Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat

BAB III PENERAPAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJABURUH DARI PERSPEKTIF UU NO. 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJASERIKAT BURUH STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2014 KPid.Sus2012 dan PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1038 KPid.Sus2009

A. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat

PekerjaBuruh Dari Perspektif UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskilllabour, sehingga posisi tawar mereka menjadi rendah. 106 Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang-wenang kepada pekerjaburuhnya. Buruh dipandang sebagai objek. Buruh dianggap sebagai faktor ekstern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutif yang menjadikan perusahaan. 107 106 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan...Op.Cit., hal. 75 107 Ibid, hal. 76 Posisi pekerjaburuh yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya serikat pekerjaserikat buruh yang ada di perusahaan, tujuannya adalah untuk menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Buruh berhak atas jaminan perlindungan hak berserikat yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Pemberian perlindungan terhadap hak berserikat kenyataannya tergantung dari kebijakan pemerintahnya. 108 Kewajiban negara untuk memberikan atas jaminan perlindungan hak berserikat telah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 109 dan pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan dalam melindungi kebebasan membentuk serikat pekerjaburuh dengan meratifikasi dua konvensi ILO menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional yaitu konvensi ILO No. 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi disebut juga C.87, yang diratifikasi melalui Keppres RI No. 83 Tahun 1998 jo. Konvensi ILO No. 98 tahun 1949 tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan Bersama disebut juga C.98, yang diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 18 Tahun 1956 110 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kebebasan berserikat merupakan salah satu Hak Asasi Manusia, dimana Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan Yang Maha . Kedua konvensi tersebut merupakan konvensi inti yang mengatur hak berserikat pekerjaburuh. 108 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan...Op.Cit., hal.152. 109 Pasal 28 UUD 1945, bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Serta Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. 110 C.87 jo. C.98 memberikan prinsip dasar bagi pekerjaburuh untuk melaksanakan hak berserikatnya melalui: a. Jaminan kebebasan berserikat tanpa perbedaan apapun; b. Kebebasan berserikat tanpa izin terlebih dahulu; c. Kebebasan memilih; d. Kebebasan organisasi untuk berfungsi: menjamin kerangka kegiatan, administrasi, aktivitas dan program; e. Hak untuk mengorganisasi; f. Perundingan dan kesepakatan kolektif; g. Hak-hak dan kemerdekaan sipil serikat pekerja. Esa 111 , serta tidak dapat diambil atau dihilangkan oleh siapapun juga. Serikat pekerjaserikat buruh merupakan hak yang melekat bagi para pekerjaburuh. Pengaturan hak atas kebebasan berserikat seperti yang terwujud dalam ketentuan UUD 1945, tercantum pula dalam ketentuan pasal 20 “Universal Declaration of Human Rights 1948”. Ketentuan pasal ini menyatakan; “Everyone has the rights to freedom of peaceful assembly and association and no one may be compelled to belong an association”. Hal ini berarti bahwa hak atas kebebasan berserikat bukan saja merupakan substansi hak asasi manusia semata-mata, tapi juga sudah menjadi hukum positif karena mendapat pengakuan dalam konstitusi negara. 112 Perlunya perlindungan terhadap kebebasan membentuk serikat pekerjaserikat buruh didasarkan pula pada tujuan dan fungsi serikat pekerjaserikat buruh itu sendiri. Pada dasarnya hak atas kebebasan berserikat yang diwujudkan dalam bentuk serikat pekerja dalam hubungan industrial mempunyai dua fungsi pokok. Pertama, berfungsi untuk melindungi pekerja dengan ikut berperan menetapkan standar-standar minimum tentang upah, kesehatan kerja, jaminan sosial dan jam kerja bagi pekerja. Kedua, mengatur hubungan kerja antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah dengan jalan menetapkan peraturan dalam bentuk KKB Kesepakatan Kerja Bersama, dengan tujuan merubah peran pekerja dari yang semula sebagai suatu obyek menjadi mitra kerja dalam proses produksi. 113 111 I Dewa Gede Atmadja, Malang: Hukum Konstitusi, Setara Press, 2009, hal.189. 112 Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: Mandar Maju, 2004, hal.33. 113 Ibid, hal.173. Pada prakteknya, keaktifan pekerja dalam kegiatan serikat pekerja merupakan senjata yang pertama yang digunakan untuk memperjuangkan hak-hak pekerja dan untuk mengangkat posisi mereka sejajar dengan pengusaha. 114 Cara- cara yang ditempuh melalui serikat pekerja, biasanya dilakukan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan pada pengusaha pada saat merundingkan KKB, 115 pemogokan untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, 116 serta melakukan unjuk rasa dan pernyataan solidaritas terhadap sesama pekerja yang mendapat tekanan dan atau perlakuan yang tidak baik dari pengusaha. 117 Terkait fungsi serikat pekerjaserikat buruh bagi perjuangan hak-haknya, apabila terdapat pihak-pihak yang melarang para pekerjaburuh untuk berserikat Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerjaserikat buruh merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. 114 Ibid, hal. 161. 115 KKB Kesepakatan Kerja Bersama ini merupakan rumusan persyaratan kerja yang dibuat melalui perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha. Ini berarti bahwa Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1956 yang merupakan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Kebebasan Berorganisasi dan Berunding Bersama, mengandung makna bahwa kebebasan berserikat bagi pekerja disertai pula dengan hak berunding untuk membuat KKB, tujuannya untuk merumuskan syarat-syarat kerja atau pengaturan hak dan kewajiban yang tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. 116 Pemogokan sebagai senjata kedua untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, timbul karena tersumbatnya komunikasi di antara pekerja dengan pengusaha. Akibatnya muncul rasa ketidakpuasan terhadap penguasa berkenaan dengan hak-haknya sebagai pekerja. Di indonesia hak untuk mogok dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Hak mogok digunakan sebagai upaya terakhir apabila diantara serikat pekerja dengan pengusaha tidak terdapat kesepakatan, sedang pekerja tidak melihat jalan lain untuk mewujudkan tuntutannya. Dari sudut pandang yang demikian ini dapat ditafsirkan bahwa hak mogok merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dan dianggap selalu melekat pada hak berserikat bagi pekerja. 117 Cara ketiga yang dilakukan pekerja untuk menarik perhatian intelektual biasanya diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa dan pernyataan solidaritas, terhadap sesama pekerja yang mendapat tekanan dan atau perlakuan yang tidak baik dari pengusaha. Di sisi ini terlihat penggunaan hak atas kebebasan berserikat bagi pekerja yang diwujudkan dalam bentuk serikat pekerja, sangat bermanfaat untuk membangun opini masyarakat, terutama dari kalangan intelektual untuk ikut bersimpati pada perjuangan mereka. maka hal tersebut dapat merugikan para pekerjaburuh karena tidak ada wadah bagi para pekerjaburuh untuk melindungi dan memperjuangkan hak-haknya. Pekerjaburuh tidak dapat merundingkan Kesepakatan Kerja Bersama KKB yang dibuat pengusaha atau tidak dapat menggerakkan massa untuk melakukan pemogokan kerja ataupun unjuk rasa untuk memperjuangkan hak-hak pekerjaburuh yang disalahgunakan oleh pengusaha, baik dari segi upah, pemberian jaminan sosial, kesehatan, atau yang lainnya terkait hal-hal yang berhak diterima pekerjaburuh. Fungsi tersebut tidak dapat berjalan dilakukan secara individual atau perseorangan. Dampak dari tidak berjalannya fungsi serikat pekerjaserikat buruh tidak hanya dirasakan oleh pekerjaburuh itu sendiri melainkan juga berdampak terhadap kesejahteraan keluarga pekerjaburuh yang tidak semakin membaik. Perbuatan yang melarang pekerjaburuh untuk membentuk serikat pekerjaserikat buruh dengan berbagai cara merupakan perbuatan yang merugikan pekerjaburuh karena hak asasinya tidak terpenuhi, sehingga patutlah Pemerintah Indonesia mengatasi masalah kebebasan berserikat pekerjaburuh ini dengan mengeluarkan suatu kebijakan hukum pidana yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 mengatur mengenai berbagai aspek dalam serikat pekerjaserikat buruh, termasuk mengatur perlindungan kebebasan dibentuknya serikat pekerjaserikat buruh. Pasal 28 menyatakan bahwa: “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerjaburuh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota danatau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerjaserikat buruh dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerjaburuh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerjaserikat buruh”. Maka apabila ada yang melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut maka perbuatan tersebut dikatakan sebagai kejahatan yang akan dikenakan ketentuan pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 43 UU Serikat PekerjaSerikat Buruh, yaitu “Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerjaburuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 satu dan paling lama 5 lima tahun danatau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah”. Penjatuhan pidananya bersifat alternatif kumulatif, artinya hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana alternatifmemilih dan kumulatifmenggabungkan antara pidana penjara dengan pidana denda.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perburuhan