BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, yakni:
1. Berbagai tindak pidana yang terjadi di bidang ketenagakerjaan, yang
menimpa dan merugikan hak-hak pekerjaburuh, harus mendapat perhatian dari pemerintah mengenai cara atau usaha perlindungan pekerjaburuh
terhadap kesewenangan yang dilakukan oleh para pengusaha. Penerapan kebijakan hukum pidana dipilih pemerintah Indonesia sebagai salah satu
upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan, karena penggunaan kebijakan hukum pidana diharapkan dapat mengatasi
maraknya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dan dapat menjadi upaya penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan. Penerapan kebijakan hukum
pidana diharapkan dapat melindungi pekerjaburuh dalam melakukan pekerjaannya sehingga dapat tercipta kesejahteraan dan keadilan sosial serta
perlindungan hukum bagi kaum pekerjaburuh. Demi mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial serta perlindungan hukum
bagi kaum pekerjaburuh, pemerintah menggunakan kebijakan hukum pidana dengan menciptakan dan menerapkan berbagai peraturan perundang-
undangan yang bersifat mengatur, melindungi, dan mengikat pihak pengusaha dan pekerjaburuh baik dari segi hak dan kewajiban sehingga peraturan
perundang-undangan tersebut menjadi payung hukum terhadap hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan pekerjaburuh.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dicantumkan pula ketentuan pidana atau
sanksi pidana yang berlaku bagi pengusaha yang melakukan tindak pidana terhadap pekerjaburuh atau melanggar kewajiban yang seharusnya
dilakukan.Ketentuan pidana yang tercantum dapat berupa pidana administrasi, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana badanpenjara, yang
tertera ditetapkan pula batas minimum dan maksimum terhadap penjatuhan pidanasanksi tersebut.
Penerapan kebijakan hukum pidana dalam bentuk peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah,
diantaranya secara garis besar mengatur mengenai: a.
Keselamatan kerja para pekerjaburuh yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
b. Kewajiban perusahaan untuk melapor mengenai pekerjaburuh di
perusahaan tersebut yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan
c. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jamsostek d.
Ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
e. Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yang
diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
2. Kebebasan berserikat merupakan hak dasar pekerjaburuh yang berhak
diberikan oleh para pengusaha, hal tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekerjaSerikat Buruh, bahwa
siapapun dilarang menghalang-halangi terbentuknya serikat pekerjaserikat buruh. Jika ada yang melanggar ketentuan tersebut maka dapat dikatakan
telah terjadi tindak pidana terhadap pekerjaburuh dalam hal kebebasan berserikat sehingga pelakunya dapat dipidana.
Terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerjaburuh diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Pada dasarnya penyelesaian sengketa
mengenai perburuhan dapat ditempuh melalui Pengadilan Hubungan Industrial dan melalui Sistem Peradilan Pidana. Pengadilan Hubungan
Industrial menyelesaikan sengketa perburuhan dalam lingkup perdata, artinya adalah terdapat unsur wanprestasi cedera janji dan perbuatan melawan
hukum terhadap perjanjian kerja yang telah disepakati, dimana perjanjian kerja merupakan undang-undang bagi pengusaha dan pekerjaburuh.
Sedangkan sengketa perburuhan yang diselesaikan melalui Sistem Peradilan Pidana merupakan perbuatan yang melawan tata hukum dan hak asasi, dalam
hal ini adalah melanggar hak asasi pekerjaburuh dalam membentuk serikat pekerjaserikat buruh yang pada dasarnya merupakan kehendak bebas para
pekerjaburuh.
Implementasi penerapan ketentuan pidana dalam tindak pidana kebebasan berserikat terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2014
KPid.Sus2012 dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 KPid.Sus2009. Kedua putusan tersebut merupakan bentuk penegakan hukum di bidang
kebebasan berserikat pekerjaburuh yang telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat PekeraSerikat Buruh. Dalam kedua putusan tersebut,
kedua terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 satu tahun dan 6 enam bulan penjara dan pidana denda pada terdakwa kasus pertama sebesar Rp
250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah. Putusan majelis hakim ini merupakan bentuk nyata penerapan kebijakan
hukum pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerjaburuh yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera kepada terdakwa dan menjadi
bukti nyata perlindungan hukum terhadap pekerjaburuh dari kesewenangan dan ketidakpatuhan para pengusaha terhadap aturan hukum yang telah dibuat
oleh pemerintah. Namun terhadap kebijakan hukum pidana yang diterapkan, korban harus cukup puas dengan pidana penjara dan pidana denda yang
diberikan kepada pelaku, artinya pembebanan pidana hanya ditujukan kepada pribadi pelaku saja, tidak ada pembebanan atau keharusan penggantian ganti
rugi dari pelaku kepada korban.
B. Saran