecilnya nilai beta yang menentukan saham tersebut apakah defensif atau agresif, baik itu faktor makroekonomi yang mempengaruhi beta melalui harga saham dan
stabilitas pemerintahan yang turut juga mempengaruhi beta melalui dampak kebijakannya terhadap pasar modal. Untuk faktor makroekonomi, dapat dilihat
dari tingkat inflasi pada tahun penelitian. Berikut ditampilkan tingkat inflasi pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2000 dan tahun 2003 hingga tahun 2012 pada
tabel 4.12.
Tabel 4.12 Tingkat Inflasi
Berdasarkan IHK 1994-2000 dan 2003-2012 No
Thn Inflasi Thn
Inflasi
1 1994
9,24 2003
5,16 2
1995 8,6
2004 6,4
3 1996
6,5 2005
17,11 4
1997 11,1
2006 6,6
5 1998
77,6 2007
6,59 6
1999 2
2008 11,06
7 2000
9,4 2009
2,78 8
2010 4,8
9 2011
5,1 10
2012 5,4
Sumber: BPS, diolah. Dari tabel 4.12 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata inflasi pada tahun
1994-2000 lebih tinggi dari tahun 2003-2012. Inflasi sebagai faktor makroekonomi juga memberikan dampak terhadap saham. Kenaikan inflasi akan
92
menyebabkan harga-harga secara keseluruhan naik menyebabkan kebutuhan sekunder barang pelengkap dan kebutuhan tersier barang mewah menurun,
karena masyarakat akan mengutamakan memenuhi kebutuhan primer terlebih dahulu sehingga harga saham pada perusahaan properti dan real estate CTRA,
ELTY, KIJA dan SMRA, industri kayu BRPT, ban kendaraan GJTL, otomotif ASII dan semen dan bahan bangunan INTP dan SMCB akan lebih terkena
dampaknya daripada harga saham perusahaan makanan dan minuman INDF, pabrik kertas TKIM dan INKP, perkebunan kelapa sawit AALI dan LSIP,
minyak gas dan bumi MEDC, dan pertambangan TINS dan BUMI. Dapat dilihat bahwa pada tahun 1998 dan tahun 2008 merupakan periode
tertinggi terjadinya inflasi. Hal ini disebabkan pada tahun 1998 terjadi krisis moneter dan krisis politik yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
tenggelam hingga 600 persen dalam satu tahun atau merosot dari Rp 2.500 per dolar AS di 1997 menjadi Rp 17.000 per dolar AS pada Januari 1998, IHSG turun
292,12 poin pada tahun 1998 dari 467,339 pada semester satu tahun 1997. Ketidakstabilan pemerintahan pada saat krisis juga turut mempengaruhi
kepercayaan para investor untuk menanamkan modalnya di pasar modal. Pada tahun 2008 terjadi krisis keuangan global yang telah memberi efek depresiasi
terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada
bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048, IHSG mencapai posisi terendah hingga mencapai di level 1.111,390 pada 28 Oktober 2008. Dampak dari
krisis ekonomi tersebut paling dirasakan oleh masyarakat menengah ke atas,
93
terlebih mereka yang bermain saham, valuta asing dan investasi emas. Dampak dari krisis tersebut dapat dilihat terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
yang semakin memburuk pada saat krisis. Hal ini menjadi berakibat fatal terutama bagi perusahaan yang meminjam di luar negeri, mereka harus membayar hutang
lebih besar, sehingga kinerja perusahaan tersebut akan melemah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga saham.
Terdapat faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi beta. Penelitian Indriastuti 1999 dan Musliatun 2000 dengan memisahkan periode analisis
normal dan krisis 1997 menemukan bahwa likuiditas, pertumbuhan, dan leverage keuangan mempengaruhi beta. Indriastuti 1999 menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi beta saham dengan membandingkannya untuk dua periode yang berbeda yang meliputi likuiditas, leverage keuangan, pertumbuhan aset, ukuran
perusahaan, dan leverage operasi. Indriastuti 1999 menemukan bahwa beta periode normal dan periode krisis tidak berbeda. Musliatun 2000
mengungkapkan hasil yang berbeda bahwa beta periode normal lebih tinggi dari beta periode krisis secara statistis.
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa pada periode bullish, beta dari koefisien regresi return pasar yang
sedang bullish memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Sebanyak 7 saham berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 10 α =
10, 5 saham yang berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 5 α = 5 dan 2 saham yang berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 1 α =
1. 2.
Pada periode bearish, beta dari koefisien regresi return pasar yang sedang bearish memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham. Sebanyak
6 saham berada pada tingkat signi fikansi kepercayaan 5 α = 5, 13 saham
yang berada pada tingkat signifikansi kepercayaan 1 α = 1 dan 2 saham yang berada pada tingkat signifikansi lebih dari 10 .
3. Beta pada periode bullish dan periode bearish memliki perbedaan yang
signifikan pada tingkat signifikansi 10. Nilai rata-rata beta untuk periode bullish lebih besar dari nilai rata-rata beta untuk periode bearish, rata-rata
beta periode bullish adalah 0,36 dan rata-rata untuk periode bearish -0,09. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode bullish, saham-saham agresif
atau lebih peka terhadap kenaikan pasar sedangkan pada periode bearish, saham-saham cenderung bergerak pasif.