masyarakat terkhusus untuk pekerjaburuh, dan mahasiswamengenai salah satu hak dasar pekerjaburuh yaitu bebas membentuk serikat
pekerjaserikat buruh serta mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerjaburuh.
E. Keaslian Penulisan
Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama. Dengan demikian,
karya ilmiah berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat PekerjaBuruh Dari Perspektif UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat
PekerjaSerikat Buruh Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 KPid.Sus2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 KPid.Sus2009” merupakan karya asli
penulis dan bukan hasil ciptaan orang lain atau hasil meniru karya ilmiah orang lain. Karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun
ilmiah apabila dikemudian hari ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Istilah tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda.
17
Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda
KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu.
18
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”,
sedang “feit” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum”.
19
Strafbaarfeit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf
diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.
20
Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh
sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.
21
17
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hal. 101
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grarafindo Persada, 2002, hal.67
19
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal.181
20
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.69
21
Tongat, Op.Cit., hal.101
Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai
istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:
1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang
Dasar Sementara UUDS tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14. 2.
Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil. 3.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen. 4.
Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan. 5.
Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang
Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dan
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak
pidana yang merupakan kejahatan.
22
Mengenai definisi strafbaarfeit dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, yakni:
22
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenamamedia Group, 2014, hal.36
1. VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang-
undang. 2.
Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak- hak orang lain.
3. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatantindakan yang dapat dihukum.
23
Teguh Prasetyo, dalam bukunya berjudul Hukum Pidana, mengatakan bahwa biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”
24
Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan kata strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan
pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa arti strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai
kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab. Sementaramenurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
25
23
Ibid, hal.37
24
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal.47
25
Tongat, Op.Cit., hal.103
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang
berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana; melainkan merupakan
bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.
26
Hal ini menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau
mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian kesalahan.
27
1. Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal
yang konkret padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak yang
menunjukkan pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa
matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain.
Moeljatno, di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan pidana juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana
merupakan suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut:
2. Sementara itu, pada istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak
menunjukkan pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan konkret, seperti
26
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Indonesia, 2013, hal.58
27
Tongat, Op.cit. hal.103
kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, yang lebih dikenal dengan tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak.
28
Terkait penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan
dipahami maknanya.
29
1. Pandangan Monistis
Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut maka secara doctrinal, dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu
pandangan monistis dan pandangan dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat
dari perbuatan
30
atau dapat disebut juga sebagai pandangan monisme, yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan
unsur-unsur mengenai diri orangnya.
31
Penganut monistis tidak secara tegas antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Paham monistis ini tidak
membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur
tindak pidana. Aliran ini memandang bahwa strafbaarfeit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam
strafbaarfeit selalu adanya si pembuat orangnya yang dipidana. Oleh
28
Adami Chazawi, Op.Cit., hal.72.
29
Tongat, Op.Cit., hal.102.
30
Ibid, hal.105.
31
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.75.
karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak
pidana pada perbuatan dengan syarat dipidana pada orang tidak dipisah sebagaimana paham dualisme.
32
2. Pandangan Dualistis
Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act
perbuatan yang dilarang, dan criminal responbilitypertanggungjawaban pidanakesalahan tidak menjadi unsur
tindak pidana. Menurut pandangan ini, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga
adanya kesalahanpertanggungjawaban pidana.
33
Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang
artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan adanya pembuatnya atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan
demikian, kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan
tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP
34
32
Ibid, hal.76.
33
Tongat, Op.Cit., hal.106.
34
Pasal 44 KUHP: 1 Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah
akal tidak boleh dihukum. 2 Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
yang tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti
untuk memidana seseorang, pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana.
35
Terhadap kedua aliran tersebut maka akan timbul pertanyaan aliran mana yang benar dan mana yang salah. Soedarto berpendapat, sama benarnya dan tidak
perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.
36
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak
pidana. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana strafbaar feit.
37
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
38
1. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Terdiri dari: a.
Sifat melanggar hukum atau melawan hukum. b.
Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
35
Adami Chazawi, Op.Cit., hal 74.
36
Ibid, hal.76.
37
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Op.Cit., hal.39.
38
P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal.193.
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 396 KUHP.
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
39
Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur objektif terdiri dari: 1.
Perbuatan manusia berupa: a.
Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut perbuatan positif.
b. Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.
Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.
2. Akibat result perbuatan manusia
Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau
merusakmenghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milikharta
benda, kehormatan, dan lain sebagainya. 3.
Keadaan the circumstences Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
39
Ibid, hal.194.
Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
40
2. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku. Terdiri dari: a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa. b.
Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
41
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Dari
rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:
a. Unsur tingkah laku;
40
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum Delik, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal.7.
41
P.A.F. Lamintang,Op.Cit, hal.193.
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dianut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur
objektif.
42
2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan