menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota danatau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerjaserikat buruh
dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar
atau mengurangi upah pekerjaburuh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerjaserikat
buruh”. Maka apabila ada yang melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut
maka perbuatan tersebut dikatakan sebagai kejahatan yang akan dikenakan ketentuan pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 43 UU Serikat
PekerjaSerikat Buruh, yaitu “Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerjaburuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 1 satu dan paling lama 5 lima tahun danatau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak
Rp 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah”. Penjatuhan pidananya bersifat alternatif kumulatif, artinya hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana
alternatifmemilih dan kumulatifmenggabungkan antara pidana penjara dengan pidana denda.
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perburuhan
Setiap pertentangan atau ketidaksesuaian antara majikan dengan buruh mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, atau keadaan perburuhan dapat
dianggap sebagai suatu sengketa perburuhan atau perselisihan perburuhan atau lebih dikenal di Indonesia dengan perselisihan hubungan industrial. Hubungan
industrial merupakan interaksi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja dalam membina hubungan kerja yang seimbang dan harmonis. Payaman J. Simanjuntak
mengemukakan bahwa hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak
yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan, sedangkan Yunus Shamad merumuskan bahwa hubungan
industrial dapat diartikan sebagai suatu corak atau sistem pergaulan atau sikap dan perilaku yang terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa
yaitu pekerja, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat.
118
Istilah Hubungan Industrial yang sekarang digunakan di Indonesia merupakan terjemahan dari Industrial Relations Ing, dulu disebut dengan
Hubungan Perburuhan Labour Reactions, kemudian berubah menjadi Hubungan Perburuhan Pancasila, dan berubah lagi menjadi Hubungan Industrial Pancasila,
dan berakhir dengan istilah Hubungan Industrial. Terlepas dari penggunaan istilah hubungan industrial atau hubungan perburuhan, namun tujuannya sama yaitu
menciptakan hubungan yang seimbang dan harmonis. Akan tetapi dalam praktek hubungan kerja sehari-hari, terkadang timbul benturan atau perbedaan pendapat
karena berbagai penyebab, terutama berkaitan dengan persepsi pelaksanaan hubungan kerja, seperti persoalan upah, jaminan sosial, jam kerja, upah lembur,
kebebasan berserikat, fasilitas perusahaan, kesejahteraan buruh, dan lain-lain. Untuk mengatasi konflik tersebut maka dibuat perangkat hukum yang mengatur
tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang disebut dengan hukum acara peradilan.
119
Undang-undang yang dihasilkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berkenaan tentang penyelesaian perselisihan perburuhan diawali oleh Undang-
Undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
118
Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009, hal. 3
119
Ibid, hal.4
Perburuhan, yang kemudian dicabut dan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang diundangkan pada
8 April 1957 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 42 Tahun 1957 dengan judul yang sama.
120
Beberapa tahun kemudian, masih dalam rangka penyelesaian perselisihan perburuhan, dikeluarkan lagi Undang-Undang No. 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, undang- undang ini melengkapi Undang-Undang No. 22 Tahun 1957, mengingat undang-
undang tersebut hanya mengatur penyelesaian perselisihan antara majikan dan serikat buruh dan tidak mengatur perselisihan antara majikan dan buruh
perseorangan.
121
Puluhan tahun lamanya UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No. 12 Tahun 1964 ini berlaku, sampai akhirnya dicabut setelah pemerintah mensahkan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 6 pada
tanggal 14 Januari 2004. UU PPHI dinyatakan mulai berlaku tanggal 14 Januari 2006 oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2005.
122
Secara historis, pengertian perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan
serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja, danatau keadaan perburuhan Pasal 1 ayat 1
huruf c Undang-Undang No. 22 tahun 1957, selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep. 5AMen1994, istilah perselisihan perburuhan
diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Menurut ketentuan pasal 1
120
Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori...Op.Cit, hal.160.
121
Supomo Suparman, Op.Cit., hal.12
122
Ibid, hal. 13
angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
perselisihan hubungan industrial ialah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerjaburuh
atau serikat pekerjaserikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
123
a. Pengusaha
Berdasarkan pengertian perselisihan hubungan industrial tersebut, terkandung unsur subjektif dan objektif.
Unsur subjektif perselisihan adalah:
b. Gabungan pengusaha
c. Pekerja
d. Serikat pekerja
Sedangkan unsur objektif perselisihan adalah: a.
Perselisihan hak Merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak,
akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama Pasal 1 angka 2 UU PPHI. b.
Perselisihan kepentingan
123
Abdul Khakim, Op.Cit., hal.143
Merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama Pasal 1 angka
3 UU PPHI. c.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak Pasal 1 angka 4 UU PPHI.
d. Perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan.
Merupakan perselisihan antara serikat pekerjaserikat buruh dengan serikat pekerjaserikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan Pasal 1 angka 5 UU PPHI.
UU PPHI memberikan cara atau upaya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik di luar pengadilan maupun melalui pengadilan dalam
hal ini Pengadilan Hubungan Industrial yang berada dalam Pengadilan Negeri. Terdapat beberapa tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar
pengadilan, yaitu:
124
a. Perundingan Bipartit
124
Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: DSS Publishing, 2004, hal.38
Pasal 1 angka 10 UU PPHI menyatakan bahwa perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh
denga pengusaha untuk menyelesaikan hubungan industrial. Ketentuan mengenai upaya bipartit diatur dengan tegas di dalam UU
No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu pada pasal 136 ayat 1, bahwa “Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan
oleh pengusaha dan pekerjaburuh atau serikat pekerjaserikat buruh secara musyawarah untuk mufakat”. Dalam pasal tersebut memang tidak ada
disebutkan istilah bipartit, namun kata-kata “antara pengusaha dan pekerjaburuh” bisa diartikan sebagai dua pihak, yang dalam peraturan lama
disebut bipartide. Dalam UU PPHI dengan tegas disebutkan bahwa suatu perselisihan tidak dapat diajukan kepada lembaga mediasi, konsiliasi,
arbitrase, atau pengadilan sebelum upaya bipartit dilaksanakan, artinya upaya bipartit merupakan hal yang wajib dilakukan sebelum menempuh upaya yang
lebih tinggi. Apabila upaya bipartit berhasil mencapai kesepakatan, maka dibuat
Perjanjian Bersama PB yang mengikat kedua belah pihak, kemudian PB tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial PHI setempat untuk
mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran yang dapat menjadi dasar mengajukan eksekusi jika salah satu pihak mengingkari kesepakatan. Jika upaya bipartit
mengalami kegagalan, maka risalah atas kegagalan harus dibuat untuk selanjutnya diserahkan kepada mediator untuk ditindaklanjuti.
b. Mediasi
Pasal 1 angka 11 UU PPHI menyatakan bahwa mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK,
dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
mediator yang netral. Dalam UU PPHI disebutkan bahwa mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Lembaga mediasi merupakan bentuk baru dari pegawai perantara,
yang peran dan fungsinya wajib mengeluarkan anjuran bilamana upaya penyelesaian melalui musyawarah tidak tercapai. Jika proses mediasi
mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan maka wajib dibuat Perjanjian Bersama PB yang ditandatangani kedua belah pihak dan
disaksikan oleh mediator, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Apabila musyawarah
tidak tercapai maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, apabila kedua pihak menerima isi anjuran tersebut maka dibuatlah Perjanjian Bersama PB
dan mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, apabila kedua belah pihak menolak isi anjuran tersebut maka perselisihan tersebut
bisa digugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial. c.
Konsiliasi Pasal 1 angka 13 UU PPHI menyebutkan bahwa konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Dalam konsiliasi terdapat pengecualian dalam jenis perselisihan yang akan
diselesaikan yaitu perselisihan hak, perselisihan hak hanya dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, mediasi, atau Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebagai lembaga pilihan, konsiliasi dan arbitrase hanya dapat ditempuh apabila kedua belah pihak yang berselisih sepakat untuk mencari
penyelesaian melalui lembaga tersebut. Jika upaya perundingan bipartit gagal maka para pihak diberi kesempatan untuk memilih upaya penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase, jika tidak memilih antara kedua upaya tersebut maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan
melalui mediasi. Apabila musyawarah dalam konsiliasi tidak tercapai maka konsiliator
wajib mengeluarkan anjuran dan pihak yang merasa dirugikan dapat menolak anjuran tersebut dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Apabila upaya konsiliasi berhasil dilakukan maka konsiliator membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama PB yang
kemudian didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapat Akta Bukti Pendaftaran.
d. Arbitrase
Pasal 1 angka 15 menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Berdasarkan pengertian tersebut, telah
ditetapkan bahwa syarat awal agar suatu perselisihan dapat ditangani arbiter adalah adanya kesepakatan tertulis para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut secara tertulis. Kesepakatan tertulis tersebut penting karena berkaitan dengan masalah yuridiksi, apabila arbitrase telah dipilih
sebagai alternatif penyelesaian perselisihan maka pengadilan tidak memiliki yuridiksi wewenang untuk memeriksa serta mengadili perkara.
Apabila terjadi kesepakatan atau penyelesaian damai maka arbiter akan membantu para pihak untuk membuat Perjanjian Bersama PB dan
mendaftarkannya ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan Akta Bukti Perjanjian Bersama. Namun apabila tidak tercapai penyelesaian
secara damai, arbiter akan mengeluarkan putusan yang bersifat final. Atas putusan arbiter tidak bisa lagi diajukan gugatan ke pengadilan, karena putusan
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat semua pihak dan merupakan putusan akhir yang berkekuatan tetap.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa UU PPHI tidak hanya memberikan upaya penyelesaian perselisihan perburuhan melalui upaya di luar pengadilan
tetapi juga upaya melalui pengadilan litigasi yaitu Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
pengadilan ditempuh sebagai alternatif terakhir dan secara hukum bukan merupakan kewajiban bagi para pihak yang berselisih, melainkan merupakan
hak.
125
Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
126
125
Abdul Khakim, Op.Cit., hal.155. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Pasal 5, Pasal 14 ayat 1, dan Pasal 24 ayat 1 UU PPHI.
Pasal 5 UU PPHI menyatakan bahwa, “Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hubungan Industrial”. Pasal 14 ayat 1 UU PPHI menyatakan bahwa, “Dalam hal anjuran tertulis mediator ditolak oleh
salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapay melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”.
Pasal 24 ayat 1 UU PPHi menyatakan bahwa, “Dalam hal anjuran tertulis konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat”.
126
Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 ditempatkan dan berada
pada pengadilan negeri di setiap kabupaten kota. Ketua pengadilan hubungan industrial adalah ketua pengadilan negeri setempat, dengan majelis hakim terdiri
dari ketua majelis dari hakim karier, anggota hakim ad-hoc masing-masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang diangkat oleh Presiden atas usul ketua
Mahkamah Agung. Pengadilan hubungan industrial berwenang menangani ke-4 jenis perselisihan, dengan ketentuan bahwa pada tingkat pertama dan terakhir
untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh dalam satu perusahaan. Sedangkan tingkat pertama untuk jenis perselisihan hak
dan perselisihan PHK dan terhadap putusan kedua perselisihan tersebut dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam UU PPHI tidak mengenal upaya hukum banding.
127
Proses pemeriksaan perkara dalam Pengadilan Hubungan Industrial terdiri atas beberapa tahap, yang tidak berbeda jauh dengan proses pemeriksaan dalam
sistem peradilan pidana, yaitu:
128
a. Pendaftaran Gugatan dan Pemanggilan Para Pihak
Pendaftaran gugatan dilakukan dengan melampirkan berita acara rapat penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi. Penyertaan
lampiran tersebut merupakan suatu keharusan, karena apabila tidak dilampirkan maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib
mengembalikan gugatan tersebut kepada penggugat untuk dilengkapi. Setelah surat gugatan didaftarkan maka hakim wajib memeriksa isi
gugatan dan dalam jangka waktu 7 tujuh hari setelah pendaftaran, Ketua Pengadilan Negeri harus sudah menetapkan majelis hakim. Sebelum hari
sidang, para pihak harus dipanggil dengan cara yang sah. Pemanggilan dianggap sah apabila dilakukan dengan surat panggilan yang dilakukan di
alamat tempat tinggal para pihak. Jika tempat tinggal tidak diketahui, maka dilakukan di tempat tinggal terakhir. Jika tempat tinggal terakhir
juga tidak diketahui maka surat panggilan sidang ditempelkan di tempat pengumuman Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
b. Pembacaan Gugatan
127
Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori...Op.Cit, 2010, hal.181.
128
Sehat Damanik, Op.Cit., hal.72
Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum maka Majelis Hakim terlebih dahulu menganjurkan agar kedua belah pihak melakukan
perdamaian. Apabila para pihak tetap pada pendiriannya untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan melalui Majelis Hakim, maka
pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan. Dalam prakteknya pembacaan gugatan tidak selalu dilakukan, melainkan bisa juga tidak dibacakan tetapi
dianggap telah dibacakan. Namun apabila salah satu pihak meminta untuk dibacakan, maka gugatan tersebut harus dibacakan.
c. Penyampaian Jawaban
Jawaban merupakan bantahan-bantahan atau perlawanan-perlawanan atas hal-hal yang digugat atau dituduhkan terhadap tergugat, yang bertujuan
untuk meyakinkan hakim bahwa penggugat adalah penggugat yang tidak benar sehingga gugatannya harus ditolak.
d. Putusan Sela
Putusan sela bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan. Putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan
hanya dituliskan dalam berita acara persidangan saja. Ketentuan mengenai putusan sela terdapat dalam Pasal 96 UU PPHI, apabila dalam persidangan
pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat 3 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerjaburuh
yang bersangkutan. Adapun isi Pasal 155 ayat 3 diatas adalah tentang tidak dilaksanakannya kewajiban pengusaha membayar upah terhadap
pekerja yang sedang diskorsing. Karena tindakan pengusaha tersebut bisa berbahaya bagi kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya, maka
diperlukan putusan sela untuk memerintahkan pihak pengusaha melaksanakan kewajibannya terhadap hak-hak pekerja. Dengan adanya
putusan sela maka kewajiban tersebut harus sudah dilaksanakan sekalipun pemeriksaan terhadap pokok perkara belum dilakukan.
e. Replik dan Duplik
Replik dan duplik dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang akan dibantah, kemudian diikuti bantahan-bantahan atas pernyataan
itu, dan berdasarkan bantahan tersebut, hakim dimohonkan memberikan putusan yang sesuai dengan kepentingan pihak yang mengajukan
bantahan. Baik replik maupun duplik bukanlah sesuatu yang wajib disampaikan oleh para pihak dan mengingat waktu penyelesaian
perselisihan hubungan industrial sangat singkat majelis hakim wajib memberikan putusan selambat-lambatnya 50 lima puluh hari terhitung
sejak sidang pertama maka penyampaian replik dan duplik sulit untuk dilakukan.
f. Pembuktian
Mengingat dalam UU No. 2 Tahun 2004 tidak dengan tegas diatur tentang pembuktian, maka Hukum Acara Pembuktian dalam Perkara Hubungan
Industrial harus mengacu pada ketentuan yang ada dalam KUH Acara
Perdata, KUH Perdata, KUH Pidana, dan KUH Acara Pidana. Ada beberapa alat bukti yang sah menurut Pasal 284 RBg164 HIR, Pasal 181
RBg154 HIR dan 1886 KUH Perdata, yaitu bukti surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah, dan keterangan ahli.
g. Kesimpulan
Kesimpulan dibuat oleh masing-masing pihak penggugat dan tergugat berdasarkan sudut pandang serta kepentingannya masing-masing. Dalam
prakteknya pembuatan kesimpulan bertujuan untuk membantu Majelis Hakim dalam menilai dan memutus suatu perkara. Karena sifatnya hanya
sebagai pelengkap maka tanpa pembuatan kesimpulan, Majelis Hakim harus tetap menilai dan memutus perkara.
h. Putusan Hakim
isi suatu putusan hakim terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, identitas para pihak
yang berperkara, pertimbangan atau alasan hakim dalam memberikan putusan, dan amar putusan. Bunyi suatu putusan bisa menerima seluruh
gugatan penggugat, menolak sebagian, atau menolak seluruh gugatan penggugat.
i. Upaya Hukum
Terdapat 2 dua upaya hukum yang dapat ditempuh dalam perselisihan hubungan industrial yaitu kasasi dan peninjauan kembali. Upaya hukum
kasasi hanya dapat dilakukan terhadap perselisihan hak dan perselisihan PHK, sedangkan terhadap upaya hukum peninjauan kembali hanya
berlaku terhadap perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerjaserikat buruh yang ada dalam satu perusahaan, yang diputus oleh
lembaga arbitrase. Masalah yang berkaitan dengan pekerjaburuh tidak hanya dapat
diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial tetapi juga dapat diselesaikan melalui Sistem Peradilan Pidana diproses melalui Pengadilan
Negeri, apabila terjadi kasus pidana perburuhan. Pengadilan Negeri berupaya untuk membuktikan suatu tindak pidana yang terjadi dalam hubungan kerja.
Buruh atau pengusaha harus membuat laporan atau pengaduan kepada pegawai pengawas, menguraikan kejahatan yang terjadi dan bila memungkinkan juga
menunjukkan pasal-pasal yang dilanggar, melampirkan bukti-bukti pelanggaran dan hal-hal berkaitan lainnya.
129
Proses penanganannya dimulai dengan pengaduanpelaporan atas suatu tindak pidana kepada bagian pengawasan Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat,
yang berfungsi sebagai Penyidik Pegawai Negeri sipil. Atas pengaduan tersebut penyidik akan melakukan penyidikan guna mencari dan menemukan sejumlah
bukti sehingga dengan bukti-bukti tersebut tindak pidana yang dilaporkan menjadi terang. Setelah penyidikan dianggap cukup dan terdapat bukti-bukti yang kuat
maka penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum JPU. Setelah berkas dianggap sempurna dan mempunyai dasar untuk dituntut, maka
JPU segera membuat surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan agar perkara tersebut segera diselidiki. Setelah majelis hakim menentukan hari
129
Ibid, hal.56
persidangan maka JPU menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa. Proses persidangan terdiri dari:
130
a. Pembacaan Dakwaan
Pembacaan dakwaan oleh JPU yang memuat keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa beserta ketentuanpasal yang dilanggar
akibat perbuatan tersebut. b.
Pemeriksaan Saksi Yang diperiksa sebagai saksi adalah orang yang melihat sendiri,
mendengar sendiri atau yang mengalami sendiri peristiwa pidana. c.
Pengajuan Tuntutan Pidana, Pembelaan, dan Jawaban Apabila majelis hakim menganggap pemeriksaan saksi telah selesai, maka
JPU diberikan kesempatan untuk mengajukan tuntutan yang berisi tentang jumlah hukuman yang dimintakan oleh JPU kepada Majelis Hakim atas
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Atas tuntutan yang diajukan JPU, terdakwa maupun kuasa hukumnya diberikan kesempatan untuk
mengajukan pembelaan yang berisi hal-hal yang menunjukkan ketidakbersalahan atau yang meringankan terdakwa. Terhadap pembelaan
yang dilakukan terdakwa maupun kuasa hukumnya, maka JPU diberi kesempatan untuk memberi jawaban yang bertujuan memperkuat
tuntutannya. d.
Pembacaan Putusan
130
Ibid, hal. 59
Putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, baik terdakwa maupun JPU berhak untuk mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi apabila merasa tidak puas terhadap putusan. Terkait penjelasan mengenai penyelesaian sengketa perburuhan, terhadap
sengketa perburuhan yang diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial merupakan sengketa perburuhan dalam lingkup perdata, artinya bahwa terdapat
perbuatan wanprestasi cedera janji dan perbuatan melawan terhadap perjanjian kerja perjanjian kerja tersebut sebagai undang-undang yang wajib ditaati oleh
kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerjaburuh yang dilakukan pengusaha kepada pekerjaburuh, dimana perbuatan tersebut menimbulkan kerugian,
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan kewajiban. Terhadap barang siapa
yang melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maka wajib mengganti kerugian tersebut Pasal 1365 KUHPerdata. Artinya terdapat perbuatan yang
tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang dibuat, sehingga terhadap perselisihan perburuhan tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Sedangkan melalui Sistem Peradilan Pidana, mencakup sengketa perburuhan dalam lingkup pidana, artinya adalah terdapat perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan tata hukum dan merugikan hak asasi orang lain. Dapat disimpulkan bahwa mengenai perbuatan yang melarang
pekerjaburuh untuk berserikat merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi atau hak dasar pekerjaburuh yang seharusnya diselesaikan melalui Sistem
Peradilan Pidana. Hal ini dikarenakan tindak pidana kebebasan berserikat
pekerjaburuh termasuk sebagai kejahatan atau “rechtsdelikten” yaitu perbuatan- perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai
perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, nilai-nilai, dan norma-norma yang telah
disahkan oleh hukum tertulis.
131
C. Kasus