Manfaat Teoritis Definisi Pemimpin Kelompok Kecil Well-Being

10

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, terutama Psikologi Klinis, Psikologi Kesehatan Mental, khususnya mengenai well-being.

2. Manfaat Praktis

a Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama kepada para pekerja untuk mengetahui pengaruh antara tingkat calling orientation dengan pekerjaan mereka terhadap well-being-nya. b Bagi PKK di UKM KMK USU, agar mereka dapat mengetahui gambaran well-being yang dimilikinya dan mengetahui cara agar lebih menikmati perannya sebagai seorang PKK. c Bagi pengembangan pelayanan rohani, khususnya pelayanan mahasiswa di UKM KMK USU yaitu sebagai bahan pertimbangan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan ke depannya. Universitas Sumatera Utara 11

E. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi teori mengenai calling orientation dalam bekerja, komponen dalam pekerja yang memiliki calling orientation, teori mengenai subjective well-being, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, definisi PKK, peranan seorang PKK, serta rumusan hipotesa. Bab III: Metode Penelitian Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional penelitian, sampling dan populasi, dan metode analisis data. Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan Bab ini terdiri atas gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, uji hipotesis, kategorisasi skor penelitian, hasil tambahan, dan pembahasan. Bab V: Kesimpulan dan Saran Bab ini terdiri dari simpulan-simpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya. Universitas Sumatera Utara 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Well-Being

1. Definisi Well-Being

Istilah well-being mengacu pada kualitas keberfungsian seseorang, baik itu pengalaman subjektif yang bersifat emosional maupun pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan Waterman, 2007. Waterman 1993 membedakan well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Istilah eudaimonic well- being kemudian banyak dikembangkan menjadi beberapa bagian, beberapa diantaranya adalah psychological well-being dan flourishing Ryff dalam Waterman 2007. Hedonic well-being juga sering disamakan dengan subjective well-being Ryan Deci, dalam Waterman 2007. Secara filosofis, istilah eudaimonia dan hedonia berasal dari bahasa Yunani dan dikembangkan oleh filsuf-filsuf Yunani Delle dalam Henderson Knight, 2012. Grinde dalam Henderson Knight, 2012 mengatakan bahwa konsep eudaimonia dan hedonia merupakan suatu konsep yang bertolak belakang, di mana perspektif eudaimonic menekankan pada hidup yang mengaktualisasi potensi-potensi diri merupakan cara untuk meningkatkan well-being, sementara perspektif hedonic mengatakan bahwa memaksimalkan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan Universitas Sumatera Utara 13 adalah langkah mencapai kebahagiaan Delle Fave, Massimini, Bassi dalam Henderson Knight, 2012. Namun psikolog kontemporer lebih memilih untuk menggabungkannya menjadi suatu konsep yang sama-sama berpengaruh positif terhadap well-being dan memunculkan istilah flourishing untuk menjelaskan gabungan kehadiran keduanya. Huppert So; Huta Ryan, dalam Henderson Knight, 2012. Waterman 1993 mengatakan bahwa eudaimonic well-being merupakan hal yang diperoleh seseorang karena mampu merealisasikan potensi dirinya melalui aktivitas yang dilakukannya, sementara hedonic well-being berfokus pada penikmatan aktivitas yang dilakukan seseorang. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah, namun memiliki korelasi satu sama lain. Saat seseorang merasa mampu merealisasikan potensi dirinya sewaktu melakukan suatu aktivitas, maka ia akan sekaligus memiliki eudaimonic well-being dan hedonic well-being yang tinggi. Namun saat seseorang menikmati aktivitas yang dilakukannya tapi aktivitas tersebut tidak berkontribusi untuk meningkatkan potensi dirinya, maka aktivitas tersebut hanya akan menaikkan hedonic well- being-nya namun tidak menaikkan eudaimonic well-being-nya. Secara teoritis, tidak ada orang yang memiliki eudaimonic well-being tinggi namun hedonic well-being-nya rendah. Universitas Sumatera Utara 14

a. Eudaimonic Well-Being

Konsep eudaimonia pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles yang juga dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Yunani kuno sepeti Plato dan Zeno. Aristoteles mengatakan bahwa suatu keadaan di mana kita menjalani hidup yang penuh perenungan dan kebaikan sesuai dengan sifat seseorang hidup sebagaimana adanya merupakan langkah menuju kesejahteraan Norton, dalam Henderson Knight 2012. Aristoteles mendefinisikannya sebagai tindakan kebajikan yang terpuji dan layak; sering ditekankan sebagai kebajikan dari keadilan, kebaikan, keberanian, dan kejujuran. Aristoteles juga mengatakan lebih lanjut bahwa pengembangan potensi terbaik seseorang dalam mencapai sesuatu yang kompleks dan penuh makna merupakan hal yang menandai hidup yang baik. Eudaimonis juga merupakan suatu teori etis yang berkaitan dengan panggilan untuk hidup sesuai dengan daimon atau “true self” seseorang. Daimon mengacu pada potensi-potensi yang dimiliki seseorang, merupakan kesadaran untuk memaksimalkan kemampuannya, termasuk di dalamnya potensi yang memang dimiliki semua orang pada umumnya maupun potensi-potensi unik yang dimiliki setiap individu. Daimon merupakan kondisi ideal saat seseorang merasa telah menjadi yang terbaik yang dia bisa, kesempurnaan yang berusaha dicapai seseorang, sehingga memberikan makna dan tujuan dalam hidup seseorang. Usaha seseorang untuk bisa Universitas Sumatera Utara 15 hidup mencapai daimon danmemahami potensi-potensinya disebut dengan istilah eudaimonia Waterman, 1993. Norton dalam Waterman 2007 mendeskripsikan eudaimonic well-being sebagai kondisi saat seseorang ingin dan sedang melakukan apa yang ingin dilakukannya, di mana hal tersebut memang layak untuk dilakukan. Pada penelitian ini, eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna.

b. Hedonic Well-Being

Hedonic merupakan konsep yang berasal daerah Yunani dan dipelopori oleh para filsuf seperti Aristippus, Epicurus, Bentham, Locke, dan Hobbes Waterman, 2008. Istilah hedonic berarti well-being dengan kondisi emosi positif yang disertai dengan adanya kepuasan hasrat; pengalaman menyenangkan, tanpa beban, dan rasa senang yang dianggap juga merefleksikan well-being. Para filsuf meyakini bahwa manusia pada dasarnya ingin memenuhi diri mereka dengan pengalaman yang menyenangkan, dan berusaha memininimalkan rasa sakit. Kondisi hedonic dianggap sebagai pengalaman subjektif yang berarti orang Universitas Sumatera Utara 16 tersebut yang menentukan dan merasakan seberapa sejahteranya mereka Diener, dalam Henderson Knight 2012. Hedonic well-being sering disamakan dengan istilah happiness atau subjective well-being, karena yang menjadi fokus pada hedonic well-being merupakan sensasi atau hal menyenangkan yang dialami oleh seseorang. Subjective well-being terdiri dari 3 komponen, yaitu life satisfaction kepuasan dalam hidup, the presence of positive mood adanya suasana hati yang positif, dan ketiadaan suasana hati yang negatif Diener Lucas, dalam Ryan Deci, 2001. Pada penelitian ini, hedonic well-being yang dimaksudkan adalah kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu.

2. Motivasi Intrinsik dalam Konsep Well-Being

Bergerak dari perbedaan antara eudaimonic well-being dan hedonic well-being, Waterman 2005 mengatakan bahwa konstruk motivasi intrinsik merupakan konsep yang mempengaruhi kedua hal ini karena ―enjoyment” terhadap aktivitas merupakan definisi operasional utama yang menyusun konsep motivasi intrinsik. Interest, flow experiences, dan feelings of personal expressivenes merupakan variasi bentuk pengalaman subjektif yang berhubungan dengan motivasi intrinsik. Universitas Sumatera Utara 17

a. Interest

Interest merupakan bentuk ekspresi senang melakukan suatu aktivitas Sansone Harackiewicz, dalam Waterman, 2005. Hal ini merupakan kecenderungan seseorang untuk lebih terlibat dalam suatu jenis aktivitas dibandingkan aktivitas yang lain Krapp, Hidi, Renninger dalam Waterman, 2005.

b. Flow experiences

Csikszentmihalyi dalam Waterman, 2005 mengatakan bahwa flow experiences merupakan kombinasi dari elemen-elemen kognitif- afektif diantaranya a adanya tujuan yang jelas, b kesadaran akan perlunya masukan yang jelas, tepat sasaran, dan tidak ambigu terhadap hasil dari suatu aktivitas yang dilakukan, c kesatuan konsep aksi dan kesadaran, d pemusatan atensi terhadap stimulus yang terbatas yang berhubungan dengan kesadaran, e merasa memiliki kontrol terhadap aktivitas dan lingkungan, f tidak berfokus terhadap kegagalan, g tidak berpusat pada ego, dan h terjadinya perasaan distorsi waktu

c. Feelings of Personal Expressiveness

Istilah feelings of personal expressiveness dipakai oleh Waterman 1990 untuk mengacu pada pengalaman subjektif seseorang yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukannya, yang berpusat pada perasaan ―being‖ pada diri seseorang. Saat terlibat Universitas Sumatera Utara 18 dalam aktivitas yang mengekspresikan personal seseorang, individu akan mengalami: a keterlibatan secara mendalam, b kesesuaian dan kecocokan terhadap aktivitas, c perasaan benar-benar hidup intensely being alive, d perasaan sempurna dan dipenuhkan fulfillment, e kesan bahwa sesuatu itu memang dimaksudkan untuk dilakukan, dan f perasaan menjadi diri yang sesungguhnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Well-Being

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi well- being, baik hedonic well-being maupun eudaimonic well-being.

a. Jenis Kelamin

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada laki-laki dan perempuan. Memang terdapat frekuensi emosi sangat senang dan sangat tidak senang yang muncul lebih sering pada perempuan, namun bukti menunjukkan bahwa representasi berlebihan ini mengarah pada fakta bahwa wanita mengalami perasaan emosi positif dan negatif yang lebih sering dan intens dibanding pria. Universitas Sumatera Utara 19 Walaupun secara matematis perbedaan tersebut kurang dari 1, namun perbedaan dalam hal intensitas emosional mencapai 13. Itu sebabnya, lebih banyak wanita yang berada pada tingkat ekstrem skala Diener, Such, Lucas, Smith, dalam Diener, 2008. Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989, terdapat perbedaan well-being yang signifikan, di mana wanita cenderung akan memiliki well-being yang lebih tinggi.

b. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989, menemukan adanya perbedaan tingkat well-being pada orang dari berbagai kelompok usia, sesuai dengan dimensi-dimensinya well-being yang dikemukakan oleh Ryff 1989.

c. Pernikahan, perceraian, dan hubungan Sosial

Jumlah atau kualitas hubungan sosial yang dimiliki seseorang berkorelasi secara signifikan terhadap well-being yang dimiliki seseorang. Pada umumnya, individu cenderung lebih bahagia saat mereka berada di antara teman dekat dan keluarga yang mendukung mereka, sedangkan orang-orang yang tidak memiliki teman dekat dan keluarga lebih cenderung tidak puas. Well-being juga meningkat melalui adanya ikatan sosial seperti pernikahan, dan hubungan sosial kuat lainnya juga dapat sangat bermakna Helliwell, Barrington-Leigh, Harris, Huang, dalam Diener 2009. Tentu saja kehilangan seorang teman atau anggota keluarga dekat dapat menyebabkan ketidakpuasan dengan Universitas Sumatera Utara 20 kehidupan, dan mungkin diperlukan waktu yang cukup bagi orang untuk bangkit kembali dari dampak negatif yang dialaminya, seperti perceraian Lucas, dalam Diener 2008.

d. Pendidikan

Tidak terdapat hubungan antara tingkat inteligensi seseorang yang diperoleh dari hasil tes IQ terhadap well-being secara umum, namun emotional intelligence dihubungkan secara konsisten terhadap well-being Furnham Petrides; Schutte et al., dalam Diener 2008.

e. Pekerjaan

Ketika orang menikmati pekerjaannya dan merasa bahwa itu bermakna dan penting, tidak berpengaruh apakah pekerjaan tersebut dibayar ataupun tidak dibayar, dia akan cenderung memiliki kepuasan hidup Wrzesniewski, dalam Diener, 2009. Ketika pekerjaan memburuk karena keadaan yang kurang mendukung, maka kepuasan hidup seseorang juga dapat menurun. Ketika seseorang memiliki tujuan penting dalam bekerja dan gagal mencapai tujuan tersebut maka hal ini juga dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam hidupnya. Kepuasan dalam bekerja juga dipengaruhi oleh masa bekerja seseorang dalam Seniati, 2006. Dimasa-masa awal bekerja, seseorang masih harus beradaptasi dengan lingkungan pekerjaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Boyd 2010 juga menunjukkan bahwa burn-out karena job Universitas Sumatera Utara 21 demands yang dilihat dari work load beban kerja dan work complexity kompleksitas pekerjaan berhubungan dengan calling seseorang, di mana semakin tinggi calling seseorang, makanya tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin kecil.

f. Kepuasan diri personal, kehidupan agama atau spiritual,

pembelajaran dan pertumbuhan, dan rekreasi Bagi banyak orang ini adalah sumber kepuasan. Ketika kepuasan diri personal tidak tercapai, maka individu dapat mengalami frustrasi dan menjadi sumber kuat pemicu ketidakpuasan. Selain itu, ada hal-hal lain yang menjadi sumber kepuasan dan ketidakpuasan, seperti kesehatan, dan lain-lain sesuai dengan keunikan setiap individu Ryff, 1989.

g. Tempramen dan Kepribadian

Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya peran temperamen dan kepribadian terhadap well-being. Penelitian membuktikan bahwa individu yang kembar identik menunjukkan kesamaan well- being yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang kembar fraternal Lykken Tellegen, dalam Diener Ryan, 2009. Kepribadian ekstrovert dan neurotik juga mempunyai hubungan yang konsisten terhadap well-being. Ekstrovert menunjukkan prediksi afek positif well-being, sementara neurotik menunjukkan korelasinya terhadap afek negatif dalam well-being Diener, Lucas Fujita, dalam Diener Ryan, 2009. Universitas Sumatera Utara 22

B. Calling Orientation

Sebelum membahas mengenai calling orientation dalam bekerja, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pemaknaan dari pekerjaan itu sendiri. Menurut Pratt dan Ashfort dalam Rosso 2010, pemaknaan bekerja adalah hasil pemaknaan terhadap sesuatu sebagaimana individu menginterpretasikan makna pekerjaannya, atau sumbangsih dari pekerjaannya dalam konteks kehidupannya misalnya: pekerjaan adalah gaji, calling, sesuatu yang dilakukan, suatu paksaan. Persepsi mengenai pemaknaan bekerja sangat ditentukan oleh masing-masing individu, meskipun hal tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan dan konteks sosial Wrzesniewski dkk, 2003. Fakta bahwa suatu bagian dari pekerjaan memiliki arti tertentu bukan berarti langsung menentukan bahwa pekerjaan tersebut memiliki kebermaknaan pada seseorang. Kebermaknaan mengacu pada jumlah hal yang signifikan bagi seseorang Pratt Ashfort dalam Rosso, 2010. Jumlah persepsi atau perasaan signifikan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda pada seseorang dengan individu lainnya. Kebermaknaan kerja cenderung diasosiasikan dengan hal yang signifikan memberi peranan positif bagi seseorang. Orientasi kerja berfungsi untuk melihat bagaimana keyakinan individu bahwa pekerjaan mempengaruhi pemaknaan mereka dalam pekerjaannya Bellah, Madsen, Sullivan, Swidler, Tipton; Wrzesniewski, dalam Rosso 2010. Ada tiga orientasi individu dalam bekerja, yaitu bekerja dengan job orientation, bekerja dengan career orientation, dan bekerja dengan calling orientation. Universitas Sumatera Utara 23 Salah satu hal yang mempengaruhi orientasi seseorang dalam bekerja menurut Dubin dalam Rosso, 2008 adalah keyakinannya terhadap pekerjaan itu sendiri. Memenuhi calling berarti adanya keyakinan pribadi yang signifikan terhadap pekerjaannya Elangovant dalam Hagmaier Abele, 2012. Individu yang bekerja dengan calling orientation adalah individu yang merasa ada panggilan yang harus dipenuhi pada pekerjaannya, menikmati dan memaknai pekerjaannya secara intrinsik, dan melihat pekerjaannya sebagai pusat identitasnya Wrzesniewski, dalam Duffy 2013. Sedangkan menurut Wrzesniewski, McCauley, Rozin, Schawrtz 1997, calling merupakan pekerjaan yang sangat memuaskan seseorang dan diyakini bisa membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik. Berdasarkan pandangan tradisional, calling bermula dari konsep teologi Kristen. Menurut tradisi i ni, individu ―dipanggil‖ oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan tertentu yang bertujuan untuk melayani Tuhan dan komunitasnya. Luther Calvin menyatakan bahwa Tuhan akan menunjukkan calling atau panggilan bagi individu, baik melalui bakat kemampuan tertentu yang dimilikinya maupun keadaan lingkungannya Wrzesniewski, Dekas, Rosso, 2009. Calvin Luther dalam Hagmaier Abele, 2012 juga mengatakan bahwa calling merupakan konsep religius saat Tuhan memanggil seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan talenta dan keadaan lingkungannya. Pada konsep sekular, calling tidak terlalu dipengaruhi oleh aspek religiusitas, melainkan lebih berfokus pada pengalaman individu dalam Universitas Sumatera Utara 24 bekerja saat merasa dirinya terlibat, termotivasi secara intrinsik, dan pekerjaan yang dilakukannya juga dirasakan berdampak positif bagi area- area lainnya. Konsep calling juga lebih berorientasi pada eksplorasi diri pemenuhan kebutuhan Dobrow, 2006; Elangovan, Pinder, McLean, 2006; dan Wrzesniewski, McCauley, Rozin, Schwartz, 1997; dalam Wrzesniewski, Dekas, Rosso, 2009. Pandangan mengenai calling mungkin agak bergeser dari pandangan tradisional yang hanya ditemukan saat mengerjakan atau mencari jenis pekerjaan apapun yang diyakini seseorang dipanggil Tuhan untuk dikerjakan Wrzesniewski, Dekas, Rosso, Calling, 2009. Namun baik pada pandangan tradisional maupun pandangan modern, ada asumsi eksplisit bahwa calling berlaku untuk semua jenis pekerjaan, tidak bersifat khusus bagi pekerjaan yang dianggap orang lain layak Wrzesniewski, Dekas, Rosso, Calling, 2009. Dik Duffy dalam Duffy Dik, 2013 mengatakan bahwa calling merupakan suatu spektrum yang bersifat kontinium, yang artinya calling bukan berbicara mengenai ada atau tidak ada. Individu yang memiliki orientasi bekerja karena calling, tujuan utamanya dalam bekerja bukan untuk mendapatkan uang, namun untuk melakukan tugasnya dalam bekerja. Mereka juga cenderung melaporkan bahwa pekerjaan mereka memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Pada umumnya, individu dengan calling orientation akan memiliki penguatan yang lebih besar terhadap pekerjaannya karena Universitas Sumatera Utara 25 memperoleh kesenangan dan kepuasan yang lebih besar dari pekerjaannya Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, Schawrtz, 1997. Selain keuntungan yang diperoleh individu dalam bentuk kepuasan, bekerja dengan calling orientation memiliki harga yang harus dibayar. Individu akan mengalami perubahan perilaku, sikap dan emosional yang lebih besar yang ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menghabiskan waktu yang lebih banyak di tempat kerja dan memiliki kecenderungan untuk mengabaikan area-area aktivitas kehidupan yang lain Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, Schawrtz, 1997. Pada penelitian ini, individu yang memiliki calling orientation didefinisikan sebagai individu yang menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya.

1. Dimensi Calling Orientation

Menurut Hagmaier dan Abele 2012, ada beberapa dimensi yang terdapat dalam calling orientation, diantaranya:

a. Trancendent Guiding Force

Merupakan suatu panggilan yang didapatkan seseorang karena adanya kekuatan yang lebih besar ataupun panggilan internal yang mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Universitas Sumatera Utara 26

b. Person-Environment-Fit

Kondisi di mana terjadi kesesuaian kemampuan, bakat, dan kualifikasi seseorang dengan pekerjaan yang dilakukannya.

c. Sense and Meaning-Value Driven Behavior

Mengacu pada nilai-nilai moral dan etis yang mempengaruhi hal- hal yang berhubungan dengan perilaku, seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya serta bagaimana pemaknaan seseorang terhadap pekerjaannya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Calling Orientation

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat calling orientation seseorang dalam bekerja menurut Longman 2011:

a. Pengaruh Teologis atau “Keimanan”

Keyakinan atau prinsip yang berakar pada historis iman ke- Kristenan seperti tradisi gereja, peran gender tradisional. Seseorang yang memiliki konsep atau keyakinan teologis bahwa ia dipanggil secara spesifik untuk melakukan pekerjaan tertentu cenderung akan memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jaramillo 2011 yang mengatakan bahwa religiusitas berhubungan dengan well-being seseorang, di mana semakin tinggi religiusitas seseorang, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi. Universitas Sumatera Utara 27

b. Kondisi Keluarga atau Relasi dalam “Keluarga”

Dukungan atau penolakan keluarga atau orang-orang yang dipersepsikan individu sebagai keluarga kerabat atau teman akan mempengaruhi calling orientation karena akan menentukan sense of self dan kesempatan-kesempatan yang bisa diambil seseorang.

c. Kondisi Lingkungan

Aspek-aspek dalam lingkungan kondisi ekonomi, lokasi geografis, komunitas lokal, gereja, teman sebaya, lingkungan kerja, dan lain- lain akan mempengaruhi apakah seseorang bisa untuk bisa memaksimalkan calling yang dimilikinya.

d. Budaya

Keyakinan bersama dan ritual-ritual dalam kebudayaan akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan misalnya warisan kebudayaan.

3. Cara Menaikkan Calling Orientation

Sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Dik Duffy dalam Duffy Dik, 2013 bahwa calling merupakan suatu spektrum yang bersifat kontinum, artinya calling bisa mengalami kondisi naik dan turu. Berikut ini beberapa cara untuk menaikkan level calling seseorang, dinantaranya adalah:

a. Behavioral Involvement Keterlibatan Perilaku

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dobrow 2013, keterlibatan seseorang dalam hal-hal yang berhubungan untuk Universitas Sumatera Utara 28 meningkatkan calling-nya akan meningkatkan calling seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa musisi yang berada dalam sekolah musik memiliki calling yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

b. Social Encouragements Dorongan Sosial

Orang yang mendapatkan dukungan sosial dari sekelilingnya, seperti orangtua, guru, teman atau significant person yang lain akan memiliki tingkat calling yang lebih tinggi Dobrow, 2013.

C. Pemimpin Kelompok Kecil

1. Definisi Pemimpin Kelompok Kecil

Pemimpin dalam konteks Kekristenan berbeda dengan pemahaman kita sehari-hari. Kita sering mengasosiasikan bahwa seorang pemimpin adalah orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan atau orang yang mengepalai suatu perusahaan, atau mereka yang memiliki jabatan tertinggi dalam suatu institusi Sendjaya, 2012. Pemimpin dianggap sebagai orang yang menggunakan kedudukan untuk melindungi diri sendiri, memperoleh status pribadi dan kekuasaan orang lain Barker, 2000. Sebaliknya, orang Kristen berbicara tentang pemimpin yang menjadi hamba Barker, 2000. Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan adalah sebuah fungsi Sendjaya, 2012. Pemimpin Kelompok Kecil adalah seseorang yang mau mengambil resiko untuk melayani kelompoknya. Kelompok kecil yang tidak mempunyai pemimpin akan sukar bertumbuh. Kepemimpinan dalam Universitas Sumatera Utara 29 kelompok kecil adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk menolong kelompok mencapai tujuannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota Barker, 2010. Dalam kelompok kecil, pemimpin melayani kelompok dengan cara mengajukan usul-usul untuk perjanjian kelompok, mengambil inisiatif untuk mengadakan aktivitas agar anggota kelompok mengenal satu sama lain, memberikan dorongan kepada anggota kelompok untuk memimpin dan menggunakan kemampuan mereka dengan cara memberikan kesempatan untuk melayani kelompoknya dengan menyanyi, memimpin Pemahaman Alkitab, dsb, serta menentukan harapan-harapan kelompok Barker, 2010.

2. Peran Seorang Pemimpin Kelompok Kecil

Barker 2000, dalam bukunya yang berjudul Buku Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil mengatakan bahwa pemimpin kelompok kecil memiliki peran-peran sebagai berikut:

a. Peranan dalam Kepemimpinan

Sebagai seorang pemimpin, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: Pertama, kebutuhan setiap anggota kelompok. Setiap anggota kelompok, termasuk pemimpin , mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri secara khusus. Pemimpin kelompok harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Jika tidak, anggota kelompok akan meninggalkan kelompok tersebut. Universitas Sumatera Utara 30 Kedua, kebutuhan akan adanya tugas. Kelompok dapat melakukan penggalian terhadap Alkitab, melakukan pekabaran Injil, menolong satu dengan yang lain, dan sebagainya. Setiap kegiatan tersebut dilakukan secara bergantian sesuai kebutuhan dan agar anggota kelompok tidak merasa bosan. Setiap anggota perlu mengetahui apa yang menjadi tugasnya. Ketiga, kebutuhan akan pemeliharaan kelompok. Tidak hanya kebutuhan pribadi anggota kelompok yang harus diperhatikan, tetapi kebutuhan kelompok juga. Ada saat untuk bersenang-senang, ada saat untuk menghadapi konflik, dan ada saat untuk mengevaluasi kelompok i. Peranan Pemimpin dalam Tugas 1 Pemberi informasi dan opini 2 Pencari informasi dan opini 3 Pemrakarsa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok 4 Pengarah yang memusatkan perhatian kelompok terhadap pekerjaan yang harus dilakukan dan cara menyelesaikannya 5 Pembuat ringkasan hal-hal pokok yang telah dibicarakan dalam diskusi kelompok 6 Koordinator yang berfungsi menyelaraskan kegiatan- kegiatan yang dilakukan oleh para anggota kelompok Universitas Sumatera Utara 31 7 Pembuat diagnosa yang menganalisa masalah-masalah yang dihadapi kelompok dalam menjalankan suatu tugas untuk mencapai tujuan 8 Pemberi semangat 9 Penguji yang merangsang kelompok untuk memikirkan manfaat dan kemungkinan lain dari usulan-usulan yang telah diberikan anggota kelompok 10 Penilai yang memperkirakan seberapa jauh kelompok telah berhasil mencapai tujuannya ii. Peranan Pemimpin dalam Pemeliharaan Kelompok 1 Pendorong partisipasi anggota 2 Pencipta keharmonisan dan kesepakatan 3 Mengurangi ketegangan 4 Penolong dalam komunikasi 5 Penilai keadaan emosi 6 Pengamat proses 7 Penentu standar 8 Pendengar yang aktif 9 Pembangun kepercayaan 10 Menyelesaikan masalah atau konflik antar pribadi

D. Dinamika Calling Orientation Terhadap Well-Being pada PKK

Istilah well-being mengacu pada kualitas keberfungsian seseorang, baik itu pengalaman subjektif yang bersifat emosional maupun Universitas Sumatera Utara 32 pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan Waterman, 2007. Waterman 1993 membedakan well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna. Sementara itu, hedonic well-being merupakan kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu, terlepas dari apakah aktivitas tersebut berhubungan dengan pengembangan potensi dirinya atau tidak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi well-being seseorang, diantaranya jenis kelamin Diener, Such, Lucas, Smith dalam Diener, 2008; Ryff 1989; Jaramillo 2011, usia Ryff, 1989; hubungan sosial Helliwell, Barrington-Leigh, Harris Huang, dalam Diener, 2008, pendidikan Furnham Petrides; Schutte dan koleganya, dalam Diener 2008, kepuasan diri personal Ryff, 1989, tempramen atau kepribadian Diener, Lucas, Fujita, dalam Diener Ryan, 2009, dan pekerjaan Wrzesniewski, dalam Diener, 2009; Boyd 2010. Penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989 pada sampel orang dewasa dengan berbagai latar belakang untuk melihat tingkat well-being mereka, menunjukkan adanya perbedaan well-being jika ditinjau dari jenis kelamin. Jika ditinjau dari segi kelompok usia, penelitian yang dilakukan oleh Ryff 1989 mengatakan bahwa terdapat perbedaan well-being sesuai dengan kelompok usia, di mana subjek yang berada pada kelompok usia Universitas Sumatera Utara 33 dewasa madya dan dewasa akhir, memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa muda. Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi well-being seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Bowling Hammond dalam Jaramillo, 2011 menunjukkan bahwa kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya mempengaruhi well-being seseorang. Lebih lanjut, Kwok dan koleganya mengatakan bahwa motivasi pekerja voluntir berhubungan dengan well-being seseorang Kwok, Chui, Wong, 2013, di mana semakin tingggi motivasinya, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi. Seniati 2006 mengatakan bahwa kepuasan kerja seseorang yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being juga dipengaruhi oleh masa bekerja seseorang. Wrzesniewski dalam Diener, 2009 mengatakan bahwa orang yang memiliki well-being yang lebih tinggi dalam pekerjaannya adalah orang yang bekerja karena calling orienation. Saat seseorang bekerja karena calling orientation, tidak berpengaruh apakah pekerjaan tersebut dibayar ataupun tidak dibayar, dia akan cenderung memiliki kepuasan hidup dan memiliki well-being yang lebih tinggi. Diener 2008 mengatakan bahwa secara umum, orang yang memiliki religiusitas yang tinggi akan memiliki well-being yang tinggi pula. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jaramillo 2011. Religiusitas atau agama merupakan sejumlah aktivitas yang menjadi gaya hidup seseorang, yaitu tujuan, hasrat, gairah, dan komitmen yang dimilikinya Dykstra, dalam Nelson, 2009. Aktivitas tersebut dapat Universitas Sumatera Utara 34 dimanifestaskan dalam bentuk kegiatan-kegiatan rohani yang didalamnya tercakup berdoa, penyembahan, dan meditasi Glock Starck, dalam Nelson, 2009. Pada penelitian ini, kegiatan rohani yang difokuskan adalah yang dilakukan di kampus dalam bentuk Kelompok Kecil. Forsyth, dalam Aamodt, 2007 mengatakan bahwa kelompok kecil terdiri dari 4-20 orang. Pada penelitian ini, Kelompok Kecil diwadahi oleh suatu organisasi Kristen dalam kampus yang didalamnya terdiri dari Anggota Kelompok Kecil dan Pemimpin Kelompok Kecil. Seorang Pemimpin Kelompok Kecil adalah orang yang bertanggungjawab untuk mengarahkan dan membina Anggota Kelompok Kecil AKK yang dipimpinnya yaitu dengan memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya Whallon, dalam Our Heritage, 2006. Gosling, Marturano, dan Dennison 2003 menyebut kepempinan yang seperti ini sebagai kepemimpinan yang melayani servant leadership. PKK merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela tanpa mendapatkan uang maupun adanya peningkatan karir, sehingga jika ditinjau dari tiga orientasi kerja yang dikemukakan oleh Wrzesniewski dalam Diener, 2008, pekerjaan yang dilakukan oleh PKK adalah karena calling orientation yaitu orang yang bekerja karena panggilan jiwa. Individu yang bekerja dengan calling orientation didefinisikan sebagai individu yang merasa ada panggilan yang harus dipenuhi pada pekerjaannya, menikmati dan memaknai pekerjaannya secara intrinsik, dan melihat pekerjaannya sebagai pusat identitasnya Wrzesniewski, dalam Duffy, 2013. Hagmaier Abele, 2012 mengatakan bahwa bekerja Universitas Sumatera Utara 35 karena calling berarti individu tersebut menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya. Semakin tinggi calling seseorang dalam bekerja, maka well-being- nya juga akan semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Boyd 2010, bahwa burn-out karena job demands yang dilihat dari work load beban kerja dan work complexity kompleksitas pekerjaan berhubungan dengan calling seseorang, di mana semakin tinggi calling seseorang, maka tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin kecil, dan kepuasan kerjanya akan cenderung lebih besar. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being seseorang Kwok, Chui, Wong, 2013. Wrzesniewski dalam Diener, 2008 mengatakan bahwa orang yang memiliki orientasi bekerja karena calling cenderung akan menjadi orang yang terlibat intens dan menghabiskan waktu yang lebih banyak melakukan pekerjaannya. Wrzesniewski dalam Diener, 2009 juga mengatakan bahwa saat seseorang bekerja karena calling orientation, tidak berpengaruh apakah pekerjaan tersebut dibayar ataupun tidak dibayar, dia akan cenderung memiliki kepuasan hidup dan memiliki well-being yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara 36

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: a. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic well- being pada PKK di UKM KMK USU. b. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap hedonic well- being pada PKK di UKM KMK USU. c. Ha : Ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic well- being pada PKK di UKM KMK USU. d. Ha : Ada pengaruhcalling orientation terhadap hedonic well-being pada PKK di UKM KMK USU Universitas Sumatera Utara 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif pengaruh yang bertujuan untuk melihat pengaruh tinggi rendahnya calling orientation PKK terhadap tinggi rendahnya well-being yang dimilikinya.

A. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini ada dua variabel yang akan diuji yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel-variabel yang akan diukur adalah sebagai berikut: a. Variabel Tergantung DV : Well-being b. Variabel Bebas IV : Calling orientation dalam bekerja

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Well-Being

Well-being dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic well- being diartikan sebagai suatu kondisi subjektif saat individu menyatakan bahwa ia menikmati aktivitas yang berperan dalam pencapaian potensinya. Sedangkan hedonic well-being diartikan sebagai kondisi di mana seseorang menikmati aktivitasnya dan Universitas Sumatera Utara 38 merasakan bahwa apa yang dilakukannya membawa rasa senang dan puas dalam hidupnya ditandai dengan pernyataan kesetujuannya terhadap hal tersebut.

2. Calling Orientation dalam Bekerja