masyarakat terkhusus untuk pekerjaburuh, dan mahasiswamengenai salah satu hak dasar pekerjaburuh yaitu bebas membentuk serikat
pekerjaserikat buruh serta mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerjaburuh.
E. Keaslian Penulisan
Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama. Dengan demikian,
karya ilmiah berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat PekerjaBuruh Dari Perspektif UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat
PekerjaSerikat Buruh Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 KPid.Sus2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 KPid.Sus2009” merupakan karya asli
penulis dan bukan hasil ciptaan orang lain atau hasil meniru karya ilmiah orang lain. Karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun
ilmiah apabila dikemudian hari ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.
17
Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda
KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu.
18
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”,
sedang “feit” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum”.
19
Strafbaarfeit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf
diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.
20
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh
sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.
21
17
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hal. 101
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grarafindo Persada, 2002, hal.67
19
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal.181
20
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.69
21
Tongat, Op.Cit., hal.101
Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai
istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:
1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang
Dasar Sementara UUDS tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14. 2.
Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil. 3.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen. 4.
Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. 5.
Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dan
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak
pidana yang merupakan kejahatan.
22
Mengenai definisi strafbaarfeit dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, yakni:
22
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenamamedia Group, 2014, hal.36
1. VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-
undang. 2.
Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak- hak orang lain.
3. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatantindakan yang dapat dihukum.
23
Teguh Prasetyo, dalam bukunya berjudul Hukum Pidana, mengatakan bahwa biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”
24
Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan kata strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan
pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa arti strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai
kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab. Sementaramenurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
25
23
Ibid, hal.37
24
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal.47
25
Tongat, Op.Cit., hal.103
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang
berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana; melainkan merupakan
bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.
26
Hal ini menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau
mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian kesalahan.
27
1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal
yang konkret padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak yang
menunjukkan pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa
matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain.
Moeljatno, di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan pidana juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana
merupakan suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut:
2. Sementara itu, pada istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak
menunjukkan pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan konkret, seperti
26
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Indonesia, 2013, hal.58
27
Tongat, Op.cit. hal.103
kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak.
28
Terkait penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan
dipahami maknanya.
29
1. Pandangan Monistis
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut maka secara doctrinal, dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu
pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat
dari perbuatan
30
atau dapat disebut juga sebagai pandangan monisme, yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan
unsur-unsur mengenai diri orangnya.
31
Penganut monistis tidak secara tegas antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Paham monistis ini tidak
membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur
tindak pidana. Aliran ini memandang bahwa strafbaarfeit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam
strafbaarfeit selalu adanya si pembuat orangnya yang dipidana. Oleh
28
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.72.
29
Tongat, Op.Cit., hal.102.
30
Ibid, hal.105.
31
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.75.
karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak
pidana pada perbuatan dengan syarat dipidana pada orang tidak dipisah sebagaimana paham dualisme.
32
2. Pandangan Dualistis
Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act
perbuatan yang dilarang, dan criminal responbilitypertanggungjawaban pidanakesalahan tidak menjadi unsur
tindak pidana. Menurut pandangan ini, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga
adanya kesalahanpertanggungjawaban pidana.
33
Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang
artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan adanya pembuatnya atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan
demikian, kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan
tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP
34
32
Ibid, hal.76.
33
Tongat, Op.Cit., hal.106.
34
Pasal 44 KUHP: 1 Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah
akal tidak boleh dihukum. 2 Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
yang tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti
untuk memidana seseorang, pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana.
35
Terhadap kedua aliran tersebut maka akan timbul pertanyaan aliran mana yang benar dan mana yang salah. Soedarto berpendapat, sama benarnya dan tidak
perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.
36
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak
pidana. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana strafbaar feit.
37
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
38
1. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Terdiri dari: a.
Sifat melanggar hukum atau melawan hukum. b.
Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
35
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 74.
36
Ibid, hal.76.
37
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit., hal.39.
38
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal.193.
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 396 KUHP.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
39
Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur objektif terdiri dari: 1.
Perbuatan manusia berupa: a.
Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut perbuatan positif.
b. Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.
Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.
2. Akibat result perbuatan manusia
Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau
merusakmenghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milikharta
benda, kehormatan, dan lain sebagainya. 3.
Keadaan the circumstences Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
39
Ibid, hal.194.
Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
40
2. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku. Terdiri dari: a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. b.
Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
41
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Dari
rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku;
40
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum Delik, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal.7.
41
P.A.F. Lamintang,Op.Cit, hal.193.
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dianut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur
objektif.
42
2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut Criminal Policy. Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal”
43
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” Inggris atau “politiek” Belanda. Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah
“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering
42
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.81.
43
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008,
hal.50.
dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.
44
Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by
society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social
reaction to crime. Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
45
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
46
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
47
44
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana Media Grup, 2008, hal.22.
45
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.13.
46
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.22.
47
Ibid, hal 23
Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasardari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan
c. Dalam arti paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Jespen, ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma
sentral dari masyarakat.
48
Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
49
Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan pada
uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik”.Usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga
48
Ibid, hal.1
49
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Op.Cit, hal.12
merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan
penanggulan kejahatan dengan hukum pidana”
50
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal penerapan hukum pidana dan pendekatan
nonpenal pendekatan di luar hukum pidana.
51
a. Penerapan hukum pidana criminal law application,
Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana,
sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.
Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment, dan
c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat mass media influencing views of society on crime and punishmentmass media.
52
Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.
Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana nonpenal karena bersifat lebih preventif
53
50
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 23
51
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.51
52
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.40
53
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana, 2007, hal.78
, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Pernyataan
diatas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
54
Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit
dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal
berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.
55
Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi indentik dengan
kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek
pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
56
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana penal policy dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”
atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
54
Mahmud Mulyadi, Op.Cit., hal 55
55
Ibid, hal.57
56
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.44
untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.
57
Terhadap kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial.
58
a. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif;
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana penal policy dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap yaitu:
b. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif;
c. Tahap eksekutif atau kebijakan administratif.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap
aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau
kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
59
3. Pengertian PekerjaBuruh dan Kebebasan Berserikat PekerjaBuruh
57
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, hal.18
58
Ibid, hal.19
59
Ibid, hal.22
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhanketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman
penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan
pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.
60
Setelah bangsa Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada
orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1a Undang-Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan yakni buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah
buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana diusulkan pemerintah Depnaker pada kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah
karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah
pihak lain yakni majikan. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya diganti dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD
1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif.
61
60
Lalu Husni, Op.Cit, hal.45
61
Ibid.
Dengan diundangkannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah
pekerjaburuh. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerjaburuh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain” Pasal 1 angka 2.
62
a. Setiap orang yang bekerja angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja
tetapi harus bekerja Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa
unsur yang melekat dari istilah pekerjaburuh yaitu:
b. Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan
pekerjaan tersebut.
63
Perumusan yang umum, yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1957 adalah bahwaburuh adalah
“barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.”
64
Perluasan arti kata buruh secara umum, tidak hanya terbatas pada seseorang yang belum bekerja pada orang lain magang, murid atau seseorang
yang melakukan pekerjaan tetapi tidak dalam hubungan kerja pemborong pekerjaan sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan, tetapi juga
meliputi mereka yang karena sesuatu tidak melakukan pekerjaan para Menurut Undang-
Undang Kecelakaan tahun 1947 buruh ialah “Tiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, dengan menerima
upah.”
62
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.19.
63
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: USU Press, 2010, hal.6.
64
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 2003, hal.36
pengangguran atau karena usia tinggi tidak mampu lagi melakukan pekerjaan pensiun.
65
Walaupun perumusannya agak berlain-lainan, pada dasarnya memuat unsur yang sama, yaitu seseorang yang bekerja pada orang lain atau badan dengan
menerima upah.
66
Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun
tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 dengan
Undang-Undang No.18 Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar hak Berorganisasi dan Berunding Bersama.
67
Pada rentang waktu yang cukup lama, melihat perlunya payung hukum terhadap perlindungan hak pekerjaburuh mengenai pembentukan serikat
pekerjaserikat buruh maka pada akhirnya pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh.Serikat
Pekerjaserikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerjaburuh, baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerjaburuh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerjaburuh dan keluarganya Pasal 1 angka 17
65
Ibid, hal.37
66
Ibid, hal.36
67
Lalu Husni, Op.Cit, hal.49
Undang-Undang No.23 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh.
68
a. Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya serikat pekerjaserikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerjaserikat buruh tidak di bawah pengaruh dan tekanan dari
pihak lain. Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu serikat
pekerjaserikat buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000.
b. Terbuka, bahwa serikat pekerjaserikat buruh, federasi, dan konfederasi
serikat pekerjaserikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerjaburuh tidak membedakan aliran politik, agama,
suka bangsa, dan jenis kelamin. c.
Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak
lain di luar organisasi. d.
Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi
dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi. e.
Bertanggung jawab, bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan kewajibannya serikat pekerjaserikat buruh, federasi, dan konfederasi
68
Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.20. Pengertian serikat pekerjaserikat buruh dapat juga dilihat dari Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial PPHI. UU PPHI memiliki pengertian yang sama mengenai serikat pekerjaserikat buruh dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat PekerjaSerikat Buruh.
serikat pekerjaserikat buurh bertanggung jawab kepada anggota, masyarakat, dan negara.
69
Undang-Undang No.21 Tahun 2000 membagi serikat pekerjaserikat buruh itu menjadi serikat pekerjaserikat buruh di perusahaan dan serikat pekerjaserikat
buruh di luar perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerjaburuh di perusahaan adalah serikat
pekerjaserikat buruh yang didirikan oleh para pekerjaburuh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerjaserikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerjaserikat buruh yang didirikan oleh pekerjaburuh yang
bekerja di luar perusahaan.
70
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yuridis normatif. Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut
sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktiner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada
peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada
perpustakaan.
69
Penjelasan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh.
70
Asri Wijayanti, Op.Cit, hal.87.
Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta
mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2.
Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder tersebut meliputi: a.
Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa peraturan
perundang-undangan seperti UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan, UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek, UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat
Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi ILO, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP.
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen atau bahan yang memberi
informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 2014 KPid.Sus2012, Putusan Mahkamah
Agung No. 1038 KPid.Sus2009, buku-buku, jurnal, makalah, surat kabar, internet, dan lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan studi kepustakaan library research yaitu penelitian yang digunakan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau literatur yang berkaitan dengan permasalahan skripsi seperti buku-buku, artikel, makalah, dan berita yang diperoleh dari internet
dengan tujuan untuk memperoleh bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak pidana kebebasan berserikat pekerjaburuh.
4. Analisis Data
Secara umum terdapat 2 dua metode analisis data yaitu metode kualitatif dan metode kuantitaif. Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah analisis data kualitatif yaitu apa yang diperoleh dari penelitian dipelajari secara menyeluruh untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dalam skripsi
ini.
H. Sistematika Penulisan